Polisi Tidak Boleh Mendiamkan Kasus Ini - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
24/07/2005

Tentang Kasus Ahmadiyah Polisi Tidak Boleh Mendiamkan Kasus Ini

Oleh Redaksi

Penyerbuan atas kampus Mubarok milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Parung Bogor pekan lalu merupakan preseden buruk bagi budaya toleransi beragama di Indonesia. Siapa dan atas nama apa pun pelakunya, kasus ini harus dipertanggungjawabkan di pengadilan. Demikian perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Abdul Musawir (Ketua Pemuda Ahmadiyah) dan Ifdhal Kasim (Direktur Eksekutif Elsam), Kamis (14/7) lalu.

Penyerbuan atas kampus Mubarok milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Parung Bogor pekan lalu merupakan preseden buruk bagi budaya toleransi beragama di Indonesia. Siapa dan atas nama apa pun pelakunya, kasus ini harus dipertanggungjawabkan di pengadilan. Demikian perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Abdul Musawir (Ketua Pemuda Ahmadiyah) dan Ifdhal Kasim (Direktur Eksekutif Elsam), Kamis (14/7) lalu.

NOVRIANTONI: Bung Abdul, bagaimana kronologi penyerbuan Jalsah Salanah Ahmadiyah Sabtu (8/7) kemarin?

ABDUL MUSAWIR: Seperti biasa, sudah tradisi bagi jemaah Ahmadiyah untuk menyelenggarakan Jalsah Salanah atau pertemuan tahunan. Acara itu biasanya kami selenggarakan 3 hari dalam setahun (8-10 Juli 2005) lalu. Nah, pada 8 Juli, datang demonstran yang mengatasnamakan masyarakat sekitar, Masyarakat Kemang Asli. Mereka menuntut dibubarkannya acara kami. Mereka juga menuntut kami membekukan atau menghentikan segala aktivitas. Demonstrasi itu didalangi oleh FPI (Front Pembela Islam) dan LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) karena ketua LPPI, yaitu Amin Jamaluddin juga hadir di situ.

Pada hari Jum’at itu mereka hanya berdemo, lalu bernegosiasi dengan perwakilan Ahmadiyah. Mereka meminta acara dibubarkan dengan alasan keresahan masyarakat sekitar atas keberadaan Ahmadiyah. Mereka juga menanggap kami sesat. Lalu mereka mengultimatum kami untuk membubarkan diri 7 x 24 jam. Tapi keesokan harinya, pukul 14.30, tiba-tiba datang massa yang langsung mencoba menerobos masuk. Ketika ditahan dan tidak bisa masuk, mereka mulai melakukan pengrusakan. Jumlahnya mungkin sekitar 200-an orang. Mereka melempari dan merusak benda-benda yang ada di sekitar kampus kami.

NOVRIANTONI: Apa reaksi jamaah Ahmadiyah ketika itu?

ABDUL: Waktu itu kami hanya mempertahankan wilayah dan tanah yang memang milik kami. Hanya itu yang kami bisa lakukan. Kampus (Mubarok, Bogor) itu didirikan oleh kami sendiri, dan kami sudah cukup lama berada di situ (20 tahun). Di situ sudah ada kampus dan masjid, tempat kami beribadah. Dan acara itu sendiri merupakan acara tahunan yang membicarakan dakwah, bagaimana cara kita meyebarkan Islam.

NOVRIANTONI: Anda bisa ceritakan apa itu Ahmadiyah dan bagaimana status hukumnya?

ABDUL: Ahmadiyah adalah salah satu organisasi Islam yang didirikan oleh Hadzrat Mirza Ghulam Ahmad. Beliau mendakwakan diri sebagai Imam Mahdi dan Almasih yang dijanjikan, sebagaimana yang pernah dinubuatkan Nabi Muhammad sendiri. Tapi berkaitan dengan semuanya, kami meyakini beliau (Ghulam Ahmad) adalah nabi tanpa syariat. Itu yang kebanyakan disalahartikan orang. Beliau sendiri pernah menyatakan: “Saya bisa menjadi nabi, justru karena mengikuti sunnah-sunnah Nabi Muhammad. Saya tidak akan pernah bisa mencapai tingkat keruhanian seperti ini kalau tidak mengikuti beliau (Nabi Muhammad).” Beliau juga pernah bersabda: “Saya tidak ada artinya dibandingkan Rasulullah. Bahkan, saya lebih rendah dari debu sepatu beliau.” Artinya, beliau begitu mengagungkan Rasulullah. Sebab kalau kita lihat ketinggian ruhani Nabi Muhammad, cukup aneh kalau beliau tidak dapat mengantarkan pengikutnya untuk mencapai tingkat keruhanian yang sama.

Ahmadiyah datang ke Indonesia sudah cukup lama, sejak 1925. Status hukumnya sudah legal sejak tahun 1953. Kami sah secara hukum dan kami dibenarkan berada di negeri ini. Banyak sekali anggota-anggota kami yang berjuang untuk kepentingan bangsa ini. Sampai kini, sudah ada puluhan ribu anggora Ahmadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

NOVRIANTONI: Apakah Ahmadiyah punya ajaran-ajaran spesifik yang berbeda dengan kebanyakan umat Islam Indonesia?

ABDUL: Tidak. Rukun Islam kami sama, lima. Rukun iman kami pun sama, yakni enam, seperti yang dikatakan hadis, “An tu’mina bilLâhi wa malâikatihî wa kutubihi…” dan seterusnya. Alqur’an kami pun Qur’an yang 30 juz itu juga, tidak lebih satu huruf pun dan tidak ditambah satu apa pun. Salat kami pun juga 5 waktu. Kami juga melakukan tahajud, puasa Ramadhan, dan ibadah lainnya. Praktis, syariat kami tidak ada perbedaan. Kalau pun ada bedanya, saya kira seperti perbedaan antara mazhab-mazhab fikih Hanafi, Syafii, Maliki, dan Hanbali. Tapi saya pikir itu bukan hal yang sangat prinsipil.

NOVRIANTONI: Tapi “ilham” yang didapat Ghulam Ahmad pernah dibukukan. Dan itulah yang dianggap kebanyakan umat Islam sebagai Qur’an versi Ahmadiyah. Bagaimana posisi buku itu dalam Ahmadiyah?

ABDUL: Bukan, itu bukan Alqur’an. Itu bukan kitab suci kami. Posisinya hanya wahyu-wahyu. Itu memang wahyu dan ilham yang beliau (Ghulam Ahmad) terima. Itu juga bukan semacam fatwa yang menghakimi Alqur’an. Kita juga tahu, Rasulullah pernah bersabda: “Aku tinggalkan 2 warisan, Alqur’an dan Sunnahku.” Jadi buku itu sifatnya hanya menjelaskan, dan statusnya agak mirip hadis, tapi tidak sama persis juga. Itu hanya untuk mengingatkan kita. Itu bukan kitab suci, sama sekali bukan.

NOVRIANTONI: Jadi tuduhan Ahmadiyah eksklusif, punya syariat dan nabi berbeda itu tidak benar?

ABDUL: Tepat sekali. Departemen Agama sudah pernah memanggil kami ketika wacana ini mulai terangkat kembali beberapa tahun lalu. Dan setelah dijelaskan, mereka pun paham bahwa praktis tidak ada perbedaan. Mengutip ungkapan Pak Dawam Rahardjo beberapa waktu lalu, “Jangan-jangan perbedaannya hanya pada level tafsir.”

NOVRIANTONI: Bagaimana soal kultus berlebihan pada Ghulam Ahmad, alat kolonialisme, pergi haji ke Lahore?

ABDUL: Ini isu yang telah berulang kali kita klarifikasi. Tahun 1974, kita pernah mengeluarkan Buku Putih Ahmadiyah. Isinya klarifikasi terhadap semua isu itu. Perlu saya jelaskan lagi, kami tetap pergi haji ke Mekkah. Amir kami saat ini, Maulana Amir Abdul Basith, naik haji juga ke Mekkah. Isu haji ke Lahore itu hanya pertemuan tahunan biasa, sama seperti jalsah sanasah kemarin. Kalau di NU atau Muhammadiyah, mungkin istilahnya muktamar. Intinya, rukun Islam kita sama. Naik haji pun ke Mekkah.

Kemudian mengenai tuduhan agen kolonialis Inggris juga sudah dari awal dibicarakan. Tapi saya ingin bertanya: apa mungkin sebuah negara yang dikuasai orang Katolik atau Kristen (Inggris yang menjadi salah satu pusat Ahmadiyah sekarang, Red) memakai agen dari orang-orang yang mengeluarkan analisis yang menghancurkan kekristenan sampai ke akar-akarnya? Kita bukan agen kolonialisme sama sekali, apalagi beliau (Ghulan Ahmad) justru banyak mengeluarkan buku-buku yang menjelaskan bahwa Nabi Isa itu sama seperti nabi-nabi yang lain.

NOVRIANTONI: Lantas sejauh apa kultus atas Ghulam Ahmad terjadi di lingkungan Ahmadiyah?

ABDUL: Soal pengkultusan, kita tetap menganggap manusia yang tertinggi dan paling agung adalah Nabi Muhammad. Itu juga yang selalu kami tekankan dalam khotbah kami. Imam Mirza Ghulam Ahmad Alaihissalam sendiri selalu merujukkan fatwa-fatwa beliau kepada hadis Nabi Muhammad serta Alqur’an.

NOVRIANTONI: Bagaimana isu punya nabi sendiri dan tafsir akhir kenabian Muhammad bagi Ahmadiyah?

ABDUL: Kami mengartikan Nabi Muhammad sebagai “nabi pembawa syariat terakhir”. Kita tidak punya ajaran atau syariat yang spesifik. Ajaran Islam terakhir semata-mata yang dibawa Nabi Muhammad. Hadzrat Mirza Ghulam Ahmad Alaihissalam hanya menghidupkan kembali syariat yang telah dibawa Nabi Muhammad. Beliau tetap berada dalam koridor Islam.

NOVRIANTONI: Tapi Ghulam Ahmad juga mendapat semacam wangsit atau inspirasi?

ABDUL: Ya, wahyu. Sebenarnya dikatakan inspirasi juga tidak tepat, karena Allah itu Maha Hidup dan Dia selalu bercakap-cakap dengan makhluk-Nya. Karena itu, wahyu tidak mungkin berhenti. Nah, itulah yang sering Hadzrat Mirza Ghulam Ahmad sampaikan. Soal penerimaan wahyu, kalau merujuk Alqur’an, bahkan semut dan Ibunda Siti Maryam pun menerima wahyu. Tapi agama yang terakhir hanya Islam. Sementara istilah kenabian pada Hadzrat Mirza Ghulam Ahmad adalah kenabian yang merupakan bayangan atau dhill, pantulan dari kenabian Muhammad itu sendiri. Jadi beliau itu nabi pantulan dari Nabi Muhammad pada akhir zaman.

Perlu dicatat, beliau juga tidak seenaknya mendakwahkan demikian. Beliau justru mendasarkan klaim itu pada dalil-dalil yang ada dalam Alqur’an dan hadis Rasulullah sendiri. Dan itu jelas sekali terlihat dari surah al-Jumu`ah dan al-Nûr. Dalam surah al-Fatihah pun kita bisa melihat indikasi itu kalau kita kaji lebih dalam. Jadi ada isyarat tentang kedatangan nabi tersebut. Kita bisa berdebat dalam soal ini, dan saya pikir bukan sekarang waktunya.

NOVRIANTONI: Apakah Ahmadiyah cukup terbuka untuk berdialog tentang hal-hal yang disangsikan orang?

ABDUL: Kami sangat terbuka. Kami pun punya 300 cabang di seluruh Indonesia, dan siapa pun bisa datang dan bertanya pada kami. Kami pun tetap berdakwah menyebarkan ajaran ini kepada setiap orang. Sebab, itulah tujuan kami. Dan soal kejadian (tindak kekerasan) kemarin, saya justru melihatnya sebagai tamparan buat Islam sendiri. Islam itu pada hakikatnya agama yang mengusung perdamaian. Tapi yang kita saksikan justru kekerasan atas nama Islam. Sejauh ini, Ahmadiyah tidak pernah melakukan tindak kekerasan. Kami selalu setia pada cara dakwah yang diajarkan Alqur’an: “Ud’û ilâ sabîli Rabbika bil hikmati wal mau`idzatil hasanah...!” Berdialog pun selalu kita lakukan dengan santun.

NOVRIANTONI: Ahmadiyah akan membawa kasus ini ke meja hijau?

ABDUL: Dalam pernyataan pers yang dikemukakan Jemaah Ahmadiyah di kampus kami, soal itu sudah kita angkat dan sudah kita laporkan ke Polres Bogor. Sesuai prosedurnya, sudah juga dibuatkan berita acara perkaranya. Ya, mudah-mudahan aparat kita proaktif menegakkan hukum sesuai dengan yang kita idam-idamkan.

NOVRIANTONI: Bung Ifdhal, bagaimana hukum kita melihat serangan terhadap kelompok yang dianggap sesat tapi berstatus hukum legal?

IFDHAL KASIM: Itu sebuah tindak pidana. Yang melakukan penyerangan seperti itu, apalagi kalau memasuki rumah yang dimiliki orang lain, masuk kategori tindak pidana, terlebih lagi rumah termasuk pekarangannya sudah dimiliki selama 20-an tahun. Dalam hukum pidana kita, seseorang tidak bisa memasuki pekarangan orang lain tanpa seizin orang tersebut, apalagi melakukan penyerangan ke halaman rumah orang lain, terlepas apapun aktivitas di dalam rumah itu. Hukum pidana itu sebetulnya sangat menghargai, memproteksi atau melindungi keamanan pemilik rumah dan otoritas orang yang ada di dalam rumah untuk melakukan kegiatan apa pun. Karena itu, kalau ada orang yang menyerang atau masuk tanpa izin pemilik rumah, maka ia bisa dikategorikan telah melakukan tindak pidana.

Dalam peristiwa kemarin, konteksnya adalah: sekelompok orang tidak setuju terhadap keyakinan dan aktivitas yang dilakukan kelompok lain (Ahmadiyah) di kampus mereka sendiri. Kelompok yang menyerang tidak setuju dengan mazhab atau aliran yang dikembangkan Ahmadiyah. Menurut saya, orang yang melakukan penyerangan sedang menunjukkan tidak adanya toleransi atas perbedaan paham atas Islam. Karena itu, kalau bicara dari segi hak asasi manusia, ini merupakan bentuk pelanggaran serius. Pasal-pasal yang melindungi aliran-aliran pemikiran atau keagamaan sudah masuk dalam konstitusi kita. Jadi aktivitas Ahmadiyah sudah merupakan hak konstitusional mereka. Ahmadiyah punya hak untuk ada karena mereka sudah berbadan hukum. Orang lain tidak dibenarkan—dengan anggapan apa pun—untuk melakukan pengrusakan, penyerangan dan lain sebagainya.

NOVRIANTONI: Dalam negara bermartabat, demokratis, dan menjunjung tinggi HAM, apakah kelompok yang dianggap sesat (asal tidak membuat onar) berhak eksis atau mengada?

IFDHAL: Ya. Di dalam negara-negara yang demokratis, negara tidak boleh masuk ke wilayah privat atau masuk ke wilayah yang menjadi area civil society. Negara tidak berhak memeriksa jenis iman orang. Negara yang demokratis tidak boleh mengatur dan mengontrol aliran-aliran untuk dianggap sesat. Negara tidak boleh mengeluarkan aturan-aturan yang mengategorikan aliran A sesat, aliran B tidak sesat, dan seterusnya. Kerja negara dalam sebuah negara demokratis justru memroteksi semua hak dasar individu, termasuk individu yang meyakini satu aliran atau pemikiran agama yang barangkali berbeda dengan paham mayoritas.

NOVRIANTONI: Intinya asal tidak berbuat onar atau merusak, ya?

IFDHAL: Ya. Kalau mereka berbuat onar atau tindak kriminal, itu sudah lain lagi soalnya. Itu bukan lagi soal agama atau aliran. Jadi isi pikiran, termasuk kepercayaan keagamaan, merupakan wilayah yang tidak boleh diintervensi negara dengan membuat aturan-aturan tentang yang absah dan tidak absah. Kalau individu atau suatu kelompok melakukan tindakan destruktif, itu sudah lain soal. Tindakan seperti itu sudah menjadi wilayah publik, dan semua itu sudah diatur dalam hukum pidana.

Mereka berhak hidup. Tapi sekelompok masyarakat terkadang merasa punya hak untuk melenyapkan kelompok yang mereka anggap menyimpang atau sesat. Aparat keamanan pun kadang-kadang tunduk pada logika kelompok seperti itu.

Di sinilah peran negara. Kita tetap memerlukan negara dalam konteks perlindungan itu. Kalau negara tidak bisa melakukan proteksi atas kelompok-kelompok atau individu yang berbeda paham dengan mayoritas, negara berarti tidak bisa melakukan proteksi atas semua orang. Itulah yang maksud negara tidak bolek masuk, mengatur hal-hal yang berada di ranah privat. Sebab ketika negara mengatur soal itu, dia akan terpengaruh apa yang diyakini mayoritas. Dia akan sangat rentan terpengaruh dan mengakomodasi kebutuhan mayoritas. Karena itu, dalam soal seperti ini negara harus tetap netral. Ketika kelompok mayoritas di dalam satu negara menginginkan tindakan tidak toleran terhadap perbedaan pada level kepercayaan, negara harus berfungsi sebagai mediator. Dia harus memfasilitasi dialog, bukan malah memfasilitasi hasrat-hasrat tidak toleran itu.

NOVRIANTONI: Ada yang menanya, kalau saya berjudi, yang rugi kan saya sendiri. Kenapa negara harus ngatur lewat undang-undang?

IFDHAL: Ada kesalahpahaman di sini. Fungsi negara adalah untuk mengatur kepentingan yang tujuannya untuk kesejahteraan publik. Dia regulator atau melahirkan regulasi, aturan-aturan, demi kepentingan umum dan menegakkan itu. Karena judi termasuk kategori yang bisa mengganggu ketertiban, atau mengganggu kesejahteraan, maka dia masuk ke ranah publik. Karena itulah dalam hukum pidana judi dikategorikan sebagai tindak pidana. Kenapa dia berada di wilayah publik? Karena dia membawa destruksi bagi kepentingan umum. Jadi berjudi itu bukan ranah privat, karena setahu saya tidak pernah ada hak untuk berjudi dalam rezim hukum dan hak asasi mana pun.

NOVRIANTONI: Setahu saya, di negara demokratis, mau menyembah setan pun, asal tidak membikin onar akan dilindungi oleh negara.

IFDHAL: Ya, karena itu masuk ranah privat. Artinya, ada wilayah yang semata-mata berbentuk keyakinan orang, tidak menyangkut public interest atau kepentingan publik. Di dalam konstitusi negara-negara modern yang demokratis, selalu ada wilayah yang tidak boleh diatur negara, yaitu soal keyakinan. Kongres Amerika misalnya tidak boleh membuat peraturan berkenaan agama. Karena itu wilayah yang paling personal dari setiap orang. Karena itu, hukum pidana atau hukum lain tidak bisa meregulasi masalah keyakinan.

NOVRIANTONI: Jadi bagaimana seharusnya negara atau aparat hukum berperan dalam kasus Ahmadiyah ini?

IFDHAL: Mereka harus berposisi sebagai aparat yang netral dan imparsial, tanpa terjebak di dalam penilaian sekelompok orang atas apa itu Ahmadiyah dan seterusnya. Mereka jangan pula mengamini bahwa ini aliran sesat dan karena itu absah untuk diserang. Aparat negara punya kewajiban untuk memroteksi atau melindungi semua keyakinan warga negara. Semua warga negara sama di depan hukum. Karena itu, aparat jangan terjebak dalam pandangan-pandangan dominan. Dia harus netral semata-mata menegakkan hukum. Kalau memang ada pelanggaran hukum di kasus itu, dia harus memrosesnya menurut hukum yang berlaku.

NOVRIANTONI: Anda mendukung Ahmadiyah melakukan pendekatan hukum atas perkara ini?

IFDHAL: Ya. Penyerangan itu sendiri merupakan pelanggaran atas KUHP. Karena itu, menurut saya polisi tidak bisa membiarkan atau mendiamkan kasus ini. Kalau kasus ini tidak diproses, ia akan menjadi preseden yang akan diulangi terus-menerus. Dengan begitu, tidak jelas lagi siapa yang berwenang menjaga ketertiban umum. Kasus ini harus ditindaklanjuti sampai ke pengadilan. []

24/07/2005 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (8)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Assalammuallaikum Wr .Wb sesungguhnya Allah S.W.T menciptakan seorang manusia dari tanah . semua manusia sama , namum di ciptakan dengan memiliki perbedaan yang berupa kelebihan dan kekurangan . setiap manusia pasti memiliki itu , yang saya ingin tanggapi mengapa perbedaan ini menjadikan acuan perang bagi sesama umat islam , apakah jika ada pertentangan sesama umat islam harus diakhiri drngan peperangan , STOP PEPERANGAN . itu yang saya harapkan sebagai umat muslim . apakah seharusnya sesama umat muslim saling membunuh , saling mengejek , dan saling membakar amarah .sebaiknya jika kita memang memiliki Allah S.W.T , dan merasakan keberadaan-Nya , hendaklah kita meminta petunjuk yang benar kepadanya . walaupun memang saya adalah anak kecil yang baru berusia 16 tahun , namun saya getir peperangan mengikat dimata dan hati saya . apakah solusi yang baik tanpa kita membicarakannya dengan baik - baik , dan penuh kesadaran . terima kasih , wassalammuallaikum Wr .Wb
-----

Posted by umar syaefudin  on  05/06  at  10:05 AM

kalau memang ada islam yang tidak mengikuti al qur’an and sunah nabi muhammad swt mereka harus di hancurkan.....demi menjaga kesatuan umat islam

Posted by mell fadhlie  on  01/23  at  11:01 PM

Sebenarnya saya adalah seorang muslim biasa yang menganut Islam menurut aturan yang berlaku di negara Indonesia, tapi karena saya mempunyai seorang pacar orang Ahmadiah saya mencoba menganalisa seperti apa Ahmadiah itu sendiri. Orang yang bisa saya percaya menyebutkan bahwa datangnya hari kiamat ditandai dengan adanya seorang imam mahdi dan nabi Isa yang akan bersatu melawan dajal. Tetapi menurut jemaah ahmadiah imam mahdi adalah seseorang yang berasal dari India yang beragama Islam. Padahal kalau dipikirkan lebih lanjut, imam mahdi akan datang sebagai awal hari kiamat, tetapi sekarang kan seseorang yang mereka anggap imam mahdi sudah meninggal dunia, dunia belum kiamat, nabi Isa belum turun dari langit? Jadi apa benar seseorang yang bernama Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang imam mahdi????? Coba saudara telaah lebih lanjut

Posted by andhika poetra bahari  on  04/12  at  08:04 AM

Kalau ada Islam yang ajarannya tidak bersumber pada Alqur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW di Indonesia seperti Ahmadiyah, punya Nabi sendiri dan kitab sendiri, maka kita sebagai Muslim sejati harus turun tangan membasmi, menghancurkan, membumi hanguskan kafir-kafir tersebut, berikut orang-orang yang mencoba membela ajaran sesat tersebut. Bukan hanya aliran Ahmadiyah, termasuk aliran-aliran lain pun yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya wajib dibumihanguskan dari bumi Allah Indonesia yang kita cintai ini.

Catat nama saya, Busman dari Makassat.

Posted by BUSMAN  on  08/30  at  06:08 PM

Perbedaan adalah sebuah dinamika yang wajar dalam komunitas masyarakat plural. Perbedaan harus bisa disikapi dengan rasional dan harus bisa menjadi sumber kekuatan komunitas. Ketika dunia bergerak maju ke sebuah keadaan masyarakat dunia yang borderless, di mana HAM menjadi “presiden” dunia, bangsa ini ini justru bergerak berlawanan arah.  Bangsa ini hidup dalam realitas kehidupan yang sangat paradoksal. Di satu sisi kita hidup dalam ketakutan, dalam tingkat proteksi diri dan komunitas yang sangat tinggi, sementara di sisi lain membangun mimpi untuk menjadi sebuah bagnsa yang besar yang bisa mengambil peran strategis dalam relasi antar bangsa. Apa mungkin?

Menghormati hak orang lain adalah sebuah kewajiban. Menghalangi orang lain untuk mempergunakan haknya adalah sebuah kejahatan. Apalagi, upaya menghalangi itu diikuti oleh aksi anarkis.

Polisi tidak boleh diam. Pemerintahpun harus segera campur tangan. Membiarkan situasi ini sama dengan membuka ruang untuk eksploitasi dari kelompok tertentu terhadap kasus itu. Ketika hal itu terjadi, kita semakin jauh berajalan ke belakang meninggalkan dunia yang terus bergerak maju.

Posted by Christo Korohama  on  08/10  at  04:09 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq