Jamhari Makruf Salat Ya, Korupsi Ya!
Oleh Redaksi
Pertama, ternyata orang memahami Islam itu masih bersifat personal. Islamnya masih bersifat individual. Jadi mereka memahami Islam sebagai tahapan bagaimana hubungan dia dengan Tuhan. Itu mungkin yang bisa kita analisa. Bahkan ada teman yang berseloroh bahwa penelitian itu membuktikan sesugguhnya orang Islam di Indonesia sudah sekuler. Dalam arti, tenyata agama itu lebih cenderung kepada aspek personal. Jadi salat ya salat, korupsi ya jalan terus.
Baru-baru ini, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta mengadakan penelitian tentang Islam dan demokrasi. Penelitian ini dilakukan di 16 propinsi seluruh Indonesia dan mewawancarai langsung 2000 responden. Banyak temuan yang menarik dalam penelitian ini. Salah satunya adalah bahwa umat Islam di Indonesia semakin tinggi tingkat kesalehannya. Misalnya, adanya kecenderungan makin dominannya kelas santri. Kecenderungan ini terlihat dari makin merebaknya kesalehan dalam masyarakat. Sayangnya, tingginya kesalehan ini dibarengi dengan semakin tinggi pula tingkat kecurigaan dan tidak tolerannya terhadap kelompok di luar Islam. Majalah Tempo yang memuat laporan penelitian itu merumuskan temuan itu dalam kalimat pendek yang cukup baik, “More Pious, Less Tolerant”. Artinya: kian saleh, kian enggan menoleh. Maksudnya “menoleh” kepada golongan-golongan yang berbeda agama.
Untuk membicarakan lebih lanjut tentang temuan penelitian ini, Ahmad Sahal dari Kajian Islam Utan Kayu mewawancarai Dr. Jamhari Makruf, Direktur PPIM IAIN Jakarta dan sekaligus anggota dalam penelitian ini.Berikut petikannya:
Baru-baru ini lembaga Anda melakukan penelitian tentang Islam dan Demokrasi yang kemudian dimuat di Majalah TEMPO (30 Desember 2001). Apa yang mau anda jawab dari penelitian itu?
Penelitian ini untuk menjawab pertanyaan bagaimana sikap dan dukungan umat Islam terhadap good governence. Yang kita pahami, good government adalah tentu demokrasi. Jadi secara sederhana, apakah umat Islam itu mendukung demokrasi atau tidak. Untuk sampai ke situ, kita ingin juga mengukur, apakah orang Islam itu bisa dikatakan “Islam yang baik”. Untuk sampai ke situ kita juga menggunakan ukuran bagaimana orang Islam itu melaksanakan agamanya. Setelah itu, karena ini menyangkut apakah umat Islam mendukun demokrasi atau tidak, tentu pertanyaannya adalah, apakah orang Islam itu secara konseptual juga paham dan mendukung demokrasi. Maka pertanyaan esensial seperti misalnya apakah umat Islam masih ingin mendirikan negara Islam, atau dengan kata lain menegakkan syariat Islam, itu menjadi sangat penting. Sebab kalau mereka mengatakan mendukung demokrasi, tetapi ingin menerapkan syariat, itu salah satu kontradiksi. Untuk menjawab pertanyaan itu, di survei kita ajukan pertanyaan-pertanyaan tentang hal itu. Yang ketiga, penelitian itu sesungguhnya juga ingin menjawab bagaimana nasib demokrasi di Indonesia. Jadi apakah demokrasi itu didukung oleh orang Indonesia. Karena masyarakat Indonesia mayoritas muslim, maka pertanyaan yang kita ajukan: bagaimana orang Islam mendukung demokrasi.
Dari hasil penelitian itu apa yang bisa diceritakan?
Yang pertama, tentang kualitas keberagamaan orang Islam. Di situ terlihat bahwa ternyata orang Indonesia itu makin santri. Jadi, kalau dulu Clifford Geertz menyebut adanya polarisasi santri-abangan, dan masing-masing kelompok mempunyai pengaruh yang sama besar, maka sekarang terlihat santri lebih dominan. Ini terlihat dari jawaban mereka ketika kita tanya “Apakah mereka melaksanakan shalat lima waktu?”. Lebih 80 persen menjawab ya. Apalagi ketika kita tanya “Apakah mereka melaksanakan ibadah puasa”, hampir 95 persenan mereka menjawab ‘melaksanakan puasa’. Ini menunjukkan bahwa mereka semakin santri. Dan abangan itu sangat kecil. Seperti misalnya kita tanya “Apakah mereka sering datang ke dukun?”, jawabannya hanya 5 persen. Atau malah kurang sekali. Itu menunjukkan bahwa kualitas keberagamaan kita ini di kalangan umat Islam makin santri. Yang kedua, tentang syariat Islam. Sekitar 61 persen menjawab bahwa mereka ingin menerapkan syariat Islam di Indonesia. Yang ketiga, bahwa dukungan umat Islam terhadap demokrasi sangatlah besar.
Menurut penelitian ini, masyarakat semakin santri tapi kekerasan dan korupsi justru meningkat. Terus yang satunya lagi, semakin saleh tapi makin curiga. Semakin tidak toleran terhadap hal-hal yang dianggap berbeda atau dianggap musuh pihak-pihak lain yang diangap berbeda. Bagaimana menjelaskan ini?
Memang ini pertanyaan yang menarik. Dari kasus itu kita lihat memang orang Islam lebih santri. Yang melaksanakan salat banyak, kemudian yang bepuasa juga banyak, yang bayar zakat juga banyak, yang datang ke kiai juga semakin banyak. Tapi pertanyaan Mas Sahal tadi sangat valid dan itu menjadi pertanyaan umum juga, “Kenapa kesantrian itu tidak juga berimbas kepada masalah sosial, korupsi, dan seterusnya?” Ini sekedar interpretasi saja, analisa kita. Pertama, ternyata orang memahami Islam itu masih bersifat personal. Islamnya masih bersifat individual. Jadi mereka memahami Islam sebagai tahapan bagaimana hubungan dia dengan Tuhan. Itu mungkin yang bisa kita analisa. Bahkan ada teman yang berseloroh bahwa penelitian itu membuktikan sesugguhnya orang Islam di Indonesia sudah sekuler. Dalam arti, tenyata agama itu lebih cenderung kepada aspek personal. Jadi salat ya salat, korupsi ya jalan terus.
Ada keyakianan di kalangan muslim bahwa syariat itu sesuatu yang niscaya, karena dari segi sejarah kontribusinya umat Islam sangat luar biasa. Yang kedua, santri kok banyak anarki, tidak toleran, semakin santri kok banyak korupsi? Kok banyak kekerasan? Itu bagaimana Anda menjawabnya?
Analisa pertama kita tdi dalah bahwa umat Islam memahami agama masih dalam tataran ibadah. Jadi masih personal, urusan saya dan Tuhan. Maka jawaban kita tentang salat, tentang puasa, itu urusan pribadi dengan Tuhan. Kecenderungan itu sangat tinggi. Mereka mempunyai tanggung jawab yang tinggi untuk melaksanakan agama yang bersifat individu dengan Tuhan. Tetapi, ketika muncul pertanyaan ‘kenapa ada kekerasan, ada korupsi’, maka kita menyimpulkan bahwa tanggung jawab seorang muslim kepada aspek sosial itu masih lemah. Analisa kita yang kedua adalah bahwa lagi-lagi pemahaman orang Islam di Indonesia menegnai Islam masih bersifat formalistik. Misalnya ritualistas. Yang dipahami dari agama hanya ritualnya saja, belum diaplikasikan pada tingkat sosial. Analisa ketiga, seperti yang ditulis di Tempo itu, ada jarak antara pemahaman keagamaan dengan pengamalan tentunya. Jadi apa yang dipahami belum tentu dipraktekkan.
Pertanyaan tadi mengenai kaitan antara syariat dengan demokrasi. Kalau dalam penelitian Anda, masyarakat muslim itu mayoritas menerima pelaksanaan syariat Islam, tetapi ketika dirinci syariat Islam yang seperti apa dan apa saja, misalnya soal hukum rajam, soal hukum potong tangan, soal pemerintahan harus dikelola, dan seterusnya itu ternyata banyak yang menolak. Ini menarik, di satu sisi syariat sebagai sebuah ajaran itu diterima, tapi ketika masuk ke persoalan-persoalan detilnya, ternyata banyak yang menolak. Menurut Anda ini kenapa?
Ketika muncul pertanyaan itu, barangkali umat Islam di Indonesia tidak paham apa itu syariat. Jadi orang-orang yang terjaring kuisioner kita tidak paham apa itu syariat. Ketika ditanyakan tentang hukum-hukum dan seterusnya itu, mereka tidak setuju. Yang kedua, saya kira yang paling mungkin mendekati kebenaran adalah: ternyata orang Indonesia mempunyai persepsi yang berbeda tentang pemaknaan syariat itu. Kalau selama ini syariat dalam politik itu selalu dikaitkan tentang penerapan hukum Islam dalam negara seperti hukum rajam, hukum potong tangan, kemudian bunga bank, dan seterusnya, mereka rupanya memilih memahami syariat itu pada level yang lebih universal.
Yang universal itu maksudnya bagaimana?
Yang universal itu kita pahami sebagai demokrasi, misalnya. Sebab, ketika kita tanyakan ‘apakah mereka setuju terhadap pemerintahan demokratis’, 80 persen menjawab ya. Tapi ketika kita tanyakan ‘apakah kekuasaan itu di tangan Tuhan’, mereka menjawab sama. Kita berpendapat, jangan-jangan yang dipikirkan oleh mereka, pelaksanaan syariat itu adalah apa yang kita pahami sebagai demokrasi tersebut.
Jadi dibaca dari penelitian Anda diantaranya adalah bahwa pemahaman syariat itu beragam di kalangan umat Islam. Ini menarik kalau dikaitkan dengan klaim atau keyakinan dari kalangan yang menyetujui tentang syariat Islam di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa umat Islam itu otomatis setuju. Mereka berkeyakinan bahwa umat Islam itu sepakat syariat Islam diterapkan. Tetapi pemahaman tentang syariat Islam itu sendiri berbeda-beda. Bagaimana dengan implikasi keragaman pemahaman syariat terhadap manuver politik yang dilakukan oleh partai-partai Islam untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia itu?
Klaim-klaim bahwa umat Islam akan mendukung penerapan syariat, seperti sering dikampanyekan oleh partai-partai Islam itu, akan membuat mereka kecele, kalau mereka benar-benarpercaya mayoritas orang Islam di Indonesia menyetujui ide itu. Sebab yang 60 persen ini pun ternyata memahami syariat ini berbeda-beda. Jadi tidak otomatis mereka akan mengikuti platform syariat Islam yang dikemukakan oleh partai Islam itu. Ini bisa kita analogikan dengan dukungan penerapan syariat Islam pada waktu konstituante maupun kemerdekaan dulu. Itu kan didukung oleh orang Islam. Pada tahun 1955 itu, baik orang modernis maupun tradisionalis, mendukung ide itu. Tetapi pertanyaannya sekarang, kenapa yang tidak setuju dan menolak syariat itu juga datang dari kalangan Islam. Ini menunjukkan bahwa pemahaman mengenai syariat Islam bermacam-macam. Saya kira perlu ada diskusi panjang tentang masalah ini.
Apa yang mestinya dilakukan oleh masyarakat muslim terhadap isu itu, karena di satu sisi ada gerakan politik, tapi syariat itu sendiri sesuatu yang bisa dimaknai bermacam-macam. Kita ingat bahwa bahkan Ketua NU dan Muhammadiyah secara eksplisit mengatakan bahwa hukum di Indonesia itu sudah final, tidak perlu ada penerapan syariat Islam. Menurut Anda bagaimana melihat kenyataan seperti ini?
Saya juga terpengaruh paham-paham tentang kontekstualisasi Islam atau kontekstualisasi demokrasi. Saya kira Islam juga harus diterapkan dalam wacana Indonesia. Bagaimana kita menerapkan wacana Islam ke dalam Indonesia? Saya kira sekarang adalah bagaimana mengkaitkan Islam dengan demokrasi. Pertanyaan yng harus dijawab adalah ‘apa yang tidak sejalan antara syariat Islam dengan demokrasi?” Saya kira memang betul bahwa umat Islam kian menjadi santri. Tapi kalau kita berbicara demokrasi, yang agak menyedihkan adalah bahwa orang Islam yang santri itu tenyata tingkat toleransinya rendah. Padahal dalam demokrasi kita butuh toleransi yang sangat tinggi. Ternyata ketika kita tanyakan ‘apakah ada orang yang dibenci?’, mereka menjwab ada. Kemudian tingkat trust, amanah, atau kepercayaan kepad orang lain, ‘apakah Anda mempercayai orang lain?’, jawabannya sangat rendah. Bahkan ketika ditanyakan ‘apakah Anda harus berhati-hati terhadap orang lain?’, hampir 70 persen menjawab harus hati-hati. Itu menunjukkan bahwa trust atau kepercayaan kepada orang lain itu rendah. Juga toleransi kepada kelompok yang berbeda, itu sangat rendah.[]
Komentar Masuk (0)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)