Perlu Kearifan Membiarkan dan Memberi Waktu - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
16/01/2006

Romo Eddy Kristianto: Perlu Kearifan Membiarkan dan Memberi Waktu

Oleh Redaksi

Cara-cara represif tidak selamanya akan berguna dalam menyikapi kelompok-kelompok sempalan dalam komunitas suatu agama. Adakalanya, teknik membiarkan dan memberi tenggat waktu merupakan kearifan yang perlu ditempuh. Demikianlah penurutan Romo Eddy Kristiyanto, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, dan anggota Komisi Teologi di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tentang pengalaman Gereja Katolik dalam menangani kelompok-kelompok yang dianggap sesat atau sempalan, kepada Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis lalu (5/1/2006).

Cara-cara represif tidak selamanya akan berguna dalam menyikapi kelompok-kelompok sempalan dalam komunitas suatu agama. Adakalanya, teknik membiarkan dan memberi tenggat waktu merupakan kearifan yang perlu ditempuh. Demikianlah penurutan Romo Eddy Kristiyanto, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, dan anggota Komisi Teologi di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tentang pengalaman Gereja Katolik dalam menangani kelompok-kelompok yang dianggap sesat atau sempalan, kepada Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis lalu (5/1/2006).

NOVRIANTONI (JIL): Romo, munculnya kelompok-kelompok sempalan selalu saja mengiringi sejarah agama-agama. Dalam setiap agama, selalu ada kelompok yang merasa mendapat bisikan langit dan mengumandangkan agama atau doktrin baru. Bagaimana pengalaman Gereja Katolik dalam menyikapi kelompok-kelompok seperti ini?

ROMO EDDY KRISTIYANTO: Kelompok sempalan seperti itu biasanya dipandang dengan sangat hati-hati oleh kalangan mayoritas. Dulu, Gereja Katolik Roma membentuk sebuah lembaga, yaitu lembaga inkuisisi yang menimbang-nimbang bagaimana ajaran dan doktrin mereka; apakah ini murni atau sudah tercampur dengan berbagai keyakinan, dan unsur-unsur apa saja yang masuk di dalamnya. Lembaga inkuisisiinilah yang nantinya berkembang menjadi kongregasiyang disebut congregatio pro doctrina fidae ataukongregasi untuk doktrin dan iman. Komisi ini yang akan menilai latar belakangnya, bagaimana pertimbangan kitab sucinya, bentuk ajaran teologisnya, dan apakah ada kesaksian-kesaksian dari masyarakat setempat.

Jadi selalu ada kajian yang utuh, bukan hanya dari aspek teologis suatu kelompok. Meski kepedulian Gereja pertama-tama adalah di bidang moral dan iman, namun unsur-unsur lain yang perlu diteliti tetap diperhatikan juga. Makanya, diundanglah sosiolog, psikolog agama, dan ahli kitab suci untuk menimbang segala sesuatu berkenaan dengan kelompok sempalan tersebut.

Nah, sejauh yang dicatat sejarah, terutama pada Abad Pertengahan, komisi inilah yang akan memberi pertimbangan. Misalnya ditetapkan, kelompok sempalan ini tidak sejalan dengan arus umum Gereja, karena tafsiran Alkitabnya seperti ini dan itu. Pertimbangn itu lalu diserahkan kepada suatu lembaga yang nantinya bekerjasama dengan pemerintah sipil untuk mengejar dan terus mengintai; kalau perlu menangkap dan menangangi mereka. Selanjutntya, kelompok itu entah diekskusi atau dikenakan sanksi macam-macam. Tapi, sejak abad ke-17, lembaga inkuisisi itu sudah lenyap.

JIL: Apakah gereja selalu merekomendasikan pelarangan atau pelenyapan eksistensi kelompok-kelompok yang dianggap sesat?

Pada awal mula sejarah lembaga inkuisisi—atau katakanlah lembaga jagal itu--memang rekomendasinya sangat jelas. Bahkan misalnya, pada Konsili Konstan abad-15 ditetapkan bahwa Johan Huss dari Bohemia telah sesat, dan lembaga atau konsili eukumenis memvonis dia mati bakar. Jadi rekomendasi lembaga inkuisisi itu sangat jelas, meskipun dalam eksekusinya dibebankan pada pemerintah sipil berdasarkan penyimpangan-penimpangannya dari dalil-dalil teologis Alkitab dan lain sebagainya.

JIL: Dalam sejarah, tampaknya agamawan selalu tampak ingin lepas tangan, tapi mendesak pemerintah untuk menjalankan eksekusi?

Tidak selalu begitu, sebetulnya. Itu hanya selalu terjadi ketika di Eropa saat itu agama dan kekuasaan pemerintah sipil atau negara/aparat bersatu sedemikian rupa. Namun ketika ada separasi atau pemisahan kutub-kutub kekuasaan, masalah agama ditangani oleh agamaman sendiri; termasuk bagaimana cara memurnikan ajaran agamanya sendiri. Dalam perkembangan sejarah Gereja Katolik di Eropa, setelah adanya separasi kekuasaan, hukuman-hukuman fisik dan penindasan atas kelompok yang dianggap sesat itu, tidak terjadi lagi.

Romo, apa standar yang biasanya digunakan Gereja untuk menetapkan suatu kelompok itu sesat atau tidak sesat?

Kalau bicara standar, berarti kita juga harus bicara tentang lembaga yang menciptakan standar. Tapi biasanya, standar umumnya adalah Alkitab, teologi yang umum, logis dan masuk akal, sudah teruji dalam teradisi yang begitu lama, dan terbukti ngefek atau tidak. Artinya, apakah dari suatu kelompok itu ada buah-buah roh atau tidak. Intinya ada atau tidaknya kemaslahatan bagi banyak orang. Dan standar ini memang ditetapkan oleh sebuah lembaga berdasarkan dogma-dogma yang sesuai dengan arus umum.

Jadi, standar itu ditetapkan oleh lembaga khusus yang memegang kekuasaan. Di situ ada hierarki, dan tidak semua orang punya kewenangan untuk menilai. Di dalam struktur agama Katolik Roma, jelas sekali hierarkinya; ada uskup, imam, dan diakon menyangkut siapa yang harus menghadapi persoalan-persoalan tersebut. Jadi, soal ini tidak diserahkan pada orang-orang biasa atau awam. Karena ini masalah iman, petinggi Gereja harus terlibat dalam menentukan benar atau tidaknya. Pada akhirnya, kepada kelompok sempalan itu, seringkali dikatakan, “Kalau Anda tidak setuju dengan ketetapan kami, silakan keluar!”

JIL: Berdasarkan pengalaman Katolik, apakah kelompok-kelompok sempalan itu dianggap telah membangun konsep teologi baru?

Umumnya, kelompok-kelompok yang dianggap bid’ahatau heretikpada Abad Pertengahan, tidak juga membangun kerangka atau ancangan teologi baru. Hanya saja, mereka dicap telah melakukan bid’ah, meskipun istilah ini tidak simpatik. Mestinya, mereka disebutsedangmenafsirkan secara baru apa yang berlaku dan dianut oleh arus umum masyarakat. Jadi memang tidak membangun teologi baru. Mereka mungkin bisa dikatakan sedang membangun teologi yang eksklusif; hanya menyangkut beberapa orang dan lingkungan tertentu saja.

Karena bentuknya yang eksklusif itu, ketika hendak diekspor ke tempat lain, aliran seperti itu akan susah masuk, karena sifatnya yang mungkin sangat lokal. Jadi tidak ada sama sekali hal yang baru. Tapi justru menariknya, kelompok-kelompok seperti ini membuat tawaran-tawaran yang berbeda dari yang umum dilakukan masyarakat atau warga Gereja mayoritas.

Dulu, dalam sejarah Gereja Katolik, ada kelompok Thomas Waldensisyang berkembang di bagian selatan daerah Torino (Italia). Ada juga kelompok Petrus Baldus yang menyatakan bahwa Yesus/Isa Almasih menyatakan bahwa Ia adalah orang miskin yang bergantung kepada Allah. Karena itu, apa yang ditetapkan kitab suci itu benar adanya. Kelompk ini lalu menghayati sepenuh-penuhnya ketetapan-ketetapan yang ada di dalam Alkitab.

JIL: Di Indonesia sendiri, apakah Gereja Katolik atau Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pernah menghadapi kasus-kasus seperti ini?

Akhir-akhir ini, KWI memang sering mendapat surat dan informasi tentang sejumlah kelompok yang konon mendapat bisikan dari santa perawan Maria atau Siti Maryam. Ada buku yang menyebutkan kalau salah seorang dari ketua kelompok ini merasa telah mendapat bisikan terus-menerus dari Ibunya Yesus itu. Dari bisikan itu dikabarkan kalau akan ada nabi atau penghibur yang hadir di tengah-tengah mereka. Bisikan itu terus-menerus dialami oleh ibu yang tidak perlu saya sebutkan namanya itu.Kasus inisudah menjadi rahasia umum di kalangan KWI. Lantas ibu itu selalu menuliskan buku yang berisi nasihat-nasihat.

Pada awal tahun 2000 lalu, di Surabaya juga ada kelompok Bapak Thomas yang konon dianggap memperoleh penglihatan-penglihatan dari sang perawan Maria. Dalam bisikan-bisikan itu misalnya disebutkan bahwa pada suatu ketika nanti, antara jam 2 lebih 3 menit misalnya, dia akan menampakkan diri. Kita bertanya-tanya: ”Santa Maria kok dikencani !?” Tapi justru ada banyak orang yang berbondong-bondong keheran-heranan untuk melihat mukjizat itu.

Nah, dalam kasus-kasus seperti ini, KWI biasanya sangat berhati-hati dengan cara membiarkannya. Kearifan membiarkan dalam artian tetap memantau sekaligus memberi waktu itu, pedomannya ada di dalam Injil Lukas pasal 6 ayat 40-an. Di situ dinyatakan, segala sesuatu diukur atau dapat dilihat dari buahnya. Kalau sesuatu itu baik, ia akan mendatangkan hal yang berguna bagi orang lain.

Atau, kebijakan ini bisa juga dilandaskan pada kisah para Rasul. Di situ jelas sekali dikatakan bahwa ketika Yesus sudah wafat, ada seorang Gamalail yang menyatakan: ”Jangan-jangan ini kelompok yang direstui Tuhan yang punya hidup ini?!” Artinya, lihat saja nanti; kalau suatu kelompok itu memang benar, pasti mereka akan bertahan lama dan mendatangkan arti atau makna bagi orang lain. Tapi kalautidak benar, nanti mereka akan hilang dengan sendirinya.

JIL: Bagaimana kalau suatu kelompok itu berpotensi membahayakan pengikutnya, atau sudah menjurus pada tindak-tindak kriminal dan hal-hal lain di luar jalur hukum?

Makna kearifan membiarkan itu intinya mencoba memberi waktu; mungkin dia benar dan arus umum itulah yang sudah sesat. Jadi, kemungkinan-kemungkinan itu perlu dihidupkan terus. Dalam konteks ini, KWI tidak segera mematahkan bulu yang sudah terkulai atau memadamkan lampu yang nyalanya temaram. Jadi tangguhkan dulu. Sebab, kehidupan ini justru menarik ketika segala sesuatu tidak serba terang, tetapi ada sesuatu yang bersifat misteri. Kebijakan itu juga ditempuh agar kita tidak seakan-akan sedang berperan sebagai Tuhan yang berhak memutuskan suatu kelompok itu sesat atau tidak.

JIL: Setelah memberi tenggat waktu, kapan saatnya KWI mulai bertindak?

Pertimbangan utamanya adalah ketika semakin banyak orang yang bergabung dalam kelompok itu, atau kalaupun tidak bergabung, tetap terpengaruh oleh pandangan-pandangan yang dikeluarkan atau dilansir mereka. Atau ketika pandangan mereka tidak sejalan dengan logika umumnya, dan sering seperti tahayul dan terlalu magis, dan mampu menghimpun massa untuk mengarah pada tindak-tindak kekerasan atau bunuh diri. Singkatnya, ketika praksis kehidupan kelompok itu sudah dipandang mulai meresahkan.

Tapi kita juga harus bersikap kritis soal klaim meresahkan dan tidak meresahkan ini. Sebab banyak juga orang Katolik yang fanatik alias kolot, lantas merasa kelompok tertentu tidak lagi sesuai dengan keyakinan mereka. Mereka lalu melapor kepada pimpinan. Karena itu, perlu ditinjau juga apa yang dianggap meresahkan itu, sebab tidak semua orang yang bergabung di dalam suatu kelompok itu otomatis menghasilkan hal-hal yang buruk. Mungkin saja mereka menjadi semakin saleh, baik, dan sumarah di dalam proses berserah diri kepada Tuhan. Jadi ukurannya sangat berbeda.

Karena itu,kalau orang berbicara tentang batasan mana yang benar dan mana yang salah, saya kira jawabannya adalah prinsip-prinsip umum yang dijunjung tinggi oleh manusia beradab, dan prinsip itu diakui oleh semua agama. Misalnya nilai-nilai universal yang dikemukakan oleh setiap agama. Bukan hanya universal, tapi juga abadi, seperti soal keadilan dan bonnum commune atau kesejahteraan umum. Jadi, ada prinsip-prinsip yang diakui secara umum oleh umat manusia, dan itu berlaku umum tanpa memandang agama apapun. Namun ketika soal ini telah masuk ke lembaga tertentu, tentu akan ada ketentuan-ketentuan sendiri, misalnya soal moralnya. Moralitas di sini dapat didefinisikan sebagai sikap menjunjung tinggi asas-asas kebaikan hidup bersama dan biasanya sesuai dengan ajaran kitab suci.

JIL: Tapi tak jarang semua itu sulit untuk dilihat dari standar ortodoksi kitab suci, Romo…

Ya, itu memang persoalan yang sangat kompleks, karena itu tidak sembarang orang berhak menentukannya. Tapi minimal, ada ketentuan itu, karena kalau tidak, nanti pegangannya hanya teologi dan kurang bersentuhan dengan kitab suci. Tapi di luar itu, kita misalnya juga bisa menggunakan standar psikologi agama seperti yang dikemukakan William James. Yaitu dilihat dari sudut varieties of religious experience atau keragaman pengalaman beragamanya. Dari situ dapat diketahui bahwaada banyak ragam pengalaman insani dalam beragama ketika orang sedang menghadapi hidup dan bersikap terhadap sesama. Ini saya kira salah satu unsur yang terpenting untuk melihat kasus-kasus pengalaman beragama yang tidak umum. Dan biasanya, standarnya juga tidak pernah lepas dari kitab suci, seperti soal larangan mencuri. Kita tahu, mana ada kitab suci yang mengajarkan mencuri atau membunuh diri.

JIL: Romo, berdasarkan pengalaman Katolik, apakah cara-cara represif masih dipandang efektif dan dianjurkan dalam menangani kelompok sempalan?

Teknik-teknik represif atau cara menekan itu tidak banyak manfaatnya. Gereja Katolik universal sudah banyak belajar dari kasus-kasus yang muncul setelah Konsili Vatikan Kedua dengan kasus Uskup Agung Levebredi tahun 70-an yang menjadi kelompok tersendiri. Kalau dilihat dari perspektif Abad Pertengahan atau sebelum renesance, mereka pasti sudah akandilibas atau disingkirkan sama sekali. Tapi perlu diingat, ketika Anda tidak setuju dengan jargon atau hal-hal yang merupakan pakem dalam sebuah lembaga, Anda akan mengambil jalan lain. Dan biasanya, jalan untuk berdamai itu memang cukup alot dan cukup lama.

Pertentangan panjang itulah yang dialami Gereja Protestan dengan Katolik sejak lama. Tapi kemudian, Konsili Vatikan Kedua mengatakan, bagaimanapun juga, kalian adalah saudara. Padahal dulunya, salah satu kelompok selalu dikecam sebagai gerakan anti-Kristus atau setan. Tapi lama-lama, salah satunya juga membawa makna, meskipun kesatuan gereja antar keduanya tidak terwujud. Artinya, dalam kasus-kasus seperti itu, biarkan orang secara sendiri-sendiri melakukan pemilahan berdasar keyakinan nurani, tingkat pendidikan, dan latar belakang kehidupannya. []

16/01/2006 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Menjadi menarik jika apa yang diungkapkan Romo Eddy sekaligus menjadi sikap Gereja Katolik selama ini (khususnya setelah Konsili Vatikan II) dalam menghadapi kelompok-kelompok sempalan.

Hanya, jika yang dikatakan sebagai kebijakan membiarkan dan memberikan tenggat waktu dalam menyelesaikan -kalau toh itu dianggap gereja katolik sebagai- masalah kelompok sempalan, dalam pandangan saya hanyalah implementasi sikap “cuek” gereja saja, bukan hanya terhadap masalah tersebut semata. Memang betul bahwa sikap cuek ini lebih banyak manfaatnya ketimbang mudaratnya. Ya, kira-kira “Biar aja, toh nanti padam dan dingin sendiri. Gitu aja koq repot!” begitu mungkin sikap sebenarnya.

Selain beberapa hal yang melatarbelakangi apa yang menjadi sikap gereja Katolik seperti yang dikemukanan Romo Eddy, tentu salah satu yang penting juga adalah hukum pasar, dimana sebuah produk yang manfaatnya bisa tersubstitusikan atau bahkan kwalitas serta fungsinya memilki nilai “plus” oleh produk baru, tentu itu merupakan ancaman. Tapi kalau produk yang berusaha menjadi penggantinya jauh lebih rendah kwalitasnya, ngapin repot-repot memberangusnya, kan?

Gitu aja koq repot!
-----

Posted by Benyamin Efraim  on  02/07  at  08:02 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq