Merdeka dan Liberal - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
21/08/2006

Merdeka dan Liberal

Oleh Ahmad Sahal

Di negeri ini, orang sangat mudah memekikkan kata “merdeka” tapi sangat mudah curiga dengan kata “liberal”. Bagi mereka, “merdeka” menerbitkan citra yang positif, misalnya merdeka sebagai “bebas dari penjajahan” dan “bebas dari dominasi asing”. Dengan kata lain, suatu kemandirian.

Di negeri ini, orang sangat mudah memekikkan kata “merdeka” tapi sangat mudah curiga dengan kata “liberal”. Bagi mereka, “merdeka” menerbitkan citra yang positif, misalnya merdeka sebagai “bebas dari penjajahan” dan “bebas dari dominasi asing”. Dengan kata lain, suatu kemandirian.

Sebaliknya, liberal dan liberalisme mengandung konotasi didominasi oleh asing. Ia merupakan barang impor yang bukan hanya tidak cocok dengan kita melainkan juga akan menjadi polusi bagi identitas kita. Maka Jaringan Islam Liberal (JIL) begitu sering dicemooh dan dihujat gara-gara membawa label “liberal”. Seakan-akan dengan adanya ajektif “L”, jaringan ini justru akan melemahkan “I”-nya dan hanya memenuhi pesan sponsor dari Barat. Tapi adilkah prasangka semacam ini?

Sejatinya, prasangka terhadap liberalisme dan JIL sudah menjurus kepada su’uzon. Ini tidak perlu terjadi kalau kita menengok sejarah pemikiran politik Barat yang menjadi tempat kelahiran liberalisme.

Dalam khasanah pemikiran politik Barat klasik, istilah “liberal” bertaut erat dengan dikotomi antara “liber” dan “servus”. Yang pertama mengacu pada “warga negara” yang bebas, yang kedua berarti “budak” yang tidak bebas karena senantiasa berada dalam dominasi tuannya. Dalam pengertian klasik, “liber”, sang warga negara bebas dalam arti tidak berada dalam dominasi siapapun. Inillah pengertian bebas dalam tradisi republik.

Apa itu kebebasan republikan? Philip Pettit, profesor teori politik dari Princeton University menegaskan, prinsip kebebasan yang terangkum dalam republikanisme adalah “non-dominasi”. Saya bebas sejauh saya tidak berada dalam cengkeraman dominasi pihak lain, baik itu dominasi dari dalam (misalnya kekuasaan yang tiranik) maupun dari luar (penjajahan). Bebas di sini berarti bahwa menjadi warga negara berarti meneguhkan kemandirian. Ia bukan budak dari siapapun, entah itu negara, individu, atau masyarakat.

Perhatikan, bahwa apa yang sekarang ini kita pekikkan sebagai “merdeka” sesungguhnya mengandung arti kebebasan dalam artinya yang klasik yang tumbuh subur dalam sistem republik. Merdeka berarti realisasi dari “liber”, sang warga yang bebas. Harap dicatat, di sini merdeka dan liberal bisa saling bertukar tempat. 

Selain itu, pengertian liberal dalam artinya yang modern juga tidak lepas dari perlawanan terhadap ketidakadilan. Liberalisme yang lahir di Eropa abad 17 bertaut erat dengan perlawanan terhadap ketidakadilan kekuasaan monarki. Liberalisme lahir sebagai upaya untuk melindungi hak-hak sipil warga negara dari kekuasaan absolut sang raja. Ada semacam penegasan bahwa hak-hak sipil, terutama hak milik pribadi, tidak bisa begitu saja diklaim oleh sang raja, atau menjadi milik sewenang-wenang dari kaum aristokrat.

Makanya tidak heran kalau semangat liberalisme adalah pembatasan kekuasaan tiranik dan absolut yang datang dari manapun agar setiap warga punya kebebasan untuk menikmati hak-hak sipilnya dan mengembangkan dirinya sendiri. Kekuasaan mesti dikontrol dan diawasi agar tidak mencaplok kebebasan individu.

Meskipun liberalisme lahir dan berkembang di Barat, tapi esensinya, yakni “emoh terhadap kekuasaan tiranik demi melindungi hak-hak warga negara” merupakan kebajikan yang relevan dengan masyarakat non Barat, termasuk kita umat Islam.

Pada titik ini saya teringat pada Rifa’ah Tahtawi, pembaru uslim dari Mesir abad 18 yang menjadi pendahulu Afghani dan Abduh. Tahtawi pernah tinggal di Paris selama lima tahun dan menyaksikan dari dekat sistem politik, tata budaya, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Perancis yang sedang bergairah mengamalkan Pencerahan. Seperti terekam dalam bukunya Takhlis al-Ibriz ila talkhis al-Bariz (baru-baru ini diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi An Imam in Paris), Tahtawi tertarik dengan konsep kebebasan di Eropa yang memberi tempat pada hak-hak individu dan sangat antipati dengan absolutisme kekuasaan yang menurut sangkaan awal Tahtawi tidak dikenal dalam tradisi politik Islam. Tapi semakin lama ia mendalami kebebasan Eropa, Tahtawi akhirnya berkesimpulan bahwa apa yang disebut oleh manusia Eropa sebagai kebebasan sesungguhnya sedikit banyak paralel dengan konsep keadilan dalam Islam. Bukankah Islam menyerukan agar penguasa bersikap adil? Bukankah keadilan dalam Islam adalah pernyataan antipati terhadap kekuasaan yang zalim?

Jadi, kalau kita memang serius merayakan kemerdekaan dan melawan ketidakadilan, tidak ada alasan untuk menolak semangat liberalisme. Merdeka? Yes! Liberal? Siapa takut! []

21/08/2006 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (16)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Apa sich yang diperdebatkan....? ngga’ ngerti banyak istilah aneh. Apakah ngga’ ada kata yang lebih sederhana bagi kami orang awam yang ingin tahu tentang perkembangan pemikiran islam. Tolong dech yang lebih membumi.
-----

Posted by Muhammad Luthfi  on  09/19  at  06:10 PM

Kita mungkin sempat memiskinkan bentuk kata ‘penjajahan’. Kita mungkin bilang penjajahan adalah rantai Barat dan bedil Belanda. Kita mungkin lupa penjajahan bisa hadir dalam bentuk pemberangusan kebebasan-berpikir. Kita mungkin lupa bahwa ‘fatwa’ ulama-ulama yang belakangan berkecambah disusul aksi buruk oleh beberapa kelompok berupa kekerasan merupakan penjajahan bentuk baru oleh saudara sendiri. Kita dijajah oleh bangsa kita sendiri. Tak ada kebebasan berpikir. Tak ada kebebasan menafsir. Tak ada kebebasan berpendapat. Tak ada kebebasan beragama. Tak ada kebebasan ber-Tuhan. Tak ada kebebasan menentukan keyakinan sendiri. Apakah memang berpikir liberal juga akhirnya akan terjajah? Hanya ada satu perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, yaitu: berpikir. Berpikir kritis, berpikir liberal! Mari rayakan pembebasan.

Posted by Badru Tamam Mifka  on  09/14  at  02:10 PM

Ada lucu nya saat kita bicara merdeka ataupun liberal. Anggaplah kata itu sama. Bayangkan saat zaman dulu para pahklawan melawan panjajah dengan berteriak: “MERRRDEKA!!”.

Lalu penjajah yang melawan pahlawan berteriak: “LIBERRAL!!”. Para pejuang kita ingin merdeka dari penjajahan, dan para penjajah ingin liberal dalam apa yang mereka lakukan, termasuk bila itu dianggap menjajah. Nah lo?! Sini ingin merdeka, sana ingin merdeka. Sini ingin liberal, sana juga ingin liberal. Merdeka mana yang benar? Liberal mana yang mesti diturutin? Arti boleh sama, tapi aplikasi justru yang harus diperhatikan. Bila dikaitkan dengan JIL, bukan kata Liberalnya yang dipermasalahkan, tapi aplikasi dari kata tersebut. Yah, yuuu’!

Posted by Agung Satriawan  on  09/12  at  01:10 AM

Katakan saja merdeka bila kita memasuki setiap bulan Agustus. Pasalnya ungkapan itu merupakan tanda syukur kita pada Tuhan yang telah lepas dari penjajahan. Apalagi bila kita generasi muda. Namun, jika selogan ‘merdeka’ itu di sandingkan dengan kata ‘liberal’, maka seyogyanya kita telah memberikan ruang kemandirian pada diri kita. Artinya kita tak lagi bergantung pada orang lain. Apalagi mengemis untuk mencari belas kasihan orang lain. Sungguh naif dan picik sekali bila kedua itu tak memberikan makna apa, malah hanya menjadi jargon semata. Di sinilah kita perlu mencermati pernyataan kedua kata dengan bijak dan arif, bukan malah terjebak pada anggapan berbau negatif, bahkan tak mau mengenal dari sisi lain. Karena, kata liberal berasal dari Barat. Untuk itu, katakan saja merdeka atau tetap patuh bahkan melanggengkan penguasa dzalim. entahlah

Posted by Ibn Ghifarie  on  09/01  at  02:09 PM

Republik Indonesia yang tercinta ini sudah berusia 61 tahun.  Ia mampu bertahan setelah hidup terjajah ratusan tahun.  Ia mampu tetap eksis meskipun pada awalnya hanya segelintir umat di Timur Tengah yang dipelopori oleh Hasan al-Banna dkk. yang mengakui kemerdekaannya.  Ia mampu terus hidup meskipun sempat dirongrong oleh komunisme yang kejam.  Ia mampu bertahan melewati masa-masa ketika satu US dolar setara dengan dua puluh ribu rupiah.  Kerusuhan demi kerusuhan terjadi – meski direkayasa oleh banyak pihak – namun Republik ini toh masih mampu bertahan. Enam puluh satu tahun lamanya kita bertahan.  Melewati krisis moneter, melonjaknya harga bensin dari tujuh ratus rupiah menjadi lima ribu rupiah dalam sepuluh tahun, kemarau yang ganas dan musim hujan yang mengerikan, pembunuhan dan kejahatan seksual dimana-mana, pornografi dan pornoaksi yang berkedok seni, kerusuhan antaretnis dan antarumat beragama, bom disana-sini, tsunami, gempa bumi, banjir bandang, gunung berapi yang mengancam setiap saat, dan korupsi dari level menteri sampai pegawai kelurahan.  Ya, percaya atau tidak, bangsa ini adalah bangsa yang kuat. Ada kebanggaan sebagai bangsa yang ratusan tahun dipecah-belah dengan berbagai cara, namun akhirnya mampu mengenyahkan para penjajah dari nusantara.  Saya percaya bangsa ini adalah bangsa yang kuat.  Sejarah telah membuktikannya, dan saya yakin sepenuhnya kita akan mampu membuktikannya kembali. M. Natsir pernah bilang bahwa tanggal 18 Agustus juga semestinya diperingati umat sebagaimana 17 Agustus.  Bedanya, pada tanggal 17 Agustus kita bersuka cita dan mengucap syukur alhamdulillaah dengan takbir yang menggema, pada 18 Agustus justru kita harus ber-istighfar dan merenungkan kemalangan kita.  Kemalangan apa? Pada tanggal 17 Agustus 1945 Republik Indonesia berdiri, meskipun orang Jepang tidak suka, orang Belanda tidak tahu, dan dunia internasional tidak peduli.  Proklamasi dilaksanakan secara sederhana saja, namun efeknya demikian besar bagi seluruh rakyat Indonesia.  Ketika itu, Piagam Jakarta telah disahkan sebagai hasil kompromi para pendiri Republik Indonesia. Pada 18 Agustus 1945, datanglah seorang opsir Jepang yang mengaku sebagai utusan dari Indonesia Timur yang menyampaikan sebuah tuntutan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.  Inilah sebentuk kudeta pertama yang dialami oleh bangsa Indonesia.  Tuntutannya : ada tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang harus dihapus.  Jika tidak dihapus, maka Indonesia Timur akan memisahkan diri.  Sampai detik ini, masih belum jelas siapa gerangan opsir tersebut, dan benar-tidaknya tuntutan tersebut berasal dari seluruh rakyat Indonesia Timur.  Tidak ada bukti bahwa rakyat Indonesia Timur memang menginginkan tujuh kata tersebut untuk dihapus, namun entah mengapa toh dihapus juga.  Jangan-jangan, opsir itu cuma fiktif, dan seruan penghapusan tujuh kata itu cuma sekedar provokasi saja. Kita semua tahu bedanya Piagam Jakarta dan Pancasila yang diajarkan di sekolah-sekolah sekarang.  Bedanya, dalam Piagam Jakarta, umat Islam diwajibkan menjalankan ajaran agamanya.  Tidak ada pemaksaan bagi umat lain untuk mengikuti ajaran Islam, namun entah mengapa ada juga pihak-pihak yang merasa dirinya dirugikan jika umat Islam Indonesia semuanya taat beragama. Saya bisa membayangkan siapa saja kira-kira pihak yang merasa tidak nyaman jika semua umat Islam taat pada agamanya sendiri.  Para penjual minuman keras dijamin rugi, bisnis rokok pun tidak akan sebagus sekarang.  Para germo dan pelacur kehilangan sumber pendapatan, kaum waria semakin terpinggirkan, para penjudi pun tidak bisa leluasa meluangkan waktu untuk hobinya.  Para pejabat akan berpikir sejuta kali sebelum korupsi, karena khawatir kehilangan sebelah tangannya.  Nah, seperti itulah kira-kira profil orang-orang yang tidak suka melihat umat Islam menjalankan ajaran agamanya. Siapa saja yang benci jika umat Islam menjalankan standar agamanya mengenai pornografi?  Tentu saja para penikmat pornografi itu sendiri!  Mereka tentu tidak ingin kehilangan akses atas kesenangannya masing-masing.  Kalau semua Muslimah diwajibkan menutup aurat, apa lagi yang bisa memuaskan fantasi seksual mereka?  Atau, kalau semua Muslim menjalankan agamanya dengan baik, mereka takut akan kehilangan teman untuk berbuat bejat.  Sungguh aneh betapa banyak orang yang membelokkan masalah hingga demikian jauh, sehingga nampak seolah-olah umat Islam yang menginginkan tegaknya syariat Islam di Indonesia adalah kaum yang tidak patriotis.  Kalau umat Islam tidak cinta pada negeri ini, tentu Republik Indonesia tidak akan pernah berdiri!  Kalau bukan karena darah umat Islam yang membanjiri tanah subur nusantara, tentu para penjajah itu tidak akan enyah selamanya!  Tentu saja umat lain pun memiliki kontribusi, namun fitnah terhadap umat Islam semacam itu sungguh memuakkan. Ada orang yang bilang bahwa sejauh pengetahuannya, dasar negara ini adalah Pancasila, bukan Piagam Jakarta.  Ya, memang hanya sejauh itulah pengetahuannya.  Sayangnya ia tidak tahu bahwa kesepakatan awal para pendiri Republik ini adalah Piagam Jakarta, namun disunat tujuh kata di dalamnya karena sebuah tuntutan tanpa kompromi yang diajukan oleh entah siapa.  Begitulah kenyataannya.  Hanya karena umat Islam menginginkan syariat Islam ditegakkan di Indonesia, bukan berarti mereka tidak patriotis.  Justru umat Islam menginginkan hal tersebut karena yakin seratus persen bahwa syariat dapat menyelamatkan negeri ini.  Mereka cinta pada Republik Indonesia, dan mereka haqqul yaqin pada agamanya.  Kedua perasaan ini melebur menjadi satu sehingga mereka mengusulkan agar negeri ini mengikuti syariat Islam.  Keinginan ini tidak perlu ditanggapi terlalu ekstrem, karena toh sosialisasinya berlangsung dengan cara-cara damai, bukan dengan pemberontakan. Umat Islam Indonesia yang telah bersikap patriot sejati sejak dahulu kini tengah dirundung fitnah.  Maklum, banyak yang benci pada ajaran Islam.  Siapa?  Pelacur, germo, pemabuk, penjudi, koruptor, pencuri, pemerkosa, para penikmat pornografi dan pornoaksi, dan manusia-manusia sejenisnya yang tidak mau kehilangan teman untuk berbagi dosa.  Sudah jelas, ‘kan?  Mereka tidak akan puas sebelum umat Islam mengikuti millah (gaya hidup) mereka.

Posted by Pengamat JIL  on  08/31  at  07:09 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq