Palestina tidak Identik dengan Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
07/04/2002

A. A. Yewangoe: Palestina tidak Identik dengan Islam

Oleh Redaksi

Proposal Damai yang ditelurkan oleh KTT Arab di Lebanon ternyata mati muda. Perdamaian di kawasan Timur Tengah tak sekadar jauh panggang dari api, tapi juga utopia. Ironisnya lagi, konflik Israel-Palestina selalu dibumbui dengan sentimen religius.

Palestina selalu dianggap idem tito Islam. Salah pandang tentang konflik Arab-Israel akhirnya jamak terjadi. Ini, konflik agama yang melibatkan Islam vis a vis Yahudi, atau secara umum, dipersangkakan sebagai konflik Islam dengan Kristen yang diwakili oleh Amerika dan sekutu-sekutunya di Eropa. Benarkah purbasangka tersebut?

Berikut petikan wawancara Hamid Basyaib dari Kajian Utan Kayu dengan Pendeta Dr. A. A. Yewangoe, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dan dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) yang disiarkan Radio 68H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada 4 April 2002:

HAMID BASYAIB: Ada sebagian orang yang melihat konflik Israel-Palestina ini sebagai konflik agama, terutama karena Israel adalah negara Yahudi. Belum lagi, di kawasan tersebut terdapat tempat suci dari tiga agama besar, yaitu Masjid al-Aqsha bagi Islam, kota Betlehem untuk umat Kristen dan Tembok Ratapan yang diklaim umat Yahudi sebagai tempat suci mereka. Pak Yewangoe, benarkah persepsi orang seperti itu?

PENDETA DR. A. A. YEWANGOE: Ya, persepsi seperti itu sebenarnya tidak benar sama sekali. Agama memang banyak dilibatkan dalam perebutan kekuasaan di situ. Tapi masalahnya sebenarnya, bagaimana orang Palestina bisa memenuhi harapannya sebagai bangsa yang berdaulat di tanahnya sendiri. Ini sudah menjadi masalah yang sangat lama. Sebenarnya yang terjadi adalah perlakuan yang tidak adil terhadap rakyat Palestina. Perlawanan rakyat Palestina selama ini kalau dilihat dari persenjataan, sama sekali tidak berimbang.

Gerakan Intifada yang mereka lakukan banyak juga disokong warga Palestina yang beragama Kristen. Di Betlehem, hampir 30 persen penduduknya adalah Palestina Kristen atau Katolik. Jadi ini, pertama-tama bukan masalah agama. Hanya saja, agama dilibatkan untuk menambah eskalasi. Secara kebetulan, sekarang ini yang memegang kekuasaan di Israel adalah seorang Perdana Menteri yang bisa dikatakan termasuk dari partai yang fundamentalis.

HAMID: Bagaimana melihatnya dari sudut Kristen? Sebab, kita tahu, Betlehem sendiri sebagai kota suci umat Kristen tidak luput dari serangan. Bagaimana umat Kristen menyikapi ini?

YEWANGOE: Harus disadari, bahwa Israel tidak identik dengan Kristen. Pada sisi lain, Palestina juga tidak identik dengan Islam. Sebab, banyak sekali orang Palestina yang Kristen. Saya sendiri, sekali dua kali ketemu dengan orang Palestina yang Kristen, tapi mereka sungguh-sungguh yakin suatu saat mereka akan mendirikan negaranya sendiri di bawah pemerintahan atau kepemimpinan Yasser Arafat. Hanan Asrawi, jurubicara Palestina yang kondang itu juga beragama Kristen. George Habbash juga Kristen. Bahkan isteri Yaser Arafat, bernama Suha, juga beragama Kristen. Serangan Israel kepada bangsa Palestina, harus kita kecam sebagai suatu tindakan yang amat tidak adil. Dan ketidakadilan ini sudah terjadi bertahun-tahun.

Kami sudah seringkali mengecam ketidakadilan tersebut melalui pernyataan resmi. Dan semua gereja-gereja Protestan, yang tergabung dalam Dewan Gereja-gereja Se-dunia, tak terhitung menyampaikan kecaman. Dewan Gereja menyerukan supaya orang Israel menyadari agar tidak mengandalkan kekuatan untuk menghantam suatu bangsa yang sedang memperjuangkan harga diri dan kemerdekaannya. Oleh karena itu, menurut saya, kita hindari salah paham di sini. Ada sayup-sayup suara yang mengatakan Israel identik dengan Kristen dan Palestina secara sempit diidentikkan dengan Islam. Sehingga kalau panas di sana, seolah-olah di sini juga harus panas. Dan ini adalah suatu sikap yang tidak proporsional.

HAMID: Dengan demikian, Anda ingin mengatakan bahwa masalah di atas sebenarnya masalah politik?

YEWANGOE: Ya. Dalam arti luas, bahwa ada suatu bangsa, yaitu Palestina, yang ingin tampil sebagai bangsa yang bermartabat. Mereka adalah bangsa yang ingin hidup sederjat dengan bangsa-bangsa lain, termasuk ingin hidup berdampingan dengan orang-orang Israel.

HAMID: Kita masuk pada aspek lainnya. Semua tahu bahwa kebrutalan Israel hanya bisa dilaksanakan kalau sudah mengantongi dukungan Amerika Serikat (AS). Lebih spesifik lagi, apa yang disebut dengan lobi Yahudi Amerika sangat powerfull dalam menentukan kebijakan luar negeri AS. Dalam konteks ini, apa yang kira-kira bisa dilakukan?

YEWANGOE: Jadi kesulitan yang kita hadapi sekarang adalah karena AS adalah satu-satunya negara adidaya. Dulu masih ada Uni Soviet sebagai perimbangannya. Karena dia adidaya satu-satunya, AS merasa berhak melakukan apa saja. Ini berbahaya. Kita juga melihat Eropa tidak sekuat AS, meski Eropa lebih bersuara kritis dan sungguh mengecam sikap brutal Israel di Palestina. Kita harus melakukan lobi-lobi di PBB dan lembaga-lembaga agama, seperti gereja dan lain-lain untuk kemaslahatan bangsa Palestina dan terciptanya perdamaian di sana.

HAMID: Apa yang sejauh ini telah Anda lakukan? Dan apa yang telah dilakukan oleh PGI?

YEWANGOE: Terus terang saja, masih sebatas pada pernyataan-pernyataan. Tapi untuk kasus terakhir ini, kami belum sempat mengeluarkan pernyataan. Hal ini bukan berarti, gereja-gereja di Indonesia tidak simpatik pada Palestina. Oleh sebab itu, kami selalu memfokuskan pada aspek keadilan. Seperti waktu AS menyerang Afganistan, kita juga mengeluarkan pernyataan agar AS berhati-hati. Jangan sampai terjadi —apa yang disebut sebagai— terorisme negara (state of terorism). Dan kami melihat, bahwa yang terjadi di Palestina sekarang semakin meningkatkan teror. Istilah teror tersebut diartikan sedemikian rupa sehingga, upaya-upaya membela diri seperti yang dilakukan melalui intifada pun disebut teror. Mereka tak pernah berusaha mencari akar persoalan.

HAMID: Menurut Anda, bagaimana dengan asumsi sebagian Muslim di Indonesia yang harus membela bangsa Palestina karena idemtito dengan Islam? Bukankah ada hadits Nabi Saw yang menyebutkan Muslim itu saudara sesama Muslim?

YEWANGOE: Sebenarnya wajar saja kalau umat Islam bereaksi. Saya tidak bermaksud menahan keinginan umat Islam untuk menyampaikan solidaritas terhadap saudara seagamanya di Palestina. Yang ingin saya tekankan adalah perlunya sikap proporsional dalam melihat persoalan bahwa Israel sebagai negara Yahudi tidak identik dengan Kristen. Memang benar, bahwa mayoritas orang Palestina beragama Islam. Tetapi juga harus diperhatikan, walaupun Kristen minoritas, tapi mereka menjadi pembantu-pembantu terdekat dan orang kepercayaan Yasser Arafat. Sikap Yasser Arafat itu sendiri pada kawan-kawan Kristennya, luar biasa baiknya.

HAMID: Ada penilaian bahwa sikap negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) kurang tegas? Bahkan Indonesia pun, sebagai negara Islam terbesar di dunia, juga dinilai sama?

YEWANGOE: Saya kira, kita memang harus mempertegas sikap atas kebrutalan Israel. Sebab bagaimanapun, tindakan-tindakan yang dilakukan Israel sebenarnya sudah melampaui batas. Saya setuju negara-negara OKI bersikap lebih tegas dalam menyikapi Israel. Justru ini menjadi celah untuk bersatu dalam menentukan sikap antara OKI dengan negara-negara lain. Kita lihat Eropa misalnya, sekarang justru amat kritis terhadap Israel dan juga terhadap Amerika. Kemarin, Vatikan sudah mengeluarkan pernyataan yang sangat mengecam invasi Israel. Jadi, saya kira, kekuatan-kekuatan ini, perlu “dilegalisir” seluruhnya, bukan untuk menekan Israel, tapi justeru menekan Amerika. Perlu diingat, Amerika Serikat tidak identik dengan Kristen.

Selama ini AS hanya basa-basi saja untuk mendukung adanya negara Palestina. Mereka jelas-jelas tidak mendukung. AS harus ditekan agar jangan memakai ukuran yang berbeda (double standart) dalam memperlakukan Palestina dan Israel. Jadi kita harus bersatu dengan negara-negara lain yang punya visi sama untuk menciptakan perdamaian dan keadilan.

HAMID: Jadi sikap AS makin menambah rumit persoalan Palestina-Israel?

YEWANGOE: Itulah kesulitan kita sekarang, karena AS tidak melakukan apapun. Makanya lobi itu harus dilakukan bekerjasama dengan Eropa dan RRC dan, jangan lupa, Indonesia juga untuk bisa menekan AS. Embargo minyak bisa menjadi senjata seperti pada tahun 1970-an. Tapi memang harus dilihat, bahwa sekarang orang sudah mampu membuat energi lain, sehingga saya tidak terlalu yakin kalau minyak ini bisa menjadi senjata yang begitu effektif. Saya juga tidak tahu apa yang bisa kita lakukan. Pada hemat saya, negara-negara yang tidak menginginkan kekerasan, harus menggalang tindakan bersama. Itu bisa dipelopori oleh negara-negara Islam.

Yang paling penting, menurut saya, negara-negara Arab harus mampu bersatu, bukan hanya dalam masalah Palestina, tapi dalam banyak hal. Kalau tidak, mereka gampang sekali diintervensi Amerika. Tapi saya pesimis karena banyak sekali negara-negara Arab yang sekarang sangat bergantung pada Amerika.

HAMID: Melihat perlakuan Ariel Sharon terhadap Arafat, menurut Anda, apakah Israel benar-benar ingin menghabisi Arafat? Bukankah bila Arafat dihabisi, justeru radikalisme rakyat Palestina makin besar lagi? Dengan demikian, tidak ada lagi yang bisa diajak berunding. Kalaupun ada perundingan, mungkin menemui jalan buntu karena Palestina akan diwakili tokoh-tokoh lokal yang banyak sekali jumlahnya. Bukankah itu makin mempersulit dan menambah —apa yang Israel sebut— terorisme?

YEWANGOE: Sharon memang menegaskan kalau Arafat mau pergi ke luar negeri, maka ia tak boleh menginjakkan kaki di Palestina lagi. Bahkan, menurut saya, ancaman Ariel Sharon kepada Yaser Arafat bukan hal baru lagi. Kalau tidak salah, sewaktu Arafat masih di Lebanon pada tahun 1982, percobaan pembunuhan juga dilancarkan Sharon kepada Arafat. Waktu itu, Arafat selamat dari percobaan pembunuhan itu. Sharon sempat menyesal tidak berhasil membunuh Arafat saat itu. Kita tahu, Perdana Menteri Ariel Sharon sejak berumur27 tahun telah bertekad mengusir orang Palestina dari tanah Palestina. Bahkan ketika, Sharon menjadi ketua komisi pertanahan dari Partai Likud, dia malah merencanakan untuk membangun sejuta pemukiman bagi warga Yahudi lagi di Tepi Barat yang dikuasai otoritas Palestina.

Menurut saya, Sharon punya dalih untuk menginvasi dan mengisolasi Arafat. Misalnya, perundingan sudah macet, bom bunuh diri militan Palestina dan lain sebagainya. Saya sepakat, bahwa tudingan Israel bahwa Arafat adalah teroris justru makin menyulitkan Israel. Sebenarnya Arafat adalah tokoh kunci yang justeru memungkinkan terjadinya perundingan. Sehingga kalau Ariel Sharon berani mengusirnya keluar, lalu Arafat mengambil jalur martir (syahid), saya kira, akan terjadi keadaan yang lebih sulit dan tidak terkontrol lagi. Radikalisme makin banyak. Kita tahu, Arafat masih cukup disegani di kalangan kelompok radikal walau banyak juga yang membencinya. Tapi mayoritas bangsa Palestina masih menganggap dia sebagai tokoh yang bisa berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh lain di dunia ini. []

07/04/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

saya berterima kasih dengan adanya tanya jawab ini. Saya senang dengan adanya dialog ini maka setiap mata akan terbuka melihat konflik yang terjadi di Palestina adalah bukan konflik agama tetapi konflik kepentingan politik zionis sebagai negara Yahudi.
Yahudi tidak identik dengan kristen dan Palestina pun tidak identik dengan Islam.
Mayoritas Israel adalah Yahudi dan sebagian kecil Yahudi adalah Kristen. Israel sebagian kecilnya penduduknya adalah juga Arab Muslim (warga Arab-Israel) 16%.
Palestina sebagian besar adalah beragama Islam namun 30 persennya adalah Kristen-Arab Palestina. Jadi bagaimana konflik tersebut dapat dikatakan sebagi konflik agama sedangkan kelompok Kristen Palestina pun ambil bagian dan bahkan menjadi orang-orang penting bagi kemerdekaan Palestina?
Yang perlu dirubah adalah isi otak orang Indonesia yang memahami Palestina sebagai sebuah perjuangan Islam bukan perjuangan kemerdekaan. Seharusnya orang Indonesia melalui berbagai media jangan hanya menyoroti soal Muslim Palestina saja tetapi juga kristen-Arab Palestina sebab mereka adalah bangsa Palestina yang terdiri dari berbagai ras dan agama bercita-cita menjadi sebuah negara yang berdaulat, itu saja masalahnya.
Mohon media di Indonesia harus objectif memandang kasus konflik palestina dengan Israel. Mungkin mereka pikir orang Kristen Indonesia menudukung invasi Israel ke Palestina dan membunuh rakyat palestina? tidak sama sekali.
Orang Indonesia terlalu berlebihan menanggapi persoalan palestina tanpa mengajak kaum kristen Indonesia berdemo.
Mungkin perlulah kiranya duta besar palestina untuk Indonesia diambil dari kaum Kristen Palestina supaya rakyat Indonesia tahu bahwa Palestina adalah sebuah negara berdaulat dan bangsa bukan suku tertentu dan agama tertentu.

Posted by Tony Kusmiran  on  12/17  at  03:04 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq