Saya Sudah di Surga, Ustad! - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
21/11/2005

Saya Sudah di Surga, Ustad!

Oleh M. Guntur Romli

Rabu malam kemarin (16/11), di kediaman Wapres Jusuf Kalla diputar film istimewa. Penontonnya pun istimewa. Film itu berasal dari rekaman testimoni (pengakuan) para pelaku bom Bali II. Sedangkan penontonnya, dua belas ulama yang didatangkan dari Jawa Timur.

21/11/2005 23:33 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (30)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 2 halaman 1 2 >

Kejadian akhir-akhir ini hanyalah bom-bom kecil yang dihasilkan oleh testemoni-testemoni para pemuka agama. Ditambah lagi ketidak dewasaan para pemuka agama, yang menjadi gampang sekali mereduksi agama, dan makna tentang Tuhan, mengklaim bahwa diluar islam adalah tidak bertuhan, bukan agama yang direstui Tuhan.

Hegemoni ini tidak bisa diimbangi dengan baik oleh para umat, sehingga mereka menerima begitu saja kotbah dari pemuka agama seolah-olah ayat-ayat suci. Alhasih, fanatisme beragama berkembang subur di Indonesia ini. Bahaya laten ini, jauh lebih berbahaya dari apa yang pernah ditakutkan oleh rezim Soeharto, komunis.

Trima kasih, Pak Guntur Romli atas wacananya

#1. Dikirim oleh Moch. Yunus  pada  22/11   12:12 AM

Isi editorial sangat, sangat bagus. Kita harus melawan fundamentalis agama. Membawa bawa agama dalam kehidupan bermasyarakat memang berbahaya. Namun demikian yg lebih berbahaya adalah yang membawa-bawa bawa jargon jargon agama dan atau kebaikan namun justru mereka yang korupsi, gila harta, dan jabatan. Mereka merampok, menindas, menipu umat manusia sehingga lahirlah golongan ‘gila’ yg berbuat ekstrim.

Ingatlah ungkapan “Khawarij tidak lebih buruk dari Bani Umayyah”.

Di sinilah diperlukan adanya golongan liberal yg benar-benar liberal baik hati dan pikirannya. Jangan seperti, katakanlah, di Jordania, golongan penganut liberalisme (ekonomi) ketika berkuasa justru melakukan korupsi dan membangun jaringan sesama mereka demi kepentingan kelompok.

viva islamlib.com!

#2. Dikirim oleh guswandi  pada  22/11   04:12 AM

Menarik sekali membaca alinea yang menyatakan:

“Tapi lebih jauh, apakah mereka sudah sadar bahwa alasan-alasan para teroris itu, sesuai belaka dengan begitu banyak isi khutbah, pengajian, dan pengajaran agama yang disampaikan kebanyakan dai yang kita anggap tokoh agama selama ini? “

Sayang sekali penulisnya ‘hanya’ seorang M. Guntur Romli dari JIL yang para aktivisnya sudah keburu dicap sesat (bahkan halal darahnya) oleh banyak kalangan muslim yang seharusnya menjadi sasaran tulisan ini. Seandainya yang menulis ini seorang tokoh terkemuka NU atau Muhammadiyah, efek kritiknya pasti lebih luas.

Mungkinkah para ulama kita memang sudah terlalu terkungkung oleh berbagai problema umat yang kian ruwet, sehingga tidak mampu melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda ? Hingga mereka terkejut-kejut atas sesuatu yang secara nalar memang seharusnya akan terjadi begitu picu ditarik? Kalau memang demikian, tidakkah yang mereka perlukan adalah semacam ‘penyegaran’/’rekreasi’? Atau ‘outward bound’? Atau malah ‘perkemahan antaragama’? Apa pun yang membuat mereka berpikir berkali-kali sebelum menyemburkan khotbah yang menebar kecurigaan, kebencian, dan hasutan.

#3. Dikirim oleh P. Sumanto  pada  22/11   05:11 AM

Salam kepada Bp. M. Guntur Romli. Saya hanya bisa mengatakan bahwa orang seperti Bapak ini, SUNGGUH, tidak jauh dari Kerajaan Sorga. Semoga kasih karunia dari Tuhan akan terus menyertai Bapak.

Meski ada kuasa jahat yang memaksudkan peristiwa buruk untuk menjatuhkan manusia, tapi Tuhan AHLI mendatangkan segala kebaikan dari kejadian seburuk apapun. Kasih Tuhan akan terus bekerja sampai akhir masa.

#4. Dikirim oleh Ratih Widiarti  pada  22/11   07:11 PM

Kalau kita amati, militansi paham keberagamaan yang berujung pada pelanggaran hak keselamatan atau hak asasi orang lain tidak hanya ditemukan di agama Islam saja, tapi juga di kalangan penganut agama-agama lainnya. Akhirnya jadi timbul pertanyaan : buat apa ada agama?  kalau akhirnya hanya memicu timbulnya kekacauan dan penderitaan?  Tapi, setelah dicermati lebih lanjut lagi, rasanya tidak ada yang salah dengan agama; bagaimanapun agama adalah panduan etika.  Supaya hidup kita; relasi kita dengan orang lain, cara berpikir kita, lebih tertata dan memberi berkah tidak hanya kepada diri kita sendiri tetapi juga kepada orang lain, kepada alam semesta. Repotnya sebagian besar penganut agama, menginterpretasikan agama sebagai hanya ‘sebuah passport’ untuk memasuki akhirat; dan surga adalah tujuan.

Tindakan apapun, bila semuanya atas nama ‘ingin masuk surga’ menjadi sah-sah saja untuk dilakukan.  Nilai-nilai kemanusiaan, rasionalitas menjadi sesuatu yang dianggap ‘omong-kosong!’. Sungguh menyedihkan! Jadi, sudah saatnya kini kita tidak lagi mengkomunikasikan nilai-nilai keagamaan dengan insentif janji-janji masuk surga, atau ancaman masuk neraka!  EGP lah dengan surga atau neraka! Iming-iming surga toh akhirnya hanya mendidik kita menjadi manusia yang serakah!  Wong Allah sudah memberi kita buanyak...buanyak...sekali!  sedangkan kita hanya memberi sedikiiiiit sekali! koq masih ngarepin surga! (ih enggak tahu diri, serakah amat sih!).

Jauh lebih produktif bila komunikasi nilai-nilai keagamaan ditujukan bagi upaya peningkatan kontribusi setiap insan terhadap perwujudan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri!  Dan pemaknaan ritual-ritual keagamaan lebih sebagai sebuah upaya untuk merevitalisasi semangat pelestarian nilai-nilai kemanusiaan juga, agar menjadi manusia yang berbahagia dan bermanfaat bagi sesama; bukan semata-mata untuk mendapatkan sorga setelah mati!

Hayo para da’i!  Jangan terus menerus jamaahmu diperlakukan seperti anak kecil!  yang cuma diiming-imingi ‘permen surgawi!’ Didik dong kami semua menjadi manusia yang seutuhnya!

#5. Dikirim oleh Rita Maria  pada  22/11   11:12 PM

Nampaknya kita tidak usah berlarut-larut pusing memikirkan: Apakah Dr. Azahari Cs yang telah tewas dan menuju “surga"nya sendiri. Tetapi yang perlu direnungkan kembali adalah kegemaran kita secara kolektif untuk terus-menerus mencaci maki dan mencari kambing hitam kepada orang-orang lain yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kelakuan terorisme Dr. Azahari.

Sebagai contoh: ulama dan pesantrenlah yang menjadi sasaran empuk dikambing-hitamkan dan dipersalahkan. Rasionalitas dan nilai kemanusiaan kita menjadi hilang akal dan pegangan, betapa hujatan dan cacian yang tidak mendasar merupakan perbuatan yang tidak kalah dahsyatnya dari efek “bom”. Ulama dan pesantren saat ini tersudut dan memarjinalkan, menanggung akibat bom bunuh diri yang belum bisa dipastikan mereka terlibat, ini tidak memberikan efek penyadaran sama sekali.

Arogansi dan sikap mudah menyalahkan orang lain adalah mungkin bagian yang sama persis dimiliki dan mendasari Dr. Azahari sebelum melakukan pemboman itu sendiri. Alangkah sejuknya ungkapan Aa Gym, mulai dari diri sendiri, mulai hari ini, mulai dari yang kecil...dst.  Tunjuk mata dan hidung kita sendiri! Apakah kita telah sempurna tanpa dosa dan tidak ambil bagian melahirkan teroris baru dengan sikap sinisme dan caci maki kepada mereka-mereka (ulama dan pesantren) yang secara sepihak kita persalahkan. Teruslah memaki, bersikap sinis. Niscaya kita menjadi “tuhan baru”.

#6. Dikirim oleh zaki hilmi  pada  23/11   02:12 AM

saya teringat dengan sebuah lagu tentang seorang kisah mujahid muda untuk meraih surga yang ia cita-citakan. Niat yang terucap pertama adalah untuk membela agama Allah. Suatu perjuangan yang sangat mulia jika dilakukan dalam kaidah yang benar. Namun di setiap peperangan selalu jatuh korban. Bukan hanya dari pahlawan tapi dari rakyat jelata. dalam bukunya Imam Samudra mengatakan bahwa sebagian besar turis asing yang datang ke pulau dewata adalah Agen Rahasia yang sengaja melakukan kegiatan intelejen di Indonesia. Mereka mayoritas berasal dari negara-negara yang menjadi “budak” berhala yang disembah-sembah yang disebut Amerika. Pantas saja jika Bali dijadikan sasaran dari serangakain bom yang dilakukan oleh Imam samudra Cs.

Hal tersebut ternyata tidak berhenti bahkan makin marak dilanjutkan Azahari Cs. Jika terjadi korban dari penduduk lokal pasti itu bukan merupakan target dari sebuah perjuangan. Selama ini media selalu mengopinikan terorisme kepada mujahid-mujahid, entah dimanapun dia berada. dari Jimbaran Bali sampai Jalur Gaza. Persoalan sudah sampai disurga apa belum itu bukan otoritas manusia. Mungkin otak mereka sudah terdoktrin namun yang jelas mereka sudah bernai berkorban untuk satu tujuan!

#7. Dikirim oleh jafar  pada  23/11   06:12 AM

Saya teringat ketika mengikuti kuliah umum di Universitas Tanjungpura Pontianak Kalbar, dengan penceramah Prof Dr Muhctar Masud Dekan Ilmu Politik UGM, belum lama ini. Dia bercerita soal percakapannya dengan seorang kiyai mengenai surga. “Pak Kiyai, apakah masuk surga pencipta komputer yang bukan orang islam itu. Masalahnya, komputer banyak berguna bagi umat manusia di dunia ini. Apakah Tuhan tega masukkannya ke neraka gara-gara dia bukan beragama Islam?” tanya Muchtar. Pak Kiyai tetap dengan dalilnya, hanya orang Islam yang berhak masuk surga.

Dialog itu menggambarkan, bahwa surga hanya milik sepenuhnya orang Islam. Apakah benar demikian? Wallahualam. Menurut saya, siapapun yang berbuat kebaikan di dunia, atau banyak meninggal kreasi untuk kemajuan manusia, pasti ada ganjarannya di sisi Allah, apakah dia Islam ataupun non Islam. Begitu juga sebaliknya, siapapun dia kalau sudah berbuat malapetaka bagi manusia, tetap saja masuk negara.

Mengenai para pelaku bom bunuh diri, yang telah membunuh manusia tidak berdosa, dengan atas nama Islam, apakah Allah layak memasukkannya ke surga? Dan apakah Allah juga tega memasukkan si pencipta komputer itu masuk neraka hanya karena bukan Islam? Sudah selayaknya, bagi penebar maut layak dijebloskan ke penjara. yang berbuat baik bagi sesama sudah selayaknya mendapatkan imbalan lebih baik dari Allah.

Terima kasih.

#8. Dikirim oleh rosadi jamani  pada  23/11   07:12 AM

Salam,

Terus terang, saya terenyuh menatap wajah-wajah mereka yang diduga para “Bomber Terorist” tak berperikemanusiaan. VCD yang terus, dan terus ditayangkan dalam program berita TV itu membuat saya selama beberapa hari terbayang selalu wajah-wajah mereka. Mereka hanya orang kampung yang kampungan. Bodoh karena dibodohkan. Terdoktrin karena didokrin. Harga diri yang tak berharga lagi. Kesulitan materi yang melilit. Eksistensi yang tak terakui. Hingga mati jadi pilihan terbaik dengan janji surganya.

Yang saya benci bukan mereka para bomber itu. Yang saya benci adalah “mereka” (mungkin juga saya), yang dianggap memimpin atau berilmu, yang katanya pandai dan tercerahkan, yang punya massa dan yayasan, yang punya pengaruh dan kuasa. Kenapa saya mendukung pembodohan? Kenapa saya mengharamkan akal? kenapa saya menciptakan jurang demi jurang? Kenapa saya mendukung eksploitasi? Hingga, bunuh diri atas nama agama jadi cara memperoleh kenikmatan yang tak ada di bumi.

#9. Dikirim oleh Erliyani  pada  24/11   12:11 AM

Membaca artikel di atas, beserta keadaan negara dan dunia pada umumnya.  Mungkin layak kalau kita bertanya lagi pada diri sendiri, “apa sih arti agama?” Menurut pendapat saya pribadi (sekali lagi ini hanyalah sebuah opini), belakangan ini agama telah dijadikan alat pemuas atau pembanggaan diri sendiri.  Bukankah dengan mengatakan “Agamaku yang terbaik, yang lain tidak berhak untuk masuk surga dan salah” sama saja dengan memuja diri sendiri.  Keegoisan yang terbungkus oleh objek yang sejatinya adalah untuk menekan keegoisan itu sendiri. “Akulah yang terbaik” mungkin itu yang harusnya dikatakan, tanpa menambah embel-embel apa pun, apalagi bila embel-embel itu adalah agama.

Hakikatnya agama adalah sesuatu panduan hati yang sakral, yang selayaknya menjadi alat pendekatan diri pada Sang Pencipta.  Demikian juga Islam, yang hakikat arti katanya ada “Cinta dan Damai.” Jika boleh saya bertanya, kapankah rasa cinta kasih benar-benar menjadi agama hati setiap manusia?  Dan kita mampu melihat setiap manusia sebagai manusia dalam ketelanjangannya tanpa busana agama, suku, ras, negara, dan sebagainya?

#10. Dikirim oleh Fahadzaki Sjadzali  pada  24/11   01:11 AM

Mohon maaf, manakala manusia masih belum berjalan pada pemahaman Islam secara kaffah, pasti masih terbuka peluang pada penafsiran2. Padahal Islam untuk jalan hidup, hidup itu wujud, wujud itu bukan teoristis apalagi pendapat/tafsir. Semua yang wujud dan hidup sudah berjalan dan berproses tidak ada yang berhenti sejuta detikpun. Sunathullah/hukum alam/hukum Tuhan sudah berjalan dan berproses sempurna. Jadi seharusnya sudah tidak ada khayalan/fantasi/gambaran pada bentuk apapun, seperti surga, neraka, pahala/dosa bahkan pada Tuhan sekalipun.

Dalam pintu Islam ada istilah syahadath, itu juga bentuk wujud yang bukan berhenti berhenti pada kalimat/bunyinya. Walau di kalimat sudah terbunyi: bahwa sesungguhnya saya bersaksi pada keesaan Tuhan, itu berarti saya yang sesungguhnya (sejati) pasti akan mampu menyaksikan keesaan Tuhan (wahdlatul wujud). Untuk itu manusia harus kembali kepada kondisi yang asli yang telah dibekalkan Tuhan pada saat di alam rahim untuk menjalankan fungsi dan tugasnya di alam dunia sebagai khalifah. Bekal apakah itu??

Modal putih (kesucian) itu yang harus tetap dijaga dalam perjalanan hidup di dunia, sehingga jauh dari kontaminasi dan terjebak pada warna dan rasa dunia yang sementara.

Di seberang nikmat dunia ada yang lebih nikmat dan hakiki (surga) yang pasti bisa dirasakan dalam hidup sekarang. Semua manusia seharusnya sudah pada titik itu sesuai dengan kehendak Pencipta dalam mencipta manusia. Tapi yang terjadi sekarang banyak manusia yang berhenti pada titik kenikmatan dunia yang akan tenggelam juga. Kok tidak terus pada kenikmatan pada alam langgeng/hakiki.

Tanpa modal hidup dengan modal yang diberikan pada saat keberangkatan hidup manusia diciptakan pasti manusia akan gagal (bersambung)

#11. Dikirim oleh mulya  pada  24/11   03:11 AM

Sudah puluhan tahun saya belajar agama dengan pemahaman tentang tuhan yang baik, agung, suci dan segala hal yang hampir tidak pernah terpikirkan oleh saya sebagai manusia.

Tapi perasaan saya menjadi aneh ketika membaca tulisan cak romli tentang alasan para “ahli surga” yang masuk memakai tiket nyawa orang lain. 

Bahwa mereka masih ingat hutang mereka di dunia padahal mereka yakin masuk surga!

Sekali lagi saya masih berharap agar tuhan yang saya yakini tetap menjadi tuhan saya, bukan tuhan yang menyuruh saya hidup untuk membunuh,

Semoga tuhan mendengarkan. Amin.

#12. Dikirim oleh syaiful amin  pada  24/11   06:12 AM

Pernyataan bahwa surga ada di telapak kaki ibu, yang biasanya kita jadikan anjuran untuk berbuat baik kepada ibu menurut saya bisa dimaknai lain, bahwa memang benar seorang ibu lah yang secara harfiah menciptakan surga buat anak-anaknya, perlindungan dari rasa takut dan pelipur duka saat sedih. 

Kemudian masa pertumbuhan kita di dalam perlindungan kedua orang tua kita bukan kah itu surga? Masyarakat yang islami di mana kita hidup bukankah ini surga. 

Kenapa kita harus berbuat baik kepada kedua orang tua kita? Karena mereka lah yang memberikan gambaran surga kepada kita.  Kenapa kita juga harus berbuat baik kepada fakir miskin dan anak yatim karena mereka lah yang berpotensi kehilangan gambaran surga. Kenapa kita harus menyusun masyarakat dengan nilai-nilai islam karena ini lah gambaran surga.

Lalu kenapa ada orang yang membabi-buta mencari surga? 

Orang-orang itu kehilangan surga, mungkin ada yang sengaja menghapus gambaran surga dari benaknya, atau mungkin kita alfa untuk memberikan gambaran surga ketika mereka membutuhkannya.

Kenapa Adam as jalan-jalan di surga dulu sebelum di turunkan ke bumi.

Karena bagaimana pun surga tidak bisa diberikan kepada orang yang tidak pernah mengecapnya.

#13. Dikirim oleh Totok Purwanto  pada  24/11   09:12 PM

Fatwa MUI mengenai pengharaman tindak terorisme dan bom bunuh diri jelaslah merupakan suatu penegasan agar masyarakat terjaga dari kemungkinan keterpengaruhan. Namun apakah cukup pernyataan seperti itu? Tidaklah ada yang menjaminnya. Maka secara maksimal harus dilakukan adalah mengimbangi dengan aksi-aksi yang meyakinkan tentang kehanifan Islam dan kedamaian yang harus diimplementasikan umat Islam sebagai agama rahmat untuk semesta alam.

Berbagai peristiwa terorisme dan bom bunuh diri yang telah melanda bangsa Indonesia ini hendaknya dapat diambil hikmahnya oleh seluruh umat manusia di dunia, khususnya bagi umat Islam. Memang, banyak kalangan yang merasa geram melihat ulah para terorist itu. Namun dalam hal ini tetaplah hukum yang berbicara terlebih hukuman dari Tuhan. Mereka yang menjadi korban tak berdosa dari para teroris hanya bisa berserah diri dan memohon pada Sang Pencipta. Untuk itu sebagai umat Tuhan tetaplah berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama kita masing-masing. Janganlah bersikap “semau gue” dalam mempelajari/menafsirkan ajaran agama. Kalau toh ada yang mengatakan bahwa bom bunuh diri adalah syahid dan dijamin masuk surga, berarti telah mengambil alih kewenangan Tuhan.

Sudah pasti kebanyakan dari kita memandang aksi terorisme dan bom bunuh diri sebagai malapetaka yang besar dan sebuah dosa besar yang tak terampuni. Tapi apa boleh buat,semuanya sudah terjadi. Berbagai upaya sedang dilakukan untuk mengungkap dan menuntaskan kasus tersebut baik oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat.

Sebagai umat yang beragama, kita bisa mengambil hikmah dari semua peristiwa itu. Kita lihat sekarang pemerintah telah menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat terutama bagi para ulama/kyai/dai untuk melakukan sosialisasi “tentang makna jihad yang sesungguhnya” kepada seluruh masyarakat. Selain itu dengan gencarnya aksi penyergapan & perburuan para teroris oleh pihak kepolisian, menjadikan aparat keamanan semakin serius dalam menangani kasus kejahatan, sebab bila kita tengok ke belakang, aparat kepolisian tidak pernah serius dalam mengungkap kasus kejahatan. Sebagai umat beragama kita harus lebih ekstra hati-hati dalam menafsirkan ajaran agama.

Dan kepada pemerintah untuk dapat lebih memperhatikan aspek pendidikan dan sektor lapangan kerja, sebab kebanyakan dari para pelaku bom berasal dari kalangan bawah dengan latar belakang pendidikan yang rendah sehingga banyak dari mereka menjadi pengangguran. Hal inilah yang dapat memicu kondisi psikologis seseorang untuk berbuat yang negatif dan kehilangan akal sehingga sangatlah mudah terindoktrinasi. Mungkin masih ada lagi hikmah yang kita petik dari peristiwa itu.

Untuk itu dapatlah kita selalu belajar dari setiap kesalahan yang telah terjadi. Wassalam,,

chayoo..islamlib.com

#14. Dikirim oleh Mirda Effita  pada  25/11   05:11 AM

Sudah di Surga? Surga apa ? Kalau surga hayalan atau angan-angan saja iya mungkin.

Tapi kalau mengatasnamakan surga TUHAN (Islam), tahan dulu. Apakah TUHAN akan tersenyum ketika bom meledak merenggut nyawa manusia lalu mengatasnamakan ayat-ayat TUHAN yang dibungkus dalam legitimasi suci “jihad” ?  Lebih baik orang-orang seperti Einstein ,Tthomas A Edison yang masuk surga, karena telah berbuat banyak untuk kemajuan umat manusia. Bukan seperti teroris yang menghancurkan kehidupan umat manusia.

#15. Dikirim oleh Teuku Muhammad Jafar SHI  pada  25/11   09:11 PM

Demikianlah prilaku sekelompok orang bila menafsirkan qur’an dan hadist tanpa ilmu yang cukup dan bimbingan ulama yang ahli dibidangnya. Mereka hanya memahaminya untuk kepentingan golongan/kelompok tanpa melihat kepentingan umat yang lebih besar. Sebagaimana kelompok JIL, orang-orang pluralis dan sekuler lainnya yang menafsirkan Alquran dan hadist untuk tujuan kelompoknya, yang jauh dari pemahaman sebagian besar ulama, bahkan kelompok ini (JIL) lebih parah lagi karena memaki ulama yang ihlas dalam memberikan fatwa-fatwanya karena tidak sesuai dengan kehendak hawa nafsu mereka. Bahkan dalam tulisan di atas, penulis (Guntur) menuduh para khotib Jum’at dan para ulama lainnya memiliki andil dalam peristiwa pemboman itu. Sungguh tuduhan yang justru memperjelas pengaruh setan dan hawa nafsu yang ada dalam pikirannya, sebagaimana pemikiran-pemikirannya yang lain. 

Padahal bom (kesesatan) yang lebih besar sebenarnya sedang dibuat oleh kelompok (JIL) ini dan akibatnya akan lebih besar dan lebih parah bagi Umat Islam dan masyarakat daripada bom yg dibuat kelompok Azahari.  Kesamaan Kelompok Azahari dengan JIL dan kelompok sejenisnya adalah sama-sama menolak fatwa ulama (MUI) dan pendapat sebagian besar ulama. Yang membedakan JIL dan kelompok-kelompok yang sejenisnya, dengan kelompok Azahari adalah :

Pertama. Jika kelompok Azahari rela mati demi keyakinannya, kelompok JIL dan yang sejenis adalah para penakut yang jangankan rela mati demi pemikirannya, untuk mengakui pemikirannya saja mereka bersembunyi dibalik HAM, demokrasi, modernisasi, emansipasi dan istilah-istilah lainnya, bahkan banyak pemikirannya yang justru ia tolak sendiri ketika keadaan menyudutkan mereka.

Kedua. Kelompok Azahari mengumpulkan dana dari simpatisan aksi mereka yg sekarang sangat sulit karena kampanye terorisme yang digembar-gemborkan semua pihak, sementara JIL dan aliran sejenis justru kebanjiran dana dari semua pihak yang sudah tidak “betah” dengan aturan Islam.

Ketiga, Kelompok Azahari sembunyi-sembunyi dalam menyuarakan keyakinan dan gerakannya karena kurangnya fasilitas dan banyaknya pihak yang menolak, adapun JIL dan kelompok sejenisnya terang-terangan menyuarakan pemikirannya dengan dana yg besar dan fasilitas media yang “sekongkol” dengan mereka (money oriented) seperti website ini.

Keempat. Korban-korban kelompok Azahari menyadari dan merasakan bahayanya aksi kelompok ini. Sementara korban-korban JIL justru merasa nyaman dan tidak sadar dengan aksi JIL bahkan memberikan dukungannya (seperti komentar-komentar dalam Tanggapan Artikel tulisan ini)

Pesan untuk redaksi : Kalau anda penganut paham pluralis /liberal semestinya komentar-komentar yg berbeda dgn penulis (Guntur), anda masukan juga dalam Tanggapan Artikel. Bukankah perbedaan pendapat bagian dari pluralisme. Dan perbedaan suatu keniscayaan seperti yg sering dilontarkan kelompok JIL (konsisten dong, apa yg dikatakan itulah yg dikerjakan kalau nda’ begitu, munafik namanya mas)

#16. Dikirim oleh muhammad  pada  26/11   09:11 AM

Terlalu percaya diri sekali para martir tsb mengatakan kalo kematiannya memang pantas disebut syahid dan berhak masuk surga. Kok malah terkesan ujub dan riya’ kalo saya mau ber-negative thinking. Bukankah perkara masuk surga atau neraka itu otoritas Tuhan? Hanya Allah yang boleh menentukan makhluknya itu masuk surga atau neraka. Nggak perlu “ndhisiki kerso”. Jalani sajalah hidup apa adanya. Terlalu mengharapkan surga ujung2nya bisa jadi kecemplung neraka.

#17. Dikirim oleh Evy Kurnia Rahmawati  pada  27/11   05:11 AM

Saya bingung, kenapa para pelaku bom bunuh diri tersebut melakukan suatu perbuatan yang destruktif dengan mengatasnamakan jihad. Jihad tidak identik dengan radikalisme. Terminologi jihad sendiri memiliki arti yang luas bukan hanya menjadi “Demolition man”. jihad dengan cara tersebut hanya akan menambah stigma negatif Islam sebagai Rahmatan lil Alamin.Wallahu a`lam

#18. Dikirim oleh Bayu Purwananda  pada  28/11   09:11 PM

Sebelumnya, ijinkan saya memuji tulisan mas Guntur Romli ini, terutama statement ini: “Tapi lebih jauh, apakah mereka sudah sadar bahwa alasan-alasan para teroris itu, sesuai belaka dengan begitu banyak isi khutbah, pengajian, dan pengajaran agama yang disampaikan kebanyakan dai yang kita anggap tokoh agama selama ini?”

Menurut saya, banyak orang lupa bahwa seseorang hanya bisa mati syahid jika dia sudah syahid duluan di dunia ini, alias sebelum kematiannya. Kaidah ini hampir tidak pernah dibicarakan dalam ceramah2 agama ataupun khutbah2. On the contrary, banyak sekali kalangan muslimin yg malah nggak mengakui dalil dari kaidah ini.

Misalnya, hadits bahwa jihad perang fisik itu adalah jihad kecil dibanding JIHAD HAWA NAFSU. Hadits yg sangat terkenal dari Muhammad (Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam) ini sudah diabaikan oleh banyak sekali di antara muslimin. Ada yg bilang sanadnya lemah lah, atau tidak bersambung, atau bahkan palsu, dll alasan lainnya.

Dalil lainnya adalah ucapan Imam Ali (Alaihi salam) yg terkenal, bahwa semua orang dalam keadaan merugi kecuali yg berilmu, dan semua yg berilmu pun merugi kecuali yg mengamalkan ilmunya, dan semua orang yg beramal pun merugi kecuali orang2 yg IKHLAS. Inipun sudah menjadi barang langka yg terpinggirkan.

Dalil2 itu menjelaskan secara teoritis, bahwa satu2nya pihak yg tidak merugi di mata Allah adalah mereka yg tidak mengharapkan apapun dalam amal ibadahnya. Seorang yg ikhlas itu beribadah bukan karena ingin surga untuk dirinya, tapi karena hatinya selalu meng-ingat2 nikmat Allah yg tak terhitung itu dan selalu nggak lupa dg dosa2nya, sehingga dia senantiasa bersyukur dan mohon ampun. Dia beribadah karena Allah memang SATU2NYA yg pantas di-ibadah-i.

On the other hand, seseorang yg hobi membanggakan amal2nya, adalah dia yg selalu meng-ingat2 amal2nya (bukan nikmat2 Allah kepadanya, padahal dia bisa beramal adalah karena nikmat-Nya pula!), dan cenderung mengecilkan arti atau bahkan melupakan dosa2nya. Orang seperti ini rajin beribadah untuk mengejar pahala, dan karena pahala itu adalah untuk dirinya sendiri, maka orang seperti ini hakikatnya adalah “menyembah” diri (ego/nafsu)-nya, belum menyembah Allah.

Nah, jihad melawan hawa nafsu bertujuan agar kita mencapai derajat ikhlas dalam beramal ibadah. Jihad ini JAUH lebih BESAR dibanding jihad perang fisik. Dan hanya dengan tercapainya tujuan jihad hawa nafsu inilah, seseorang baru bisa mati syahid jika dia kemudian terjun dalam peperangan fi sabilillah. Hal ini karena hakikatnya dia sudah syahid sejak masih hidup!!!

Nah, contoh prakteknya, inilah yg terjadi pada para sahabat Nabi (S) yg gugur di medan2 perangnya Rasulullah (S) dulu. Mereka telah menjadi orang2 yg ikhlas (alias berhasil dalam jihad besar) ketika menjalani peperangan (alias jihad kecil). Jadi, yg besar dilakukan dulu, baru yg kecil, gitu loh.

Demikian pula para sahabat Imam Hussain (A) yg ikut bersyahadah di Karbala. Kita tahu Imam Hussain melakukan “penyaringan” sepanjang perjalanannya dari Madinah ke Karbala, sehingga yg sampai dan tinggal bertahan bersamanya di Karbala hanyalah sekitar 70-an dari mereka yg benar2 udah lulus jihad besar itu… untuk menghadapi jihad kecil menjadi para syuhada Karbala.

Pendidikan agama yang seperti ini, agaknya memang terlupakan di tengah2 kaum muslimin sekarang ini. Bagaimana, misalnya, para sahabat Nabi (S) atau para sahabat Imam Ali (A) atau para sahabat Hussain (A) itu bersusahpayah dalam berjihad hawa nafsu mereka, sedikit sekali disentuh dalam ceramah2 agama.

Wallahu a’lam Wassalam

#19. Dikirim oleh Abdullah bin Umar  pada  29/11   12:12 AM

Dulu sewaktu SD, saya ingat guru agama Islam saya mengajarkan bahwa bom bunuh diri seperti Kamikaze pada waktu PD II itu haram, karena itu beruntunglah kita yg beragama Islam karena tidak diajarkan oleh agama utk melakukan hal-hal seperti itu. Kok sekarang bisa jadi jalan masuk surga? Apakah surganya sama dengan para Kamikaze PD II itu? Demikian juga dgn kematian Dr. Azahari yg menurut berita lebih baik melakukan “Hara kiri” dengan meledakkan diri daripada tertangkap. Saya masih heran sejak kapan Islam ajarannya melenceng jauh sampai kejepang-jepangan gitu? Apalagi yg di Jepang (ajaran) itu sendiri udah nggak laku.

#20. Dikirim oleh Ahmad Arief  pada  29/11   05:12 AM
Halaman 1 dari 2 halaman 1 2 >

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq