Meneladani Kesantunan Tuhan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
22/05/2006

Meneladani Kesantunan Tuhan

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Jika Anda mendefinisikan Tuhan sebagai zat yang boleh bersikap dan bertindak apa saja, berarti Anda merumuskan Tuhan yang otoriter. Tuhan dengan tangan besi. Yang kejam dan tak berkompromi. Sebaliknya, jika Anda merumuskan Tuhan sebagai zat yang suka dialog, maka Anda sedang mentemakan Tuhan yang demokratis. Tuhan yang berdiskusi dan bernegosiasi terlebih dulu sebelum hukum diundangkan.

Jika Anda mendefinisikan Tuhan sebagai zat yang boleh bersikap dan bertindak apa saja, berarti Anda merumuskan Tuhan yang otoriter. Tuhan dengan tangan besi. Yang kejam dan tak berkompromi. Tuhan dimanifestasikan sebagai al-qahhar, al-jabbar, al-mutakabbir, al-mumit, al-dharr, al-mudzil, dan al-muntaqim. Sifat itu konon pernah adaketika Tuhan menenggelamkan Fir’aun Ramses (1304-1237 SM) di Laut Merah, membumihanguskan kaum Luth, dan menghancurkan umat Nabi Nuh dengan air bah. Di sini Tuhan telah dikerdilkan perannya sebagai pemilik neraka yang ganas, yang hanya mengancam. Dan tak menghibur.

Sebaliknya, jika Anda merumuskan Tuhan sebagai zat yang suka dialog, maka Anda sedang mentemakan Tuhan yang demokratis. Tuhan yang berdiskusi dan bernegosiasi terlebih dulu sebelum hukum diundangkan. Tuhan diwujudkan sebagai al-rahman, al-rahim, al-salam, al-mu’iz, al-ghafur, al-muhyi, dan sebagainya. Sifat ketuhanan yang demikian tampak ketika Ibrahim berkali-kali terlibat dialog “empat mata” dengan Tuhan. Di pucuk gunung Tursina, Nabi Musa pun intens berkomunikasi dengan-Nya. Hirarki dan tapal batas sirna. Tuhan justru menjadi partner manusia, teman kreatifnya.

Di lingkungan umat Islam, Tuhan jenis pertama pernah dipersonifikasikan kaum Khawarij. Kelompok ini berpendirian bahwa orang-orang Islam yang berada di luar komunitasnya sesat, dan tentu, halal darahnya. Khawarij melancarkan serangan bahwa kaum Sunni adalah pelaku dosa besar, karena itu perlu dijebloskan ke dalam neraka. Dalam bayangan mereka, surga hanya milik mereka semata. Tilka amaniyyuhum. Dalam perkembangannya yang kemudian, mentalitas Khawarij ini merasuki tubuh kelompok militan Islam. Mereka melakukan teror terhadap siapa saja yang tidak mereka sukai. Kelompok militan itu secara metodologis menganut pandangan kaum mukhaththi`ah. Bahwa di dunia ini hanya ada satu kebenaran. Tak ada kebenaran ganda apalagi lebih. Paradigma ini yang mengantarkan mereka pada kesimpulan arogan; kebenaran yang tunggal itu bersarang dalam kelompoknya dan tidak di kelompok lain. 

Sementara Tuhan jenis kedua lebih banyak muncul atau ber-tajalli di kalangan kaum mistikus. Sebagaimana lazimnya kaum sufi, mereka cenderung memanifestasikan sifat-sifat ketuhanan yang lembut, santun, dialogis, anti kekerasan. Tak pernah ada cerita kaum sufi yang mencincang, membunuh, dan menyalip manusia. Di mana-mana kaum sufi yang otentik selalu bersikap positif terhadap orang lain. Baik sangka (husn al-dhan) menjadi sifat pokok mereka. Selalu ada ruang untuk memaafkan orang lain, karena Tuhan sendiri suka memberi maaf. Kelompok sufi tak memantik diri sendiri sebagai poros kebenaran, karena menurut mereka kebenaran bisa berada di mana saja. Dengan sedikit generalisasi, kaum sufi berada di barisan kelompok mushawwibah. Ada banyak biji kebenaran yang tertabur di bumi. Sehingga setiap orang bisa mengambil satuan demi satuan, keping per keping dari kebenaran-kebenaran itu. Itu sebabnya, kaum sufi tak mudah memvonis orang yang tak sejalan dengan dirinya sebagai sesat.

Secara sepintas tampak bahwa dalam Tuhan sendiri terdapat sejumlah paradoks yang membingungkan. Ada Tuhan yang otoriter, di samping Tuhan yang demokratis. Tuhan yang keras dan Tuhan yang santun. Paling tidak dalam konsepsi kita tentang diri-Nya. Tentu saja Tuhan yang santun-demokratis lebih memikat. Dan dalam konteks di mana keberingasan dan kebrutalan nyaris merata dan memenuhi dunia, meneladani Tuhan yang santun cukup relevan. Sebab, perdamaian, kesejukan, dan kemakmuran bumi bisa mungkin tercipta ketika sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun, dan penolong mawjud dalam kesadaran kita semua sebagai manusia. Nabi Muhammad menganjurkan agar umatnya meneladani sifat ketuhanan yang baik itu. Takhallaquu bi akhlaq Allah (al-karimah). Dan terang benderang bahwa meneladani dan memanifestasikan sifat ketuhanan yang angker bisa mengobarkan api dalam sekam yang luas.

22/05/2006 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (21)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Peran tuhan kepada manusia secara lebih detail tertuang dalam asmaul husna. 99 nama itu tuhan tuhan berkomunikasi dengan manusia.
-----

Posted by Abu Sulthan  on  06/19  at  12:07 AM

Perbuatan khawarij dan anak turunan ideologinya sih, IMHO, lebih kepada pengumbaran hawa nafsu, bukan penyerapan sifat2 Tuhan. Kalaupun mereka menggunakan atribut2 agama, itu hanya sbg justifikasi untuk menutupi dorongan nafsu mereka saja. Inna an-nafsa la amaaratun bissuu-i (sesungguhnya nafsu memerintahkan kepada kejahatan), illa maa rahima rabbi (kecuali yg dikasihi Tuhanku). Nah, nafs yang dikasihi Tuhan itu tentu saja adalah yg bisa memantulkan sifat kasih itu sendiri kepada sesama ciptaan-Nya.

Main hakim sendiri dan tindak kekerasan dg dilandasi klaim paling benar bukanlah pantulan sifat kasih, tapi pantulan buruk dari sebuah cermin yg kotor dan karatan. Hal itu hanya berarti melanggar perjanjian bernegara (mengambil alih tugas aparat berwenang), dan melanggar perjanjian adalah hobinya orang2 munafik. Jadi, bukannya mereka mau men-tajalli-kan sifat2 Allah yg keras2 itu, tapi karena mereka gagal memantulkan cahaya Allah disebabkan karat2 nafsu.

Anyway, klaim paling benar atau kebenaran adalah hanya yang ada pada mereka itu pun sebenarnya merupakan indikasi karat nafsu. Ini adalah bisikan iblis, sebab dia terlaknat gara2 merasa lebih baik dari Adam AS. Ana khairu minhu, kata iblis. Maka penyakit inipun dia tularkan ke kita2.

Tidak ada satu ciptaanpun yg boleh merasa lebih baik dari ciptaan lainnya. Bahkan ciptaan termulia pun, yg Al Quran mengatakannya sebagai “wa maa yanthiqu ‘anil hawa, inhuwa illa wahyun yuha” (dan tidak pernah dia mengucapkan sesuatu dari hawa nafsunya, melainkan semuanya adalah wahyu belaka), tidak pernah merasa suci dan tidak pernah merasa lebih baik dari orang lain, yg terlihat dari selalu memohon ampunnya dia kepada Allah. Padahal kita tahu, dialah mahluk termulia dan paling dekat maqamnya di sisi Allah, yg Allah sebut sebagai uswatun hasanah, mempunyai khuluqin azhim, dan Dia sucikan se-suci2nya (yuthahhirakum tath-hira).

Agama, keyakinan, mazhab ataupun sekte religius, hanyalah ibarat kendaraan yang mengantarkan para pemeluknya kepada tujuan akhir, yaitu kembali kepada Sang Khalik. Saya, tentu saja berkeyakinan bahwa kendaraan sayalah yg paling laju jalannya, paling aman dikendarai. Tapi punya kendaraan terbaik tidak boleh membuat saya merasa lebih baik dari lainnya. Sama sekali tidak. Kendaraan2 yang lain pun boleh juga mengantarkan para pengendaranya sampai ke tujuan dengan baik. Why not?

Inilah uniknya perjalanan manusia menuju Allah. Begitu saya merasa lebih baik dari orang lain, maka hakikatnya saya telah pindah kendaraan, yaitu menumpang kendaraannya Iblis. Naudzubillah.

Salam

Posted by Abdullah bin Umar  on  06/17  at  07:07 AM

Tuhan yang kita pikirkan atau kita bayangkan akan terwujud sesuai keinginan kita. Saya kira tak ada gunanya anda mengurai zat yang abstrak seperti Tuhan. Toh Tuhan sendiri maha luas dan tak akan cukup terdefinisikan karena saking panjangnya yang akan ditulis. Lebih baik Anda meningkatkan kadar spiritual anda. Masak mau jadi pembaharu tapi tak dibarengi dengan kesalehan. Siapa yang percaya dengan pembaharuan JIL kalo begitu?

Posted by zamak abrar  on  06/04  at  02:07 AM

Menurut saya, sebenarnya tidak ada pemisahan antara sifat baik Tuhan dan sifat buruk Tuhan. Ini menjadi sebuah paradoks tak berujung, karena pada akhirnya, seharusnya tiap-tiap manusia sadar bahwa tak akan ada sesuatu yang baik kalau tidak ada yang buruk, tidak ada sesuatu yang jelek kalau tidak ada yang indah, tidak ada sesuatu yang keji jika tidak ada sesuatu yang dikatakan mulia, dan sebaliknya. Jadi keji dan mulia sama-sama perlu, baik dan buruk juga sama nilainya.

Masalahnya, kapan manusia ini bisa menentukan ia harus bersikap baik dan anti-baik, keji dan anti-keji. Yang paling benar adalah berada ditengah-tengah; menjadi keji ketika harus membela prinsip yang tidak membabi buta dan tidak mengganggu kepentingan makhluk lain, dan pada saat yang bersamaan menjadi mulia karena menerima dan menghargai perbedaan yang datang dari pihak lain. Berada ditengah-tengah inilah yang sesungguhnya paling sulit, tapi tidak mustahil dilakukan. Bagaimana menjadi seseorang yang berada di tengah itu dapat terjadi, hanya jika manusia mau dan mampu masuk ke relung terdalam di hatinya, tempatnya paling aman, nyaman sekaligus intim untuk berkomunikasi dalam kesahajaan dengan Tuhan.

Sangat disayangkan, kebanyakan manusia mencari jawaban dari luar dirinya sehingga mudah terombang ambing oleh lingkungan serta keadaan sekeliling, oleh kepentingan orang lain, sehingga seringkali akhirnya timbul personifikasi akan Tuhan, padahal jawaban dari segala sesuatu ada di dalam nuraninya, karena di situlah sesungguhnya cahaya Tuhan bersemayam. Bukankan Tuhan dan manusia sangatlah dekat, seperti kuku yang melekat pada daging?

Posted by Chiara Prayitno Silalahi  on  06/01  at  05:06 AM

Sebenarnya tidak tepat juga bila dikatakan bahwa Tuhan tidak boleh bertindak apa saja. Hanya saja banyak dari kita yg memandang Tuhan dengan konteks yang sempit. Tuhan memang bertangan besi,namun masalahnya adalah ketika kita memandang alam citaan sebagai sesuatu yg di ‘obok-obok’ oleh Tangan itu. Tapi para Sufi melihat dengan cara lain;alam citaan adalah materi penyusun Tangan itu.

Setiap ciptaan tak lain adalah materi besi yg menyusun tangan itu. Tuhan adalah the great unknown, yang melampaui batas batas otak kita. Bila Ia berbatas berarti Ia adalah cipataan, bukan Tuhan. Benar dan salah, baik dan buruk, pahala dan dosa, lembut dan keji, semua ini hanyalah batasan yang ‘dipasang’ pada otak kita.Logika dan nurani hanyalah lalulintas elektron di kepala manusia.

Namun kita adalah manusia,yang dipasangi ‘onderdil’ logika dan nurani. Ketika manusia tidak bertindak dan mengikuti dua hal ini maka alam(realm) manusia binasa.Logika dan nurani kita hanya ‘mengizinkan’kita meneladani sifat sifat Tuhan tertentu,tidak mungkin semuanya. Dengan kata lain keduanya adalah cetak biru bagi kehidupan kita.

Islam dari sudut pandang Sufistik adalah Islam, sebuah penyerahan total manusia pada Tuhan yang tanpa batas,dan human will be human.

Posted by Prio  on  05/30  at  08:06 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq