Diskusi JIL Bulan Juli Perda Syariat Tidak Penuhi Syarat Perundangan
Oleh Umdah El-Baroroh
Kritik atas perda tersebut harus dilakukan dengan advokasi dan pemberdayaan tentang wacana hukum terhadap masyarakat bawah. Sehingga mereka mengetahui bahwa perda yang diusulkan oleh pemerintah daerah itu tidak memenuhi syarat perundangan, baik formil maupun materil.
Komentar
iiih, gemes deh! itu adalah ekspresi orang ketika melihat anak-balita yang sedang lucu-lucunya. Tapi bisa juga ekspresi itu lebih didasarkan pada ekspresi kejengkelan karena sedikit “kebandelan” pad diri seorang anak. Nah, Indonesia sekarang ini sendiri juga sedang masuk kondisi “sedang lucu-lucunya”, ibarat masih balita. Lho Kok? Kan kita udah merdeka 61 tahun yang lalu, toch? He...he..he..., kadang-kadang ada juga fase khusus yang dialami orang tua yang kembali masuk dunia “kanak-kanak” atau “ABG alias pubertas susulan” Nah, kayaknya ya pas juga kalo saya bilang Indonesia dalam kondisi “sedang lucu-lucunya”, baik karena emang lucu atawa juga karena aspek “kebandelan”. Inspirasi larangan mandi di sungai yang ditangkap oleh WAKIL RAKYAT itu kan juga lucu sekali to??, Lha gimana nggak lucu kalo wakil rakyat kok cuman bisa melihat satu aspek, yaitu “ketidakpantasan, atawa kepornoan” orang yang mandi di kali tanpa bisa melihat aspek-aspek lain yang lebih mendasar. Lucu juga kalo emang benar bahwa institusi pemerintah sedikit khawatir karena berhadapan dengan pendukung perda-perda. Lha fungsi pemerintah itu apa? kalo takut ya jangan ambil posisi yang memang harus berhadapan dengan berbagai macam pendapat pro-kontra, dong. Apalagi perangkat atau sisitem perundangan yang ada pada institusi pemerintah kan bisa dipakai buat mengatasi kekhawatiran tersebut, yoch? iya, kan? Ya...ya...ya… Yang justru bisa menjadi hal serius di masa depan adalah kalo pemerintah membiarkan keadaan ini berlarut larut, maka di masa depan akan ada perpecahan diantara anak bangsa. Sama halnya dengan orang tua yang mengganggap kelucuan-kelucuan anak sebagai hal yang lumrah, yang barangkali saja kelucuan-kelucuan anak itu menjurus pada kekerasan. jadi, emang, kita ini sedang masuk periode sedang lucu-lucunya. ya...ya..ya.... Mungkin saya sendiri juga sedang ikut arus “sedang lucu-lucunya”, ya?
Munculnya perda bernuansa syariat-tidak bisa tidak adalah ekspresi keber-Agamaan’ masyarakat yang kian kuat pasca rezim otoritarian soeharto, tetapi ini belum bisa mengambarkan kualitas ke-beragamaan masyarakat artinya meskipun banyak perda syariat tetapi penyakit masyarakat masih bertebaran dimana-mana semacam tindak kriminalitas, sampai intoleransi beragama yang mengarah anarkis kian marak,mungkin hanya ‘tren sesaat’-atau ‘aji mumpung’, tetapi kitapun tak perlu apriori berlebihan, karena katanya, perda-perda itu adalah aspirasi mayoritas masyarakat daerah, yang perlu dikritisi adalah aspek legal formal, kajian empirik, dan advokasi masyarakat apabila ada peyelewengan dalam pelaksanaannya. mungkin juga-perda itu adalah ekspresi latah ‘DPRD’ biar bisa lebih disebut’agamis’ dan nyantri,
Tidak ada masalah bila perundangan atau peraturan apa saja yang dihasilkan mengarah atau memihak kepada kelompok agama tertentu asalkan sesuai dengan konversi / perimbangan ummat beragama diwilayah tersebut. dan memang harus begitu kan? Kalau orang islam ingin mengatur negaranya dengan bersendikan ajaran Islam ya itu wajar dan harus, lalu ketika aspirasi mereka menang, ya itu konsekwensi logis dari ke-mayoritasan umat islam di negeri ini. yang aneh itu kalau sebuah peraturan memihak kepada pihak minoritas dan mengabaikan aspirasi kaum mayoritas. Bukankah kata “yang mulia bapak Suaedi” peraturan itu jangan menghalangi demokrasi ? nah dalam demokrasi biasanya yang besar yang menang, bukan yang benar yang menang. jadi kenapa sewot ?
Saya juga setuju dengan pendapat Dr. Bachtiar Effendi, bahwa Perda Syariat itu harus di “diskusikan” dengan pendukung Perda tsb. melalui jalur hukum. Cuma masalahnya mau nggak mereka? dilihat dari sepak terjang mereka yang menurut saya “semau gue” karena merasa sudah kuat, akan percuma saja. Justru momen2 seperti itu yang ditunggu oleh yang pro PERDA SYARIAT untuk show of force untuk melawan yang kontra PERDA SYARIAT. Pemerintah Indonesia memang terlalu lembut dan lemah gemulai dalam setiap mengambil kebijakan. Harusnya dipertegas lagi dong, jangan dibiarin aja. Keresahan masyarakat ini harus segera ditindaklanjuti, jangan sampai negeri tercinta ini terpecah belah seperti dibeberapa negara Afrika hanya karena beda agama dan keyakinan. Banci aja bisa tegas, masak seorang Jenderal dan boss2 perusahaan besar tidak bisa tegas?
Seberat apapun hukum yang ada di Dunia, kalau Anda benar Pasti tidak takut, Hukum dibuat supaya manusia benar, tidak menyimpang, supaya selamat Dunia dan Ahirat. Kenapa anda takut berbuat dengan Yang benar?! mulai bebuat benar,
Jujur dari sekarang, Apapun hukumnya yang benar pasti benar. Yang salah pasti salah. Kalau Syariat sudah membela yang yang salah baru harus dilarang.
Maraknya penerapan perda syariat islam dibeberapa daerah sekarang ini tentu sangat mengagumkan sekaligus mengkhawatirkan. mengaggumkan bagi kaum muslimin yang rindu dan konsisten ingin menerapkan islam secara kaffah, mengkhawatirkan bagi kalangan umuat islam atau non muslim yang tidak suka islam dilaksanakan oleh penganutnya secara benar dan bagi kalangan yang tidak takut untuk dimintai pertanggung jawaban allah kelak diakhirat.
Perda syariat islam yang dilakukan oleh beberapa daerah memang masih jauh bila itu cerminan ajaran islam yang sebenarnya, tapi kita harus hargai semangat kaum muslimin untuk menata lagi kehidupannya sesuai ajaran islam. sebenarnya dari kekurangan perda syariat itu menunjukkan bahawa islam memang tidak bisa di diterapkan secara sepotong-sepotong tapi harus pada tataran negara/daulah islam.karena negaralah yang mempunyai kewenangan dan jangkaun yang luas karena ajaran islam bersifat universal/cocok untuk seluruh agama, suku apalagi yang beragama islam. islam kaffah harus segera kita jalankan pada individu, masyarakat dan terlebih negara, semoga allah mengampuni kita yang masih memeperdebatkan ajaranya dan semoga kita terhindar seperti kaum nabi israil yang selalu meninda-nunda perintah allah. amin
he...he.he..., masih menarik sekali topik ini. dan akan lebih menarik kalau kita juga bisa lihat bagaimana sejarah masa lalu dalam hal penerapan aturan suatu agama dalam kehidupan bernegara di republik ini. Ah.., sejarah kan udah lewat, Emang gue pikirin!! Mungkin itu yang ada dalam sebagian benak kita ketika keinginan yang “diatasnamakan” pada demokrasi. Kok bisa, kan keinginan mayoritas bisa disebut sebagai hasil demokrasi?? jadi wajar, toch kalau atuaran agama diterapkan?
ya bisa jadi emang gitu, tapi kan demokrasi nggak segampang hitungan 50% + 1, atau suara mayoritas saja. baik juga kalau kita lihat bahwa apakah klaim mayoritas itu sudah benar-benar dari suara bawah? atau cukupkah dengan dasar “ATAS NAMA” lewat yang terhormat para wakil rakyat sebagai ( he...he..he..) WAKIL DARI KONSTITUEN?
kalau demikian halnya, maka di suatu pulau yang mayoritas beragama terntentu bisa saja langsung menerapkan aturan agama dalam perda. Hebatnya lagi tidak hanya pada tataran pulau/ propinsi, tapi di satu kabupaten, kecamatan, bahkan Desa, Peraturan agama bisa saja langsung diterapkan. Apakah pemikiran ini juga disebut mengada-ada? Juga, apakah kelompok minoritas di satu negara, misalnya eropa, bisa menrima sistem demokrasi yang (barangkali) juga pakai model 50%+1. tentunya mereka akan protes keras dan cenderung “manomorsatukan hak-hak sebagai warga negara”. Demikian juga halnya dengan negara kita yang dibentuk dengan dasar konsensus bersama semua warga tanpa kecuali.
Dalam Sidang Konstituante, sebagai contoh, kata sepakat tidak didapatkan karena memang kesadaran para pendahulu kita dalam bernegara cukup baik sehingga akhirnya terjadi “deadlock” yang pada akhirnya kembali ke konstitusi UUD 45. Ini bukan kecelakaan sejarah, tetapi ada kesadaran bahwa kalau negara ini didasarkan pada agama, AKAN TERJADI PERPECAHAN dDI NEGARA INI.
di luar masalah perundangan, ada baiknya juga kita lihat bagaimana hasil pembahasan dalam Sidang Konstituante 10 Nopember 1956. Salah satunya adalah konsep Negara bukanlah religious institution, tetapi human institution sehingga kemerdekaan (juga dalam aspek hak asasi)yang kita harapkan adalah memberi kedudukan yang sama kepada SELURUH WARGA YANG HIDUP DI DALAM NEGARA ITU, bukan satu-atau dua golongan saja.
jadi, ya memang sebaiknya kita nggak usah ikutan “kejar tayang” menerapkan aturan satu agama dalam kehidupan bernegara. Lha wong mikir dan menyelesaikan masalah yang di depan mata aja ternyata kita masih belum mampu kok. Misalnya, korupsi yang terjadi di depertemen-departemen, termasuk departemen agama. Konstitusi dan perundangan kita kan sebetulnya udah mengatur bagaimana caranya mengelola negara, masalahnya kan emang mental kita aja yang kadang-kadang “rese” dan suka seenak hati ngebolak-balik perundangan dan aturan bernegara. atau, emang ini barangkali disengaja ya, wah… barangkali salah dah perasaan/pikiran ku ini. Ya...... mohon maap, namanya juga baru belajar berbicara ( aku nggak berani bilang berdemokrasi, he..he...he..)
Sampun, nggih, matur nuwun. mangga kita sedaya sami mbikak piwulang para leluhur ingkang sampun lega lila nilar kadonyan kangge kita, para putra wayah ingkang gesang ing sesrawungan. Artinya : mari kita semua bersama-sama membuka pengetahuan dan tuntunan dari para leluhur yang rela hati meninggalkan raganya demi kita, para anak cucunya yang hidup dalam persaudaraan. MERDEKA!!!!!!!!!!!!!!!!!
Salam Pak Suwardi, mohon maaf saya kutip sebagian pendapat Anda, karena kita sedang berdiskusi di sini.
(1). “mengkhawatirkan bagi kalangan umuat islam atau non muslim yang tidak suka islam dilaksanakan oleh penganutnya secara benar dan bagi kalangan yang tidak takut untuk dimintai pertanggung jawaban allah kelak diakhirat.” Komentar : sangat setuju (sudah seharusnya) kalo umat islam menjalankan ajaran agamanya sebaik-baik dan setekun-tekunnya.
Permenungan: bagaimana jika hal itu berinteraksi dengan orang dari agama/adat/budaya/peradaban lain. misalnya saja yang gak bakal lama lagi, akan datang bulan ramadhan (puasa), umat islam hendaknya menjalankan puasa 100%, MENAHAN DIRI terhadap godaan makan/minum dan hawa nafsu. Bagaimana caranya? Bukan dengan menghilangkan semua GODAAN, karena orang miskin dan tidak punya apa-apa untuk dimakan/minum juga merasakan lapar/haus yang sama (walaupun tidak niat puasa). Apakah supaya umat islam menjalankan ibadah puasa (menahan lapar/haus dan nafsu) maka orang lain dari budaya/agama/peradaban lain juga harus menahan lapar? Sebentar lagi biasanya akan kita dengar rasia penutupan semua usaha rumah makan, padahal dengan struktur masyarakat urban/kota tidak semua orang (baik yang puasa/yang berhalangan/dan yang tidak puasa) punya rumah/keluarga, mereka yang demikian mengandalkan makan minum dari rumah makan tersebut.
CATATAN : tentu sangat bijak juga kalau orang dari agama/budaya/perdaban lain agar menghargai ritual puasa umat islam. ( “SALING MENGHARGAI” itu poin pentingnya).
sehingga terhindar kesan “pemaksaan” dan dikotomi mayoritas/minoritas.
(2). “ajaran islam bersifat universal/cocok untuk seluruh agama, suku apalagi yang beragama islam”
Komentar : semoga saja benar. Saya pikir klaim universalitas suatu agama terhadap agama lain tidak semudah itu dinyatakan. Universalitas bisa kita dapatkan dari pelbagai agama/budaya dan peradaban yang kita dapat sepotong-sepotong yang secara logika, ilmiah, dan terbukti telah diterima oleh komunitas/ideology lain. Tidak ada agama/budaya/peradaban yang secara mutlak universal bagi agama/budaya/peradaban lain.
Permenungan : masih sering terdengar konflik bernuansa pertentangan antar agama khususnya islam dengan non-islam. Semoga saja itu disebabkan oleh Oknum/Provokator (bukan karena ajarannya masing-masing agama yang berkonflik). Semoga saja baik islam dan agama lain tidak sedikitpun mengajarkan/membenarkan (pembenaran) memerangi/memusuhi apalagi sampai membunuh/menindas satu sama lain.
salam
Yah, karena Islam agama ku dan agama mayoritas di negeri ini, jadi apa salahnya diterapkan syaria Islam. Pasti ada orang bilang salahnya di sini, di sana, atau kalo yang awam banget sama Islam salahnya di mana-mana, tapi itu kan hal yang alamiah.
Perbedaan pendapat selalu ada dalam penerapan hukum/syariat apapun. Yang penting syariat itu adalah hukum positif, bagi yang tidak senang dengan kata “Islam” nya yah jangan antipati. Kalo tidak terima justru orang-orang seperti ini biang perpecahan. Perpecahan atau keberatan tidak banyak, tapi di rame-remein. Ini dengki namanya. Jangan sampe lah yah.
Ingat, yang penting hukum positif. Kalo ada syariat dalam Agama Yahudi : Jangan berzina! Dan itu di terapkan di Indonesia, saya yakjin kaum muslim Indonesia bisa menerimanya. Masalahnya sekarang anda dengki atau tidak?!
Saya mempersilahkan Anda bertanya dalam hati anda, apakah perda yang melarang pencurian, perjudian, perzinahan adalah perda yang berafiliasi kepada syariat Islam ? Saya kira tidak !
Perda - perda tersebut adalah perda yang berlaku umum dimana saya yakin setiap agama apapun di dunia ini melarang hal - hal tersebut (kecuali bagi anda yang tidak beragama).
jadi sudah selayaknya kita berbersih hati dengan tidak secara membabi buta menuduh perda - perda tersebut sebagai perda syariat.
Perda syariat dibuat sebenarnya adalah konstribusi penegakan hukum di Indonesia masih letoi, lemah, masih pilih kasih dan dapat diperjual belikan. Tapi alangkah munafiknya pembuat perda ini adalah orang-orang yang masih berdosa dan tidak tahu tata krama, kenapa ini terjadi karena mereka juga orang-orang yang juga naik hajinya dari korupsi dan memanfaatkan kedudukannya di masyarakat (misal anggota DPR yg masih menyoalkan tunjangan yang masih kurang setiap tahunnya padahal kerjanya hanya rapat dan rapet).Jadi tolong mengaca dulu sebelum mengambil kebijakan, padahal aturan yang ada sudah ada dan kedudukkannya lebih tinggi dari perda.
-----
Komentar Masuk (11)
(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)