Pemikiran Fanatik Lenyapkan Seni Budaya Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
18/08/2003

Prof. Dr. Anne K Rasmussen: Pemikiran Fanatik Lenyapkan Seni Budaya Islam

Oleh Redaksi

Diam-diam, prinsip kesetaraan gender sudah teraplikasi dengan cukup baik dalam bidang seni baca Alqur’an. Namun, pemikiran yang dikembangkan kalangan radikal yang punya pendapat bahwa suara perempuan adalah aurat, akan potensial melenyapkan unsur-unsur terpenting dari seni budaya Islam ini khususnya keterlibatan perempuan.

Diam-diam, prinsip
kesetaraan gender sudah teraplikasi dengan cukup baik dalam bidang seni baca
Alqur’an. Di Indonesia, kaum perempuan punya kesempatan menjadi solois yang
terkenal di bidang seni baca Alqur’an. Adanya Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ)
yang diadakan setiap tahun di tingkat desa sampai nasional, telah memberikan
ruang bagi perempuan untuk unjuk kebolehan suaranya di muka publik. Inilah
salah satu kredit poin perempuan Indonesia dibanding perempuan di negara muslim
lainnya. Seolah-olah, ada semacam affirmative action untuk mengakomodasi
keterlibatan perempuan untuk berkiprah lebih besar dalam melantunkan ayat-ayat
suci Alqur’an. MTQ adalah wadah yang sangat penting untuk mengembangkan dan
menyosialisasikan seni budaya Islam.

Namun, pemikiran yang
dikembangkan kalangan radikal yang punya pendapat bahwa suara perempuan adalah
aurat, akan potensial melenyapkan unsur-unsur terpenting dari seni budaya Islam
ini khususnya keterlibatan perempuan. Demikian sedikit cuplikan perbincangan
Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu dengan Prof. Dr. Anne K.
Rasmussen
[*], Guru Besar Etnomusikologi, Akademi Musik William and Mary,
Williamsburg, Virginia, Amerika Serikat, yang telah bertahun-tahun berkelana
dan menjelajahi dunia seni musik Arab dan Islam, pada 14 Agustus 2003.

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Ibu
Anne, Anda dikenal tertarik dan melakukan penelitian tentang seni musik Islam,
khususnya seni baca Alqur’an. Apa yang membuat Anda tertarik?

ANNE K. RASMUSSEN: Pada
dasarnya, saya adalah spesialis di bidang seni musik dan kebudayaan Arab. Saya
mengajar dan memimpin sebuah grup lagu-lagu tawasikh, pop, seni musik rakyat
ataupun klasik dari tradisi Arab di negara-negara seperti Mesir, Siria,
Libanon, dan lain-lain. Hanya saja, pada tahun 1995-1996, saya berkesempatan
datang ke Indonesia. Waktu itu, saya mengambil cuti dari tugas akademik di
universitas, lalu mencari kesempatan untuk meneliti di sini. Saya tidak begitu
tertarik meneliti bidang etnomusikologi seperti kajian tentang gamelan, wayang,
ataupun seni-seni tradisonal lainnya, karena sudah banyak yang melakukan itu.
Saya akhirnya berpaling pada seni baca Alqur’an yang dapat didengarkan dari
masjid ke masjid, di televisi, ataupun di radio.

Biasanya,
banyak radio yang menawarkan program belajar Alqur’an dengan penekanan pada
koreksi atas ilmu tajwidnya secara sistematis. Saya merasa, program seperti
ini, pengaruhnya akan sangat besar. Saya tahu, Indonesia adalah negara dengan
komunitas muslim terbesar. Citra musik yang Islami, menurut mereka adalah bila
mendengarkan lagu Arab atau yang berlirik Arab, atau syair Arab. Karena saya
tahu banyak tentang sistim maqomat, semacam sistim notasi, maka saya
mencari korespondensi di sini. Saya ingin mencari tahu, apakah qari dan qariah
di sini membaca Alqur’an persis seperti orang Arab, atau ada unsur-unsur perbedaannya.
Apakah mereka memiliki skill lokal, semisal masuknya unsur bunyi gamelan
dalam keahlian baca Alqur’an, atau bagaimana?

ULIL: Sejauh
pengamatan Anda, apakah ada perbedaan antara seni baca Alqur’an di Mesir
misalnya, dengan di Indonesia karena masuknya unsur lokal yang Anda singgung
tadi?

Ya,
ada. Hanya saja, bacaan Alqur’an di manapun harus sama. Orang Islam di Chicago,
Jakarta, atau Mesir, mengikuti aturan ilmu tajwid agar bacaan mereka sama.
Sebab mengabaikan aturan ilmu tajwid akan berimplikasi pada makna bacaan.

Untuk
soal selera musik, memang agak unik. Kebanyakan umat Islam merasa mengharuskan
diri memakai lagu-lagu atau irama Arab. Orang-orang yang kental ekspresi
keagamaanya akan mengatakan bahwa mereka tidak cocok dengan lagu dangdut, pop,
dan lain sebagainya.

Nah,
dalam pengamatan saya, sistim lagu --meski tidak sepenting sistim tajwid--
tetap penting perannya dalam seni baca Alqur’an. Ada dua style dalam
bacaan Alqur’an. Pertama dengan bacaan murattal yang terkesan lebih quiet,
lebih sepi, lebih tenang. Yang kedua adalah bacaan mujawwad, dengan
suara yang lebih teknis, seperti upper singer, dan luar biasa kencang.
Kedua style tersebut bisa saja dilakukan dengan suara yang tinggi
sekali, dengan ornamentasi yang bagus. Kalau di Mesir, Syekh Abdul Basith Abdul
Shamad biasanya disebut-sebut sebagai yang terbaik dalam bacaan mujawwad.

ULIL: Bagaimana awal mula
ketertarikan Anda dengan seni baca Alqur’an, khususnya di kalangan perempuan
Indonesia?

Di
Festival Istiqlal dulu, saya bertemu dengan dewan hakim di sana. Mereka lalu
mengundang saya ke Institut Ilmu Alqur’an (IIQ). Akhirnya pekerjaan saya lebih
banyak terkonsentarasi di sana. IIQ adalah institut yang khusus perempuan, dan
saya melihatnya sebagai sebuah institusi yang penting sekali. Sebagai perbandingan,
di negara lain yang penduduk muslimnya dominan, perempuan bisa belajar
Alqur’an, tapi tidak bisa tampil di muka publik. Mereka tidak bisa menjadi
solois yang terkenal di bidang tilawah (bacaan) Alqur’an. Selain itu,
mereka secara pasti hanya mengajar kalangan perempuan, tidak pernah mengajar
laki-laki.

ULIL: Di
Mesir, apakah Anda menjumpai qoriah yang mendemonstrasikan bacaan Alqur’an di
muka publik?

I don’t think so. Saya kira tidak,
dan saya belum menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Mungkin ada, tapi entah
bisa tampil, entah tidak. Tapi di Indonesia, para qariah bisa tampil, mengajar
dan menjadi dewan hakim. Bahkan banyak juga murid laki-laki yang datang pada
mereka untuk menimba skill. Jadi, tidak ada pemisahan (separation) di
sini.

ULIL: Kita
punya qariah sekelas Maria Ulfah. Apakah Anda sudah bertemu dia?

Ya.
Saya sudah seperti keluarga dengan Ibu Maria Ulfah. Kalau ke Indonesia, saya
selalu menginap di rumah dia. Di Institut Ilmu Alqur’an, dia mengajar mahasiswi
perempuan. Tapi ketika ada program pemusatan latihan (training center) menjelang
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), dia akan banyak didatangi para peserta MTQ
dari berbagai propinsi, baik yang dari Sumatera, Sulawesi ataupun Jawa.

ULIL: Anda juga dikenal
seorang pemain gambus yang piawai. Bagaimana Anda belajar alat itu?

Sejak
tahun 1985, ketika saya masuk sekolah lanjutan (graduate school) di
University of California di Los Angeles, saya bertemu dengan seorang profesor
pakar musik Arab dari Libanon. Namanya Ali Jihad Rashi. Saya mulai belajar alat
tersebut dari grup dia. Memang, saya adalah seorang pemain musik sejak kecil.
Saya sudah bermain piano, biola dan lain-lain sejak masa kanak-kanak.

Saya
tertarik sekali dengan musik Arab, karena terkesan ramah, hangat, dan
mengandung emosi besar, selain ruang yang lapang untuk improvisasi. Kita bisa
perhatikan, dalam kegiatan seni baca Alqur’an, peranan improvisasi betul-betul
kuat. Jadi, di situ tidak hanya kegiatan menghafal nada-nada dari notasi yang
ada, tapi lebih jauh, harus tahu bagaimana berimprovisasi. Tradisi improvisasi
ini, atau lebih dikenal dengan istilah taqâsim, juga penting dalam musik
instrumental semacam al-ud atau gambus. Di sini, musik yang sering kita
dengar terasa kurang profesional.

Saya
juga pernah bermain musik dengan anggota Ikatan Persaudaraan Qari dan Qariah,
Hafiz dan Hafizah (IFQOH). Sebagian anggota IFQOH tertarik sekali dengan musik
Arab, terutama bapak Gamal Abdun Naser Lubis dan Zaini Lubis yang solois. Grup
ini dipimpin oleh Dr. Yusnar Yusuf yang bekerja di Departemen Agama. Waktu saya
menghadiri MTQ di Kalimantan, mereka menawarkan diri untuk berkolaborasi dengan
saya. Kami lalu berlatih terus, dan akhirnya tampil di panggung.

ULIL: Biasanya, lagu yang
Anda bawakan merupakan kutipan dari ayat-ayat Alqur’an atau bagaimana?

Lagu
dari Arab, dengan syair Arab, meskipun bukan dari kutipan Alqur’an. Masalah
lagu memang sedikit lebih kompleks menerangkan asal usul keasliannya. Lagu yang
tadi kita dengarkan (Anne membawa kaset rekaman musiknya dan diperdengarkan
bersama-sama di studio-- red), melodinya berasal dari Arab. Tapi, orang di
Medan menzafinkan. Jadi, banyak melodi yang semulanya berasal dari musik
rakyat, kemudian dizafinkan. Ini adalah suatu contoh bagaimana kebudayaan bisa
saling meminjam dari kebudayaan lain, saling menambah, mengganti, atau
memodifikasi sesuai dengan selera mereka. Misalnya qasidah modern itu. Bulan
lalu, kita berbicara tentang Nur Asiyah Jamil yang banyak meminjam unsur-unsur
instrinstik dari lagu-lagu Umi Kulsum.

ULIL: Di sini, seni bacaan Alqur’an
berkembang sangat pesat. Apa perbedaan penting seni baca Alqur’an di sini dan
di Dunia Arab menurut Anda?

Saya kira, sistim
kompetisi MTQ cukup penting posisinya di Indonesia, dan itu sudah menjadi
tradisi khas orang Indonesia, meskipun Alqur’an adalah fenomena universal dunia
Islam. MTQ di Indonesia sudah mulai diselenggarakan dengan cara yang kurang
formal sejak tahun 1940-an. Pada tahun 1960-an, MTQ sudah resmi didukung oleh
pemerintah, mulai dari tingkat desa sampai internasional.

Tapi biasanya,
pada tingkat internasional, MTQ malah kurang greget karena terbatas pada
kategori bacaan dan mungkin tafsir saja. Di Indonesia, kategori yang
diperlombakan lengkap; mulai dari khattil Qur’an (seni kaligrafi, Red), fahmil
dan syarhil Qur’an (pemahaman dan penerangan, Red), hifzul
Qur’an
(hafalan, Red) dan lain sebagainya. Itupun dengan kategori yang
macam-macam. Uniknya, kadang-kadang mereka yang turut serta, 50 persen malah
dari kalangan perempuan.

ULIL: Jadi,
kesannya ada semacam kesetaraan gender dalam bacaan Alqur’an?

Ya,
sebenarnya ada affirmative action dalam seni bacaan Alqur’an bagi
perempuan di sini. Saya sedang bertanya-tanya tentang hal yang mungkin akan
bersifat kontroversial. Saya mengandaikan, apakah dengan partisipasi sekitar 50
persen perempuan itu, akan meningkatkan nuansa seni bacaan Alqur’an atau tidak.
Ini masih menjadi pertanyaan saya.

ULIL: Ibu Anne, saya akan
mengajukan pertanyaan sederhana: apakah radikalisasi Islam berdampak pada seni
budaya Islam?

Ini
pertanyaan yang sangat kompleks, penting dan menarik. Memang ada stereorif di
mana kalangan Islam radikal digambarkan terobsesi dengan jalan yang lurus-lurus
saja, tak boleh ke kiri dan ke kanan dalam kehidupan sosial politik. Selain
itu, berkembang juga suatu pemikiran, bahwa Islam dan musik selalu tidak
kompatibel atau tak mungkin didamaikan. Padahal, dalam kebudayaan Arab, musik
berpengaruh sangat kuat. Musik bisa mendorong kita untuk dekat diri kepada
Tuhan, berdansa-dansi (dancing), minum-minum (drinking), ataupun
melakukan tindakan konyol (crazy behavior). Kita bisa gila, berdansa dan
lain sebagainya karena musik. Di sana, kita bisa melihat musik sangat powerfull,
punya kuasa.

Banyak
orang yang mengatakan bahwa musik yang bagus adalah musik kalangan sufi, karena
potensial mendekatkan diri kepada Tuhan. Tapi di Indonesia, di banyak
lingkungan yang saya perhatikan, filosofi kebudayaan tidak memiliki relevansi
dalam realitas sosialnya.

Di
Arab lain lagi. Di sebagian negara, suara perempuan dianggap aurat. Saya pernah
bertanya pada qariah di Indonesia; mengapa di Indonesia qariah boleh
berdemonstrasi membaca Alqur’an di muka publik? Jawaban mereka, “di sini, suara
perempuan dianggap bukan aurat. Di sini, kita tidak punya masalah dengan klaim
bahwa suara kami adalah aurat.” Nah, saya kira, kalau kita mengambil model
pemikiran fanatik Islam, tentu akan banyak sekali unsur-unsur seni Islam yang
akan hilang.

ULIL: Apa kesan Anda tentang MTQ di sini?

Saya
pernah sekali mengikuti jalannya MTQ tingkat internasional di Malaysia, tahun
1999. Waktu itu, saya ikut peserta dari Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Di situ
saya menyaksikan keikutsertaan perempuan. Tapi banyak juga negara yang tidak
punya kontingen dari kalangan perempuan. Tapi menurut saya, MTQ Internasional
kurang ramai dibandingkan dengan MTQ Nasional di sini. MTQ di sini mengasyikkan
(fun), menyenangkan (lovely), dan dinikmati banyak orang.
Perhelatannya dilakukan serius, sekaligus bernuansa spiritual. MTQ juga
berkesan sebagai percobaan nasionalisme (exercise of nationalism),
karena di sana ada pawai tiap propinsi yang merayakan tradisi etnik
masing-masing. []



Profil Prof. Dr. Anne K. Rasmussen:

Pemain Gambus Piawai

PROF Anne K. Rasmussen benar-benar terjun total mengabdikan dirinya dalam bidang musik. Selain melakukan studi akademis hingga meraih PhD di bidang etnomusikologi, dia ikut menikmati sebagai pemain musik. Karena totalitasnya menggeluti musik Arab, Prof Rasmussen dikenal sebagai pemain gambus yang piawai.

Akademikus ini memang mencintai musik sejak kecil. “Memang, saya adalah pemain musik sejak kecil. Saya sudah bermain piano, biola, dan lain-lain sejak masa kanak-kanak,” katanya kepada Ulil Abshar Abdalla dari KIUK.

Seperti digambarkan dalam situsnya, dia pernah berlatih di konservatorium New England di bidang seni Barat. Namun, selama berada di sekolah menengah, dia berpindah belajar jaz.

Rasmussen terus berproses. Sejak 1985, dia masuk sekolah lanjutan di Universitas California di Los Angeles (UCLA). Di sana dia bertemu Prof Ali Jihad Rashi, pakar musik Arab dari Lebanon. Di dalam grup Prof Rashi dia mulai belajar alat-alat musik gambus. Dia pun jatuh cinta dengan musik padang pasir ini.

“Saya tertarik sekali dengan musik Arab karena terkesan ramah, hangat, dan mengandung emosi besar, selain ruang yang lapang untuk improvisasi,” katanya antusias. Tradisi improvisasi ini, atau lebih dikenal dengan istilah taqâsim, juga penting dalam musik instrumental semacam al-ud atau gambus. Bahkan, karena kuatnya improvisasi itu, dia menilai, “Di sini, musik yang sering kita dengar terasa kurang profesional.”

Ruang improvisasi luas itu juga dia temukan dalam seni baca Alquran, bidang yang juga sangat diminatinya. “Kita bisa memperhatikan, dalam kegiatan seni baca Alquran, peran improvisasi betul-betul kuat. Jadi, di situ tidak hanya kegiatan menghafal nada-nada dari notasi yang ada, tapi lebih jauh, harus tahu bagaimana berimprovisasi,” beber peraih gelar sarjana dan master dari Universitas Northwestern dan Universitas Denver ini.

Rasmussen makin dalam terjun. Selama dua tahun penuh, 1995-1996, dia tinggal di Indonesia. Dia melanjutkan bermain musik dengan anggota Ikatan Persaudaraan Qari dan Qariah, Hafiz dan Hafizah (Ifqoh). “Sebagian anggota Ifqoh tertarik sekali dengan musik Arab, terutama Bapak Gamal Abdun Naser Lubis dan Zaini Lubis yang solois,” kenang akademikus yang juga pernah belajar di Universitas Sorbonne (Prancis) ini.

Grup ini dipimpin oleh Dr Yusnar Yusuf yang bekerja di Departemen Agama. “Waktu saya menghadiri MTQ di Kalimantan, mereka menawarkan diri untuk berkolaborasi dengan saya. Kami lalu berlatih terus dan akhirnya tampil di panggung.”

Lewat musik ini, Prof Rasmussen juga melihat gerak interaksi budaya. Karena itu, cukup kompleks menerangkan keaslian musik. “Lagu yang tadi kita dengarkan (Dia membawa kaset rekaman musiknya dan diperdengarkan bersama-sama di studio, Red), melodinya berasal dari Arab. Tapi, orang di Medan menzafinkan,” terangnya.

Jadi, banyak melodi yang semula berasal dari musik rakyat, kemudian dizafinkan. Ini disebutnya sebagai contoh bagaimana kebudayaan bisa saling meminjam dari kebudayaan lain, saling menambah, mengganti, atau memodifikasi sesuai selera mereka. Misalnya qasidah modern itu. Bulan lalu, kita berbicara tentang Nur Asiyah Jamil yang sering meminjam unsur-unsur intrinstik dari lagu-lagu Umi Kulsum.

Prof Anne Rasmussen sendiri sudah memublikasikan sejumlah artikel tentang musik di antara orang-orang Amerika keturunan Arab dan Timur Tengah. Dia juga telah menghasilkan rekaman CD dokumenter The Music of Arab Americans: A Retrospective Collection (Rounder 1122). Karyanya di bidang multikulturalisme yang dianggapnya terpenting adalah buku dan CD berjudul Musics of Multicultural America: A Study of Twelve Musical Communities (Schirmer 1997) dan di sana dia berperan sebagai kontributor koeditor.***

18/08/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Khusus untuk (Ibu, Mbak, atau adik) Maya Permadi yang menegur penggunaan kata-kata yang dikatakan terlalu vulgar dan ‘terbuka’, saya dengan merasa malu sekali minta maaf. Kenapa ya kok nggak disensor redaksi JIL? Kenapa coba? Kenapa nggak diedit supaya lebih “ilmiah” ?

Kepada (Ibu, Mbak, atau adik) Maya Permadi saya juga ingin belajar, haruskah kata-kata yang terkait dengan “organ tubuh tertentu,” saya ganti dengan istilah yang lebih “ilmiah” semisal, ereksi, scortum, dan sebagainya? Bagaimana berbicara mengenai masalah “seperti itu” dengan cara yang tidak vulgar, jika menyebut “nama-nama anu” yang saya pungut dari bahasa rakyat sehari-hari di desa dan di kampung-kampung kota dianggap vulgar? Sekali lagi, terima kasih buat yang berbaik hati dan berbesar jiwa, mau menegur. Saya yang bodoh, tapi ingin belajar.

Salam, Bram.
-----

Posted by Bramantyo Prijosusilo  on  08/25  at  11:08 PM

Pak, saya setuju pendapat Anda, tapi penyampaiannya mbok jangan ‘terbuka’ begitu, pembaca site ini kan bermacam-macam ya dari segi pendidikan, usia, dll.

Satu hal koreksi, aurat tuh ada di pikiran, nggak lihat juga bisa memacu birahi kok.

Untuk redaksi, katanya ada proses editing. Kok kata-kata ‘menyeramkan’ pada tulisan Pak Bram nggak disensor sih?

Posted by maya permadi  on  08/24  at  08:08 PM

Seandainya saja para Muslim awal lebih mengikuti seruan untuk “mencari ilmu sampai ke negeri negeri Cina” dan mereka berlayar melewati Nusantara, tentulah susunan teks tentang aurat yang ada di dalam tradisi Islam, akan lebih mengerti mengenai birahi dan hubungannya dengan apa yang dipandang (atau juga, dalam kasus suara wanita dianggap aurat, bukan cuma dipandang tetapi juga didengar).

Di daerah sabuk tropis bumi ini sejak dulu orang bertelanjang dada, dan buah dada perempuan tidak serta-merta membangkitkan birahi orang yang memandangnya.  Pemakai koteka dan suku asli Australia, alat vitalnya gandul-gandul dan tidak membangkitkan birahi yang melihatnya. Musim panas di London ini banyak perempuan pakai bikini dan berjemur terlentang, tengkurap, mengangkang, di taman-taman, dan tidak pula mengakibatkan barisan pemuda tak mampu menahan gelora birahinya.

Namun, di dalam budaya-budaya ini ada gesture, isyarat, bahasa yang mengatakan bahwa si pemberi isyarat itu menghendaki penerima isyarat untuk mengadu birahi. Bahasa, isyarat, gesture apa yang membangkitkan birahi berbeda dan beragam menurut budaya bahkan berbeda setiap individu. Jadi kalau ada masyarakat patriarkis yang menganggap suara perempuan itu aurat, itulah tandanya masyarakat itu menderita represi seksual yang menyejarah dan parah. Sedemikian parahnya hingga para lelaki alim-ulama dan penjaga standar moral bangsa itu, terbangkit birahinya mendengar suara wanita.

Alangkah sedih, gampang ngaceng begitu kok jadi sumber fatwa.  Marilah kita kendalikan birahi dalam dada kita masing-masing, dan tidak terombang-ambing oleh apa yang kita indera. Aurat ada pada (mata) yang memandang.

Salam, Bram.

Posted by Bramantyo Prijosusilo  on  08/20  at  01:09 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq