Sungapura Lebih Islami dari Kita… - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
05/01/2003

Dr. Faisal H. Basri: Sungapura Lebih Islami dari Kita…

Oleh Redaksi

Singapura misalnya, lebih islami daripada kita kalau dilihat dari aspek itu, meskipun mereka tidak memakai label Islam. Di sana juga ada Bank Islam. Citibank membuka counter juga. Kenapa sih Citibank punya counter bank Islam? Sebab terbukti, bahwa bank Islam itu, tingkat pengembalian terhadap modalnya, rata-rata lebih tinggi daripada bank konvensional. Karena itu banyak orang mau. Bukan semata karena Citibank itu Islam, tapi karena labanya lebih besar.

Pengamat ekonomi yang satu ini dikenal sebagai sosok bersahaja yang punya pandangan ekonomi politik yang brilian. Sikapnya ini dipengaruhi oleh latar belakang dan pemikiran keagamaan yang dianutnya. Menurut Dr. Faisal H. Basri, yang juga dosen fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, yang dinamakan dengan ekonomi Islam adalah tidak eksploitatif, produktif dan keadilan. Tiga prinsip inilah yang diusung ekonomi yang berdasar Islam. “Tidak perlu memakai istilah arab karena Nabi tidak mengharuskan semua ajarannya memakai istilah arab,” tegasnya.

Untuk lebih mengetahui lebih dalam tentang sisi keagamaannya dan bagaimana pengaruhnya terhadap sikap dan pandangannya, Burhanuddin dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Dr. Faisal Basri yang juga menjabat Ketua STIE Perbanas Jakarta ini pada Kamis, 2 Januari 2003. Berikut petikannya:

Mas Faisal, sebagai tokoh yang tidak bergelut dalam aktivitas yang secara simbolik kental bernuansa agama, apa makna agama bagi Anda?

Bagi saya secara pribadi, agama adalah semacam tonggak untuk melaksanakan kiprah kemanusiaan saya. Tentu saja , sebagai manusia, saya punya kelemahan sehingga harus punya topangan tentang apa sebetulnya misi kemanusiaan saya di muka bumi ini. Mau kemana saya; landasannya apa; titik tolak moralnya apa; dan nilai-nilainya seperti apa. Itu dia yang namanya agama menurut saya. Yaitu seperangkat doktrin yang mengajarkan kedamaian, kebaikan dan kemaslahatan bagi sesama. Tidak hanya sesama, tapi juga bagi alam.

Dengan begitu, apakah model keberagamaan seperti itu turut berperan melandasi gerak Anda yang begitu getol menyuarakan kampanye antikorupsi selama ini?

Sebenarnya korupsi adalah salah satu persoalan saja. Sebab, menurut perspektif saya, agama itu menyangkut keyakinan kita kepada Tuhan yang dilandasi oleh kesadaran bahwa Tuhan memberikan kita kebebasan berkehendak dan memilih. Mengapa Tuhan memberikan hak yang tidak Dia berikan kepada makhluk hidup selain manusia? Itu agar kita bisa melakukan pilihan-pilihan optimum, karena hidup ini sebetulnya memilih.

Pilihan-pilihan itu selalu dilandasi oleh potensi terbaik yang kita miliki dan potensi itu berbeda pada tiap-tiap orang. Nah, dari situlah muncul —apa yang saya istilahkan— expansion of freedom. Dengan menganut agama, wujud keberagamaan saya itu harus terlihat dari ekspansi kebebasan yang saya miliki, bukan malah membelenggu saya untuk hal-hal yang justeru bertentangan dengan hakikat penciptaan manusia oleh Tuhan.

Pemahaman demikian tentu tidak given begitu saja pada diri Anda. Mungkin ada pengaruh-pengaruh tertentu dalam proses pembentukan jati diri Anda. Bisa Anda menceritakan proses penyerapan nilai-nilai agama sewaktu usia dini Anda?

Lingkungan keluarga saya sedemikian tolerannya. Ayah dan ibu saya secara kultural NU, tapi mereka juga menyekolahkan saya di sekolah ekstrakurikuler yang nota bene adalah Madrasah Muhammadiyah. Ketika saya tidak membaca qunut dalam shalat subuh atau tarawih sebelas rakaat, ayah tidak protes. Jadi sedemikian idealnya lingkungan yang saya alami semasa kecil.

Ayah saya juga pecinta buku dan juga berjual beli buku-buku bekas dan buku-buku klasik. Ketika masih di bangku SMP, saya sudah membaca buku-buku tentang komunisme dan marxisme, sebab salah satu koleksi ayah saya, ya buku-buku semacam itu. Saya ingat, pada tahun 1966, ada pemeriksaan dan penggeledahan buku-buku marxisme sehingga memicu ayah saya untuk menyembunyikan buku-bukunya di bawah tanah. Sedemikian berharganya buku-buku itu.

Jadi mungkin lingkungan keluargalah yang memberikan saya kebebasan untuk berpikir kritis. Mungkin ayah dan ibu saya yakin bahwa dengan berpikir kritis, kebenaran akan kita peroleh secara ikhlas.

Bagaimana pengaruh kultur kebebasan yang diberikan keluarga terhadap kiprah Anda di kemudian hari?

Rasa-rasanya, kebebasan yang diberikan ayah saya itu, dibarengi dengan cara memberikan landasan kepada saya dulu. Saya disuruh belajar mengaji siang, sore, dan juga malam. Malam-malam, saya mengaji di tetangga, dan biasanya membaca Alquran sampai khatam. Jadi landasan awalnya diberikan. Tapi ihwal school of thought atau mazhab berpikir, ayah saya tidak pernah mendikte agar mengikut Syafi’I, Maliki atau madzab lainnya. Tidak! Tapi dilakukan dengan mengenalkan anak-anaknya pada berbagai sumber yang tentu saja hanya bisa diserap kalau anak-anaknya bisa membaca, pandai dan cinta membaca.

Nah, cinta membaca itu yang ditanamkan sejak awal. Etos membaca itu tergerak, misalnya, dengan diberi uang untuk membeli buku. Buku-buku yang saya beli semacam Majalah Prisma, atau buku-buku yang memang kental pergumulan pemikirannya.

Berkaitan dengan asas free will seperti yang Anda katakan tadi, banyak orang yang menganggap bahwa komunisme sebagai ajaran wajib diberangus. Nah, bagaimana kaitan antara kebebasan berideologi yang dijamin Tuhan dengan keberadaan orang yang menganut paham komunisme?

Tuhan itu tidak semakin kecil kalau makhluknya tidak percaya Dia. Tuhan tetap besar, bahkan Mahabesar. Maka, jangan sampai kita berpretensi melebihi otoritas yang diberikan Tuhan. Tuhan tidak memberikan otoritas kepada kita tentang klaim bahwa ajaran yang ini sesat dan yang itu benar; yang ini dilarang dan yang itu dibolehkan. Kita tidak punya hak seperti itu sebetulnya. Masalahnya, kapan kita punya hak untuk memberantas suatu ajaran --entah itu komunisme atau apapun? Itu dimungkinkan ketika suatu ajaran telah mengganggu kebebasan orang lain. Misalnya, kalau suatu ajaran X menghalalkan pembunuhan atas orang lain. Nah, itu dimungkinkan karena bertentangan dengan hukum negara, maka harus disanksi.

Bukankah Tuhan memberikan free will untuk beriman dan tidak beriman; bahkan untuk tidak percaya kepada Dia sekalipun? Dia juga tidak merasa terkurangi kekuasaan-Nya atas keyakinan begitu. Untuk itu, kalau kita sebagai umat Islam menganggap orang tertentu sesat menurut perspektif ajaran Islam, wajib bagi kita melakukan dakwah. Tapi dakwah itupun tidak boleh dengan cara memaksa. Iya kan? Jadi prinsip lakum dienukum waliyadien (bagi kamu agama/paham kamu, bagi saya agama/paham saya, Red), harus tetap dijaga.

Sedikit menyela, kalau boleh tahu, Anda sekolah di Muhammadiyah pada jenjang apa?

SD kelas tiga sampai kelas enam, saya bersekolah di sekolah negeri. Akan tetapi, pada siang sampai sore hari saya sekolah madrasah di Muhammadiyah. Sekolahan ini memakai raport dan segala macam aturan akademis lainnya. Jadi, semacam madrasah sore begitu, tapi bersifat formal.

Bagaimana dengan pengajaran agama yang Anda peroleh secara formal di sekolah?

Pengajaran agama di sekolah-sekolah formal, seperti yang saya alami sejak SMP sampai SMA, bahkan sampai perguruan tinggi, sangat menekankan aspek hafalan. Sifatnya verbal sekali. Alhamdulillah, di perguruan tinggi, saya mendapat dosen yang sangat baik, yaitu Prof. Dr. Usman Ralibi yang membawa kita berpikir kritis.

Saya ingat, pengajaran agama hanya berisi rukun Islam ada berapa, rukun iman apa saja, cara shalat dan sejenisnya. Pada tingkat tersebut, ada juga mata pelajaran akhlak, juga kisah-kisah para nabi, tapi sayangnya pelajaran tersebut tidak dibawa ke realitas yang kita alami sehari-hari.

Saya beruntung bisa menyekolahkan anak saya di sekolah yang (sebenarnya) sekuler, tapi dalam hal mata pelajaran agama, didesain bersama-sama orang tua murid.  Pada liburan kemarin, ada pesantren kilat, tapi isinya apa? Isinya, misalnya, bagaimana kita mengajarkan pembicaraan mengenai surat Al-Maa’un. Ara’aita alladzi yukaddzibu bi al-din? Para guru membawa sejumlah anak dari panti yatim-piatu ke sekolah, dan mereka diajak sharing; dalam bermain komputer dan sepak bola. Pada akhir acara, anak-anak memberikan semacam hadiah ke mereka.

Ada juga pelajaran bagaimana memahami alam. Pemahaman itu dilakukan lewat VCD yang menunjukkan bagaimana madu yang dikisahkan dalam surat Al-Nahl dikaitkan dengan alam semesta. Kemudian ada juga pelajaran tentang bagaimana teori evolusi Darwin itu. Itu diajarkan pada anak kelas satu SD. Bayangkan! Teori evolusi Darwin itu tidak dikatakan bagaimana isinya saja, tapi dikemukakan dengan media-media yang membuat anak bisa memahami lebih jelas akan realitas sosial.

Pengajaran iqra juga begitu. Pengertian iqra itu sebetulnya apa, sih? Yaitu membaca alam. Sehingga dengan pengertian itu, anak makin mampu mendekatkan hakikat kebenaran alam secara kongkrit tanpa jalur hafalan. Yang terpenting juga bagi anak adalah melatih kreatifitas. Saya mengajak guru mengaji ke rumah, karena di sekolah tidak cukup. Tapi yang saya undang adalah guru yang tidak sekadar mengajarkan siksa neraka dan lain-lain hal yang menakutkan itu. Jadi pelajarannya dibawa ke arah, sesuai dengan proses pertumbuhan anak. Saya kira ini inti dari pengajaran agama yang harus kita sebarluaskan.

Hal lain yang juga penting bagi saya adalah bagaimana mengintegrasikan antara ilmu yang kita ajarkan dengan nilai-nilai agama. Jadi bukan hanya menghafal ajaran agama, tapi setiap langkah dan denyut kehidupan kita diusahakan ada relevansinya dengan nilai-nilai kebenaran. Hal sedemikian misalnya, banyak diajarkan di dalam ilmu ekonomi. Misalnya dalam ilmu ekonomi ada istilah Pareto optimum, yaitu suatu tingkat di mana dalam kondisi berlebih, pasti ada yang dirugikan dan diuntungkan. Jadi tidak mungkin diuntungkan dan dirugikan secara bersama-sama.  Ada contoh lain lagi dalam masalah ekonomi. Sekarang kan banyak bermunculan bank syariah. Ada asumsi, seolah-olah, bank-bank itu bisa eksis kalau produk-produk perbankan menggunakan bahasa Arab. Misalnya istilah mudharabah dan lain-lain.

Menurut saya, kecenderungan sedemikian itu melanggar sunnatullah. Penjelasannya begini. Kalau kita mau berdagang, kita harus mem packed produk-produk kita dengan hal yang paling memikat hati masyarakat, yang akrab dengan telinga masyarakat. Istilah-istilah seperti mudlarabah tidak memperhatikan itu. sehingga orang berpikir dulu, baru akan datang. Ini mungkin kesalahkaprahan. Padahal Nabi juga tidak mengharuskan seluruh ajaran agama menggunakan peristilahan Arab sampai ke produk-produk perbankan. Bagi saya, yang penting itu esensinya. Misalnya bebas riba.

Di kalangan ekonomi sekarang ini sedang berkembang tentang ekonomi Islam. Misalnya maraknya bank-bank syariah yang dianggap sebagai model ekonomi Islam. Bagaimana anda menanggapi ini?

Yang namanya kehidupan yang Islami itu tonggaknya ada macam-macam. Salah satu elemennya adalah ekonomi. Nah, ekonomi yang islami itu bagaimana, sih? Bagi orang yang bergelut di bidang ekonomi seperti saya, ekonomi yang islami adalah pertama, yang tidak eksploitatif. Artinya ini ‘kan sesuai dengan ilmu ekonomi yang sering disebut: economic is the moral science. Yang penting tidak ada dimensi eksploitasi.

Oleh karena itu, dalam suatu sistim ekonomi yang beradab dan berperadaban, harus ada jaring-jaring pengaman agar yang kuat tidak menghantam yang lemah. ‘Kan semestinya begitu? Yang kedua, harus produktif. Semua aset masyarakat harus produktif. Dalam perspektif Islam juga jelas. Dalam Islam, spekulasi tanah itu dilarang. Artinya, tanah yang sudah berumur tiga tahun lebih, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Hak pengelolaannya harus diserahkan pada orang lain. Karena apa? Prinsipnya tidak boleh mubazir.

Kemudian yang ketiga adalah keadilan. Keadilan itu apa? Kalau saya punya uang, --sebagai deposan-- bila mendapat sesuatu tidak boleh berlebihan jumlahnya. Jadi harus didasarkan pada kemampuan uang itu digulirkan dalam bentuk kredit guna menghasilkan return. Nah, return itu yang nantinya dibagi. Jadi yang penting konsep keadilannya. Kalau ketiga prinsip ini diterapkan, hilanglah aspek-aspek negatif dalam perekonomian, sehingga sejalan dengan —katakanlah— ekonomi Ilahiyyah.

Jadi bagi Anda yang penting adalah esensinya. Misalnya, sebuah sistim ekonomi, asalkan tidak eksploitatif, selalu produktif dan berkeadilan, sudah bisa disebut sebagai ekonomi Islami, meski tidak dilabeli Islam. Apa begitu?

Mungkin ekonomi yang islami begitu. Jadinya, dia punya karakteristik-karakteristik yang dipersyaratkan dalam ajaran Tuhan. Tiga tadi keadilan, tidak eksploitatif dan senantiasa produktif. Nyatanya, yang menjalankan ekonomi Ilahiyyah atau ekonomi yang islami itu, justeru negara-negara yang bukan Islam. Faktanya seperti itu. Di dunia ini, bank Islam yang paling bagus pengelolaannya berada di Austria, bukannya di negara-negara yang nota bene Islam. Singapura misalnya, lebih islami daripada kita kalau dilihat dari aspek itu, meskipun mereka tidak memakai label Islam. Di sana juga ada Bank Islam. Citibank membuka counter juga. Kenapa sih Citibank punya counter bank Islam? Sebab terbukti, bahwa bank Islam itu, tingkat pengembalian terhadap modalnya, rata-rata lebih tinggi daripada bank konvensional. Karena itu banyak orang mau. Bukan semata karena Citibank itu Islam, tapi karena labanya lebih besar.

Tapi kalau saya melihat misalnya Bank Muamalat di sini, sistem yang dipakai bukan profit sharing, tapi revenue sharing. Lagipula klaim bahwa bank-bank syariat atau muamalat tidak mempan krisis moneter, menurut saya, juga overclaiming. Mereka memang tidak terkena rush, dan peminjamnya kebanyakan unit-unit usaha menengah ke bawah. Sementara, bank-bank konvensional rata-rata duitnya dibawa obligor yang sekarang juga belum membayar utangnya itu.

Saya ingin menanyakan kiprah Anda belakangan ini. Mengapa ketika zaman reformasi dulu, Anda begitu mengidam-idamkan partai yang pluralistik, modern dan tidak sektarian. Apa alasan Anda ketika itu?

Begini. Indonesia ini punya latar belakang sejarah yang unik. Negara ini punya keberagaman etnis, suku bangsa dan agama yang juga unik. Dan jangan lupa, negeri ini dibangun dengan konsensus seperti itu, kecuali bila konsensus itu ingin kita ubah. Oleh karena itu, Indonesia yang saya bayangkan dan dambakan, adalah suatu nation state yang bernama Indonesia, berdasarkan atas kewarganegaraan.

Jadi, setiap orang yang menjadi warga negara Indonesia, punya hak access of opportunity (kesempatan) yang sama untuk berkiprah dan mewujudkan free will yang diberikan oleh Tuhan. Sehingga, dengan begitu insan Indonesia, diharapkan menjadi manusia-manusia unggul karena spesialisasi. Manusia yang unggul akan menghasilkan masyarakat yang unggul. Saya juga berharap Indonesia ini menjadi negara bangsa yang kompetitif, bisa bersaing dengan negara-negara tetangga di kancah internasional.

Dengan kata lain, Anda ingin mengatakan bahwa di Indonesia, entah civil society atau political community-nya, harus punya arah yang jelas dan sejalan dengan nation-bulding Indonesia sejak awal?

Betul. Ada satu hal yang mungkin penting kita tekankan di sini. Di partai yang dulunya saya geluti (Partai Amanat Nasional atau PAN, Red), moralitasnya jelas. Moralitasnya adalah moralitas agama karena tidak ada agama apa pun di dunia --asalkan tidak berkeyakinan sesat— yang mengajarkan kerusakan.  Semuanya mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Yang membedakan antar agama itu adalah hubungan vertikalnya. Sebagian ada yang pergi ke gereja, ke masjid dan macam-macam.

Tapi mengapa Anda keluar dari PAN. Adakah keputusan itu terkait dengan “penyimpangan” dari desain politik pluralis yang Anda idamkan?

Saya ingin mengaitkan jawaban saya dengan apa yang saya katakan di awal tadi. Hakikat penciptaan manusia adalah free will untuk mewujudkan seluruh potensi terbaik yang dimiliki oleh setiap manusia secara optimal. Sementara, lingkungan yang saya alami waktu itu, membawa saya pada kesimpulan bahwa saya tidak bisa mengaktualisasikan potensi terbaik saya secara optimal. Itu dikarenakan lingkungan-lingkungan yang berubah, karena saya piker, sulit bagi saya menerima kondisi bilamana intrik-intrik politik lebih banyak daripada akal sehat; lebih banyak tipu muslihat ketimbang pemikiran jernih; lebih banyak retorika ketimbang komitmen.

Jadi hal-hal seperti itu membawa saya menyimpulkan bahwa anomalinya makin banyak dibandingkan apa yang saya bayangkan dulu. Ada kesan, --mungkin saya salah dalam hal ini-- bahwa yang namanya pluralisme, keterbukaan, kemoderenan, dan inklusifme lebih sebagai kosmetik belaka ketimbang pondasi bagi sebuah partai untuk maju. Daripada buruk bagi PAN dan bagi saya juga, lebih baik saya mengundurkan diri saja! Pilihannya sebetulnya hanya dua bagi PAN dan bagi saya yang sekarang orang luar di luar sistem: PAN akan memilih menjadi partai yang betul-betul kanan, atau betul-betul terbuka? Pilihannya nggak bisa di tengah-tengah! Mungkin penantian yang lama dalam kegamangan ini, membawa saya pada kesimpulan untuk lebih baik mundur saja. []

05/01/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Mas Faisal, saya ingin menanyakan, bagaimana menurut mas tentang krismon yg terjadi di negara kita, apakah ada yang salah dengan sistem perekonomian kita yang abu-abu (bukan sosial, bukan kapitalis)ini? Apakah yang harus dipertahankan dari sistem ini, baik secara filosofis maupun fragmatis? Jzklh Khoir.

Posted by Ambo Wonua Nusantara  on  12/19  at  08:35 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq