Menilik Metode Qiyas Syafi’i - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
15/12/2003

Menilik Metode Qiyas Syafi’i

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Sekian banyak metodologi telah disusun untuk menafsirkan al-Qur`an dimaksud. Dalam lanskap itu, Imam Syafi’i dipandang sebagai orang pertama yang memancangkan fondasi metodologi pembacan teks melalui masterpiecenya, al-Risalah. Akan tetapi, dalam perkembangan kontemporer, kitab-kitab ushul fikih lama itu diduga keras sedang mengidap sejumlah persoalan yang kronis. Kelemahan epistemologis ini, saya kira, merupakan utang intelektual yang mesti ditebus oleh ushul fikih (qiyas) model Syafi’i ini.

Al-Qur`an terus dikunjungi oleh umat manusia untuk dibaca dan ditafsirkan. Menafsirkan al-Qur`an berarti upaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan al-Qur`an. Proses pembacaan dan penafsiran yang lama berlangsung telah menghasilkan beratus-ratus kitab tafsir sejak masa lampau hingga sekarang. Banyak kitab tafsir dengan corak dan ragamnya yang berbeda itu, di samping sebagai bukti prihal ketidakberhinggaan kerja penafsiran, juga di dalam kerangka untuk membunyikan aksara al-Qur`an dalam tataran masyarakat yang terus berubah.

Sekian banyak metodologi telah disusun untuk menafsirkan al-Qur`an dimaksud. Dalam lanskap itu, Imam Syafi’i dipandang sebagai orang pertama yang memancangkan fondasi metodologi pembacan teks melalui masterpiecenya, al-Risalah. Bangunan ushul fikih Syafi’i kemudian mencapai fase kematangannya dari para pengikut Syafi’i, di antaranya adalah al-Subki dengan bukunya Jam’u al-Jawami’. Di situ al-Subki berbicara sangat detail tentang teori lafzd. Dari kalangan madzhab Maliki, al-Syathibi menyusun sebuah buku monumental yang bertitel al-Muwafaqat fiy ushul al-Syari’ah. Dalam buku tersebut, al-Syathibi banyak mengelaborasi konsep maqashid al-syari’ah. Kitab-kitab ushul fikih itu berdiri demikian kokoh dan mapan sehingga mayoritas para ahli ushul belakangan tidak bisa keluar dari jeratan metodologi al-salaf al-shalih. Ushul fikih purba begitu dimanja dan disakralkan oleh para pembacanya.

Akan tetapi, dalam perkembangan kontemporer, kitab-kitab ushul fikih lama itu diduga keras sedang mengidap sejumlah persoalan yang kronis. Pertama, ushul fikih Syafi’i beraroma Arab-sentris. Arabisme merupakan ideologi yang lekat dalam tembok ushul fikih lama. Kedua, kaidah yang banyak dilansir oleh kitab ushul fikih Syafi’iyah ”al-’ibrah bi ‘umum al-lafdz la bi khushush al-sabab” terkesan terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan konteks. Pembahasan tentang lafdz (kata) dengan porsi yang demikian luas merupakan indikasi kuat betapa ushul fikih lama sangat menekankan teks dan nyaris menafikan konteks. Pendeknya, ushul fikih konvensional lebih menitikberatkan pada lafdz (kata) dan bukan pada maqashid (ideal moral).

Ketiga, menyangkut konsep qiyas (analogi) yang terutama diusung oleh Syafi’ i.. Per definisi, qiyas dikatakan sebagai menganalogikan sesuatu yang belum jelas ketentuan hukumnya (furu’) dengan yang sudah jelas hukumnya dalam al-Qur`an dan al-Sunnah (ashal) karena ada kesamaan illat. Model qiyas seperti ini bermasalah setidaknya karena dua hal berikut. [a] bahwa tidak ada dua peristiwa yang persis sama, sehingga hukum keduanya bisa diparalelkan. Persamaan illat yang menjadi alasan pengoperasian qiyas sesungguhnya merupakan tindakan simplifikasi. menyangkut hal-hal yang bersifat sosial, qiyas Syafi’i tampak mengabaikan konteks yang melandasi kehadiran hukum ashal. Betapa, pengetahuan terhadap konteks hukum ashal tidak pernah menjadi rukun dari qiyas.

Kelemahan epistemologis ini, saya kira, merupakan utang intelektual yang mesti ditebus oleh ushul fikih (qiyas) model Syafi’i ini. Apa yang dilakukan oleh pemikir-pemikir muslim kontemporer dengan kerangka dan metodologi barunya, seperti Nashr Hamid Abu Zaid, Arkoun, Adonis, Hasan Turabi, Masdar F. Mas’udi, dan lain-lain kiranya untuk melengkapi

kekurangan-kekurangan tadi. Mengubah ushul fikih lama tentu saja teramat absah dari sudut akademis-intelektual, karena ia seutuhnya merupakan kreasi para ulama. Ushul fikih memiliki status epistemologis yang relatif, tidak mutlak. (Abdul Moqsith Ghazali)

15/12/2003 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (7)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

maaf saya ingin sedikit brkomentar. kaidah al ibroh biumumil lafdzi la bibikhususi al sababi bukan bermaksud memberhalakakan teks. namun kaidah itu justru upaya untuk menempatkan teks secara tepat. teks harus difahami sebagai secara umum tidak hanya trbatas pada sebab yang melatarbelakani munculnya. adapun upaya saudara untuk memasukkan komteks ke dalam salah satu rukun qiyas perlu dipertimbangkan lagi. apakah benar konteks begitu signifikan sehimga hartus di maksudkan dalam salah satu rukun qiyas. namun satu hal yang pasti kelimuan apapu belum dan tak akan final kecuali dengan finalnya kehidupan ini. ia harus berubah jika memang itu diperlukan.

Posted by saefudin  on  07/08  at  04:51 PM

memang pada jamanya syafi’i adalah tokoh yang sangat cerdas, dia mampu menaklukkan keliaran ahlul ro’yu, tetapi dia juga mampu menjinakkan dan meluluhkan aliran ahlul sunnah, namun tetap kita dalam melihat metode tersebut tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan politik pada masa itu dan tempat, daerah yang didiami oleh syafe’i. bagaimanapun juga metode fiqh yang benar adalah yang sesuai konteks dan berorientasi pada kemaslahatan umat, seperti yang dilakukan oleh nabi, dan sahabat terdahulu. thx.....
-----

Posted by santhi afriliya marta sari  on  05/04  at  06:06 AM

Assalamualaikum mohon maaf, saya ingin mengulas sedikit.

Imam syafi’i hidup dikurun abad ke2 H,yg mana Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik2 kurun adalah zaman Rasulullah,kemudian setelahnya, kemudian setelahnya,yakni 300 tahun sejak zaman Rasul. Inilah yang disebut zaman Salafussholeh. Ini dijamin oleh Rasul. Masyarakat waktu itu kebanyakan masih baik-baik.

Para ulama sepakat bahwa imam syafii adalah mujaddid abad ke 2 H yang membawa penyelesaian dalam perselisihan para ulama waktu itu dengan ushul fiqhnya. Mujaddid sebelum itu adalah Khalifah Umar bin Abd Aziz. Sedangkan kurun ketiga Abu Hasan Al Asy’ari, abad ke5 Imam Ghazali, abad ke 9 Imam Sayuti. Itu diantara nama-nama yg saya ingat. Mereka semua mujaddid di zamannya masing-masing.

Perlu kita ketahui,di zaman tidak ada Rasul dan Nabi dengan kasih sayang Allah diutuslah ulama yang berwatak Rasul yaitu para mujadid disetiap awal kurun hijriah. Sebagaimana hadis Rasulullah: Allah akan mengutus untuk umat ini disetiap awal kurun seorang mujadid yang akan membaharui urusan agama. Dia bukan membawa agama baru atau ajaran baru. Tapi dibantu dengan ilham dan karamah yang Allah beri, dia membawa metode atau cara baru supaya Islam dapat diamalkan di zaman itu.

Kita ini siapa, hidup dizaman apa, seberapa faham kita tentang Islam dibanding mereka. Ibarat Rasulullah itu lampu yang sangat terang, maka orang-orang yang hidup diawal-awal dulu tidaklah sama keadaannya dengan kita yg hidup dipenghujung zaman ini. Makin ke ujung tentu makin kabur. Maka perlu kita cari mujadid itu. apalagi ini dipenghujung awal kurun(25 tahun pertama), tentu dan pasti sudah ada mujaddid itu dan sedang berkerja, berjuang menzahirkan kebenaran dalam seluruh aspek kehidupan, baik ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dll.

Semoga jadi pertimbangan saudara dalam mencari kebenaran dari Tuhan diakhir zaman ini.

Sekian, ampun maaf.

Posted by abu nizam  on  03/22  at  05:04 PM

Saya ingin menanggapi tanggapan saudara Afan. Bila saudara mengatakan qiyas Syafi’i pembuka kran ijtihad, sepertinya saudara harus membaca lagi literatur tarikh tasyri’, lebih spesifiknya pada masa (tokoh) Umar bin Khattab.

Apanya yang mendalam, bila qiyas Syafi’i hanya menguak sesuatu yang bersifat indrawi? Ingat, ia (Syafi’i) seringkali menjadikan pencarian posisi ka’bah (kiblat) sebagai contoh qiyasnya.

Bila Anda teliti mitsl dan syibh yang dijadikan alasannya untuk qiyas, tidaklah kongkret. Sebab jika demikian, segala sesuatu bisa dimiripkan dan diserupakan. dan ini secara metodologi tidak valid.

Satu hal lagi, sebenarnya qiyas Imam Syafi’i sama sekali tidak mendayagunakan akal semaksimal mungkin, melainkan membatasinya. Syafi’i bahkan menggunakan qiyas sebagai “jebakan” untuk menutupi konsep sunnahnya.

Posted by akmal  on  03/03  at  10:04 PM

Tentu kedudukan Al Qur’an sebagi sumber hukum Islam tak perlu diragukan. Namun untuk sunnah, ijma dan qiyas, saya mempunyai sedikit ganjelan. Masalahnya adalah hadist-hadist yang menjadi pokok bangunan teks yang melukiskan kehidupan Rasulullah pada dasarnya tidak dicatat secara komplit dengan konteksnya. Dengan segala hormat, saat itu ilmu pengetahuan dan jurnalisme belum berkembang. Orang tak punya Sony Walkman ataupun kamera video apalagi hand-phone berkamera untuk merekam segala sesuatu.

Jadi, apa-apa yang dicatati kadang juga aneh-aneh, dan lebih berharga sebagai ilustrasi suasana pemikiran zaman itu, ketimbang sebagai tuntunan hukum melakoni hidup. Banyak hal dicatati padahal belum tentu penting dan berkaitan dengan kehidupan agama. Misalnya hadist-hadist yang banyak tentang cara melangkah keluar dari rumah, tentang merapikan bulu ketiak dan bulu pubik, tentang madzi yang kena celana, tentang menggosok gigi menggunakan siwak dan tentang aroma parfum kegemaran Nabi, tentang kencing di lubang di tanah dan sebagainya.

Oleh karena itu, apa yang disebut sunnah Rasulullah dewasa ini, belum tentu benar dan bisa jadi justru merupakan karikatur dari yang sebenarnya. Ilmu pengetahuanlah yang mampu turun tangan dan memberi keterangan yang sahih. Para ulama, sejak bangkitnya kolonialisme Barat berabad yang lalu, telah terbukti tak mampu membawa ummat ke arah kemajuan. Bagi saya, inilah bukti nyata bahwa para ulama itu (dengan segala hormat, tentu saja) - tidak mempraktekkan Islam dengan “benar”.

Karena ulamanya tidak paham ilmu pengetahuan dan bahkan seringkali merasa tak perlu, dunia moderen meninggalkan para ulama. Dan tentu saja analogi-analogi yang dilakukan oleh ulama generasi “kegelapan Islam”, juga tidak akan banyak manfaatnya di modernitas dan postmodernitas dewasa ini.

Contoh: saya pernah baca hadist yang mencatat Nabi Muhammad (Damai Allah Padanya) memuji olahraga berkuda dan memanah, sebagi olahraga yang baik untuk Muslim.

Lalu ada seorang ulama istana Orba yang menganalogikan berkuda dan memanah dengan rally mobil dan menembak (cocok dengan kegemaran salah satu Pangeran Cendana yang konon kini mendekam di Nusakambangan).  Padahal dewasa ini olahraga berkuda dan memanah masih ada, dan oleh para penggemarnya dianggap olahraga yang menyehatkan jiwa raga seperti anggapan Zen Buddhisme.  Beda sekali, rally mobil mewah melewati kampung kumuh dengan kesatuan lahir batin antara penunggang kuda yang ahli dengan kudanya.

Ayolah, kawan-kawan, kita bangun satu Fikih berdasarkan Al Qur’an dan ILMU PENGETAHUAN.  Mari kita tinggalkan para ulama yang di dalam kegelapan batinnya, mengungkungi pemikiran Islam selama berabad-abad tanpa mampu memberi sumbangan positif kepada dunia. Ijma dan qiyas mereka selama ini telah mengantarkan bangsa-bangsa Muslim ke sudut gelap sejarah: kolonialisme, neokolonialisme, dan teror sebagai jawabannya.

Salam, Bram.

Posted by Bramantyo Prijosusilo  on  01/21  at  05:02 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq