Ahmad Baso: RUU KUB Bersemangat Orde Baru…
Oleh Redaksi
Baru-baru ini Departemen Agama akan mengusulkan Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) untuk dibahas di DPR. Rancangan banyak mendapat respon dari berbagai ormas keagamaan dan kalangan yang peduli akan soal kebebasan beragama. Pasalnya, dalam RUU tersebut sarat dengan campur tangan negara terhadap keberagamaan warganya dari mulai lahir sampai mati.
Baru-baru ini Departemen Agama akan mengusulkan Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) untuk dibahas di DPR. Rancangan banyak mendapat respon dari berbagai ormas keagamaan dan kalangan yang peduli akan soal kebebasan beragama. Pasalnya, dalam RUU tersebut sarat dengan campur tangan negara terhadap keberagamaan warganya dari mulai lahir sampai mati. Salah seorang tokoh muda yang perduli dan berkeberatan dengan adanya RUU ini adalah Ahmad Baso, ketua Madrasah Emansipatoris DESANTARA, Institute for Cultural (Policy) Studies. Ia juga kemudian mengoordinir sebuah gerakan yang dinamakan Jamaah Persaudaraan Sejati (JPS) untuk Advokasi RUU KUB tersebut. Ada apa dengan RUU yang terdiri dari 15 bab dan 21 pasal itu?
Untuk mengetahui lebih detail tentang RUU yang akan menuai kontroversi ini, berikut petikan wawancara Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Ahmad Baso pada hari Kamis, 30 Oktober 2003.
NOVRIANTONI (JIL): Bung Baso, bisa Anda terangkan sebelumnya, apa sih yang dimaksud dengan RUU KUB?
AHMAD BASO: RUU KUB menurut Departemen Agama adalah RUU yang ditujukan untuk merukunkan dan mendamaikan umat beragama yang katanya sering berkonflik, suka cekcok, dan lain sebagainya. Untuk mendamaikan mereka, dibutuhkan lembaga ketiga sebagai mediator. Lembaga ketiga itu bukan lembaga agama, tapi negara. Jadi, dalam konteks ini, negara diasumsikan berkepentingan untuk merukunkan umat beragama yang sering berkonflik dan bermasalah itu.
Di situ ada beberapa alasan mengapa umat beragama sering berkonflik. Pertama, seperti yang sering diangkat oleh orang-orang depag dalam naskah akademik-nya, hal itu disebabkan adanya klaim-klaim kebenaran dalam tiap-tiap penganut agama. Kedua, karena dulu ada UU Nomor I PNPS Tahun 1965 tentang Penodaan Agama. Undang-undang itu mau dikembangkan menjadi UU pokok dalam bidang agama yang akan mengurus semua yang berkaitan dengan penganut agama, mulai dari soal lahir sampai meninggal.
Nah, RUU ini dibuat sebagi UU pokok nantinya, melanjutkan semangat UU Nomor I PNPS Tahun 1965 itu. Yang bermasalah di sini adalah acuan yang dipakai oleh RUU itu yaitu pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 45, tanpa menjadikan pasal 28 E tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai acuan juga. Nah, kalau mau dijadikan UU pokok, mestinya kedua pasal ini diakomodasi, bukan hanya mengambil satu pasal enteng yang justru membenarkan campur tangan negara, sembari mengabaikan soal kebebasan dan hak mendasar warga negara dalam beragama.
JIL: Artinya, RUU ini merupakan refleksi dari keyakinan akan perlunya negara mengatur segala kegiatan warga negara, mulai dari yang bersifat sangat privat sampai yang bersifat publik?
AHMAD BASO: Ya, filosofinya begitu. Raison de ‘etre RUU ini adalah fakta bahwa masyarakat kita suka berkonflik dan berantem. Maka dirasa perlu ada mediator yang akan menengahi. Dan mediator yang ditunjuk itu adalah negara. Nah, kata “…menjamin…” dalam pasal 29 ayat II, ditafsirkan sebagai perlunya negara ikut campur dalam mengurus persoalan agama warga negara. Nah itu yang menurut saya bermasalah, karena agama masih diasumsikan sebagai perkara yang mesti diurus oleh negara. Faktor kebebasan warga negara yang termuat dalam pasal 28 E terabaikan di sini.
Selain itu, yang bermasalah adalah, apa yang dimaksud dengan kata “menjamin” dan ikut campurnya negara, bukan terletak pada penyediaan fasilitas, perlindungan atau pengakuan jaminan atas hak-hak warga negara. Di sini yang terjadi malah ikut campurnya negara dalam mengatur mana yang benar dan mana yang salah. Semangat itu muncul, karena RUU ini merupakan kelanjutan dari UU Nomor I PNPS Tahun 1965 tentang Penodaan Agama; tentang mana ajaran agama yang sah dan mana yang dianggap menyimpang. Yang menyimpang akan dikriminalisasi, dan memang ada pasal pidananya. Nah pasal-pasal dalam UU Nomor I PNPS itu, kini dimasukkan lagi dalam RUU ini tanpa ada perubahan satupun. Jadi, RUU ini bukan hanya sekedar mengatur hubungan antaragama --semacam soal pendirian rumah ibadah atau penyiaran agama-- tapi juga soal ketentuan pihak mana yang menyimpang dan yang tidak.
JIL: Tadi Anda menyebut aspek kebebasan warga negara yang dinafikan RUU KUB ini. Bisa Anda jelaskan lebih lanjut?
AHMAD BASO: Saya mau bercerita dulu mengapa RUU ini lahir. Menurut informasi dari Depag, salah satu staf Menteri Agama pernah berkunjung ke Amerika untuk merayakan ulang tahun Deklarasi PBB tentang penghapusan berbagai bentuk intoleransi dan diskriminasi atas dasar agama dan kepercayaan. Nah, dia lalu mengusulkan kepada Menteri Agama --yang waktu itu dijabat Bapak Tholhah Hasan-- untuk meratifikasi Deklarasi PBB itu. Usulan itu disetujui, dan dibikinkanlah UU ratifikasi yang kemudian menjadi agenda dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Jadi, waktu itu ada agenda ratifikasi deklarasi PBB ini.
Tapi, pergantian menteri juga berimbas pada pergantian Litbang Depag, pergantian kebijakan, termasuk pergantian agenda tentang RUU Kerukunan ini. Usulan yang awalnya mau meratifikasi Deklarasi PBB itu, malah menjadi RUU Kerukunan Umat Beragama yang pernah dimunculkan oleh Soeharto pada tahun 1990-an dengan judul yang berbeda, yakni RUU Tata Kehidupan Umat Beragama. Beberapa pasal dari Orde Baru itu tetap dimasukkan dalam RUU sekarang. Nah itu yang bermasalah, karena semangatnya masih semangat Orde Baru yang berambisi mengontrol agama, bukan semangat reformasi yang mau mengakui dan menghargai kebebasan warga negara.
JIL: Menurut Anda, bagaimana seharusnya peran negara dan pemuka agama dalam soal pergaulan agama warga negara ini?
AHMAD BASO: Itu tergantung dari masing-masing agama. Memang ada agama yang menekankan hubungan yang lebih ketat dengan tokoh agama. Penganut Katolik ‘kan harus punya ketergantungan yang kuat pada gereja. Semantara Islam tidak memiliki otoritas tunggal; segala urusan agama dikembalikan kepada individu-individu agar menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinannya. Hanya saja, memang ada acuan formal-normatif yang harus diikuti, seperti acuan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh agama. Saya nggak tahu, pengalaman agama lain. Tapi intinya, tugas negara bagi penganut agama adalah menfasilitasi, atau berupaya menjamin kebebasan dan hak warga negara dalam soal agama.
Saat ini, negara belum menjamin kebebasan penganut Konghucu yang telah ditetapkan sebagai agama resmi melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, di masa Pemerintahan Gus Dur. Nah, negara bertugas menfasilitasi para penganut Konghucu agar memperoleh hak-hak sipil mereka, seperti pencatatan pernikahannya, pengakuan atas hak anak-anak mereka agar setara dengan anak-anak penganut agama lima yang dianggap resmi itu. Ini diperlukan supaya tidak dianggap sebagai anak haram, misalnya.
Selain itu, negara juga perlu memaksimalkan diri untuk menjaga agar tidak terjadi tindakan yang diskriminatif dalam soal keterlibatan umat beragama dalam ruang publik. Misalnya dalam ritual-ritual keagamaan. Dulu, waktu kekuasaan Orde Baru masih bercokol kuat, banyak sekali batasan-batasan terhadap ritual agama yang bukan termasuk lima agama resmi, seperti penghayat aliran kepercayaan dan Konghucu. Sekarang sudah muncul kebijakan yang pernah diambil Gus Dur tentang Konghucu. Hanya saja, ketika muncul RUU KUB, persoalannya malah kembali ke paradigma Orde Baru yang hanya membatasi lima agama, bukan melanjutkan apa yang dilakukan oleh Gus Dur.
JIL: Bung Baso, beberapa aspirasi yang masuk ke kita mendukung negara mengatur agama dalam aspek pergaulan sosial saja, tidak dalam ibadah-ritual. Tapi persoalannya, agama lebih dulu ada sebelum negara. Makanya, aspirasi yang ekstrem menyebutkan bahwa Departemen Agama perlu dibubarkan saja. Tanggapan Anda?
AHMAD BASO: Kita sepakat bahwa soal hubungan sosial dalam agama perlu diatur supaya tidak muncul kekacauan. Misalnya soal pendirian rumah ibadah atau soal penyiaran agama yang sekarang banyak dibicarakan. Hanya saja, soal itu mestinya tidak masuk dalam pasal pidana agama, tapi masuk pasal pidana biasa seperti di KUHP. Jadi, andai ada orang yang menyiarkan agama dengan unsur paksaan, itu jelas masuk dalam pasal kriminal dalam KUHP, tak perlu masuk pasal pidana agama segala. Demikian juga dalam soal pendirian rumah ibadah. Soal itu ‘kan sudah ada aturannya di SKB. Hanya saja, aturan tersebut dianggap diskriminatif karena di baliknya terselip soal pengaturan atas pendirian rumah ibadah Kristen saja. Sementara, soal pendirian masjid, faktanya tidak pernah dipersoalkan. Di lapangan, kalau mau membanguan gereja harus minta izin ke sana-ke mari, tapi kalau masjid tidak pernah.
JIL: Jadi seolah-olah aturannya hanya dibuat untuk mendiskriminasi kelompok tertentu?
AHMAD BASO: Ya. Faktanya memang lebih menguntungkan orang yang membangun masjid saja. Nah, poin lain yang juga amat berbahaya dalam RUU ini adalah soal kriminalisasi yang dimunculkan karena faktor agama. Orang yang memaksakan agamanya kepada orang lain, seharusnya ‘kan masuk pasal KUHP biasa. Tapi dalam RUU KUB ini, orang itu dikriminalisasi juga karena unsur agamanya. Jadi, soalnya bukan karena tindak kriminal paksaan itu saja, tapi juga karena agamanya. Misalnya, Anda melakukan dakwah ke orang yang sudah beragama secara paksa. Dalam kasus seperti ini, bukan hanya unsur pemaksaannya saja yang dikriminalisasi, tapi juga dikaitkan dengan urusan agamanya. Ini menurut saya sangat berbahaya dan sangat sensitif. Orang yang seagama dengan Anda juga akan terkena dampak kriminalisasi itu.
JIL: Sekalipun agama misi seperti Islam, Katolik atau Krsten itu secara doktrinal punya kewajiban menyiarkan agamanya?
AHMAD BASO: Iya. sebetulnya ada aturannya ‘kan! Selama tidak melanggar pasal-pasal KUHP, yakni pasal pemaksaan, menyiarkan agama tidak jadi masalah. Dalam KUB ini, ada unsur tambahan yang membuat orang gampang dikriminalisasi, yaitu agama. Misalnya, kawin beda agama sudah bisa dianggap kriminal. Ikut serta dalam perayaan agama lain juga kriminal. Mendirikan rumah ibadah yang tidak seagama dengan lingkungannya juga kriminal. Jadi, patokannya karena agama semua ‘kan!? Padahal, masyarakat kita sudah terbiasa berhubungan secara pluralistik. Di kalangan bawah,sebetulnya soal hubungan antaragama ini tidak ada problem. Saya kuatir, justru nanti akan menjadi masalah ketika UU KUB ini diberlakukan.
JIL: Maksud Anda?
AHMAD BASO: Dampaknya yang lebih jauh kalau RUU ini diberlakukan memang akan memunculkan sekat-sekat baru dalam hubungan warga negara atas dasar agama. Muncullah segregasi sosial yang mencolok nantinya.
JIL: Apa implikasi praktis lainnya dari RUU ini bila disahkan?
AHMAD BASO: Akan ada polisi syariat, polisi KTP agama, dan penyensor isi-isi ceramah. Dulu kopkamtib yang mengurus soal itu. Sekarang, mungkin akan ada polisi tersendiri. Dalam soal penyiaran agama, memang harus ada pengaturan, tapi bukan dalam bentuk undang-undang tentang agama, namun masuk dalam pasal KUHP biasa, dalam soal pemaksaan, misalnya. Jadi, penyiaran agama itu menjadi boleh asal tidak memaksa. Selama ini agama-agama bebas menyiarkan agama mereka, tapi jangan kepada penganut agama yang sudah beragama. Dalam RUU KUB ini juga dinyatakan seperti itu; penyiaran agama tidak boleh dilakukan kepada orang yang sudah beragama. Tapi agama yang dimaksud di sini adalah lima agama yang resmi. Jadi yang bukan lima agama resmi seperti Konghucu dan penghayat kepercayaan, tidak boleh menyiarkan agama, tapi akan selalu menjadi objek penyiaran agama. Artinya RUU ini diskriminatif; membolehkan menyiarkan agama kepada orang-orang yang tidak diakui agamanya, yaitu Konghucu, pengahayat, Sikh, dan sebagainya. Itu berbahaya, karena mengundang diskriminasi warga negara atas dasar agama.
JIL: Apa Anda mencium kekhawatiran menyusutnya populasi umat mayoritas di balik desain RUU ini?
AHMAD BASO: Memang ada kekhawatiran akan menyusutnya jumlah mayoritas di balik itu. Inilah yang selalau dijadikan materi kampanye oleh orang-orang yang mendukung RUU ini. Sekarang ‘kan waktunya dekat dengan momentum pemilu. Isu ini akan menggalang suara. Selalu saja yang dijadikan acuan itu adalah soal mayoritas-minoritas. Apa yang dimaksud dengan mayoritas di sini belumlah jelas; apakah sosiologis, atau karena kedekatan dengan kekuasaan, sehingga membenarkan diri mengatasnamakan suara mayoritas. Menurut saya, kebenaran jangan dikaitkan dengan jumlah. Ini berbahaya karena akan memunculkan klaim-kalim, dan itu akan merusak hubungan antarumat beragama. Faktanya, yang mayoritas sendiri (muslim) tidak pernah seragam pandangannya.
JIL: Lantas, bagaimana respons dan sikap NU dan Muhamadiyah sendiri terhadap RUU ini?
AHMAD BASO: NU dan Muhamadiyah sudah mengeluarkan pernyataannya menolak, seperti yang diutarakan KH Hasyim Muzadi dan Buya Syafi’i Ma’arif. Bagi mereka, urusan kerukunan diserahkan saja kepada umat beragama dan dikelola secara kultural saja. Sebab masyarakat sudah punya mekanisme tersendiri untuk membangun situasi harmonis di antara mereka. Di Maluku, kita mengenal instrumen pela gandong atau baku bae. Di Lampung juga ada mekanisme tersendiri. Di Sulawesi Selatan, mereka punya instrumen sepakatao atau saling menghormati. Semua sudah dijalankan masyarakat, tak perlu undang-undang. Hanya saja, karena negara masih mau mengatur segala hal, soal kerukunan inipun mau disandarkan kebenarannya pada negara yang konon mau merukunkan.
Saya kira, argumen kita untuk menolak atau mendukung, bukan pada soal mayoritas atau minoritas, tapi lebih pada soal jaminan kebebasan dan perlindungan terhadap warga negara dalam soal agama. Misalnya kalangan penghayat kepercayaan. Mereka punya keyakinan beragama sendiri, tapi malah tidak diakui haknya untuk dicatat dan difasilitasi oleh negara, dan tidak pula mendapatkan hak sipil. Bagi saya, itu yang perlu diperhatikan.
JIL: Anda ingin mengatakan bahwa pemuka agama sebaiknya jangan memberi ruang lagi bagi otoritarianisme negara atas umat beragama?
AHMAD BASO: Kalau menurut logika RUU ini, jelas implikasinya akan kian menambah tingkat otoritarianisme negara. Sebab, RUU ini memang menambah kuasa negara atas warganya dalam soal agama. Seperti saya sebutkan tadi, jika RUU ini berlaku, akan ada polisi syariat. Semua orang yang ikut dalam perayaan agama lain akan dipantau. Juga akan ada litsus bagi ceramah agama. Para muballigh akan di-training seperti penataran P4 agar tidak meyimpang dari ketentuan pemerintah, dan supaya tidak mengganggu stabilitas negara.
Komentar
Salam, Saya sekedar menanggapi lontaran dari saudara Harry dan Ali yang menganjurkan agar JIL untuk “obyektif”. Kalau saya boleh tahu menurut saudara berdua, apa sih yang namanya “obyektif” itu? Sekedar merujuk “ulama” (kan artinya orang yang berilmu, jadi dia juga masuk) hermeneutika, Kyai Gadamer, bahwa penafsiran obyektif yang valid adalah sesuatu yang mustahil. Jadi sebagai counter discourse dari beliau-2 yang sampeyan sebut tadi, sangat wajar JIL tidak mengakomodasi mereka, karena pikiran mereka sudah terakomodasi selama ini dan hampir mendominasi ruang publik keIslaman di negeri ini. Wassalam,
Gandakusuma
-----
Usul yang bagus dari saudara hari Harry. Sudah saatnya JIL mewancarai para tokoh yang berseberangan ideologi. Selama ini kita cuma dapat jawaban atau pernyataan kritis dari yang diwawancarai belum pertanyaan-pertanyaan kritis dari JIL kepada para tokoh.
Saya tahu ini tantangan sendiri buat JIL tapi saya yakin dengan begini pembaca akan lebih mengargai JIL. Kalau para tokoh yang berseberangan ideologi menolak untuk diwawancarai JIL perlu juga menulis penolakan mereka dengan alasannya, tidak perlu sungkan. Ini bagian dari keterbukaan.
Salam
Saya copy paste pernyataan Bung Baso, yang saya yakin tidak akurat sekali, sbb :
“Sementara, soal pendirian masjid, faktanya tidak pernah dipersoalkan. Di lapangan, kalau mau membanguan gereja harus minta izin ke sana-ke mari, tapi kalau masjid tidak pernah”
Padahal kalo kita mau ingat dan obyektif beberapa tahun yang lalu setelah ceramah Theo Syafei yang membakar, penghambatan pembangunan masjid, pembakaran pun terjadi di NTT, Tim Tim (sekarang Timor Leste).
Sebaiknya bung Basso jika masih ingin disebut intelektual harus mempunyai data yang lengkap dan akurat, sehingga tidak memalukan seperti ini.
Oh ya jika kita ingin menambah wawasan dan pengayaan pendapat dan wacana, apakah JIL berani mewawancarai pihak2 yang berseberangan ideologi, misalnya Jafar Umar Thalib, Habib Rizieq, KH Athian Ali, atau AA Gym. Dan juga yang diskusikan/dibahas masalah2 yang kontraversi, misalnya, masalah Jilbab, polygami, Nikah lain agama.
Karena selama ini kelihatannya JIL hanya ingin membentuk opini bahwa keyakinan mereka tidak benar, dengan cara hanya mewawancarai pihak2 yang sepaham dengan JIL tentang isu2 tsb, sehingga dikesankan mereka salah dan pendapat JIL benar.
Komentar Masuk (3)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)