Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
28/07/2002

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA: Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran

Oleh Redaksi

Islam yang ingin kita kembangkan adalah Islam yang kompatibel dengan modernitas. Karena, kalau kita bericara masalah modernitas, maka syaratnya adalah memiliki rasionalitas, demokratis dan toleran terhadap perbedaan, berorientasi ke depan (future oriented) dan tidak backward looking (melihat ke belakang). Inilah yang menjadi ciri modernitas. Jadi model keislaman seperti inilah yang seharusnya kita kembangkan melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Kebijakan konvergensi yang diambil Departemen Agama (Depag) dengan memperkecil perbedaan antara pola pendidikan di lembaga umum dan lembaga agama awalnya direspons pendidikan Islam secara malu-malu kucing. Atau meminjam istilah Karel Steenbrink: “menolak sambil mengikuti.” Pendidikan Islam pada akhirnya juga melakukan proses adaptasi dengan mengembangkan sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih permanen dan sistem klasikal. Pada titik inilah, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Prof Azyumardi Azra, menekankan bahwa perubahan bentuk dan isi pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan zaman. Bagi Azyumardi, lembaga pendidikan Islam harus memiliki visi keislaman, kemoderenan dan kemanusiaan agar compatible dengan perkembangan zaman.

Berikut petikan wawancara Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dengan Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) yang disiarkan jaringan Radio 68 H pada Kamis, 25 Juli 2002:

Saat ini, pendidikan Islam menghadapi tantangan berat. Dunia pendidikan Islam juga dituntut untuk memberikan kontribusi bagi kemoderenan. Sebagai penggelut bidang ini, bisakah Anda secara ringkas menggambarkan keadaan (state of affair) pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini?

Kalau dilihat dari konteks pengantar Anda, bahwa pendidikan Islam harus memberikan kontribusi bagi kemoderenan, maka menurut saya, dalam sepuluh atau lima belas tahun belakangan ini, state of affair atau keadaan pendidikan Islam terlihat lebih baik. Karena apa? Sebab pada tingkat dasar, menengah, sampai perguruan tinggi, pendidikan Islam semakin include atau masuk dalam mainstream pendidikan. Kita lihat misalnya, tingkat madrasah sekarang ini, sejak ibtidaiyah sampai aliyah, sudah mengikuti kurikulum nasional. Dengan demikian, aliyah tidak lagi khusus mengaji atau mendalami masalah-masalah keagamaan sebagaimana dulunya. Namun, sudah ada madrasah yang sudah mendirikan jurusan IPA, sosial, vocational, keterampilan dan lain-lain, di luar keberadaan madrasah khusus keagamaan.

Nah, perkembangan modernisasi pendidikan Islam yang telah dicanangkan sejak Menteri Agama Prof. DR. Mukti Ali sampai sekarang ini sudah terjadi. Dengan masuknya pendidikan agama/madrasah ke dalam mainstream, anak-anak bangsa yang belajar di madrasah kemudian menjadi lebih terdiversifikasi dan mereka tersiapkan untuk menjadi calon-calon ilmuwan, selain menjadi calon-calon ulama melalui program aliyah khusus. Perkembangannya kemudian, terjadilah keragamaan. Dan keragaman ini tentu sangat penting bagi umat Islam, karena tendensi globalisasi —mau tidak mau— menuntut terjadinya diversifikasi dan diferensiasi keilmuan, struktural dan lain-lain. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional. Dan keragaman-keragaman yang ada itu, diharapkan memberikan respon terhadap keragaman yang terjadi di dalam bidang kehidupan ini, termasuk pada bidang sains dan teknologi.

Kalau begitu, sedikit banyak, pendidikan Islam di Indonesia sudah dapat memenuhi tuntutan tradisi dan kemodernan sekaligus?

Ya, saya kira, begitu. Penting ditekankan, meskipun madrasah aliyah ada yang berprogram umum IPA dan IPS, inti atau core yang melandasi pengajaran dan pembelajaran di situ, tetap ilmu-ilmu Islam.

Bila berbicara tentang modernisasi pendidikan Islam, apa sih prototipe ideal pelajar muslim?

Saya kira, produk akhirnya adalah orang yang di dalam dirinya terintegrasi keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Itu yang menjadi tiga kata kunci. Sebab, walau bagaimana pun, mayoritas masyarakat Indonesia muslim, tentu saja Islam menjadi part of parcel atau bagian integral dari paket kehidupan mereka. Oleh karena itu, sulit mengingkari kenyataan bahwa Islam selalu mewarnai mereka. Untuk itulah nilai-nilai keislaman perlu kita kembangkan dalam diri para pelajar ini.

Tentu saja Islam yang ingin kita kembangkan adalah Islam yang kompatibel dengan modernitas. Karena, kalau kita bericara masalah modernitas, maka syaratnya adalah memiliki rasionalitas, demokratis dan toleran terhadap perbedaan, berorientasi ke depan (future oriented) dan tidak backward looking (melihat ke belakang). Inilah yang menjadi ciri modernitas. Jadi model keislaman seperti inilah yang seharusnya kita kembangkan melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Apakah cita-cita itu berkembang dalam lembaga yang Anda pimpin (UIN)?

Saya kira, model keislaman itu sudah berkembang. Sebagaimana kita tahu, IAIN yang kompatibel dengan modernitas itu sudah dikembangkan sejak masa (alm) Prof. Dr. Harun Nasution yang sangat menekankan masalah rasionalitas di dalam beragama. Jadi, keislamannya tidak sekedar mengikut (taklid, Red) atau lebih didorong sikap emosional. Islam yang dikembangkannya adalah Islam yang rasional, juga yang non-mazhabi atau tidak cupet. Dulunya, kecenderungan keberagamaan masyarakat kita —katakanlah pada masa pra-kemerdekaan hingga awal-awal kemerdekaan— lebih bersikap mazhabi atau fiqh-oriented dan berpegang pada fanatisme kemazhaban.

Ada yang mengatakan akomodasi terhadap mata pelajaran umum berekses pada terpinggirkannya pendidikan agama. Sementara di pihak lain, ada juga yang berpendapat bahwa pendidikan Islam harus diselaraskan dengan perkembangan pendidikan modern. Bagaimana menurut Anda?

Dua pendapat tentang pendidikan Islam ini, sudah klasik terdengar. Dalam menyikapi itu, masyarakat kita terbagi menjadi dua kubu: pendapat pertama sangat menekankan pendidikan agama, dan kedua, berpendapat bahwa lembaga pendidikan Islam harus merespon kemajuan ilmu dan teknologi. Kita tekankan bahwa pendidikan agama memang sangat penting. Selama ini, di lingkungan perguruan tinggi Islam semacam IAIN atau UIN, memang mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih jurusan apa pun, baik murni agama semacam al-akhwal al-syahsiyah dan tafsir-hadits maupun jurusan-jurusan umum semacam IT (informasi dan teknologi), ekonomi dan lain sebagainya.

Menurut saya, soal pendidikan agama bukan hanya tanggung jawab lembaga-lembaga pendidikan Islam, tapi lebih utama adalah tanggung jawab keluarga. Ini sangat penting. Oleh karena itu, saya kira tidak mungkin kita mengharapkan pendidikan agama hanya diselenggarakan di sekolah. Sebab seberapa pun diberikan oleh sekolah, hal itu tetap tidak memadai. Karena itu, pendidikan agama pertama kali harus dimulai dari rumah dan masyarakat atau komunitas masing-masing. Sekolah hanya menambahi, kecuali bagi mereka yang murni belajar agama.

Jadi pendidikan agama yang primer adalah keluarga, dan kemudian baru sekolah?

Ya, sekolah hanya sekunder, karena sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan dalam keluarga. Segala perilaku dan cara berfikir dalam keluarga, baik secara eksplisit maupun implisit, merupakan pendidikan agama. Memberi teladan atau uswah hasanah termasuk pendidikan agama. Oleh karena itu, saya kira masyarakat kita sering salah kaprah: bila anak sudah di sekolahkan di sekolah agama, seolah tugas pendidikan agama sudah selesai. Akibatnya, selalu saja muncul tuntutan di masyarakat agar jam pendidikan agama ditambahkan. Hemat saya, kalaupun pendidikan agama ditambahkan sementara keluarga tidak menjalankan fungsinya, tetap akan percuma.

Kemudian, sementara ini paradigma yang mau kita kembangkan di IAIN dan UIN, secara umum bertujuan agar mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi Islam juga mengetahui dan memiliki kompetensi di dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan modern scienties. Dulu kita memilki orang semacam Ibnu Sina dan al-Khawarizmi. Mereka pakar dalam ilmu-ilmu Islam dan juga ilmu-ilmu alam dan matematika. Jadi begitulah kira-kira visi yang harus kita kembangkan.

Anda tadi menyinggung soal pendidikan tinggi Islam seperti IAIN yang punya komitmen menampilkan wajah keislaman yang toleran. Dilihat dari perangkat lunaknya (software), apakah kurikulum atau sistem pendidikan di IAIN di Indonesia itu seragam?

Pertama, pada dasarnya kurikulum IAIN/STAIN di Indonesia secara umum sama, meskipun sekarang ini —sesuai dengan kebijakan-kebijakan baru dalam pendidikan nasional kita, baik yang dirumuskan Diknas maupun Depag— mulai ada kelonggaran atau otonomisasi untuk mengembangkan kurikulumnya masing-masing. Jadi mereka juga bisa merumuskan rincian-rincian kurikulumnya dan muatan lokal, meskipun kerangka dasarnya tetap berada pada lingkungan Depag dan Diknas. Dengan begitu, IAIN atau STAIN bisa menyesuaikan kurikulumnya dengan masyarakat dan lingkungannya masing-masing.

Saya kira, penting diingat bahwa masalah pembaruan kurikulum juga harus menjadi garapan. Tidak hanya kurikulum pendidikan Islam, tapi memang pendidikan secara keseluruhan, harus diperbaharui sesuai dengan keadaan dan tantangan zaman. Tentu saja ada hal-hal yang permanen dalam kurikulum itu.

Dilihat dari rentang panjang sejarah pendidikan Islam, apa sih yang telah diberikan bagi perikehidupan bangsa?

Saya kira pendidikan yang diselenggarakan yayasan-yayasan pendidikan Islam yang ada selama ini, harus diakui, sudah banyak memberikan kontribusi. Kita tahu, sejak zaman kolonialisme Belanda, pendidikan Islam menjadi alternatif. Dulu kalau tidak masuk pendidikan Belanda, ya pendidikan Islam yang diselenggarakan pesantren. Jadi, kontribusinya sudah sangat besar, meskipun harus kita akui bahwa pendidikan yang diselenggarakan pihak swasta dari kalangan muslim ini masih mengalami diskriminasi. Subsidi pemerintah untuk mereka sangat minim. Padahal yang dididik di situ juga anak-anak bangsa. Saya kira, RUU Sisdiknas (Sistim Pendidikan Nasional) yang nanti akan ditetapkan menjadi Undang-Undang, tidak lagi membedakan antara pendidikan negeri dengan swasta. Yang swasta ini, termasuk lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Jadi, pemerintah berkewajiban meratakan bantuan. Ini tidak hanya bagi lembaga pendidikan swasta dari kalangan Islam, tapi juga Kristen, Hindu dan Budha Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan treatment atau perlakuan yang sama. Seharusnya begitu memang, sebab mereka juga anak-anak bangsa yang tidak berbeda dengan anak-anak bangsa yang belajar di sekolah-sekolah negeri. Lembaga-lembaga yang diselenggarakan masyarakat, saya kita, perlu mendapat perhatian.

Saran Anda tentang perlunya akomodasi terhadap modernitas sehingga pendidikan Islam lebih rasional dan demokratis, saya kira, akan banyak menuai sikap pro dan kontra dari kalangan Islam sendiri?

Maksud saya, Islam di sini perlu dilihat dalam beberapa level. Islam yang murni dan asli bersumber dari Alquran misalnya, memang mengandung ayat-ayat yang rasional. Tapi di sisi lain, ada juga yang harus kita pahami secara emosional, atau kita pahami secara begitu saja tanpa intervensi rasio. Dalam perkembangan Islam selanjutnya, Alquran ditafsirkan menjadi pemikiran dalam bidang kalam atau fikih. Dari situ, kemudian ada hasil ijtihad ulama yang tidak rasional. Akhirnya muncul misalnya, keinginan untuk reinterpretasi terhadap penafsiran Alquran dan hadis yang mungkin dalam konteks sekarang sudah tidak rasional lagi.

Contohnya dalam kehidupan sosial politik. Dalam Alquran ada ayat “wa’amruhum syûrâ bainahum”. Syura pada zaman dahulu ditafsirkan oleh para pemikir Islam seperti al-Mawardi menjadi syura yang ditujukan untuk kepentingan mendukung absolutisme penguasa. Nah, itu ‘kan tidak rasional dalam konteks sekarang, dan perlu ditafsir ulang.

Yang kedua, yang dimaksud dengan modernisasi adalah, peserta didik dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memiliki kemampuan, keterampilan dan ilmu yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman atau kemoderenan. Kemoderenan yang bagaimana? Misalnya mempunyai keahlian, kepakaran, pemikiran rasional, future oriented dan lain-lain.

Integrasi agama dan ilmu kadangkala menyemburkan harapan agar kita dapat menghasilkan output berupa ulama yang saintis dan saintis yang ulama.

Ya, saya kira, memang dalam Islam sesungguhnya dikenal dua dimensi ayat: ayat-ayat qauliyah yang langsung bersumber dari ayat-ayat Alquran dan ada juga ayat-ayat kauniyyah yang bersumber dari tanda-tanda alam. Saya kira, kaum muslimin wajib mempelajari kedua hal itu. Tapi, tentu saja harus ada yang menjalani bidang keahlian pokok tertentu. Prof. Dr. Ahmad Baiquni misalnya, mempelajari ayat-ayat kauniyyah, sehingga menjadi seorang saintis dan itulah yang menjadi keahlian pokoknya. Tapi keahlian pokok tadi bisa ditambahkan dengan keahlian tambahan seperti pengetahuan agama sehingga melengkapi keahlian pokok tadi.

Dalam pendidikan Islam, kadang orang tidak berpikir tentang metodologi dan kurikulum, tapi terfokus pada penambahan jam pengajaran. Apakah kita melulu harus menuntut penembahan jam pelajaran?

Saya kira tidak demikian. Seperti saya katakan tadi, pendidikan agama itu harus dimulai dari keluarga. Di samping pengajaran secara verbal, juga perlu uswah hasanah. Saya malah takut kalau jamnya ditambah, yang terjadi adalah verbalisme atau penekanan terhadap hafalan, tapi prakteknya menjadi tidak penting. Masalahnya, yang dikejar adalah silabus.

Masalah hafalan ini juga agak ruwet?

Iya, verbalisme itu yang harus dihindari. Oleh karena itu, menurut saya, pendidikan agama harus di keluarga dan masyarakat. Keluarga paling pokok. Kemudian sekolah hanya nambah-nambahi. Jangan diharapkan bila sekolah, misalnya, menambahkan jam pelajaran agama. Itu bukan jaminan.

Lantas, pendidikan agama yang bagaimana yang seharusnya diajarkan?

Dalam konteks kita sekarang, yang diajarkan tidak hanya sekadar dogma-dogma ritual yang katakanlah fiqh-oriented, tapi juga wawasan-wawasan keislaman yang lain, termasuk misalnya wawasan Islam mengenai kemoderenan, kemajuan ilmu pengetahuan dan kebangsaan. Jadi, kata kuncinya, seperti yang saya katakan tadi, paradigma pendidikan Islam adalah integrasi keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Kenapa keindonesiaan? Karena kita hidup di Indonesia, tidak di tempat lain. Kenapa kemanusiaan? Karena Islam itu rahmatan lil ‘âlamîn; tidak hanya untuk umat Islam, tapi juga untuk umat lain. []

28/07/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

terima kasih atas infonya

Posted by internet business  on  06/20  at  04:44 PM

Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran adalah 100% benar dan terdukung oleh hujjah Allah, hujjah nabi Muhammad saw. dan hujjah kitab suci-Nya:
1. Yunus (10) ayat 100: Beriman dengan izin Allah, dan tidak mempergunakan akalnya dimurkai Allah
2. Al Baqarah (2) ayat 148: Semua kiblat manusia beragama pasti akan dikumpulkan (toleransi) pada era globalisasi oleh kebangkitan ilmu agama yang turunkan Allah sesuai Al Mujaadilah (58) ayat 6,18,22 dan Al Isro (17) ayat 104, Al Kahfi (18) ayat 99. Al Qariah (101) ayat 4.

Salamun ‘alaikum daiman fi yaumiddin, Soegana Gandakoesoema, Pembaru Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

Posted by Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal  on  12/11  at  10:26 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq