Pluralisme,Tidak Sekadar Mengakui Perbedaan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
23/08/2005

Utomo Dananjaya: Pluralisme,Tidak Sekadar Mengakui Perbedaan

Oleh Redaksi

Menjadi seorang pluralis tidak cukup hanya dengan pengakuan atas perbedaan-perbedaan dalam fakta keragaman masyarakat. Pluralisme butuh lebih dari sekadar pengakuan dasar itu. Menjadi seorang pluralis berarti selalu sedia untuk bergaul secara beradab, damai, dan santun dalam keragaman. Demikian sekilas perbicangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Utomo Dananjaya, teman Cak Nur sekaligus sosok yang berada di balik sukses Paramadina selama ini, Kamis (11/8) kemarin.

Menjadi seorang pluralis tidak cukup hanya dengan pengakuan atas perbedaan-perbedaan dalam fakta keragaman masyarakat. Pluralisme butuh lebih dari sekadar pengakuan dasar itu. Menjadi seorang pluralis berarti selalu sedia untuk bergaul secara beradab, damai, dan santun dalam keragaman. Demikian sekilas perbicangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Utomo Dananjaya, teman Cak Nur sekaligus sosok yang berada di balik sukses Paramadina selama ini, Kamis (11/8) kemarin.

NOVRIANTONI: Pak Tom, bagaimana Anda mendapat pengajaran agama sejak dini?

UTOMO DANANJAYA: Pertamanya belajar mengaji. Itulah cara yang paling umum di antara kita. Kemudian belajar tarawih dan salat lainnya. Pelajaran-pelajaran agama lain di desa saya di Kuningan tahun 1940-an itu diajarkan antara waktu salat Isya dan salat tarawih. Kami mendengar obrolan orang tua-tua di masjid, dan dari situlah kami mendapat berbagai macam pengalaman beragama. Obrolan itu lebih banyak tentang akhlak atau budi pekerti yang baik. Jadi yang banyak ditekankan dalam sosialisasi keagamaan saya waktu kecil adalah soal akhlak.

NOVRIANTONI: Apa yang paling banyak diperbincangkan ketika itu?

Pelajaran agama di masyarakat umumnya tidak seperti di sekolah atau di pesantren, tapi lebih banyak dalam bentuk-bentuk cerita kehidupan sehari-hari. Jadi, mungkin bukan seperti pelajaran agama. Misalnya, di kampung saya ada tempat berteduh untuk orang-orang yang pulang dari sekolah atau pasar. Di tempat berteduh itu ada seonggok batu. Batu itu disebut batu meja.

Nah, kalau orang-orang kampung berangkat ke pasar di subuh hari, mereka selalu lewat situ. Konon, di tempat itu mereka mengucap sapaan, “Buyut, saya mau ke pasar supaya pisang saya laku dengan mahal.” Nah, suatu saat ada tokoh agama yang bersembunyi di balik batu itu untuk mengubah kebiasaan mereka. Ketika orang-orang bicara begitu, dia menjawab, ”Ya!”. Begitu mendapat jawaban, mereka lari terbirit-birit, dan itu terjadi berulang-ulang. Saat itulah saya merasa bahwa itu sekadar batu saja. Jadi, walau orang-orang mewanti-wanti “awas nanti kesambet!” saya tahu bahwa itu tidak benar.

NOVRIANTONI: Apa itu menggambarkan cara mengubah perilaku atau pola pikir masyarakat masa itu?

Ya, santun seperti itu. Tokoh-tokoh masa itu tidak mengatakan bahwa itu bid’ah, sesat, atau khurafat. Dengan cara itu saja, orang-orang bisa menganggap bahwa batu tempat berteduh itu hanya sekadar tempat berteduh, tidak punya tuah apa-apa.

NOVRIANTONI: Bagaimana kelanjutan sosialisasi agama pada diri Anda?

Di bangku SD, saya belajar menulis Arab, karena teman saya ketika itu mahir sekali menulis Arab. Saya menirunya sehingga merasa bisa menulis Arab dan membaca Alquran. Ketika SMP, saya sempat membaca buku yang sangat mengesankan bagi saya. Judulnya Muslimin wal Muslimat, berbahasa Sunda. Buku itu juga semacam pelajaran akhlak. Di buku itu mulai dibicarakan tentang perbuatan baik, hubungan antara orang muda dan orang tua, hubungan dengan tetangga dan dengan sesama, dan bagaimana hidup rukun di masyarakat.

Pak Tom, tahun 60-an, Anda aktif mengisi pelatihan-pelatihan kepemimpinan di Pelajar Islam Indonesia (PII), organisasi pelajar Islam yang berorientasi pada modernitas. Apa pengalaman menarik di masa itu?

Waktu itu saya masih sebagai pelajar di SGA (Sekolah Guru Agama). Tapi saya aktif di beberapa organisasi seperti PII Bandung. Saya juga pengurus PPSG (Persatuan Pelajar Sekolah Guru) dan hanya ikut kumpul-kumpul di PII. Setelah mengajar di Garut, muncul tantangan soal pelajar tahun 1058-an yang mengalami krisis mental atau moral. Apa yang dimaksud dengan krisis mental waktu itu saya juga kurang tahu. Tapi sebagai guru, saya merasa punya tanggung jawab untuk ikut mencegah krisis itu. Saya lalu berpikir bahwa anak-anak ini harus berorganisasi. Kemudian saya cari organisasinya, dan ternyata telah ada, yaitu PII, tapi kurang aktif. Lalu muncul usul agar saya mau menjadi ketua umum. Tiga bulan kemudian, saya ganti ketuanya dengan anak SMA, bekas murid saya. Dari situlah saya terlibat banyak dalam training-training PII selanjutnya.

Nah, dalam training PII ini ada sesuatu yang sangat mengesankan saya. Sebagai guru, saya terbiasa dengan sekolah yang tenang, murid yang tertib, dan kelas yang sepi. Sementara di PII berbeda 180 derajat. Kami mulai masuk training dengan personal introduction yang diisi perkenalan diri masing-masing. Kemudian dilanjutkan acara expectation atau apa yang diharapkan dari pelatihan. Selama seminggu, training diisi oleh berbagai macam diskusi tentang berbagai hal. Kalau berdiskusi soal agama, kira-kira bukan soal akhlak atau ibadah, tapi soal-soal politik.

Yang mengesankan, di akhir training saya terpilih sebagai the king of training. Inilah yang kemudian mendorong saya untuk tahu lebih dalam tentang obsesi para pelajar Islam di masa itu. Dan obsesi anak-anak PII masa itu agak aneh. Setiap anak SMA kelas dua atau kelas tiga selalu bersaing untuk terpilih sebagai pelajar yang akan dikirim ke Amerika lewat program AMS (American Future First). Waktu itu, yang paling rajin menyelenggarakannya adalah Pak Taufiq Ismail, karena dia angkatan pertama yang ke Amerika lewat program itu.

Jadi, PII bertindak sebagai organisasi penyelenggara bekerjasama dengan organisai di Amerika bernama American Future First (AMS) untuk memilih tamatan SMA untuk diberangkatkan ke Amerika. Di sana mereka dititipkan pada keluarga-keluarga Amerika, hidup seperti keluarga Amerika, sambil melanjutkan belajar. Sudah bisa dibayangkan, banyak pengalaman-pengalaman hebat diperoleh anak Indonesia yang waktu itu masih terbelakang, dan coba masuk ke dunia modern.

NOVRIANTONI: Tentu ada sedikit guncangan budaya, ya?

Ya, ada sedikit shock. Tapi anak-anak ini sudah bisa berbahasa Inggris dengan baik, dan sudah terbiasa berdiskusi dan bertukar pikiran. Karena itu, walau dari kampung dan merasa aneh melihat fisik Amerika, mereka dengan mudah bisa menyesuaikan diri. Logika mereka telah hidup lewat training-training PII.

Nah, di masa itu, PII memang organisasi yang diharap dapat menjembatani pengertian dan kerja sama antara tamatan sekolah umum dan pesantren. Pada tahun 1956 sebuah seminar di PII sudah merumuskan beberapa pandangan tentang masyarakat Indonesia. Waktu itu disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia punya pola kepemimpinan dan kemasyarakatan tradisional yang harus dimodernisir. Jadi, pada awalnya PII terobsesi untuk modernisasi. Para pengurus PII sebelum adanya program AMS sudah giat mencari-cari kesempatan untuk diundang ke Amerika, sebuah negeri modern.

NOVRIANTONI: Bagaimana dengan gairah pemikiran keislaman di era 1970-an?

Di PII, dan di umumnya umat Islam, yang menjadi isu dan strategi gerakan selalu soal persatuan atau ukhuwah. Itu mungkin masih berlaku sampai sekarang. PII dulunya juga begitu. Setelah saya berhenti dari PII (1969), perjuangan harus terus dilanjutkan. Karena itu, teman-teman pengurus PII, Nurcholis Madjid (ketua umum HMI waktu itu), dan Anwar Saleh (ketua umum GPI), menyelenggarakan silaturahmi dengan harapan dapat mempersatukan umat Islam. Dalam silaturahmi itu, yang menjadi pembicara adalah Pak Subhan ZE, Pak Muhammad Rasjidi, Pak Rusydi Khalil, dan Pak Anwar Tjokroaminoto.

Setelah acara silaturrahmi itu, saya kembali menghubungi tokoh-tokoh gerakan Islam, tapi rupanya mereka sudah punya sejarah panjang dalam perbedaan. Saya putus asa mempertemukan mereka lagi. Ternyata tidak mudah untuk bersatu. Karena itu, dalam diskusi-diskusi dengan Nurcholis Madjid dan Usep, kami menyimpulkan harus mencari jalan lain. Jalan ukhuwah atau persatuan ternyata tak berhasil. Maka timbul pemikiran tentang keharusan pembaharuan pemikiran Islam.

Mula-mula, yang kita undang untuk bicara soal itu adalah Bapak almarhum Alfian yang pernah di LIPI. Tapi pada hari yang direncanakan, beliau berhalangan. Saudara Nurcholis kami tugaskan meminta Bapak Harun Nasution (Rektor IAIN ketika itu) untuk bicara. Tapi Nurcholis gagal menghubungi beliau. Karena harinya sudah mendesak, kita kemudian meminta saudara Nurcholish untuk bicara.

Saudara Nurcholish memang penulis dan pembicara yang bagus. Besoknya, setelah pidato saudara Nurcholish, mulai timbul reaksi-reaksi yang langsung keras. Inti pemikiran Nurcholish waktu itu adalah soal desaklarisasi. Artinya, kita diajak untuk tidak mensucikan sesuatu yang seharusnya tidak suci. Dulu, yang tidak seharusnya disucikan itu dilambangkan oleh bedug. Tapi Nurcholish sampai pada kesimpulan bahwa umat Islam bukan hanya mensucikan bedug, tapi sudah sampai mensucikan organisasi atau partai; partai mereka yang paling benar, yang paling suci.

Waktu itu partai yang ada adalah Parmusi, PSII, Perti, dan Partai NU. Masing-masing mensucikan, bahkan mensakralkan diri. Artinya, dalam Pemilu 1955, tidak memilih Partai NU, ya, kafir. Tidak memilih Masyumi juga kafir. Tidak memilih partai saya, masuk neraka. Begitulah kira-kira kampanye politik masa itu. Tentu saja banyak orang-orang yang tidak terima dengan klaim-klaim begitu. Tapi bagaimana cara mereka mempertahankan partainya, tampaknya lebih dari bagaimana mempertahankan hidupnya. Partai di masa itu seolah-olah begitu sucinya.

Desakralisasi juga diharapkan terjadi pada wilayah pemikiran. Misalnya aliran pemikiran. Kalau setiap orang dan setiap aliran merasa pemikiran mereka paling benar, itu artinya dia mensucikan pemikirannya. Karena itu, perlu desakralisasi. Nah, di samping desakralisasi, perlu juga sekularisasi. Artinya, hal-hal yang memang harusnya bersifat duniawi, atau mengenai dunia, ya jangan dianggap sebagai agama.

NOVRIANTONI: Apa contoh konkretnya?

Sederhana saja. Misalnya soal sekolah. Urusan sekolah itu urusan duniawi atau ukhrawi? Sekolah tentu masalah duniawi. Karena itu, apakah orang Islam harus sekolah di pesantren saja? Di kita ada dualisme sekolah; ada pesantren, Ibtidaiyah-Tsanawiyah-Aliyah, dan juga sekolah umum. Keragaman itu masih bisa ditambahkan dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah, NU, dan Taman Siswa. Nah, soal ini kan sebenarnya bisa saja didiskusikan berdasar perkembangan ilmu pengetahuan.

NOVRIANTONI: Tapi di masa itu reaksinya sudah cukup keras ya, Pak Tom?

Yang keras sebenarnya bukan reaksi dalam masalah-masalah ini, tapi masih dalam masalah-masalah klasik; masalah pendirian politik dan paham keagamaan seputar masalah ibadah. Tapi hal-hal seperti ini belum dianggap sakral, tapi sudah mengarah ke situ. Ada banyak orang tua yang tidak mau lagi menyekolahkan anaknya ke sekolah umum. Sementara orang seperti Nurcholish tahu betul tentang pesantren tradisional, masuk pondok modern Gontor, dan menjadi ketua Permias (Persatuan Mahasiswa Asia Tenggara) ketika mahasiswa. Dia sering melihat dunia luar yang beragam. Ia melihat kenyataan-kenyataan bahwa dunia Timur Tengah juga bukan dunia yang ideal, tapi terbelakang di banyak sektor dibanding negara-negara Barat.

Ambillah contoh keterbelakangan itu dalam hal sikap. Kalau kita naik haji sekarang, mungkin sudah jauh lebih teratur. Tapi di tahun 1960-1970-an, tidak terbayangkan bagaimana bisa ratusan ribu orang berkumpul dengan fasilitas MCK yang sangat terbatas. Sekarang Mekkah sudah seperti kota-kota besar di Eropa atau Amerika. Keluar dari Masjidil Haram kita sudah melihat KFC, McDonald, restoran-restoran, toko-toko, dan hotel-hotel mewah dan bersih. Sekarang kita tidak menemukan lagi hal-hal yang saya sebut tadi.

NOVRIANTONI: Saat ini sudah banyak kaum terpelajar muslim yang akrab dengan ide-ide Cak Nur. Apa bedanya pemikiran Islam kini dan dulu?

Bedanya, problem yang kita hadapi sekarang menjadi lebih nyata, lebih jelas. Bukan lagi soal ibadah, tapi juga masalah keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Itu sudah menjadi kesadaran umum. Dulu ada orang yang mudah saja menganggap kebodohan bisa diatasi dengan masuk pesantren. Ada yang berpikiran begini: kenapa harus susah-susah menuntut ilmu, toh Alquran sudah lengkap memuat segalanya?!

Orang seperti saya, memerlukan teknis operasionalisasi ide-ide ketika memimpin PII. Karena itu, saya dituntut untuk membaca gerakan-gerakan atau kegiatan pelajar di negeri-negeri yang sudah berkembang. Kebetulan dulu saya menemukan buku tentang organisasi pelajar di Amerika yang bernama Explorer. Organisasi ini punya kegiatan-kegiatan ringan, kira-kira seperti Pramuka; berseragam, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan mereka sangat menarik untuk anak-anak dan kaum terpelajar. Saya lalu memperkenalkan bentuk-bentuk permainan atau games.

Secara umum, mudah saja bagi anak-anak PII untuk dapat menerima istilah atau pikiran-pikiran baru itu. Tapi karena tumbuhnya kesadaran beragama yang semakin mengeras di masa itu, karena pengaruh politik dibubarkannya Masyumi, maka muncul gejolak pemikiran yang mengeras. Trennya makin mengarah ke bentuk Islam yang lebih puritan. Dengan semangat puritanisme, mereka tidak mau lagi menyebut “metode” tapi menggunakan istilah “manhaj”.

Jadi proses puritanisasi juga disertai Arabisasi terminologi. Dulu ada seorang kiai yang telah mendirikan pesantren dengan nama “Dwi Bahagia”. Tapi kemudian hari, beliau mengubah namanya menjadi “Husnayain”. Arti husnayain itu sebenarnya sama saja dengan kata Dwi Bahagia, dua kebajikan. Lalu dengan demikian, apakah yang lebih penting, namanya atau isinya?

NOVRIANTONI: Cak Nur ketika itu datang dengan menawarkan apa?

Sebenarnya Cak Nur menawarkan hal yang sangat lumrah. Kita tahu bahwa ajaran Islam harus dipahami, dan untuk memahaminya dibutuhkan jenis-jenis pengetahuan yang lebih luas. Juga tingkat kepedulian yang lebih luas terhadap kemanusiaan. Nah, dalam kerangka kemanusiaan itu, yang dipentingkan bukan hanya menjadi abdi atau penyembah Allah, tapi juga aspek lainnya. Dalam surah Al-Mâ`un dijelaskan, kita harus peduli pada orang miskin dan anak yatim. Itu kan sudah biasa diucapkan. Tapi kalau kita dalami betul, cara peduli dan mengatasi kemiskinan itu bukan hanya dengan memberi makan, atau sekadar memberi zakat. Karena itu mulai ada pemikiran tentang bagaimana memecahkan persoalan. Ternyata, kemiskinan dan kebodohan itu gejala umum umat manusia. Sejarah manusia di mana pun pernah mengalami masa-masa itu. Tapi pemecahannya tidak hanya dengan memberi mereka makan, tapi terutama dengan mengembangkan ilmu, seperti yang dilakukan para Imam terkenal di Islam di Abad ke-8 M dulu.

NOVRIANTONI: Apa kesan Anda terhadap gejala makin mengerasnya ekspresi keislaman saat ini?

Tentu saya sedih, karena kita masih seperti sekarang. Memang ada yang menganggap perdebatan seputar soal-soal seperti pluralisme itu bersifat semantik. Tapi saya setuju dengan apa yang dimaksud Nurcholish tentang pluralisme. Bagi Cak Nur, pluralisme diartikan sebagai pengakuan bahwa hidup di dunia ini memang plural; berbangsa-bangsa, berbeda agama, suku-bangsa, dan tingkat kehidupan. Tapi dalam pluralisme tidak cukup hanya memahami itu saja.

Artinya, kita tidak perlu lagi mengajarkan bahwa tetangga saya orang Kristen, warung langganan punya orang Cina, bengkel sebelah milik orang Batak. Itu sudah tidak perlu diterangkan. Tapi yang masalah adalah bagaimana hidup dalam keragaman itu dengan cara saling menghormati, saling menghargai. Selama ini, soal itu sudah tidak menjadi problem lagi dalam masyarakat, betatapun berbedanya kita. Kita sudah biasa dengan gejala itu semua. Pembantu saya membeli Ajinomoto ke warung Cina, itu biasa. Kalau makan mie, meski bukan buatan Cina, paling tidak sejarahnya datang dari Cina.

Dulu, di kampung saya, ada saja orang yang menikah dengan Tionghoa. Anaknya bermain bola secara biasa dengan saya. Saya tidak tahu dia beragama apa. Namanya memang pakai Liem, Liem Bian Ki. Tapi kalau sekarang saya ingat-ingat, saya tahu dia tidak pernah tarawih. Tapi itu saja, dan itupun tidak menjadi soal bagi saya.

NOVRIANTONI: Jadi bagaimana penyikapan yang positif terhadap keragaman, Pak Tom?

Yang harus kita sadari bukan hanya mengakui perbedaan, tapi juga bersedia untuk bergaul secara beradab, damai, santun, dan baik. Itulah pluralisme. Kalau dalam pemikiran Cak Nur, pluralisme adalah konsekuensi dari tauhid. Maksudnya, kita percaya bahwa Yang Maha Benar itu hanya Allah dan al-haqqu min Rabbik (kebenaran mutlak hanya datang dari Tuhan, Red). Kalau saya berpendapat warna mikrofon ini hitam, lalu ada yang mengatakan tidak terlalu hitam, mungkin kita tidak terlalu peduli karena itu bukan soal agama.

Tapi ketika belajar salat pakai “ushalli”, tapi setelah kenal Muhammadiyah tidak pakai “ushalli”, itu bisa menjadi problem yang hebat pertentangannya di masa lalu. Tapi ketika kita sudah dewasa, masalah-masalah itu sudah dianggap tidak terlalu penting. Dulu Gus Dur pernah ditanya soal pertentangan dalam rekaat terawih. Dia bilang: ”Itu kan sunnah. Daripada bertengkar, lebih baik jangan tarawih, deh!”

Sekarang muncul persoalan lebih penting lagi untuk menyikapi problem-problem terkini. Misalnya, kini timbul masalah terkait dengan pluralisme ketika ada orang-orang yang merasa terganggu dan khawatir imannya ternodai Ahmadiyah. Saya pernah membaca perdebatan A. Hassan tahun 1936 tentang Ahmadiyah. Karena itu, bagi saya persoalan Ahmadiyah sudah selesai.

NOVRIANTONI: Apa maksudnya selesai?

Maksud saya, Ahmadiyah itu sudah begitu adanya sejak dulu, dan saya tidak sependapat dengan mereka. Ya itu saja, selesai. Saya tetap berteman dengan mereka. Ketika di Paramadina, saya meminta teman-teman untuk mengundang macam-macam orang untuk diskusi, baik dari NU, Muhammadiyah, ataupun Persis. Lalu saya tambahkan: “Coba undang orang-orang Ahmadiyah, suruh mereka bicara dan kita coba dengarkan!” Bukan hanya mengundang orang Ahmadiyah, saya juga mengundang Kristen, Katolik, Buddha, dan Konghucu, untuk tahu apa bentuk keberagamaan mereka. Kalau pun kita bilang sesat, seperti apa sesatnya? Ternyata di kemudian hari, tidak aneh lagi bagi kawan-kawan untuk bergabung dalam satu organisasi yang lintas agama. Bahkan Pak Dien Syamsudin itu menjadi ketua WCRP (World Conference for Religion and Peace). Dia pernah datang ke Israel, ke berbagai belahan dunia, dan sudah bertemu dengan berbagai macam agama. Bayangkan saja, KH Hasyim Muzadi, Cak Nur, dan lain-lain itu sudah pernah bertemu langsung mendiang Paus Yohanes Paulus II untuk membicarakan perdamaian dunia.

NOVRIANTONI: Mereka sebenarnya orang-orang yang pluralis, ya?

Ya, itulah kenyataan. Jadi, agama Islam itu tidak akan ternoda dengan itu semua, sebab Allah tetap akan memeliharanya. Kalau sekarang saya berupaya menjadi pembela Islam, pertanyaannya: pembela Islam atau pembela pikiran saya? Pembela Islam itu kan Allah?! Kalau saya menjadi pembela pikiran saya, ya boleh saja. Tapi, apakah saya harus memobilisir teman-teman untuk melabrak orang-orang yang tidak sepaham dengan saya? Bukan begitu caranya. Pikiran itu sifatnya untuk didiskusikan. Bisa saja kita berbeda, dan tidak bersepakat. Tapi kita juga diajarkan, bahwa jangan-jangan pada pikiran yang tidak saya setujui itu ada sisi kebenarannya. Dan jangan-jangan, pada pikiran yang saya yakini terdapat kekeliruan, ada kesalahan-kesalahan. Jadi begitulah sikap yang toleran. []

23/08/2005 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

ASS. Saudaraku kaum muslimin semua dan semua umat manusia

PLURALISME CIPTAAN TUHAN

Semua orang yang mengaku Islam DIPERINTAHKAN HARUS TAAT dan BERIMAN kepada ALQURAN [7:3] sehingga berbagai hal yang disampaikan di sini didasarkan pula pada ayat-ayat Alquran seperti yang saya imani , setuju kan!. Namun KEBANYAKAN ORANG MENGINGKARINYA [25:30/26:67,139,158,174,190].

Apalagi DITEGASKAN OLEH ALLAH SWT bahwa kelompok MAINSTREAM (kelompok KEBANYAKAN/MAYORITAS)BELUM TENTU BENAR [6:116]seperti sejarah diutusnya para NABI/RASUL yang SEORANG DIRI yang SENANTIASA DIMUSUHI/DITENTANG karena berbeda dengan pikiran masyarakat di zaman itu bahkan mereka dimusuhi atau mau dibunuh [6:112/25:31/26:105,123,141,160,176/ 36:14/61:8/72:7], namun Tuhan selalu menolong dan memenangkan para utusan-Nya [58:21/61:9]. 

Oleh karenanya DILARANG SAMA SEKALI MENGATAKAN SESAT kepada kelompok minoritas yang berbeda dengan yang kebanyakan [6:117 dan 68:7 serta 4:94]. Bahkan orang yang suka MENGATAKAN SESAT diberi label khusus sebagai salah satu ciri yang INGKAR [83:29-34].

Menurut Alquran PLURALISME itu memang DICIPTAKAN TUHAN [semua diciptakan berpasang-pasangan dan berbangsa-bangsa agar saling kenal-mengenal, Al Hujuraat (49):13] sementara yang TUNGGAL/ESA HANYA ALLAH SWT /TUHAN SENDIRI [Al Ikhlas]. Jadi mereka yang TIDAK SETUJU dengan PLURALISME sama saja dengan yang MENENTANG/INKAR ALQURAN bahkan MENENTANG KEHENDAK TUHAN.

Tidakkah takut akan AZAB TUHAN bagi yang mendustakan? [7:36-37]. Saya hanya menghimbau mari kita semua menjadi UMAT TERBAIK [3:110]yang selalu menyebarkan kasih sayang [3:159] dan melaksanakan akhlaq mulia dan menjadi teladan masyarakat seperti yang dicontohkan RAsululah SAW [33:21].Was. SDY
-----

Posted by sudaryanto  on  02/23  at  08:03 PM

Aku sudah pernah dengar berulangkali tentang makhluk yang namanya JIL ini, namun baru kali ini bisa mengakses situs resminya. Itu pun karena tidak sengaja. Saat mencari bahan tugas kuliah tentang pluralisme, malah “kesasar” ke situsnya. Alhamdulillah, aku mendapat banyak bahan dan masukan. Paling tidak, ternyata ada Islam yang sejuk di tengah-tengah informasi luar biasa yang paling banyak didominasi tentang terorisme yang mengesankan sebagai produk Islam (apalagi aktornya adalah keluaran ponpes dan selalu menyuarakan ajaran Islam tertentu ...)

Sangat menarik membaca wawancara dan pemikiran pak Tom. Sekarang aku merindukan kapan suasana yang sangat harmonis yang dulu memang sangat mudah didapatkan di berbagai tempat di seluruh nusantara, bisa terwujud kembali? Wallahualam bissawab ...

Posted by R. Tobing  on  07/05  at  06:08 PM

Assalamualaikum

Alangkah sejuknya pemikiran bapak Utomo D maupun yang lain. Inalilahi wainailaihi rojiun bagi Cak Nur.

Dalam wawancara mengapa tidak sekali-kali diundang mereka yang bersembrangan, tentunya yang “intelek” dulu (brainstorming), sehingga tidak menjadi anjang perseteruan.

Mengapa hal ini diusulkan, karena kitapun harus memahami mengapa seperti MUI berkeras mengeluarkan fatwa yang menimbulkan pro dan kontra.

Wassalam

Posted by H. Bebey  on  08/29  at  07:09 PM

Saya sependapat dengan mas utomo, bahwa pluralisme bukan sekedar mengakui adanya perbedaan, akan tetapi yang lebih utama adalah bagaimana menginternalisasikan esensi pluralisme tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pluralisme menolak keberadaan klaim-klaim kebenaran dan keselamatan dari individu, kelompok maupun agama tertentu. Seringkali kita melihat bahwa titik tengkar dalam beragama adalah suburnya pengakuan akan kebenaran pandangan beragamanya sendiri. Prilaku ini memicu terjadinya sikap diskriminasi terhadap pihak-pihak yang berseberangan pandangan dengannya. Padahal Allah sudah mengingatkan dalam Alquran “ Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil “. Ayat ini menjadi renungan bagi kita semua, apakah sikap kita selama ini(terhadap orang yang berbeda pandangan) sudah benar menurut Alquran atau malah melanggar rambu-rambu alquran.

Posted by Rahmad Abadi S  on  08/27  at  12:08 PM

Pada pernyataan Bapak Utomo pada jawaban terakhir itu sangat menyentuh perasaan saya. Kelihatannya muslim di Indonesia lebih power full dibandingkan dengan kuasanya Allah, sehingga muslim di Indonesia harus membela Islam. Betul sekali apa yang Bapak katakan bahwa “Pembela Islam itu kan Allah?! “ kalau Allahnya sendiri dianggap tidak berkuasa dan minta tolong kepada umatnya, apakah kita tidak melecehkan Allah? Menurut pendapat saya, Allah adalah penolong dan penjaganya umatnya. Mosok ada umat yang menjaga Tuhan/Allahnya? Akan tetapi, apakah pemikiran saya ini benar? Jangan jangan saya nanti yang dianggap kafir dan termasuk orang yang akan di………

Posted by Chandra  on  08/25  at  03:08 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq