Radikalisasi Ruang Publik - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
17/04/2005

Radikalisasi Ruang Publik

Oleh Burhanuddin

“Sejelek-jeleknya suami, Ibu harus menutup aibnya. Ibu jangan menyebarluaskan kejelekan dia. Karena rida Allah itu adalah rida suami juga.” Sang ustadzah rupanya telah melakukan viktimisasi terhadap korban kekerasan rumah tangga. Tak ada perasaan empati sedikitpun meskipun sama-sama perempuan. Demikianlah wajah ruang publik kita dewasa ini. Kian lama mengalami “radikalisasi”. Ruang publik menjadi tidak immune (netral) dari pengaruh nilai-nilai agama tertentu dan begitu mudahnya standar kebenaran suatu kelompok agama dipaksakan masuk.

17/04/2005 21:12 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Saya kutip beberapa kata-kata dalam artikel :

Hal inilah yang membuat “program” privatisasi agama dari ruang publik tidak pernah berhasil secara tuntas. Agama, sebagai pembentuk identitas kelompok, selalu mencuri-curi kesempatan agar bisa tampil pada wilayah publik. Kalau saja yang tampil di ranah publik adalah wajah ramah agama, sisi humanis-demokratis-toleran agama, mungkin kita tidak perlu mematut curiga. Namun bila pangkal soal yang marak di televisi, radio, majalah, atau warung-warung kopi adalah sisi-sisi gelap agama yang intoleran, bias gender, dan memancarkan semangat kebencian pada kelompok lain, akankah kita diam saja?

Apa salahnya apabila setiap agama memanfaatkan sarana publik seperti TV, Radio, dll untuk menyampaikan moralitas agamanya? ini tidak dilakukan oleh Islam saja, semua agama juga memanfaatkan cara ini. Kalau anda menyatakan bahwa yang disampaikan ustadzah merupakan sisi gelap agama yang intoleran, bias gender dan kebencian, saya kutip lagi tulisan anda :

“Ibu, bersabarlah karena semua kejadian yang Ibu alami adalah ujian Allah.” Sembari mengutip nomor surah (dalam al-Qur’an) dan nomor ayatnya, tanpa membacakan teks bahasa Arabnya, ustadzah kondang itu membacakan terjemahan kasarnya. Itupun tafsir literal versinya sendiri. “Sejelek-jeleknya suami, Ibu harus menutup aibnya. Ibu jangan menyebarluaskan kejelekan dia. Karena rida Allah itu adalah rida suami juga.”

Ustadzah tersebut berusaha menjelaskan bahwa keburukan suami bisa dibalas dengan kebaikan oleh istri, suami yang tidak memenuhi kewajiban memberi nafkah, jarang pulang dan berbuat aniaya terhadap istri dan keluarga, bisa dibalas dengan sabar, istri yang selalu mendo’akan agar suaminya disadarkan oleh kekuatan Allah, tetap berbuat baik, bertingkah-laku santun, sama juga halnya apabila yang berbuat keburukan datang dari sang istri, ada jalan dalam Islam bahwa suami bisa membalas kelakuan istri dengan kesabaran dan kebaikan, konsep tersebut dinamakan dengan ‘Ihsan’.

Konon ada cerita dari Rasulullah, saat beliau karena terdesak di Makah, pergi mengungsi ke Tha’if, namun yang didapat disana adalah lemparan batu dan caci-maki. Dengan tubuh terluka Rasululah bersembunyi disebuah kebun korma. Malaikan Jibril yang melihat penderitaan Rasul tersebut ‘gregetan’ dan bertanya : “ apa yang engkau inginkan untuk aku lakukan terhadap orang-orang tersebut yaa Muhammad “ Jibril menunggu permintaan Rasulullah, kalau seanadainya kata-kata yang keluar pada waktu itu adalah “ Sikaat!!, maka atas izin Allah habislah penduduk Tha’if, namun sekalipun dalam keadaan terluka Rasulullah menjawab : “ jangan melakukan apa-apa ... aku mema’afkan mereka, karena sesungguhnya umatku itu tidak mengerti...” Itulah ‘Ihsan’, itu juga yang disampaikan oleh ustadzah kepada wanita yang dianiaya suaminya, apakah anda kemudian mencapnya sebagai sisi hitam dari agama???

#1. Dikirim oleh Arda Chandra  pada  18/04   08:04 PM

Saya nggak tahu apakah seorang muslim yang bercucuran airmata kala bersimpuh di malam hari untuk memuja sang kekasihNya, bagi anda merupakan suatu hal yang absurd. Sungguh kekuatan ini takkan mampu diraih siapapun juga kecuali bagi mereka yang berhati bersih. Mungkin berpegang pada ayat-ayat suci made in Alloh yang kekal bagi anda adalah sebuah hal yang tak sebanding dengan kata-kata seorang yang fana macam Habermas. Padahal saya yakin anda sepakat dengan pernyataan bahwa “kebenaran yang mutlak hanya di tanganNya, sedang kita, manusia, harus cukup puas sebagai pencetak kebenaran yang relatif”.

#2. Dikirim oleh ade shalihah  pada  20/04   08:05 PM

Bung Burhanuddin…

Bolehkah saya tau agama anda..? Islam, Kristen, Hindu, atau tidak beragama sama sekali...!!

Setelah membaca tulisan sampeyan, saya dapat tebak-tebak kelihatannya sampeyan memang tidak beragama.

Okey masalah dakwah Islam yang ditayangkan di TV, anda anggab curi-curi kesempatan agar bisa tampil ke wilayah publik, anda anggab agama memaksakan masuk ke wilayah publik. Sebetulnya menurut sampeyan apasih definisi wilayah publik itu..? Coba kita analogikan sedikit tentang Partai politik yang siaran di TV. Agama hanya anda maknai sebagai identitas kelompok, lihat Parpol Golkar misalnya .. apakah juga bisa dimaknai Identitas kelompok..? kalau jawabanya Ia, mustinya bila Parpol tersebut berkampanye di TV, juga bisa disebut memaksakan Parpol Golkar memaksakan masuk ke wilayah publik...? Begitu juga kelompok-kelompok seperti Perusahaan Bisnis, Organisasi LSM, termasuk yang menamakan diri JIL.

Kalau anda mengaku seorang yang humanis, demokratis seharusnya tidak usah merisaukan masuknya dakwah agama di TV. Silahkan saja setiap kelompok termasuk JIL sendiri masuk ke wilayah publik untuk siaran di TV. Bahkan Bung Burhanuddin sendiri boleh kok ceramah / dakwah tentang apa yang sampeyan sebut konsep humanis dan demokrasi itu, dengan catatan kalau ada TV yang mau menyiarkannya.

Insya Allah saya salah satu penganut Islam yang rela diatur oleh Allah SWT melalui Al-Qur’an dan Hadist, walaupun sebagai manusia belum bisa sepenuhnya melaksanakan perintah dan larangan Allah SWT. Nah kalau sampeyan nggak mau diatur dalam kehidupan sehari-hari dengan Al Qur’an dan hadist, ya udah silahkan saja, tetapi ya jangan pengaruhilah orang lain yang mau taat agamanya, untuk mengikuti cara pandang sampeyan. Kalau di ajaran Islam orang yang mengajak orang lain ke jalan sesat itu dinamakan Setan.

#3. Dikirim oleh Suyanto  pada  20/04   11:04 PM

Saya merasa terheran-heran, kenapa artikel yang tidak berbobot semacam ini bisa masuk ke situs JIL, yang katanya berisikan orang-orang intelek, modern dan seabrek ‘kehebatan’ lainya. Saya tidak mengerti alur berpikir, saudara Burhan, yang menyebut seorang ustadzah yang menasehti seorang pemirsa karena kasus rumah tangganya sebagai upaya viktimisasi. Coba jelaskan dengan argumen yang cerdas, tidak sekadar mengatakan ustadzah itu tidak empati sama sekali. Anda masih muda bung Burhan! Gunakan kemampuan intelektual dengan baik, jangan terlalu dangkal dalam berpikir!

#4. Dikirim oleh Wafa Idrisi  pada  24/04   08:05 PM

Saya melihat bahwa isi dari tanggapan-tanggapan yang cenderung sepaham terhadap konservativisme dan kontra terhadap artikel yang ditulis Pak Burhan bahwa Ruang Publik makin mengalami radikalisasi adalah bukti kebenaran dari pendapat Beliau. Bahkan bagian tanggapan inipun diserang habis-habisan oleh pro radikalisasi.

Hormat saya buat JIL yang berani menampung segala opini dari segala sudut pandang, walau itu berarti mereka harus diserang bertubi-tubi oleh opini arus mainstream yang kebanyakan kontra terhadap mereka.

Coba bayangkan seorang suami yang jarang memenuhi kewajibannya mencari nafkah, dan suka memukul kok malah dibela habis-habisan? Lalu gimana nasib anak-anaknya??? Pada awalnya sang istri tentu harus bersabar dan coba ikhtiar untuk menyadarkan sang suami, tapi kalau tidak mempan, tentu saja sang istri harus bertindak lebih tegas, demi nasib anak-anaknya dan juga demi suami itu sendiri!!! coba bayangkan bila sang istri itu adalah adik atau anak anda sendiri! Saya rasa itu jawaban terbaik.

Mengenai masalah ruang publik yang netral, menurut saya tak boleh ada penindasan satu sudut pandang oleh sudut pandang yang lain! Bukankah tak boleh ada paksaan termasuk dalam beragama? Pak Burhan, semoga makin banyak lagi orang-orang yang berpikiran mendalam dan empatik seperti Anda.
-----

#5. Dikirim oleh Haryo S. Pinandito  pada  01/05   09:05 PM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq