Dr. Rizal Sukma: Reaksi Amerika Persulit Muslim Moderat
Oleh Redaksi
Demokratisasi di negara-negara muslim seperti di Indonesia menjadi problematik dengan adanya perubahan kebijakan luar negeri AS itu. Jelas reaksi AS, terutama serangan kepada Afghanistan dan rencana membombardir Irak, akan mempersulit kaum muslim moderat.
Setahun sudah tragedi 11 September terjadi. Amerika Serikat (AS) yang merasa sebagai korban dari serangkaian aksi terorisme, pada perkembangannya, mengambil prakarsa yang kontroversial dan pada taraf tertentu menyulitkan proses mutual-understanding yang sudah lama dibangun. Isu terorisme ini “menggeser” paradigma kebijakan luar negeri AS yang pada sisi tertentu merugikan kampanye global tentang demokrasi dan HAM.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pergeseran kebijakan luar negeri AS pasca 11 September ini, Kajian Utan Kayu menghadirkan Dr. Rizal Sukma, pakar politik internasional dan Dewan Direktur CSIS untuk diwawancarai Ulil Abshar-Abdalla di studio radio 68H tanggal 12 September 2002. Rizal juga Pengurus Pusat (PP) Pemuda Muhamadiyah. Berikut petikannya:
Bung Rizal, apa yang berubah dari tatanan dunia kita ini pasca-tragedi 11 September setahun lalu itu?
Saya kira, ada banyak hal yang berubah, terutama disebabkan perubahan dalam kalkulasi pertahanan dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat (baca: AS). Misalnya, yang paling kelihatan, pertama, peristiwa itu membuka peluang di negara-negara besar seperti Cina, Rusia, AS, dan juga negara-negara Eropa, untuk lebih mempererat kerjasama mereka, terutama dalam bidang keamanan dan pertahanan. Kedua, menunjukkan bahwa dunia sekarang betul-betul borderless (tanpa batas). Sebuah kejadian di New York, kemudian dapat memunculkan dampak luar biasa dan dirasakan di mana-mana. Ketiga, penting pada level global, isu terorisme menjadi isu global satu-satunya (the only gobal issue) yang harus ditanggulangi secara bersama-sama oleh semua masyarakat internasional.
Apakah Anda melihat bahwa serangan itu membuahkan keuntungan bagi AS yang kebingungan mendefenisikan dunia setelah runtuhnya komunisme?
Saya kira, hal itu kemudian menjadi salah satu fokus dari posisi dia sebagai the only super power.
Artinya kalau istilahnya orang dagang, moment ini menemukan segmen yang pas untuk barang dagangannya?
Itu hanya salah satu sisi. Meskipun isu kebangkitan negara Republik Rakyat Cina dan kaum Cina perantauan itu tetap dominan di Washington. Terutama dengan hilangnya ancaman Uni Soviet tadi. Hal itu juga terkait dengan politik domestik, di mana saya melihat juga George Bush, Jr (Presiden AS, Red) menemukan juga platform legitimasi dalam mengelola politik dalam negeri AS. Ini juga tampaknya yang masih terus memberi legitimasi kepercayaan masyarakat AS, paling tidak mayoritas, kepada Bush yang pada mulanya diragukan kemampuannya untuk memimpin negara sebesar AS itu.
Bung Rizal, sebelum peristiwa itu, Bernard Lewis, seorang ahli Islam pernah menulis buku yang laris berjudul What Went Wrong? Apa yang salah dengan permusuhan AS dan orang-orang Islam. Dia menyimpulkan kalau dalam Islam itu ada sesuatu yang antagonistik atau berlawanan dengan peradaban Barat. Itu salah satu cara dia menjelaskan masalah di kalangan orang AS. Anda sendiri bagaimana melihat orang AS dalam menyikapi peristiwa ini?
Bagi orang AS, tragedi 11 September adalah sesuatu yang mengagetkan, terutama kalau kita melihat the history of wars atau sejarah perang AS. Kita tahu, perang yang diikuti AS tidak pernah dilakukan di wilayah AS sendiri. itu pertama. Kedua, AS juga tidak pernah mengalami sebuah peristiwa sedahsyat 11 September itu. Dan itu kemudian —terutama dengan tumbangnya Uni Soviet— muncul perasaan bahwa AS tidak mungkin bisa diterobos oleh semua bentuk ancaman. Nah, tragedi itu kemudian menjadi semacam awake up call bagi mereka. Terjadi peristiwa tragis semacam itu lantas memunculkan semangat nasionalisme yang sangat tinggi. Kemudian juga memunculkan kemarahan luar biasa, yang dalam hal ini dilampiaskan kepada kelompok Osama bin Ladin dan Taliban.
Setelah itu— tentunya mereka akan mencari tahu tentang mengapa tragedi 11 September terjadi. Wacana atau perdebatan, baik di tingkat pemerintah dan masyarakat AS menghasilkan “fakta” bahwa yang mereka katakan sebagai pelaku itu adalah mereka yang memiliki latar belakang, ideologi dan agama Islam. Kemudian, tampak memang setelah kejadian itu Islam menjadi fokus perhatian yang sebelumnya tidak ada presedennya dalam wacana di AS.
Bagaimana Anda melihat propaganda terorisme yang digunakan AS menjadi kebijakan baru pengganti kebijakan lama memerangi komunisme. Anda melihat ini menjadi sesuatu yang berbahaya bagi dunia Islam dan perkembangan demokrasi di negara-negara Muslim?
Itu memang salah satu yang menjadi kerisauan saya juga. Kalau kita melihat bagaimana terorisme menjadi kebijakan yang diprioritaskan sejak peristiwa11 September. Saya kira memang ada kebingungan yang luar biasa di publik maupun para pembuat kebijakan di AS, ketika hal itu terjadi. Sehingga respon-respon pada hari pertama kejadian tragedi 11 September memunculkan kesan yang sangat kuat bahwa respon yang harus diambil adalah dialamatkan kepada Islam. Kamudian setelah beberapa minggu, baru kemudian muncul kesadaran bahwa adalah hal yang sangat tidak pantas kalau AS melihat itu sebagai perang melawan Islam. Dan saya kira ini sudah sering diklarifikasi.
Tapi, paling tidak, ada beberapa hal yang sangat memprihatinkan, terutama kalau kita kaitkan dengan konteks dunia Islam. Pertama, peristiwa dan sikap AS pasca-kejadian itu menimbulkan komplikasi yang sangat rumit dalam politik-dalam-negeri di banyak negara muslim.
Kemudian kedua, isu-isu tentang hak dan posisi kelompok minoritas muslim di banyak negara kemudian menjadi terabaikan dan tersisihkan. Kita melihat beberapa rezim seakan menjadi pembonceng gratisan (free rider). Mereka menggunakan isu-isu terorisme ini untuk menekan persoalan-persoalan dan hak kaum minoritas atau marginal muslim di Xinchiang, Cina, Chechnya, dan bahkan di negeri kita sendiri, seperti kasus tudingan teroris kepada GAM di Aceh. Pemerintah kita berusaha menggunakan isu itu.
Ketiga, demokratisasi di negara-negara muslim seperti di Indonesia menjadi problematik dengan adanya perubahan kebijakan luar negeri AS itu. Jelas reaksi AS, terutama serangan kepada Afghanistan dan rencana membombardir Irak, akan mempersulit kaum muslim moderat.
Artinya AS tidak lagi menekankan isu-isu demokratisasi dan HAM sebagai alat kebijakan luar negerinya?
Ya, itu sangat krusial, karena seperti misalnya kita lihat di Indonesia sendiri, semua hubungan, baik antarnegara, antarmiliter, paramerternya sekarang menjadi isu terorisme itu. Meskipun misalnya ada komentar dari AS mengenai keprihatinan mereka seputar peradilan ad hoc masalah Timor Timur, sebenarnya hal itu retorika diplomatik saja yang tidak memiliki implikasi untuk mendorong demokratisasi Indonesia secara lebih kuat.
Meskipun tetap saja, pada akhirnya saya pikir proses demokratisasi itu akan sangat ditentukan juga oleh komitmen di dalam negeri dari kelompok-kelompok civil society yang ada. Dalam konteks itu, jangan juga kita terlalu berharap adanya bantuan yang berlebihan dari AS untuk melakukan demokratisasi pada semua level.
Bung Rizal, tentunya masalah terorisme ini problematis karena menggantikan isu demokrasi dan HAM. Tapi di sisi lain, kita perlu mengakui adanya kelompok-kelompok yang menggunakan cara teror untuk meluluskan kepentingan mereka. Menurut Anda, bagaimana cara yang tepat untuk menghadapi kelompok semacam ini?
Saya kira, cara pertama harus dilakukan dulu pemilahan tegas antara terorisme dengan radikalisme. Kalau menghadapi terorisme, tidak ada cara lain, harus dihadapi dengan cara-cara penegakan hukum (law enforcement) yang sangat tegas. Bahkan pada titik tertentu bisa melibatkan militer dan kekuatan polisi. Saya kita, terorisme harus dihadapi dengan cara dan sikap tegas, tapi penuh perhitungan.
Nah, kalau radikalisme adalah isu yang berbeda, meskipun banyak yang khawatir bahwa radikalisme juga cenderung mengarah kepada pengunaan cara-cara kekerasan. Radikalisme boleh-boleh saja sepanjang tidak memakai kekerasan sebagai alat untuk menghalalkan tujuan.
Apakah Anda melihat, dalam kebijakan Amerika semacam ini, ada semacam pengaburan antara radikalisme dan terorisme?
Saya kira ada. Dalam artian, tidak hanya dalam kebijakan, tapi juga dalam perdebatan mengenai isu ini. Misalnya, diskursus mengenai Asia Tenggara sebagai The Second Front setelah Asia Selatan, itu mungkin menjadi salah satu persoalan di dalam konteks problematika mengenai soal terorisme dan radikalisme itu tadi.
Kalau misalnya kita lihat, hampir semua tulisan atau pemberitaan mengenai Asia Tenggara sebagai The Second Front selalu dimulai dengan pernyataan bahwa Asia Tenggara adalah home bagi negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Selalu seperti itu.
Kaitannya dengan radikalisme, banyak hal lain yang mestinya harus kita perhatikan. Misalnya melihat bagaimana radikalisme ini muncul. Kemudian, selama radikalisme hanya diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau pemikiran, saya kira, terlalu jauh kalau dihadapi dengan cara-cara yang sama dengan cara-cara menghadapi terorisme. Di sini, saya kira, proses dialog atau perdebatan yang terbuka mengenai interpretasi dari ideologi ataupun agama, merupakan kunci untuk menyelesaikan isu-isu seperti itu.
Bukankah berkembangnya kelompok-kelompok yang oleh AS dianggap sebagai kelompok yang radikal, yang pro dengan terorisme, dan menganggap Osama sebagai hero merupakan suatu produk yang tidak bisa dihindarkan dari demokrasi. Nah, apakah hal ini dipahami oleh perumus kebijakan di AS?
Saya kira, sedikit dari perumus kebijakan AS yang mencoba mendudukkan persoalan secara proporsional dalam konteks itu. Hal ini menjadi persoalan serius justru ketika, misalnya, AS ingin menggalang semua kekuatan masyarakat internasional untuk mendukung kebijakan anti terorisme yang ia lakukan. Terjadi pencampuradukan yang, saya kira, justru akan semakin mempersulit kelompok moderat di banyak negara-negara muslim.
Apakah Anda melihat bahwa dalam retorika perumus kebijakan di AS belum sampai pada pesan bahwa sebenarnya AS sedang perang melawan terorisme, bukan melawan Islam?
Ya. Tapi problemnya kemudian bagaimana pemahaman itu dirumuskan dalam bentuk kebijakan operasional. Misalnya dengan adanya kebijakan bahwa penduduk negara-negara muslim kalau ingin mendapatkan visa, harus membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dibandingkan dengan negara-negara lain.
Kemudian ketika misalnya, dalam suasana perang melawan terorisme itu ada rencana untuk menghajar Irak dan lain-lain. Ini kemudian mempersulit pemahaman banyak kalangan terhadap posisi AS.
Konflik Palestina-Israel juga menjadi catatan kelam politik standar ganda AS yang makin menstimulasi rasa tidak percaya sebagian kaum muslim?
Kalau kita lihat dari perspektif konflik, konflik itu memang akan ada sampai hari kiamat, karena hal itu merupakan gejala sosial yang tidak hanya dalam konteks Arab-Israel, tapi juga hampir di semua level sosial. Nah, dalam konteks Arab-Israel, harus didorong upaya-upaya mencari penyelesaian ataupun peace process. Di sini kuncinya adalah bagaimana menghentikan kekerasan itu sendiri.
Isu tersebut menjadi salah satu sumber kemarahan orang Islam. Dan kemarahan ini menjadi besar ketika ada retorika tentang perang terhadap terorisme itu?
Saya kira, itu benar. Adanya bias yang begitu tinggi dalam kebijakan luar negeri AS, terutama dalam menyikapi konflik Arab, khususnya Palestina dengan Israel. Itu menjadi sumber ketidakpuasan. Dan kalau kita lihat dari konteks keseluruhan, sebenarnya yang paling dijengkelkan orang, tidak hanya di dunia muslim, adalah memang politik luar negeri AS itu yang menjadi pemicu utama. Seperti ketika terjadi peristiwa 11 September, reaksi yang menyalahkan AS tidak hanya muncul di negara-negara muslim, tapi juga di Vietnam, Thailand, Jerman, bahkan tak sedikit warga AS yang meminta pemerintahnya introspeksi.
Kembali pada soal terorisme. Banyak pihak yang mengatakan terorisme “agama” pada taraf tertentu terkait dengan pemahaman agama yang harfiah?
Mungkin kita harus mulai dengan pemahaman bahwa terorisme itu tidak ada kaitannya dengan agama. Dalam konteks itu, semua umat beragama harus memusuhi terorisme, siapa pun pelakunya, di mana pun, dan dalam keadaan apa pun. Itu menjadi kunci yang harus menjadi pegangan kita. Jadi tidak spesifik. Terorisme juga tidak mengenal ras. Dalam wacana kontemporer, terorisme adalah isu kejahatan transnasional yang sekarang sangat mengemuka dan harus dimusuhi semua orang.
Bagaimana seharusnya negara-negara Barat, terutama AS, merumuskan kebijakannya di masa mendatang dalam hubungan dengan negara-negara muslim?
Pertama, AS harus menghentikan proses perumusan kebijakan luar negerinya yang even revert. Selama ini kebijakan AS selalu didasarkan pada sebuah peristiwa tunggal saja. Ini yang harus dihentikan. Artinya, AS harus merumuskan kebijakannya terhadap dunia Islam dalam konteks yang komprehensif, lebih luas. Jadi, dulu misalnya ada ideologi komunisme, yang kemudian menjadi driver dari kebijakan AS. Sekarang mungkin terorisme.
Yang kedua, melihat persoalan dengan dunia Islam harus dengan beyond religion relation. Jadi lebih kepada, misalnya, sebagai sesama anggota masyarakat dunia internasional, atau pada isu-isu yang lebih produktif. Misalnya melihat pada dimensi Utara-Selatan, atau melihat aspek-aspek yang sejenis itu.
Ketiga, ignorance yang ada di publik maupun di kalangan policy makers di AS, tentang Islam dan dunia luar khususnya, harus segera ditanggulangi. Karena ignorance ini tidak hanya terhadap Islam, tapi juga terhadap mungkin negara bagian AS di sebelahnya saja mereka tidak paham.
Soal ketidaktahuan tentang dunia luar ini ada yang mengkritik bahwa bangsa AS ini adalah bangsa besar. Mereka tidak sempat melongok keluar, sehingga ketika melihat sesuatu yang “aneh” di luar, mereka bertanya-tanya?
Betul. Kemudian juga karena pengalaman sejarah AS yang tidak terekspose pada dunia luar. Tidak seperti negara-negara Barat lain yang memang pernah menjadi mantan kolonialis atau penjajah. Mereka menjadi lebih berinteraksi dengan banyak kultur, kepentingan, dan suku-suku bangsa yang lain. AS ‘kan tidak memiliki sejarah kolonialistik seperti itu. []
Komentar Masuk (0)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)