Dr. M. Syafi’i Anwar: MUI Perlu Mereformasi Diri
Oleh Redaksi
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang baru menunaikan Munas VII pekan lalu, kini dalam sorotan. Beberapa fatwanya dianggap ikut memicu tindak kekerasan atas Ahmadiyah. Beberapa lagi seakan memberi angin pada lebih banyak tindak kekerasan. Perlukah MUI melakukan introspeksi dan reformasi ke dalam? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liebral (JIL) dengan Dr. M. Syafii Anwar, Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Dr. Djohan Effendi, Ketua Umum Indonesian Conference of Religion for Peace (ICRP), Kamis (28/7) lalu.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang baru menunaikan Munas VII pekan lalu, kini dalam sorotan. Beberapa fatwanya dianggap ikut memicu tindak kekerasan atas Ahmadiyah. Beberapa lagi seakan memberi angin pada lebih banyak tindak kekerasan. Perlukah MUI melakukan introspeksi dan reformasi ke dalam? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liebral (JIL) dengan Dr. M. Syafii Anwar, Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Dr. Djohan Effendi, Ketua Umum Indonesian Conference of Religion for Peace (ICRP), Kamis (28/7) lalu.
NOVRIANTONI: Mas Syafii, bagaimana sejarah kelahiran MUI?
SYAFII ANWAR: Sepanjang pengetahuan saya, MUI didirikan bulan Juli 1975. Waktu itu, yang punya gagasan untuk mendirikan lembaga seperti MUI--kalau saya tidak salah--adalah Prof. Dr. Mukti Ali (almarhum). Tujuannya untuk menjembatani antara aspirasi pemerintah dan aspirasi umat Islam. Untuk menjalankan fungsi itu, dia harus bisa menampung apa yang disuarakan pemerintah di satu pihak dan apa yang disuarakan komunitas atau masyarakat Islam. Ini disebabkan fakta ketika itu, dimana seringkali policy pemerintah tentang agama belum tentu dapat diterima masyarakat. Jadi fungsi MUI adalah sebagai jembatan untuk itu.
Dalam konteks itu, tugas utama MUI adalah melakukan konsultasi dan memberikan advokasi kepada pemerintah dan juga masyarakat. Karena itu produknya berbagai macam; dialog, konsultasi dengan pemerintah, atau membuat fatwa. Ada juga semacam studi atau bagaimana perkembangan masalah keagamaan. Waktu itu, strategi pemerintah Orba selalu ditujukan untuk mengamankan dan melancarkan pembangunan. Dalam konteks ini, harapan pemerintah adalah agar di bidang pembangunan, khususnya pembangunan agama, aspirasi pemerintah dengan aspirasi masyarakat, terutama umat Islam, bisa terjembatani.
NOVRIANTONI: Kenapa pemerintah mesti membuat entitas baru, toh sudah banyak ulama-ulama yang secara kultural melakukan pencerahan soal-soal agama?
SYAFII ANWAR: Kelahiran MUI memang tidak bisa lepas dari konteks historis dan politik ketika itu. Konteks historisnya soal hubungan antara kebijakan pemerintah Orba yang melihat masa-masa sebelumnya penuh gejolak politik. Waktu itu ada Komando Jihad, dan kelompok-kelompok lain. Karena itu, berdirinya MUI memang harus dilihat dalam konteks itu. Secara politik, waktu itu pemerintah Orba memang ingin secure, aman. Beberapa umat Islam di masa itu sering dianggap ekstrem kanan. Jadi perlu jembatan, dan MUI diharapkan berperan di situ. Itulah konteks historis dan politisnya.
Kenapa pemerintah tidak meminta NU dan Muhammadiyah sebagai jembatan?
SYAFII ANWAR: Karena pemerintah sadar betul kalau meminta peran itu langsung kepada NU dan Muhamadiyah, itu akan dianggap intervensi. Karena itu pembentukan MUI dalam beberapa hal dapat disebut sebagai pembentukan lembaga kuasi pemerintah seperti yang dikatakan Martin van Bruinessen. Karena itu pula, MUI tidak pernah bisa lepas dari kepentingan pemerintah. Itulah fakta objektif yang tidak bisa dikesampingkan.
Lebih dari itu, dua ormas yang ada memang susah dikendalikan. Kalau melihat struktur MUI, kita akan menemukan beberapa unsur pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama. Semua tidak bisa lepas dari pemerintah. Artinya, meski fungsinya konsultasi, tapi dalam beberapa aspek juga terdapat fungsi kontrol. Ini yang harus dipahami sedari awal. Dalam kenyataannya, Buya Hamka sebagai Ketua Umum pertama MUI juga pernah beberapa kali mau diintervensi pemerintah.
NOVRIANTONI: Apakah Anda melihat pembentukan MUI sebagai bentuk penaklukan rezim otoriter atas sosok ulama?
SYAFII ANWAR: Dalam satu sisi, itu ada benarnya. Setiap pemerintah atau rezim akan selalu punya tujuan-tujuan politis. Kalau kita lihat Mesir, Arab Saudi, atau negara Arab lainnya, kita akan menemukan rezim-rezim yang di satu sisi menghormati ulama, tapi di sisi lain juga berhasrat tinggi untuk mengontrol. Rezim selalu tahu persis bahwa ulama selalu punya kedekatan yang intens dengan rakyat. Sekali waktu ulama membuat fatwa, misalnya suatu rezim dianggap tidak islami, maka rezim itu bisa digulingkan. Karena itu wajar bila pemerintah di setiap negara muslim selalu ingin mengontrol ulama.
NOVRIANTONI: Artinya, ulama lebih banyak difungsikan mengontrol keagamaan rakyat daripada mengontrol ketidakbecusan rezim?
SYAFII ANWAR: Ya. Pemerintah selalu punya kepentingan dengan mengakomodasi atau membentuk majlis ulama atau semisalnya. Tapi persoalan sebenarnya bukan di situ. Bagi saya, ulama siapa pun yang dikooptasi atau diakomodir, harus tetap punya integritas, kewibawaan, dan karisma. Dan yang lebih penting lagi, dia harus tetap punya independensi dalam berpikir.
NOVRIANTONI: Mas Syafii, bagaimana Anda menilai produk utama MUI selama ini, yaitu fatwa? Dulu MUI melarang lagu Desy Ratnasari (Takdir) mempermasalahkan lagu Ruth Sahanaya (mungkin hanya Tuhan yang tahu), dan beberapa bulan lalu memfatwa tertutupnya pintu darurat untuk bertransaksi dengan bank konvensional.
SYAFII ANWAR: Seperti yang Anda kemukakan, memang beberapa fatwa MUI bermasalah. Impresi saya tentang fatwa; kita harus tetap kritis terhadap fatwa apapun, sekalipun ia keluar dari lembaga seperti MUI. Saya masih ingat, bukan hanya fatwa yang Anda sebutkan tadi yang agak bermasalah. Di tahun-tahun sebelumnya, fatwa MUI soal kodok juga kontroversial. Fatwa itu terkait program pemerintah untuk membudidayakan kodok. Salah satu anggota MUI daerah membolehkan itu. Fatwa MUI itu lucu sekali. Mazhab yang mayoritas memang mengharamkan kodok. Karena itu dikatakan: mengonsumsi kodok haram, tapi membudidayakannya halal. Orang lalu curiga; ini tentunya fatwa pesanan untuk membudidayakan kodok.
NOVRIANTONI: Kalau ingin membudidayakan kodok, walau haram dimakan, tidak perlu fatwa, kan?
SYAFII ANWAR: Ya. Tapi ini terkait sekali dengan program pemerintah untuk menggalakkan budidaya kodok. Nah, karena itulah kita harus tetap kritis terhadap fatwa-fatwa MUI. Tokoh yang pernah menjadi ketua MUI sendiri, KH. Ali Yafie, pernah mengatakan bahwa fatwa itu bersifat tidak mengikat. Saya selalu sependapat dengan ungkapan itu.
NOVRIANTONI: Bagaimana dengan sentralisasi fatwa pada satu lembaga?
SYAFII ANWAR: Terus terang saya keberatan. Seperti Anda katakan, kalau sebuah fatwa disentralisasi, maka ia berpotensi untuk tidak memungkinkan kritik. Saya sepakat dengan yang mengatakan kalau fatwa tidak mengikat. Kita harus tetap membuka peluang buat discourse, untuk mengkaji ulang lagi fatwa-fatwa yang sudah ada. Namanya juga fatwa, dan sebesar apa pun seorang ulama tetap saja akan ada kekurangan-kekuarangan. Dan, fatwa bukan firman Tuhan. Karena itu saya menganjurkan tidak perlunya sentralisasi fatwa. Namun begitu, kita tetap memberi kebebasan kepada sebanyak mungkin orang untuk membuat fatwa-fatwa kolektif. Jangan sampai ada sentralisasi dari orang-orang yang sudah terstruktur dalam sebuah organisasi.
NOVRIANTONI: Tapi secara sosiologis, masyarakat kita selalu mendambakan otoritas penafsiran yang terpusat seperti MUI?
SYAFII ANWAR: Betul. Tapi yang tidak boleh adalah hegemoni tafsir, hegemoni makna. Itu yang saya tentang, karena melawan kodrat keragaman yang begitu majemuk. Perbedaan pendapat dan perbedaan tafsir itu hal yang wajar. Dan karena itu kalau sebuah fatwa itu ditaruh dalam konteks hegemoni makna, dia akan menjadi sangat riskan. Yang muncul adalah pertarungan salah atau benar. Tapi menurut versi siapa? Karena itu, MUI perlu wisdom atau kebijaksanaan dalam melihat persoalan-persoalan sekarang. MUI tidak perlu mengurusi hal-hal yang sangat kontroversial dan mengakibatkan gejolak sosial tinggi.
NOVRIANTONI: Apakah MUI perlu berperan sebagai penjaga keyakinan umat atau menyesatkan kelompok-kelompok tertentu?
SYAFII ANWAR: Itu harus dihindari. MUI adalah jembatan, dan perannya adalah bagaimana terus mengembangkan wisdom, kebijaksanaan, dan sebagainya. Dalam konteks ini, yang harus dihindari MUI: jangan sampai ia berkembang sebagai institusi yang menjadi polisi akidah ddalam bentuk fatwa-fatwanya. Nah, pemahaman seperti itu yang harus dikembangkan, karena namanya juga fatwa; dan setiap orang harus tetap kritis menafsirkan fatwa.
Persoalannya, di masyarakat memang soal primordialisme masih kuat. Saya kira, fakta ini harus disadari MUI ketika mengatakan suatu kelompok adalah sesat. Bagi kita, sesat atau tidak itu hanya Tuhan yang memutuskan. Tapi masalahnya, fatwa MUI oleh masyarakat bisa saja diinterpretasikan lain. Itu yang saya lihat dalam perkembangan sekarang. Semestinya, harus ada wisdom dari MUI, paling tidak untuk melihat implikasi-implikasi fatwanya. Implikasi terjauh adalah adanya sekelompok orang yang melanggar hukum dengan melakukan penyerangan dan sebagainya.
NOVRIANTONI: Bagaimana menanggulangi penyalahgunaan fatwa?
SYAFII ANWAR: Dalam konteks ini, saya mengharapkan semacam reformasi di tubuh MUI. Saya tidak sampai pada kesimpulan Bang Buyung (Andan Buyung Nasution), yang melihat perlunya pembubaran MUI. Tapi MUI seharusnya mereformasi dirinya. Soal siapa saja yang pantas duduk di pengurusan MUI juga mesti diseleksi. Kalau orang-orang di lembaga lain yang dibentuk pemerintah bisa dijaring secara transparan, terbuka, dan melalui mekanisme fit and proper test, kenapa MUI tidak? Ini kan lembaga yang sangat berpengaruh. Dulu, Buya Hamka mengibaratkan peran MUI itu seperti kue bika.
Ibarat kue bika, supaya bisa matang ia harus dipanggang di atas tungku dengan api dari atas dan dari bawah. MUI harus berusaha supaya tidak kepanasan dari atas, juga tidak gosong dari bawah. Itu diperlukan agar menjadi kue bika yang matang. Kalau dari atas gosong, ia akan tidak nikmat. Fungsi jembatan di MUI juga harus diusahakan agar dia tetap mempertimbangkan wisdom, integritas, dan membuat fatwanya fungsional. Karena itu, saya berharap sebelum mengeluarkan fatwa, MUI juga harus melihat implikasinya. Harus ada studi lebih lanjut.
NOVRIANTONI: Jadi harus ada persiapan sebelum fatwa dan perhitungan dampak sesudah fatwa?
SYAFII ANWAR: Ya. Dan menurut saya ini harus dilakukan. Namanya fatwa, menjelang pengeluarannya selalu ada konteks waktu, bacaan, dan sebagainya. Pada zaman sekarang, itu terus berkembang dan perkembangan itu harus juga terus ditangkap. Misalnya fatwa tentang sesatnya Ahmadiyah tahun 1980. Mestinya fatwa itu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan perkembangan yang ada, seperti iklim demokratisi yang sudah berkembang dewasa ini. Saya bukan orang Ahmadiyah, tapi saya prihatin kalau fatwa semacam itu masih terus dipakai dan bahkan disalahgunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan tindak pengrusakan. Saya kira, implikasi itu yang harus dilihat lebih dalam oleh MUI sebelum mengeluarkan fatwa.
NOVRIANTONI: Bagaimana Pak Djohan melihat peran dan fungsi MUI selama ini?
DJOHAN EFFENDI: Yang ingin saya garisbawahi, kelahiran MUI harus dilihat dari situasi dan kondisi masa itu. Di masa Orba, memang ada ketegangan politik antara pemerintah dan umat Islam. Nah, MUI hendak dijadikan jembatan. Karena itu, dulu pernah ada reaksi keras sekelompok tokoh Islam di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang tidak setuju dibentuknya MUI. Akibatnya, waktu itu KH Hasan Basri yang sempat menjadi seorang ketua MUI mengundurkan diri.
Di masa itu, agama-agama lain memang punya juga lembaga-lembaga agama, seperti MAWI (Majelis Wali Agung Gereja) untuk Katolik, dan DGI (Dewan Gereja Indonesia) untuk Protestan. Karena di Islam tidak ada institusi yang terpusat, maka segera muncul inisiatif untuk diadakan. Tapi berbeda dengan organisasi lain yang independen seperti NU dan Muhamadiyah, MUI secara penuhdibiayai pemerintah. Karena itu yang menjabat sekjen MUI selalu Direktorat Jenderal Bimbingan Islam, Departemen Agama. Kantonya juga dibuatkan pemerintah dan pelantikan pengurusnya dilakukan Menteri Agama, dan bertempat di Taman Mini Indonesia Indah. Jadi kemunculan MUI memang mewakili policy pemerintah, dan karena itu Dewan Dakwah menolak.
NOVRIANTONI: Dapatkah penolakan Dewan Dakwah itu diartikan sebagai penolakan kooptasi pemerintah atas ulama?
DJOHAN EFFENDI: Ya. Karena itu, dalam pidato pembukaannya, Buya Hamka menyebutkan, “Sebetulnya banyak sekali ulama-ulama yang lebih berhak menduduki posisi ini, tapi mereka tidak mau.” Dan mereka dianggap Buya lebih beruntung karena tidak diajak pemerintah untuk masuk ke dalam kepengurusan MUI. Itulah yang diucapkan Buya Hamka waktu itu. Jadi memang pada awalnya, kelahiran MUI dikarenakan keinginan pemerintah Orba. Dulu, MUI memang dimaksudkan sekadar sebuah wadah konsultatif, sama sekali tidak operasional. Saya kira, dalam anggaran dasar MUI, hal itu sudah ditegaskan. Yang operasional tetap ormas-ormas seperti Muhamadiyah, NU, dan lain-lain. Dalam perkembangan berikutnya, MUI memang berbeda.
Dulu ada polemik keras yang muncul karena keinginan kalangan Departemen Agama untuk mengadakan lembaga mufti. Usulan itu ditentang keras-keras oleh Buya Hamka. Dia menentang karena kalau ada itu (lembaga mufti), artinya akan ada satu otoritas yang intervensionis; mengawasi dan mengontrol soal-soal keagamaan masyarakat secara utuh. Waktu itu terjadi polemik keras antara Ibrahim Hosen dengan Buya Hamka. Tapi faktanya waktu itu, pemerintah memang berkepentingan untuk menjinakkan umat Islam Indonesia melalui lembaga ini.
NOVRIANTONI: Buya Hamka tidak setuju lembaga fatwa, tapi beliau sendiri bersedia menjadi ketua MUI?
DJOHAN EFFENDI: Pada tahap awalnya memang tidak ada masalah fatwa di MUI. MUI hanya jembatan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat atau umat Islam ke pemerintah, dan mungkin juga menyampaikan aspirasi pemerintah ke masyarakat. Itu tujuan awalnya. Baru pada perkembangan berikutnya ada soal fatwa. Seingat saya, dulu kalau KH. Mukti Ali dimintai fatwa masalah hukum agama selalu mengatakan, “Ke Majelis Syuriah NU, Majlis Tarjih Muhamadiyah, atau ke lembaga lain saja!” Jadi tidak ada obsesi untuk terjadinya sentralisasi fatwa. Sebab apapun yang difatwakan sebuah lembaga sentral akan selalu menuai reaksi, karena tidak mungkin hanya ada satu pendapat.
NOVRIANTONI: Dalam pembukaan Munas MUI VII lalu, Presiden Yudhoyono mengharapkan MUI berperan sebagai “penjaga akidah umat”. Apa komentar Pak Djohan?
DJOHAN EFFENDI: Saya agak kaget membaca beritu itu dari koran. Karena penasaran saya mencari teks asli pidatonya. Ternyata di dalam teks asli tidak ada ungkapan seperti itu. Saya tidak tahu bagaimana komentar itu sampai muncul di koran; mungkin disampaikan secara lisan. Tapi kalau pun ada penyerahan wewenang seperti itu, saya jadi teringat ke masa-masa Dinasti Abbasiah, ketika institusi khilafah dikuasai kaum Muktazilah. Saat itu terjadi mihnah atau inkuisisi soal keyakinan karena adanya penyerahan wewenang seperti itu oleh rezim. Dengan cara itu, orang yang berbeda pendapat harus dihabisi.
Kita tahu, Imam Ibnu Hanbal dipukuli di lapangan karena dia tidak setuju dengan madzhab yang sedang berkuasa. Karena itu, soal ini menurut saya berbahaya sekali, karena akan memungkinkan terjadinya semacam inkuisisi. Setiap orang yang berbeda dan dianggap menyimpang dari keyakinan “yang benar” akan dikucikan, bahkan diserang karena tidak sesuai dengan pendapat yang didukung oleh mazhab penguasa atau mazhab yang didukung penguasa.
NOVRIANTONI: Perlukah reformasi atau reposisi peran MUI?
DJOHAN EFFENDI: Ada ungkapan yang selalu menjadi pegangan kita: ulama itu pawaris nabi. Tapi selama ini, kata ulama itu sudah direduksi sedemikian pendek menjadi ahli agama saja. Padahal dasarnya, perkataan ulama lebih tepat disebutkan pada ilmuan atau cendekiawan. Kalau merujuk ke Alquran, yang disebut ulama itu akan selalu mengacu kepada para saintis. Ulama yang takut pada Allah kalau melihat konteks ayat Alqur’an adalah para saintis. Tapi dalam masyarakat, pengertian ulama menjadi terbatas pada ahli agama. Saya berpendapat, pewaris nabi itu bukan hanya ahli fiqih atau ahli kalam, tapi ilmuwan, cendekiawan di semua bidang ilmu. Merekalah yang disebut pewaris nabi. Karena itu, pengertian ulama harus dikembalikan pada apa yang dimaksud saat ayat Alqur’an diturunkan.
Saya tidak tahu apakah MUI perlu direformasi atau tidak. Tapi sebetulnya institusi MUI itu sejak semula sudah bersifat seakan-akan atau kuasi-pemerintah. Saat ini mungkin ada perkembangan dimana MUI seakan-akan ingin melepaskan diri dari penilaian seperti itu. Saya kira hal seperti itu biasa terjadi. Pertama-tama pemerintah mengira Islam di Indonesia akan lebih bisa toleran, lalu dia bentuk suatu lembaga, tapi akhirnya lembaga itu menguasai. Jadi pemerintah semacam memelihara anak macan. Saya melihat, sekarang apa yang dikeluarkan MUI seakan-akan harus diikuti dengan tindakan-tindakan lebih operasional. Misalnya, kalau ada fatwa lembaga ini atau itu sesat, maka ia harus diserang dan dilarang.
NOVRIANTONI: Tapi nampaknya pemerintah sekarang akan memberi peran lebih besar pada MUI dalam soal keagamaan.
DJOHAN EFFENDI: Saya kira, yang mungkin lebih arif adalah kembali kepada Majlis Tarjih Muhammadiyah, Majlis Syuriah NU, atau yang lain-lain dalam soal fatwa-fatwa. Dua lembaga itu lebih dari MUI. Karena apa pun yang difatwakan MUI berkenaan soal ibadah, orang tidak akan melihatnya. Mereka lebih melihat Majlis Tarjih dan Majlis Syuriah. Karena itu, MUI sebenarnya lebih menangani masalah-masalah sosial untuk kemaslahatan umat, bukan pada masalah teologi atau ajaran. []
Komentar
salamun alaikum
saya setuju bahwa MUI adalah kepanjangan dari majelis ulama indonesia dan bukan kepanjangan dari majelis ulama Islam, sebab negara/bangsa ini tdk diatur dg hukum Alloh yg Islam, jadi MUI tdk boleh mengeluarkan fatwa yg berhubungan dg persoalan Islam,krn frame negara/bangsa ini bukan Islam, jadi mana mungkin ada fatwa MUI yg wajib ditaati oleh org2 Islam?
sederhananya saja apa mungkin ada fatwa hukum Islam dikeluarkan utk negara yg tdk Islam???
Smoga yg jd Agen MUI sadar & merasa utk selanjutnya bagi yg sadar & merasa pasti cepet2 kabur dr MUI krn takut akan Alloh,
atau bahkan sebaliknya krn tdk takut dg Alloh.Wslm
Untuk menyelesaiakan perselisihan persepsi diantara agama sesuai Al Baqarah (2) ayat 111,112,113,120,130,135,145, dan perpecahan didalam agama sesuai Ar Ruum (30) ayat 32, Al Mu’minuun (23) ayat 53,54 (pecah-belah adalah sesat), sesuai Yudas 1:18,19,19,20,21 (pecah-belah hidup tanpa Roh Kudus) dan sebagaimana telah diramalkan oleh nabi Muhammad saw, bahwa umatnya terpecah-belah 73 firqh, Nasrani 72 firqah, Yahud 71 firqah, semuannya masuk neraka perpecahan.
Allah akan menyatukan persepsi tunggal agama dengan ilmu-Nya untuk memenuhi An Nahl (16) ayat 93, yang tidak setuju disesatkan Allah yang setuju diberi-Nya petunjuk persepsi tunggal agama, juga menurut Yunus (10) ayat 19, Hud (11) ayat 118, Asy Syuuraa (42) ayat 8, Al Mu’minuun (23) ayat 52 dll.
Untuk penjelasannya kami telah menerbitkan buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:
“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
berisi XX+527 halaman disertai 4 macam gambar skema acuan terpisah berukuran 63x60 cm.:
“SKEMA TUNGGAL ILMU LADUNI TEMPAT ACUAN AYAT KITAB SUCI TENTANG KESATUAN AGAMA (GLOBALISASI)”,
hasil karya tulis ilmiah otodidak penelitian terhadap isi kitab-kitab suci agama-agama selama 25 tahun oleh:
“SOEGANA GANDAKOESOEMA”
dengan penerbit:
“GOD-A CENTRE”
dengan mendapat sambutan hangat tertulis dari:
“DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA” SekDitJen Bimas Buddha, umat Kristiani dan tokoh Islam Pakistan.
Buku Panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:
“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
Penulis: Soegana Gandakoesoema
Penerbit: GOD-A CENTRE
I. Telah diserahkan pada hari Senin tanggal 24 September 2007 kepada Prof. DR. ibu Siti Musdah Mulia MA., Islam, Ahli Peneliti Utama (APU) Balitbang Diklat Departemen Agama Republik Indonesia, untuk diteliti sampai mendapat kesimpulan menerima atau menolak dengan hujjah, sebagaimana hujjah yang terkandung didalam buku itu sendiri.
II. Telah dibedah olah:
A. DR. Abdurrahman Wahid, Gus Dur, Presiden Republik Indonesia ke-4 tahun 1999-2001.
B. Prof DR. Budya Pradiptanagoro, Penghayat Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, dosen FIPB Universitas Indonesia.
C. Prof DR. Usman Arif, Konghucu, dosen Ilmu Filsafat Universitas Gajah Mada.
D. Prof. DR. Robert Paul Waleah Sr., Pendeta Nasrani, sebagai Moderator, seorang peneliti Al Quran, sebagaimana Soegana Gandakoesoema meneliti Al Kitab perjanjian lama dan perjanjian baru, keduanya setingkat dan sederajat dengan Waraqah bin Naufal bin Assab bin Abdul Uzza 94 tahun, anak paman Siti Khadijah 40 tahun, isteri Muhammad 25 tahun, sebelum menerima wahyu Allah 15 tahun kemudian pada usia 40 tahun melalui Jibril (IQ), sedang Musa menerima wahyu langsung Allah sesuai Al A’raaf (7) ayat 144,145.
Pertanyaannya yang sulit untuk dijawab akan tetapi sangat logis dan wajar untuk dipertanyakan adalah ketika Siti Khadijah dan Muhammad sebelum wahyu turun adalah seorang yang baik, patonah, sidik, amin dll., mereka menikah dengan cara ritual agama apa dan mereka berdua beragama apa ? Sedangkan agama yang paling terkini waktu itu adalah Nasrani !
E. Disaksikan oleh 500 peserta seminar dan bedah buku dengan diakhiri oleh sesi dialog tanya-jawab.
Apabila waktu tidak dibatasi, maka akan mengulur panjang sekali, disebabkan banyaknya gairah pertanyaan yang diajukan oleh para hadirin dari berbagai penganut agama dan kepercayaan/keyakinan.
F. Pada hari Kamis tanggal 29 Mei 2008, jam 09.00-14.30, tempat Auditorium Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, jl. Salemba Raya 28A, Jakarta 10002, dalam rangka peringatan satu abad (1908-2008) kebangkitan nasional “dan kebangkitan agam-agama (1301-1401) (1901-2001)”, diacara Seminar & Bedah Buku, hari/tanggal: Selasa 27 Mei - Kamis 29 Mei 2008, dengan tema merunut benang merah sejarah bangsa untuk menemukan kembali jati diri roh Bhinneka Tunggal Ika Pancasila Indonesia.
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.
Buku Panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:
“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
Penulis: Soegana Gandakoesoema
Penerbit: GOD-A CENTRE
Tersedia ditoko buku K A L A M
Jl. Raya Utan Kayu 68-H, Jakarta 13120
Telp. 62-21-8573388
MUI (kumpulan para “ulama") mengaku bahwa “ulama” adalah pewaris nabi!
Mari kita buktikan menurut hujjah Allah, hujjah nabi Muhammad saw. dan hujjah kitab suci-Nya!
1. Para nabi/rasul sejak Adam sampai kiamat sama-sama menyampaikan hanya Satu Macam Risalah Tuhan/Allah sebagaimana Allah sendiri menyampaikan Risalah-Nya:
Al Maidah (5) ayat 67 (oleh rasul2), Al An Aam (6) ayat 124,125 (oleh Allah sendiri), Al A’raaf (7) ayat 62,60 (oleh Nuh), 68,65,66 (oleh Hud), 79,73,75 (oleh Saleh), 93,88 (oleh Syuaib), 144,109 (oleh Musa), Al Ahzab (33) ayat 38,39,40 (oleh Muhammad atau siapa saja yang berminat), Al Jinn (72) ayat 23,26,27,28 (oleh rasul yang dirido’i).
Penolak dari ilmu Risalah Tuhan/Allah senantiasa adalah pemuka agama, kapanpun!
ARTINYA PARA NABI/RASUL BERSHAHADAT TAUHID, memenuhi Az Zumar (39) ayat 45.
2. Para pemuka-agama dan umatnya menyampaikan risalah seorang nabi/rasul saja yang dilarang oleh An Nisaa (4) ayat 150,151,152, bahkan divonis Allah “benar-benar kafir”
ARTINYA PARA PEMUKA-AGAMA DAN UMATNYA BERSHAHADATAIN, tidak memenuhi Az Zumar (39) ayat 45.
3. Shahadatain mengakibatkan menyimpan didalam fikiran dan hati seseorang sifat ARBABAN/BERHALA KULTUS/MENUHANKAN nabi-nabi/rasul-rasul sesuai Ali Imran (3) ayat 80.
ARBABAN kepada pemuka-agama selain Allah sesuai At Taubah (9) ayat 31.
4. Sifat arbaban mengakibatkan menyimpang dari jalan garis lurus alias musrik, sesuai Al Hajj (22) ayat 31 atau menyimpang dari millata Ibrahim, sesuai Al Baqarah (2) ayat 130,135, Ali Imran (3) ayat 67 dll.
-Arbaban jelas-jelas adalah musrik!
-Musrik bunuh dengan ilmu pengetahuan agama sesuai At Taubah (9) ayat 5.
-Musrik adalah najis sesuai At Taubah (9) ayat 28.
-Musrik perangi dengan ilmu pengetahuan agama sesuai At Taubah (9) ayat 36.
-Musrik jangan dido’akan untuk tidak musrik sesuai At Taubah (9) ayat 113.
-Musrik tiada ampunnya untuk tidak musrik sesuai An Nisaa (4) ayat 48,116.
5.Bagaimana mereka mengaku “ulama” adalah pewaris nabi, padahal mereka tidak mengetahui wujud dari RISALAH TUHAN/ALLAH yang disampaikan oleh semua nabi dan rasul.
Risalah Tuhan/Allah oleh Muhammad dilukiskan sebagai napak tilas manasik haji sebagai syiar-syiar Allah, sesuai Al Baqarah (2) ayat 125,158,189,196,197, Al Hajj (22) ayat 26,27, Ali Imran (3) ayat 96,97, Al Maidah (5) ayat 87 dll.: Tawaf keliling Kabah, sa’i Safa-Marwa, wukuf Arafah, mabit Musdalifah, jamarat Ula, Wusta, Aqaba di Mina.
Atau pengertian dari Isro-Mikraj sesuai Al Isro (17) ayat 1 dan An Najm (53) ayat 1-18 dan perintah mendirikan salat sesuai Asysyuuraa (42) ayat 13, Al Baqarah (2) ayat 43, Al Maidah (5) ayat 66,68.
Barangsiapa yang tidak mengetahui rahasia manasik haji adalah sama dengan tidak mengetahui isi Taurat (Risalah nabi-nabi, rasul-rasul sejak Adam sampai kiamat, menurut Al Kitab perjanjian lama dan perjanjian baru yang sama isinya dengan kitab suci Muhamamad saw).
Menurut Al Jumuah (62) ayat 5: Barangsiapa yang tidak mengetahui isi Taurat = napak tilas manasik haji, Allah menyamakan manusia seperti keledai. Alangkah buruknya perumpamaan yang diberikan Allah kepada manusia.
Untuk mengetahui semuanya itu, bacalah, telitilah dan fahamilah buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:
“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
Penulis: Soegana Gandakoesoema”
Penerbit: GOD-A CENTRE
Tersedia ditoko buku K A L A M
Jl. Raya Utan Kayu 68-H, Jakarta 13120
Telp. 62-21-8573388
Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.
Caranya mereformasi MUI adalah tidak ada duanya kecuali dirinya sadar, bahwa mereka tidak boleh dan tidak ada wewenang memutuskan apa-apa, sebelum datang Hari-Hari Allah sebanyak 444 ayat diturunkan sesuai Ibrahim (14) ayat 5, Al Jaatsiyah (45) ayat 45, yang wajib ditunggu-tunggu akan tetapi dilupakan oleh MUI, diantaranya yang terpenting adalah:
1. Al A’raaf (7) ayat 52,53: Datangnya Allah menggenapi datangnya Hari Takwil Kebenaran Kitab.
2. Fushshilat (41) ayat 44: Datangnya Allah menggenapi bahwa Al Quran (sebagai wujud skema memenuhi Al An Aam (6) ayat 7, Al Isro (17) ayat 13,14,71,72, sama dengan simbul manasik haji memenuhi Al Baqarah (2) ayat 125,158,189,196,197, Ali Imran (3) ayat 96,97, Al Maidah (5) ayat 97, Al Hajj (22) ayat 26,27, sebagai isi kitab suci sesuai Al Waaqi’ah (56) ayat 77,78,79 sebagai Risalah Tuhan/Allah sejak Adam sampai sekarang, sesuai Al A’raaf (7) ayat 144,145, Al Ahzab (33) ayat 38,39,40) akan dijadikan dalam bahasa asing ‘Indonesia’ selain dalam bahasa Arab.
3. Thaha (20) ayat 114,115: Datangnya Allah menggenapi penyempurnaan Al Quran (sebagai isi kitab), berkat do’a ilmu agama oleh manusia.
4. Al Mujaadilah (58) ayat 6,18,22: Datangnya Allah menggenapi kebangkitan ilmu pengetahuan agama.
5. Ali Imran (3) ayat 19,81,82,83,85, Al Maidah (5) ayat 3, Al Hajj (22) ayat 78, Al Maidah (2) ayat 208, An Nashr (110) ayat 1,2,3: Datangnya Allah menggenapi menyempurnakan agama disisi Allah adalah Islam menjadi Agama Allah, tempat manusia masuk berbondong-bondong kedalamnya.
6. An Nahl (16) ayat 93: Datangnya penggenapan Allah menjadikan umat yang satu pada era globalisasi sesuai Al Isro (17) ayat 104, Al KJahfi (18) ayat 99, Al Qariah (101) ayat 4,
untuk masyarakat PBB (United Nations Communities), memenuhi Asy Syuuraa (42) ayat 7, Al An Aam (6) ayat 92.
Demikianlah MUI jangan menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah tersebut diatas, kalau tidak MUI telah menjadi Tuhan disamping Allah sesuai At Taubah (9) ayat 31.
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.
Mui bagi saya nothing, lembaga ini hanya berisi orang orang yang kurang memiliki pengetahuan intelektual islam. ulama memang pewaris nabi, tapi ulama seperti apa. Saya masih ingat pelajaran madrasah saya klo ulama zaman dahulu tidak hanya bisa ngomong dalil, tapi juga mengkomparasikan dengan struktur sosial ketika berbicara tentang hubungan masyarakat. Ulama dahulu tidak hanya bisa ngaji, tapi juga teknologi dan pengetahuan umum, ketika mereka mengeluarkan fatwa dan pendapat selalu didahului dengan penalaran ilmiah, meniliti kondisi sosia kultural setempat sehingga pendapat yang dibuatnya tidak terjebak pada pemahaman dalil tapi tidak mengangkat persoalan masyarakatnya. Ulama sekarang, cuma bisa zikir dan dalil, tapi berpikirnya????? bagaimana mungkin ulama yang hanya bisa ngaji aja berfatwa dalam bidang ekonomi, kedokteran, kemasyarakatan, padahal mereka tidak pernah belajar tentang hal itu. Itu mah sombong namanya, bersinergi sama akademisi, ilmuan dan pakar keilmuan yang lain. Proses ilmiah tuh gak haram, menalar gak dilarang apalagi berfikir!. Imam imam besar ketika menetapkan hukum juga memerlukan proses ilmiah, contohlah jika imam seperti imam syafii mengeluarkan pendapat bahwa masa hais dan nifas adalah dalam beberapa hari, dan ulama yang lain berbeda jumlah hari, itu adalah hasil proses ilmiah mereka untuk meniliti persoalan yang ada, setelah mengetahui permasalahan tersebut baru mengeluarkan pendapat. Bukan hanya dalil.
-----
Komentar Masuk (5)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)