Pengecut, AS Mengeroyok Negeri yang Sudah Sekarat! - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
06/04/2003

Dita Indah Sari Pengecut, AS Mengeroyok Negeri yang Sudah Sekarat!

Oleh Redaksi

Sepekan sebelum Irak diguyur bom dan aneka ragam peralatan perang paling mutakhir di bumi ini, Dita Indah Sari melakukan misi perdamaian di negeri yang kini luluh-lantak karena perang itu.

Wajah anak-anak yang pias karena dirampas hak-haknya dan ibu-ibu yang menatap kosong menjadi pandangan sehari-hari di negeri yang selalu dirundung malang akibat embargo PBB dan perang berkepanjangan. Ketua Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) ini mengisahkan pada Ulil Abshar-Abdalla dari Komunitas Islam Utan Kayu (KIUK) pada Kamis, 3 April 2003. Dita yang pernah dijebloskan penguasa Orde Baru ke LP Lowokwaru, Malang ini juga berbicara di seputar makna agama. Berikut perikannya:

Menjelang invasi AS ke Irak, Anda berkunjung ke Baghdad selama lima hari dan pulang ke tanah air sehari sebelum invasi. Apa kesan Anda?

Kami datang sebagai bagian dari Asian Peace Mission (Misi Perdamaian Asia). Ada sejumlah negara yang mengutus delegasi mereka ke sana. Misi ini diikuti 6 orang. Di Irak, kami banyak berdialog dengan masyarakat, mahasiswa, tokoh agama, pimpinan komunitas dan menjenguk rumah sakit. Kami melihat dari dekat kesengsaraan rakyat setelah embargo PBB selama 12 tahun. Kami juga menyaksikan persiapan perang.

Ada dua kesan: pertama, rasa marah karena bangsa yang sudah mengalami kesengsaraan karena embargo, sekarang diperangi secara fisik. Secara ekonomi sudah habis, kini mau dihancurkan lagi fisik dan peradabannya. Ironisnya, itupun dilakukan dengan cara keroyokan oleh banyak negara.

Kedua, rasa sedih dan haru. Kesan kami berbeda sekali ketika sempat berbicara, mendengar dan melihat kondisi mereka secara langsung. Ketika melihat sinar mata mereka akan berbeda sekali ketika membaca data statistik; berapa yang mati, jumlah yang kurang gizi dan lain-lain. Nah, dua kesan ini menimbulkan satu enerji baru sepulang dari Baghdad, yakni berupa komitmen untuk berjuang melawan eksploitasi negeri-negeri imperalis seperti Amerika Serikat.

Apa motivasi Anda berangkat ke sana?

Pertama, ingin menyampaikan solidaritas secara langsung pada warga di Irak. Meski sudah banyak aktivis yang ke Irak, paling tidak misi ini perlu untuk menunjukkan bahwa kita berada bersama mereka; menolak segala bentuk perang dan kekerasan. Yang kedua, ingin menyaksikan kesengsaraan yang timbul akibat embargo selama 12 tahun.

Jauh sebelum George W. Bush menabuh genderang perang, ia sudah memerangi Irak selama 12 tahun masa embargo. Kami menyaksikan dengan mata kepala sendiri, merasakan derita mereka, dan seolah terlibat. Bukan hanya keterlibatan dalam tingkat intelektual, tapi terlibat secara langsung dan merancang apa yang bisa kita berikan untuk misi perdamaian. Dengan hadir di sana, diharapkan dapat menentukan langkah-langkah itu.

Bisa diceritakan lebih banyak wujud derita itu?

Sengsara luar biasa. Banyak sekali contohnya. Misalnya di rumah sakit, pengobatan standar di mana pun, semacam radioterapi dan komoterapi itu tidak ada. Sparepart-nya tidak bisa masuk. Tak ada toko elektronik apapun yang menjualnya di Baghdad sebab itu tak boleh diimpor. PBB memutuskan bahwa item-item itu haram diimpor Irak karena khawatir digunakan sebagai unsur untuk merakit senjata.

Lalu juga soal sentral: AC. Di musim panas, hawa di Baghdad bisa mencapai 50-60 derajat celsius. Itu ‘kan suhu kayak sauna, kuali panas. Anak-anak yang merasakan suhu demikian, kalau tak dilindungi AC akan mengalami dehidrasi, kekeringan karena suhu panas di rumah sakit. AC rusak, sedang sparepart-nya tidak bisa dibeli karena embargo. Tindakan Amerika dan sekutunya kini, ibaratnya mengeroyok sebuah negeri yang sudah sekarat dan lumpuh. Itu pengecut!

Apa yang dikatakan rakyat Irak tentang derita yang mereka tanggung?

Saya bertemu dengan ibu-ibu; mereka menunggui anak-anak di rumah sakit. Banyak anak yang meninggal karena tidak memadainya obat-obatan. Obat-obatan nggak boleh masuk, karena dikhawatirkan akan dipakai untuk membuat senjata kimia. Obat-obatan tersebut diseleksi ketat PBB. Jadi PBB ikut bertanggung jawab atas banyaknya rakyat Irak yang jadi korban embargo.

Reaksi kaum ibu pada umumnya sangat sederhana. Ketika kami tanya tentang bagaimana sekiranya Amerika menyerbu. Mereka mengatakan: “kita akan hadapi dan kita harus berusaha berjuang”. Lalu bagaimana kalau mereka datang ke Baghdad dan menembaki orang-orang? Mereka hanya bisa menyatakan: “Semoga Allah nanti menghukum mereka”. Mereka sudah tak banyak bicara lagi tentang Bush itu penjahat, Bush kriminil, Bush teroris. Mereka cuma bisa berkata begitu.

Apakah Anda pernah mendatangi ritual keagamaan di Irak menjelang perang yang sudah di ambang pintu saat itu?

Saya sampai di Irak Jum’at (14/3/2003) siang. Ketika itu kami melewati sebuah masjid di mana seorang khatib sedang berkhutbah. Khutbah Jum’at yang saya jumpai tentu khutbah yang bernuansa perang, patriotisme dan dorongan untuk berani berjuang demi keadilan. Kebetulan kami membawa penejemah, jadi bisa paham apa yang mereka katakan.

Tidak ada hambatan bagi orang non-Irak, bahkan orang kulit putih sekalipun untuk menyaksikan salat Jum’atan. Tidak adanya laporan tentang penyerangan atas orang kulit putih, misalnya, tak ada isu sweeping, atau ancaman kekerasan. Tak ada tindak kekerasan atas wartawan-wartawan, sekalipun atas wartawan BBC dan CNN yang notabene media-media Barat properang. Kita berjumpa dengan wartawan CNN, The Guardian, Asosiated Press, AFP, dan mereka bilang tidak ada apa-apa.

Bagaimana persepsi rakyat Irak tentang Saddam?

Misi kami misi perdamaian. Kami datang ke sana sebagai upaya terakhir mencegah perang. Kami berdialog dengan PBB, milisi sipil, dan kelompok-kelompok aktivis. Hanya saja, PBB saja tak mampu mencegah, apalagi misi perdamaian Asia. Tapi kita tetap mesti berbuat.

Masalah Saddam memang banyak kita diskusikan. Rakyat Irak berjuang bukan melulu karena Saddam. Faktor Saddam memang penting, tapi kekecewaan rakyat atas Saddam juga besar. Mereka tidak eksplisit membenci Saddam atau mensyukuri jatuhnya Saddam, tapi mereka banyak kecewa terhadap Saddam.

Kebijakan politik luar negeri Saddam, dari dulunya memang banyak menyengsarakan rakyat Irak sendiri. Misal, Saddam membawa rakyatnya memerangi Iran selama 8 tahun, lalu menginvasi Kuwait. Rakyat yang harus menanggung ambisi Saddam untuk menjadi penguasa sejati di Timur-Tengah. Di sisi lain, mereka mengutarakan kebanggaan mereka pada figur Saddam. Itu lebih karena mereka melihat Saddam amat pemberani dan siap menanggung risiko berkonfrontasi dan berhadap-hadapan secara langsung dengan Amerika dan Israel.

Apakah ada nuansa heroisme terhadap Saddam?

Heroisme sih tidak, sebab mereka berperang bukan karena Saddam. Ini soal tanah air; tumpah darah mereka. Tapi faktor Saddam menjadi penting, karena dalam situasi seperti itu rakyat butuh seorang leader. Mereka butuh leader yang memberi semangat dan menjadi simbol perlawanan. Sekalipun ada oposisi terhadap Saddam, tapi karena mereka digencet dari luar, mereka jadi bersatu. Penolakan figur Saddam dikesampingkan dulu. Yang penting bagi mereka, menghadapi musuh bersama: Amerika dan sekutunya.

Invasi Amerika atas Irak ini ibarat pertarungan David dengan Goliat.

Amerika betul-betul ingin menguasai akses minyak dan mendominasi kehidupan di Timur-Tengah. Saya pikir, perjuangan untuk melawan agresi seperti ini, termasuk juga perjungan melawan pemerintahan yang mau saja dijadikan boneka, adalah perjuangan yang harus dilakukan. Dalam hal ini, agama memberikan arahan, dukungan dan inspirasi. Sebab perjuangan seperti ini memang benar, mulia dan harus dilakukan untuk keberlangsungan peradaban.

Kita beralih pada soal bagaimana Anda memaknai agama. Sebagai aktivis buruh yang getol membela hak-hak orang lemah, apa pandangan Anda soal agama?

Menurut saya, agama —dari pengalaman saya bergelut dengan orang lemah sejak tahun 1992 sampai sekarang— mestinya dipakai sebagai landasan kemanusiaan. Semua agama bicara tentang cinta-kasih. Tapi dalam prakteknya, sering agama digunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Perang agama atau dengan membawa bendera agama yang biadab bisa dijadikan bukti. Maka, sekarang yang penting bagi saya adalah memahami agama sebagai upaya untuk mencintai dan menghormati kemanusiaan setinggi-tingginya, dan menolak segala hal yang bertentangan dengan kebutuhan kemanusiaan itu sendiri.

Dalam situasi di mana banyak orang lemah makin dilemahkan, bagaimana Anda menilai lembaga-lembaga agama resmi sekarang ini?

Sebetulnya saat ini orang bisa menafsirkan agama sesuai dengan kemanusiaan. Tapi biasanya penguasa yang menentukan merah-hitamnya agama, ataupun orang-orang yang punya akses media. Merekalah yang banyak menentukan corak bagaimana agama diinterpretasikan. Menurut saya, selama agama diinterpretasikan oleh penguasa yang korup, untuk mempertahankan kekuasaan yang menindas kemanusiaan belaka, maka itu bukan interpretasi agama yang benar. Sebab, figur agama semacam Yesus misalnya, lahir dari keluarga miskin. Dia datang untuk menolong orang-orang miskin dan tertindas. Nabi Muhammad juga datang bukan dari keluarga kaya raya, dan dia diutus (di antaranya) untuk membebaskan budak.

Bagaimana agama dikenalkan pada Anda pertama kali?

Ya, sangat ritual-formal. Saya kira, keluarga di Indonesia sering memulai pengenalan agama dengan cara ritual-formal. Sebab, itulah model pendidikan yang umum dan direstui kekuasaan.

Apakah agama bisa diharapkan untuk membela kaum lemah?

Bisa. Bila kita lihat contoh di Amerika Latin, agama justru dijadikan spirit pembebasan. Misal teologi pembebasan dari agama Katolik. Perjuangan melawan ketidaksetaraan dan ketidakadilan akan lebih mendalam ketika ada spiritualitas; ketika ada keyakinan bahwa perjuangan itu direstui Tuhan. Itu wujud spiritualitas yang kadang-kadang “melampaui” dari sekadar ideologi belaka. Bila itu muncul pada diri aktivis, akan jadi enerji besar.

Mengapa Anda begitu militan membela kaum buruh?

Faktornya beragam. Yang dominan ialah kemarahan karena manusia diperlakukan tidak sebagai manusia. Manusia tidak mendapatkan apa yang dia butuhkan, dan mereka dibayar tak sesuai apa yang mereka kerjakan. Itu tidak adil dan secara kasat mata tiap orang bisa melihatnya, apalagi kalau kita terjun di kalangan buruh bertahun-tahun. Itu yang pertama.

Yang kedua, memang ada suatu keyakinan bahwa apa yang kita lakukan benar. Memang orang punya interpretasi kebenaran yang berbeda-beda. Tapi kalau ada orang tertindas, dimiskinkan oleh sistem, bukan oleh Tuhan, miskin bukan karena takdir, maka kalau (sistem) itu bisa dibongkar. Saya pikir, perjuangan nabi-nabi besar seperti Yesus Kristus dan Nabi Muhammad, adalah perjuangan membebaskan orang-orang kecil dan tertindas.

Mengapa muncul ketidakpedulian dari sebagian komunitas Islam terhadap isu-isu yang Anda usung?

Ada anggapan bahwa abangan lebih toleran, sementara santri cenderung tidak toleran. Saya pikir tidak bisa sesederhana itu. Mungkin masalahnya santri, lebih khusus lagi yang mondok di pesantren, terbatas lingkup pergaulannya. Mereka berada dalam komunitas yang sama (homogen). Sementara, orang yang tidak terbatasi oleh tembok-tembok pesantren punya akses yang lebih luas, sehingga mungkin lebih kompromis dan toleran dengan banyak perbedaan. Tapi, saya pikir itu jangan dilihat sebagai hasil distingsi abangan-santri. Semakin mereka bergaul dengan aneka warna komunitas, semakin mendorong munculnya toleransi.

Terakhir, puaskah Anda dengan performa agama-agama bila dikaitkan dengan isu-isu yang Anda perjuangkan?

Saya kecewa, karena semasa Soeharto berkuasa, agama didefenisikan oleh Orde Baru, tanpa perlawanan sama sekali. Setelah reformasi, banyak kelompok-kelompok muncul dengan berbagai kepentingan, tapi sayangnya ketika ada interpretasi yang berbeda, reaksinya sangat agresif. Seharusnya dengan adanya demokrasi dan reformasi 1998, munculnya banyak aliran, tentu akan banyak alternatif pemikiran yang pluralis dan membebaskan []

06/04/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq