Butet Kertaradjasa: Surga Yang Mengejar-Ngejar Saya…
Oleh Redaksi
“Suatu kali, saya stress karena ada masalah pribadi. Saya lalu berpikir, kalau datang ke gereja, mungkin itu akan menyembuhkan persoalan. Bayangan saya begitu. Tapi, orang segereja justru nontonin saya dengan wajah penuh heran. Makhluk asing mana yang datang ini, begitu mungkin pikir mereka.” Itulah sepenggal pergulatan iman ahli monolog dan aktor kondang, Butet Kertaradjasa, kepada Novriantoni dan Mohammad Guntur Romli dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), Kamis (15/12) lalu.
Mas Butet, Anda pernah terdidik beragama sejak kecil?
Tidak. Begitu lahir, saya tahu-tahu sudah Kristen. Semasa kecil, ruang tamu rumah saya sering digunakan sebagai tempat kebaktian kampung. Jadi ada ibadah gitu. Lantas, saya sekolah di lembaga Katolik, dan tiba-tiba saya tahu ternyata ada agama dalam hidup ini. Jadi agama itu sesuatu yang terberi dalam hidup saya, tidak melalui proses sosialisasi yang ketat.
Tapi Anda bisa disebut beragama?
Wah, saya agamis, hehe. Di KTP saya sudah ada kolom isian agamanya, dan di situ sudah ada isinya. Lalu kalau mau nikah, kita juga harus beragama. Dan kebetulah, saya menikah secara Islam. Istri saya seorang muslimah, dan alhamdulillah sudah jadi hajjah.
Lalu bagaimana mendiang Pak Bagong mengenalkan agama pada Anda?
Secara khusus, tidak ada. Setahu saya, dia itu kok ternyata juga sudak Kristen. Dia pernah aktif di sendratari tentang kelahiran Yesus Kristus. Rumah saya juga digunakan sebagai tempat ibadah. Tapi karena saya tinggal di kampung, saya kadang juga ikut lebaran. Kalau Idul Fitri, teman-teman main saya selalu pakai baju baru. Karena itu, saya juga merasa berhak untuk mendapat baju baru. Ada juga tradisi sungkeman. Tapi memang, saya tidak pernah ikut salat, sekalipun untuk makan-makan dan baju baru, saya ikutan.
Tentu banyak yang keberatan kalau Anda mengaku beragama tapi tidak menjalankan ritual seperti ke gereja. Lalu, apa fungsi agama menurut Anda?
Untuk ngisi kolom KTP itu lho, Mas! Dan memang, saya nggak pernah alias jarang datang ke gereja. Lha wong saya merasa punya agama saja waktu bapak dan ibu saya meninggal, kok! Terakhir saya ke gereja ketika masih di SMP. Tapi, kalau pas natalan, saya selalu dikirimi pesan-pesan pendek (SMS). Seingat saya, saya juga pernah ke gereja. Tapi, umatnya heran semua. Aku jadi malu.
Ceritanya begini. Suatu kali, saya stress karena ada masalah pribadi. Terus saya berpikir, kalau datang ke gereja, mungkin bisa menyembuhkan persoalan. Bayanganku begitu. Nah, ketika sudah mahasiswa dan berkeluarga, saya datang lagi ke gereja. Tapi, orang segereja nontonin saya dengan wajah penuh heran. Makhluk asing mana yang datang ini, mungkin begitu pikir mereka. Pendetanya juga heran. Setelah itu, saya tak pernah datang lagi. Saya merasa menjadi makhluk asing yang merebut perhatian banyak orang yang membuat pribadi saya risih.
Bagi yang taat menjalankan ritual agama, Anda tentu dianggap kurang atau tidak beragama…
Itu kan seperti orang yang rajin ngoceh soal Pancasila, tapi perilakunya belum tentu juga Pancasilais. Kalau cuma rajin ke gereja, tapi tindak, perilaku, tabiat, dan pikirannya tidak agamis, apa gunanya?! Kalau saya, orangnya lebih suka pada tindakan. Saya cuma mencoba untuk mewujudkan harmoni dan hidup yang baik dalam tindakan dan karya-karya saya. Kalau yang ritual-ritual dan serimonial seperti itu, saya memang nggak terbiasa. Atau boleh dikata, saya pemalas.
Tapi saya tetap berdoa kalau mau tidur, dan orang tidak pernah tahu itu. Masak saya harus mengumum-umumkan yang begituan?! Makanya, saya cenderung berpendapat, perkara privat seperti itu tidak usah diomong-omongkan dan tidak perlu dipamer-pamerkan.
Apa Anda beranggapan bertuhan itu jauh lebih penting dari beragama secara formal?
Kayaknya saya sependapat. Saya beragama karena ada kolom yang mempertanyakan agama saya apa.
Sebetulnya perlukah dibedakan antara beragama dengan bertuhan?
Perlu, ya. Tapi, saya nggak ngerti, deh! Malah menurut saya, di kolom-kolom formal urusan negara itu, tidak usahlah ngurusi yang gitu-gituan. Mau bertuhan, mau beragama, itu urusan pribadi orang per orang. Itu kan bukan perkara publik. Jadi, sebenarnya tidak perlu soal kolom agama itu ada untuk urusan yang di ranah publik.
Tapi mungkin perlu juga untuk sensus, ya?
Hanya untuk bangga-banggaan soal minoritas-mayoritas?!
Mas Butet kan menikah beda agama. Pernahkan soal perbedaan agama jadi hambatan dalam keluarga?
Sejauh ini, tidak ada masalah. Aman-aman saja. Waktu saya kawin tahun 1981, lembaga cacatan sipil masih mengizinkan (nikah beda agama). Kakak saya juga menikah beda agama di catatan sipil. Cuma persoalannya, saya ini menantu seorang haji. Jadi, mertua saya itu tidak menghendaki (nikah beda agama) itu. Dia pingin saya nikah secara Islam; dengan ijab-kabul. Ya… karena itu permintaannya, saya penuhi. Untuk saya, apa susahnya kalau KTP diganti sebentar. Terus, saya ganti KTP dan saya sudah sunat.
Saya buktikan itu dan saya bawa foto saya waktu sunat. Hanya saja, saya tidak bisa ibadah-ibadah. Waktu menjelang ijab-kabul, saya disuruh salat jamaah, tapi saya nggak bisa. Seperti apa dan bagaimana salat itu, saya tidak tahu. Yang saya tahu cuma wudlu yang basuh-basuh muka itu. Saya lalu masuk kamar mandi. Tapi, saya lama-lama di situ. Tiba-tiba, salat sudah selesai, dan saya keluar. Terus saya ijab-kabul dan langsung pulang ke Jogja. Setelah itu, saya ganti KTP lagi jadi Kristen.
Memang, di negeri ini banyak yang berpikir bahwa orang tua wajib mengawinkan anaknya seagama, supaya hidupnya tetap berbahagia. Pertanyaan saya: jaminannya apa? Saya melihat, orang yang kawin seagama juga tidak kurang yang terjebak dalam proses kawin-cerai. Malah, istrinya dipukuli terus-menerus. Itulah pengalaman saya waktu ngeyel sama mertua saya. Waktu itu, saya dibilang berbohong, karena sudah Islam di KTP, menikah secara Islam, lalu balik ke Kristen lagi. Saya dianggap munafik.
Lalu, saya katakan begini: “Kalau Mami menghendaki menantu yang dalam hidupnya hanya menipu, saya akan tetap menjadi Islam, karena saya pasti akan tetap menipu diri sepanjang waktu. Sebab, saya pernah berislam hanya untuk nyeneng-nyenegin Mami, karena Mami menginginkan ijab-kabul secara Islam. Tapi kalau Mami menghendaki menantu yang tidak menipu, maka izinkan saya tetap menjadi Kristen, meski telah menikah secara Islam. Sebab, kalau saya Kristen, saya tidak akan bohong dalam berdoa, karena hanya itu yang saya kenal. Kalau sekarang saya dipaksa menjadi Islam, itu sama saja saya menipu, berbohong. Sebab, hati saya memang tidak di situ.” Lalu, saya menambahkan, “Saya menjamin anak Mami pasti akan baik dengan saya.” Itu yang saya katakan.
Istri Anda tidak keberatan ketika Anda berpaling agama setelah nikah?
Ya… sebenarnya dia keberatan. Tapi karena saya bandel dan ingin membuktikan sepanjang hidup bahwa saya akan memperlakukan dia sedemikian rupa menjadi bagian dari belahan jiwa saya, dia bisa terima.
Mas Butet, selalu ada banyak kekhawatiran di masyarakat kalau nikah beda agama pasti tak akan rukun. Pengalaman Anda bagaimana?
Itu keliru. Bagi saya, mengukurnya itu begini. Urusan agama saya anggap merupakan urusan privat orang per orang, bahkan terhadap istri atau anak saya sekalipun. Saya tidak mau ada urusan keluarga mau beragama apa. Ukuran saya, asalkan itu bisa membuat yang bersangkutan berbahagia, saya anggap itu sudah benar. Jadi, ketika istri saya menunaikan kewajiban agamanya, dan dia bisa intens di situ, khusuk dan bahagia, sebagai orang yang beragama beda dan teman terdekatnya, saya harus memberi dia yang terbaik. Saya ongkosin dia naik haji. Sebaliknya, misalkah saya mau naik haji ke Yerussalem, misalnya, dia juga harus mendukung saya. Bahkan, ketika anak saya diam-diam menjadi pengurus masjid, saya oke-oke saja.
Hanya ada satu masalah yang menurut saya sangat dramatis dalam hidup saya. Yaitu, ketika anak saya mau masuk sekolah dasar. Ini situasi yang agak membuat shock, karena ketika mendaftar ke institusi formal, negara kita masih mengurusi soal agama. Dalam formulir pendaftaran, ada pertanyaan tentang apa agamanya anak. Padahal, saya ini tidak jelas agamanya. Kalau dikatakan Kristen, saya juga tak pernah ke gereja. Tapi, dibilang Islam, jelas tidak.
Dari situ, saya bertanya ke anak saya: “Giras, sekarang kamu akan masuk sekolah. Janjinya dulu, ketika masuk sekolah, kamu akan memutuskan akan masuk agama apa.” Saya tanya begitu, eh… dia nangis. Bagi saya, peristiwa itu dramatis banget. Tak ada jawaban darinya waktu itu. Besoknya, ketika ditanya lagi, dia nangis lagi. Dia lalu berpikir begini: “Pa, kalau aku beragama Islam, nanti kalau Papa mati, yang mendoakan siapa? Dan kalau agamaku Kristen, nanti kalau Ibu mati, yang mendoakan siapa?”
Mendengar pertanyaan itu, aku shock juga. “Bajigur iki anakku!” gumamku. “Mendingan kamu Islam aja deh… Ibumu kan rajin sembahyang!” kataku. Akhirnya, dia berstatus Islam, walaupun sekolahnya di Katolik.
Tapi, tidak menentukan agama buat anak, bukan berarti Anda tidak mengajarkan baik-buruk alias budi pekerti, kan?
Oh, tetap. Budi pekerti itu justru yang lebih utama. Misalnya, pemahaman tentang nilai-nilai yang perlu kita anut dalam hubungan sosial. Menurut saya, itu lebih penting daripada yang lain. Saya selalu bilang, kalau mengaku telah mendidik anak saya secara agamis, saya itu bohong. Saya munafik, karena memang saya sendiri tidak agamis. Tapi, soal hukum dan perkara-perkara sosial, selalu kita diskusikan bareng anak-anak. Misalnya saya katakan, kalau melanggar hukum, akibatnya akan begini. Kalau menyakiti orang, akan begitu. Kalau kamu memukul orang, akibatnya akan begini dan begitu.
Jadi, nilai-nilai yang universal tetap diajarkan. Bahwa ternyata itu berhubungan dengan ajaran agama tertentu, barangkali iya. Tapi aku memang tidak ngerti soal agama. Untuk ukuran saya, andaikan dalam hidup ini dia bisa membangun keseimbangan yang adil, baik, dan tidak menyakiti orang, itu barangkali sudah benar.
Anda merasa pendidikan seperti itu masih kurang jika belum dikait-kaitkan dengan ajaran suatu agama?
Untuk saya, itu sudah cukup. Tapi kalau dia (anak saya itu) mau beragama, jangan melihat dari diri saya. Untuk agama, dia bisa cari dari sekolah atau masjid tempat beribadahnya. Sebab, saya pasti tak akan bisa menolong untuk hal-hal seperti itu, karena memang saya tidak ngerti. Atau, itu semua barangkali bisa dia dapat dari ibunya yang hajjah itu.
Kalau Anda refleksi ulang, unsur apa dari agama yang sebetulnya penting menurut Anda?
Setelah dicari-cari, mungkin untuk menjaga harmoni. Sebab dengan beragama, aku punya ketakutan-ketakutan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran. Tapi saya tidak tahu apakah (ketakutan) itu karena faktor agama atau bukan. Tapi minimal, di masa-masa sunyi, misalnya ketika kehilangan ibu dan ayah, saya baru tersadar kalau ternyata saya baru beragama.
Dalam tinjauan antropologi atau sosiologi, agama dapat menjadi pengukuh integrasi dan disintegrasi; bisa menghimpun atau menceraiberaikan. Anda pernah melihat gejala itu?
Kalau di komunis beragama, saya tidak begitu melihat. Sebab, saya memang jarang berinteraksi dengan teman-teman komunitas agama. Tapi dalam komunitas kesenian, hal itu memang sering terjadi. Faktor pemicunya adalah soal agama. Ketika kami bertemu, berlatih di grup teater atau musik, biasanya komitmen yang mempertemukan adalah dorongan untuk berkesenian itu sendiri. Agamanya, ya, kesenian itu sendiri. Tapi dalam perjalanan waktu, sering juga terjadi pertengkaran ketika teman-teman mulai mempersoalkan hal-hal di luar kesenian. Dan itu menyebabkan disintegrasi.
Namun demikian, soal toleransi tetap kita manjakan sedemikian rupa. Tidak ada yang melarang wajibnya ibadah. Yang mau salat, ya silahkan salat. Yang mau tidak salat, ya silahkan saja.
Kira-kira, kelak Anda akan tekun menjalankan ritual agama atau tidak?
Nggak! Saya justru sering dibingungkan oleh perkara agama. Ini berkaitan dengan pengalaman pribadi saya. Di keluarga kami, ada bermacam-macam penganut agama. Ayah dan ibu saya Kristen. Menantunya yang seagama cuma ada dua orang. Yang lainnya campur-campur; ada yang Kristen, Katolik, dan ada juga Islam. Murid-murid bapak saya itu ada juga yang Hindu.
Nah, ketika Ibu meninggal, kita semua ingin sekali menghormatinya secara seremonial. Karena ibu Kristen, upacaranya dilakukan secara Kristen. Tapi, untuk sembahyang, kami memberi semua keluarga kesempatan yang sama. Karena menantunya ada yang Islam, dan anaknya juga ada yang Islam, mereka dibiarkan sembahyang secara Islam. Yang Katolik juga begitu; kita membikin upacara terpisah dengan mengundang seorang pastur.
Tapi saya heran, yang Islam kok nggak mau. Orang kampung melarang itu. Pokoknya, bagi mereka, yang Islam tidak boleh mengadakan upacara secara Islam untuk mayat ibu saya. Jadi, menantu dan anak-anaknya yang muslim itu tidak boleh menyembahyangkan ibu saya. Saya itu malah bingung.
Di kasus itu, agama jadi faktor disintegrasi, ya?
Ya. Kok jadi repot, pikir saya. Padahal, ini kan perkara bagaimana orang meyakini sesuatu. Barangkali, kalau dalam Kristen versi saya, itu mungkin akan menolong perjalanan ibu saya ke surga—kalaupun surga itu ada. Terus yang Katolik juga berpikir begitu. Tapi, ini kok malah bingung. Dan akhirnya, daripada ribut semua, urusannya diserahkan pada yang melayat saja. Mana yang terbaik untuk yang ngelayat dan maunya bagaimana, terserah.
Anda percaya akan adanya surga?
Ya… kalau iming-iming itu membuat kehidupan ini jadi lebih baik, bolehlah iming-iming itu diselenggarakan. Asalkan, orang menjadi baik. Tapi kalau sudah diiming-imingkan perilaku orang tetap juga tidak baik, apa gunanya?!
Kira-kira, kapan Anda rindu ingin beragama secara penuh?
Pada saatnya, pasti akan tiba. Sejak lahir, saya juga tidak tahu kok tiba-tiba sudah beragama Kristen. Semua itu terjadi sebagai keniscayaan yang tiba-tiba. Mungkin, saatnya akan tiba—entah kapan, saya juga tidak tahu—ketika saya memenuhi impian semua orang untuk rajin ke gereja. Barangkali, kelak alam ini akan memberi isyarat sehingga tiba-tiba saya tak akan berbahagia dalam hidup kalau satu menit saja tak berada dalam gereja. Entah jadi tukang sapu, tukang ngelapi kursi gereja, atau entah jadi apa. Yang penting dalam gereja. Mungkin akan tiba saatnya ketika saya percaya hukum-hukum alam akan seperti itu, atau alam akan membimbing saya menjadi orang yang sangat agamis—dalam artian sekadar rajin ke gereja. Tapi saya tidak tahu kapan itu akan terjadi.
Kesannya, Anda apriori terhadap agama; tidak coba mendalami, tapi sudah menjatuhkan pilihan pada cara Anda sendiri…
Karena saya menyangka di dalam gede rasa saya, bahwa pekerjaan dan hidup saya dalam proses membesarkan anak-anak, membantu tetangga-tetangga, menjadi sandaran sejumlah orang, sudah bagian dari agama itu sendiri. Kalau saya dibebani lagi dengan yang lain, nanti saya malah repot, dan itu akan menipu diri saya sendiri. Saya tak ingin, demi label untuk jadi seorang agamis, saya akan kerepotan, sementara pekerjaan saya yang pokok terbengkalai. Yang begini-begini saja sudah dianggap tidak beragama! Lebih dari itu, saya juga tidak bermimpi akan menjadi pejabat publik yang harus pamer beragama. Bagi saya, itu sudah tak ada gunanya.
Tapi, orang yang taat beragama mengandaikan bahwa dengan menjalankan ritual agama, kita akan jadi lebih baik…
Kalau masih pengandaian, itu kan masalah orang berfantasi saja. Saya juga punya hak untuk mengandai dan berfantasi sendiri. Jadi, boleh-boleh saja, kan ? Ya, saya memakai perspektif saya dalam membangun fantasi dalam agama.
Dengan cara beragama seperti itu, Anda sudah merasa terbimbing?
Wah… surga itu mengejar-ngejar saya, lho, Mas! Surga malah berkata: “Ayo, please, Butet!”
Ada pengaruh-pengaruh mistik atau kejawen dalam pola keberagaman Anda?
Misalnya gimana?
Soal tidak terlalu terikat dengan ritual itu…
Kayaknya iya. Tapi sesungguhnya, kalau mau mencurigai diri saya sendiri, faktornya cuma sederhana saja kok. Yaitu, soal kemalasan. Karena saya ini malas, bangunnya kesiangan, kalau Minggu juga begadang dan tak bisa bangun pagi, akhirnya saya tidak pernah ke gereja. Jadi, kalau saya ngomong macam-macam, pada akhirnya cuma pembenaran untuk kemalasan saya. Cuma itu persoalannya.
Tapi kemalasan itu juga dilarang agama lho, Mas!
Tapi itu sudah inheren dalam diri saya. Jadi, sudah begitu melekat. Saya sebetulnya ingin menepis kemalasan itu. Tapi mungkin, karena alam belum membimbing saya untuk berkemampuan menepis kemalasan itu, jadinya saya masih seperti ini dan dikutuk banyak orang. Saya berterimakasih saja atas semua sarannya.
Nampaknya Anda begitu esensialis dalam beragama, ya?
Iya, kali, ya? Saya itu malah bingung kalau ditanya begituan. Suatu kali, saya pernah ditanya oleh calon-calon romo yang datang ke tempat latihan saya. Dia mewawancarai saya panjang-lebar, lalu bertanya apakah saya ngerti soal Kristologi. Mereka bilang, itu ilmu tentang Kristus. Mereka ngomong panjang-lebar, tapi saya nggak ngerti. Selama ini, saya hanya memainkan monolog, sementara skripnya berisi apa, nilai-nilai yang dibawa macam apa, saya tidak peduli. Apa yang tersaji, itulah saya.
Kalau Anda mau menggolong-golongkan monolog saya itu dalam kategori apa, itu urusan kalian, bukan perkara saya. Saya Cuma merasa, inilah yang terbaik untuk saya pada hari ini. Dan dengan itu, saya bisa membahagiakan diri saya dan teman-teman yang sedang bekerja bersama saya. Ketika menyampaikan pesan-pesan atau misi-misi luhur dalam cerita itu, dan mau dilihat dari perspektif agama—berteologi atau tidak—silakan saja. Itu bukan perkara saya.
Adakah secuil pengaruh agama pada diri Anda?
Ada. Kalau pas bingung, saya harus berdoa. Pengaruh lain, untuk mengisi kolom KTP itu, hehehe.
Pernah membuat karya yang berisi muatan agama?
Pernah, sewaktu masih suka melukis. Waktu itu saya ikut-ikutan menggambar Yesus ketika disalib, dipentar. Yesusnya saya gambar kayak karikatur. Yesusnya buting, botak, dan pakai kaca mata. Gitu-gitulah! Dulu, saya suka iseng.
Karya itu tidak membuat marah orang yang taat beragama?
Karya itu justru terjual, Mas. Ia dibeli pendeta dari Jerman. Waktu itu, saya masih di SMP atau SMA.
Ada karya teater yang religius, nggak?
Besok, tangal 27 Desember, saya akan ikut perayaan Natal nasional bersama teman-teman di Teater Koma. Mas Nano yang jadi sutradaranya. Saya akan ikut main. Tapi kisah natal yang saya mainkan itu bukan merekonstuksi cerita-cerita Yesus yang konon lahir di gua atau kisah-kisah semacam itu, tapi kisah yang sudah diberi konteks dalam kebangsaan.
Di penghujung maut nanti, akan seperti apa Mas Butet ini?
Kalau dalam perkara mati, saya mengikuti ajaran Om saya, bapak Hanung Gusti Aksono. Dia bilang begini: “Nak, kalau aku mati, terserah mereka yang hidup. Kalau istri dan anak saya Islam dan mau menyembahyangkan saya secara Islam, silahkan saja! Kalau kakak-kakak saya yang Kristen mau menyembahyangkan secara Keristen, silahkan! Kalau adik saya yang Katolik mau menyembahyangkan secara Katolik, silahkan juga! Itu urusan orang hidup. Saya kan orang mati. Bahkan ekstrimnya, andaikan saya ditaruh di jalan raya, lalu burung gagak dibiarkan mencucu’i tubuhku, saya juga ikhlas. Toh saya juga nggak ngerti. Itu perkaranya orang hidup, bukan perkaranya orang yang sudah mati.
Apa yang akan Anda tinggalkan untuk yang masih hidup?
Karena saya pemuja harmoni, saya tak ingin keluarga saya menderita ketika saya mati. Pokoknya dia harus aman, tenang lahir dan batin. []
Komentar
Menarik sekali perbincangan dengan mas Butet..
Cara mendidik pak Bagong seperti itu mungkin ada baik dan tidaknya. Baik: karena anak bisa memilih sendiri agama yang mau dipilihnya. Tidak baik: kalau tidak ada bimbingan yang cukup dari orang tua, institusi agama (masjid, gereja, dll dan para teolog), nanti kasihan si anak jadi bingung.
Yang saya tidak mengerti kenapa BERAGAMA itu menjadi sesuatu yang penting bahkan mungkin lebih penting daripada BERTUHAN dan BERIMAN, kenapa MELAKUKAN RITUAL itu menjadi penting bahkan mungkin lebih penting daripada MENGHAYATI ajaran. Ini adalah paradigma yang harus bangsa Indonesia ubah.
Saya rasa pertanyaan pewawancara dari KIUK ("Tapi, tidak menentukan agama buat anak, bukan berarti Anda tidak mengajarkan baik-buruk alias budi pekerti, kan?") itu kurang tepat, karena agama sebaiknya tidak disamakan dengan budi pekerti. Kita BISA SAJA berbudi pekerti, bermoral, baik, sopan, rajin, disiplin, dst MESKIPUN tidak beragama. Menurut saya agama itu masalah IMAN bukan tetek bengek seperti ritual, cara bernyanyi, model lagu dalam ibadah, baju yang dikenakan dll. Maaf kalau ada yang tidak sependapat. Feel free to do that.
Sebagai orang yang lahir beragama Kristen dan kemudian dipanggil dan memilih mengikut Yesus, saya turut kecewa dengan gereja yang kurang bahkan tidak “membuka pintu” untuk orang baru (atau yang baru kembali lagi) seperti mas Butet yang merasa seperti mahluk asing, ini bertentangan dengan ajaran Yesus dalam perumpamaan di Lukas 15:11-24 (http://www.sabda.org/sabdaweb/passages/?p=Luk+15:11-24&s=on). Ini masih menjadi tantangan bagi gereja untuk bisa lebih membuka diri, seperti masjid yang OPEN 24 hours.
Dalam wawancara tsb ada pertanyaan “Kira-kira, kapan Anda rindu ingin beragama secara penuh?”. Saya mempertanyakan pewawancara dari KIUK mengenai konsep beragama secara penuh. Apa artinya? Apa dampak atau efeknya kalau seseorang beragama secara penuh?
Saya setuju dengan konsep “surga yang mengejar2 saya”, kalau itu artinya adalah Tuhan yang menjangkau manusia berdosa. Karena iman saya mempercayai bahwa saya yang manusia penuh dosa ini tidak akan mungkin mencapai keMahaKudusan, maka Sang Maha Kudus lah yang mendekatkan diriNya pada saya, mengangkat si pendosa ini dan mencuci bersih (mungkin juga menggantikan baju yang compang-camping dan meninabobokan sambil berkata “Kuampuni kamu dari dosamu dan jangan mengulanginya lagi, anakKu sayang.") Jadi “Surga Yang Mengejar-Ngejar Saya...” itu bukan sekadar judul yang eye-catching dan menggelitik.
Satu hal lagi, menurut saya beriman itu berarti juga bersaksi, kalau tidak salah dalam Islam istilahnya adalah “syiar”, maaf kalau salah. Dengan besarnya talenta yang diberikan Tuhan pada mas Butet, saya harap dan doakan supaya mas Butet menggunakan talenta itu untuk bersaksi tentang IMAN mas Butet, BUKAN tentang AGAMA lho!
Salam sejahtera. Tuhan memberkati kita semua.
-----
Saya sependapat dengan apa yang telah disampaikan oleh mas Butet dan juga oleh pemaparan komentator. Tapi disini saya juga punya sebuah pemaparan dalam hal yg terkait.
Intinya, jika pemahan seorang manusia mempunyai konsep hidup yg uiversal tanpa adanya pemetakan yg lebih kearah golongan tertentu atau bisa dikatakan lebih demokrat, tapi tidak mengesampingkan kepentingan orang lain dan tidak mengganggu orang laen, saya kira itulah yang lebih bermakna dari interaksi manusia dibumi ini.
Karena kita semua tahu bahwasannya kita hidup dalam komunitas heterogen dan kita disini jg hidup bersama dan saling mempunyai keterikatan dan saling menggantungkan dengan sesama. Maka apakah tidah akan lebih baik jika kita bisa saling toleransi dalam hidup ini, jadi tidak selalu mengedepankan kehendak pribadi atau golongan untuk hal-hal yg sifatnya semu.....
Pada dasarnya apa yg telah disampaikan oleh mas Butet tentang bagaimana cara kita mengilhami hidup bersama didunia ini, yakni kita hidup beragam suku, ras, agama dan yg lainnya, saya kira kita semua harus paham tentang filosfi semua itu..
Tanpa kembli kesitu kita akan menjadi subyektif dalam hidup ini, padahal justru sebaliknya realita yg ada dibumi ini.... apalagi kita semua telah mendengar isu yang telah digembor-gemborkan bahwa kita akan menatap globalisasi. Maka sudah seharusnya kita semua bersikap yag lebih bijak, marilah hidup rukun didunia dan kita sama-sama saling mengarungi kehidupan yang damai, bahagia, ada saling pengertian, toleransi, bisa menghargai, dan mengasihi terhadap sesama.
Dengan sikap seperti itu bukankah kita akan menuju kebahagiaan bersama baik didunia maupun disurga. Kita semua, saya kira mempunyai agama walaupun mungkin hanya ada yg tertulis di KTP.
Nah permasalahannya bagaimana cara kita memandang ajaran-ajaran yg ada didalamnya dari masing-masing agama tersebut.. apakah ada dari ajaran-ajaran agama tertentu yang mengajarkan permusuhan antar manusia, apa yang menjadi dasar untuk melakukan semua itu, saya kira tidak ada, karena semua ajaran agama hanya satu yaitu bagaimana menuntun manusia dalam hidup ini bisa ingat kepada Tuhan, maka dengan mereka para manusia ingat terhadap Tuhan disinilah hidup bersama yang rukun akan tercapai. Akan tetapi permasalahannya tidak segampang itu, kita semua tahu bahwa kita mempunyai karakter yang berbeda dan berangkat dari latar belakang yang berbeda pula begitu juga dengan tingkat SDM yg dimiliki, maka tidak heran kalau muncul pemahaman dan perspektif ajaran agama yang berbeda dalam hidup ini. Sebenernya baik dengan kita mempunyai perbedaan seperti halnya beda agama, akan tetapi kenapa dengan pemahaman manusia yang serba terbatas yang mungkin karena kualitas SDM yang terlalu sempit, sudah berani berkoar - koar tentang ajaran agama dan mereka bilang bahwa apa yang mereka katakan itu yg menjadi dasar kitab suci..... Pertanyaannya apakah didalam kitab suci mengajarkan bahwa agama yg paling benar hanya agama tertentu.... saya kira tidak.. karena menurt saya dengan agama yang ada yang diturunkan melalui nabi - nabi itu merupakan sikap Tuhan yang sangat mulia dan baik sekali, filosfi dari semua itu yaitu bagaimana agar manusia bisa ingat kepada Tuhan, maka dengan adanya agama - agama untuk ajarannya jg berbeda pula tapi tujuannya jelas cuma satu yakni Tuhan hanya satu dan bagaimana cara hidup bersama didunia, jadi kalau terlalu idealis bahwa agama tertentu yang paling benar itu salah besar.... semua agama mempunyai ajaran yang sama benar walaupun teori dan prakteknya berbeda, dan juga Tuhan hanya satu.... Jadi sekarang tergantung pribadi masing - masing bagaimana memposisikan diri terhadap perspektif tentang ajaran agama, bagaimana cara mengapresiasikan ajaran agama, bagaimana harus mempunyai persepsi tentang ajaran agama, jadi yang harus kita jadikan dasar hidup kita adalah keyakinan diri kita dengan pemahaman yang benar dari kitab suci, bukan dari pemahaman subyektif, karena kitab suci merupakan ajaran dari Tuhan, jadi tidak mungkin kalau mengajarkan untuk membenci, menyakiti, memusuhi… terhadap sesama. sama seperti apa yg telah disampaikan oleh mas Butet yaitu dengan kita sudah bersikap baik terhadap sesama, menolong orang itu merupakan dari ajaran agama, dan satu lagi dia tidak bicara mengatasnamakan ajaran kitab suci, sikap yang diambil saya sangat salut sekali dia begitu tulus bicara dan ngomong apa adanya bahwa dirinya belum paham betul tentang agama… yg menjadi dasar hanyalah bagaimana hidup bisa saling menghargai, jujur, tidak memusuhi orang lain, memberi kebebasan. Smua itu bagi saya merupakan sikap orang yang sangat mulia, tidak seperti orang-orang yang bicara mengatasnamakan ajaran dari kitab suci, yang biasanya memaksakan kehendak sendiri tanpa melihat yang ada disekitar.. sebenarnya saya paham dengan semua itu, ya itulah manusia sifatnya yang egois jadi dengan memahami sedikit saja tentang ajaran yg ada di kitab suci, maka sudah berani bertindak, padahal semua itu salah… apa tidak salah kalau membuat orang laen susah, membuat orang lain sakit hati.... saya kira anda semua tahu, jadi marilah kita semua intropeksi terhadap diri kita masing - masing, biar terjalin kehidupan bersama yang indah tanpa ada permusuhan… tapi jika masih belum bisa berubah, jadi konklusinya sudah jelas,, siapa saja yang mempunyai pandangan picik dan sesat… jadi marilah kita lebih saling menghargai tanpa mendiskreditkan golongan tertentu dengan membenci dan permusuhan.....
Saya kira banyak orang yang seperti mas Butet, yang menganggap bahwa bertuhan atau beragama adalah urusan pribadi yang mestinya tidak diintervensi oleh siapapun, termasuk negara atau society.
Mungkin banyak yang “schocked” dengan ucapannya atau memandang negatif sifatnya yang malas atau nyeleneh. Tapi sungguh saya menghargai kejujurannya mengemukakan apa yang ada di kepala dan hatinya. Tidak ada standar ganda. Tidak ada keraguan atas apa yang diyakini atau kekuatiran untuk menyampaikannya. Suatu hal yang “mahal” di masa sekarang, terutama di Indonesia.
Semoga di Indonesia semakin banyak orang yang bisa menghargai hak-hak asasi manusia, termasuk dalam urusan ber-tuhan atau beragama. Terimakasih, JIL.
Logika mas Butet baru menggunakan pemikiran atau “theory” untuk memahami masalah-masalah gaib seperti surga dsb. Makanya tidak mengherankan jika mas Butet “ragu” tentang ada-tidaknya surga dan atau tentang kebenaran agama.
Logika tersebut akan lengkap jika ditambah dengan bukti yang valid atau katakanlah “paling valid” yang ada di muka bumi.
Setelah melalui pemikiran yang mendalam, saya bisa katakan bahwa satu bukti yang paling valid dimuka bumi ini tentang hal-hal gaib adalah ayat-ayat Alquran. Mengapa? karena Alquran adalah informasi dari Tuhan pencipta alam semesta ini yang dijamin “keasliannya dan kebenarannya” hingga akhir jaman. Tuhan berkata dalam Alquran, Surat Al Hijr ayat 9 yang berarti “ Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya” (Dep Agama RI, 1989, Alquran dan Terjemahannya, Toha putra, Semarang, halaman 27 atau halaman 391).
Alquran dipelihara dari pemalsuan. Ini tidak doktrin atau mitos. Tuhan sangat fair dan blak-blakan dalam hal ini. Jika ada manusia yang meragukan kebenaran alquran dan informasi yang dikandungnya, manusia tsb ditantang Tuhan untuk membuat satu surat saja yang setara dengan Alquran. Tidak banyak, karena satu ayat bisa berarti satu baris saja. Tuhan berkata dl Alquran surat Albaqarah ayat 23 dan 24 yang artinya “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” “Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (online: http://quran.al-islam.com/Targama/dispTargam.asp?l=Ind&t=ind&nType=1&nSora=2&nAya=23)
Kenyataanya sudah sekitar 1400 tahun sejak alquran diturunkan tidak ada manusia yang bisa membuatnya. Bahkan menurut saya, seluruh manusia, jin, dan setan secara bersama-sama tidak akan mampu melakukan “pekerjaan kecil” sekedar memalsukan atau sekedar mengacak-acak Alquran. Ini tentu satu mukjizat yang sangat besar bagi orang-orang yang berfikir.
Nah Tuhan sudah fair dan blak-blakan, manusia pun seharusnya fair dan blak-blakan. Jika memang manusia tidak bisa mengalahkan “tantangan Tuhan” sewajarnyalah manusia mengkui kebenaran informasi yang dikandung di dalam Alquran. Informasi tentang adanya akherat, surga, neraka dlsb sangat banyak dalam Alquran. Salah satu info tentang surga ada di ayat albaqarah ayat 25 yang berarti, Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (online: http://quran.al-islam.com/Targama/dispTargam.asp?l=Ind&t=ind&nType=1&nSora=2&nAya=23)
Akhir kata, terimalah tantangan tuhan tsb untuk membuat satu surat seperti Alquran. Jika tidak mampu sendiri bekerjasamalah dengan siapa atau apa saja. Jika tidak mampu juga, percayalah pada info yang dikandungnya, agar tidak termasuk orang yang sombong. Nuwun. saya hanya menambah logika mas Butet… Salam manis dari Perth, Australia untuk JIL dan rekan2. Aku tonggone mas Butet koq… he..
Islam adalah sebuah pilihan. Banyak pilihan yang lain. Semua orang bebas memilih ; bebas sebebas-bebasnya. Tidak ada tekanan dari siapa pun. Kalau ada yang menekan, pastilah ia bukan Muslim, atau tidak paham ajaran Islam yang sebenarnya. Pilihannya jelas : Islam atau tidak. Ini adalah sebuah pilihan. Pilihan yang Anda ambil akan menentukan nasib Anda seterusnya. Tentu saja, Anda akan selalu bisa merevisi pilihan Anda selama Anda masih bernapas. Tapi sampai kapan?
Sebuah pilihan adalah sebuah pilihan. Tidak ada seorang pun manusia yang punya hak untuk melarang kita membuat sebuah pilihan. Tidak ada juga yang berhak membatasi pilihan kita. Semua pilihan yang bisa diambil telah disajikan di atas meja, bagaikan hidangan yang siap disantap. Bedanya, kita bisa memilih untuk melahap semua hidangan. Logika yang sama tidak bisa digunakan dalam kasus yang sedang kita bicarakan ini.
Pada dasarnya, semua orang pasti melalui sebuah tahapan dalam hidupnya ketika hati kecilnya sendiri bertanya : “yang manakah yang benar?”. Tahapan ini cenderung ‘menakutkan’ bagi sebagian orang, karena pertanyaan di atas mengguncangkan semua prinsip yang telah diajarkan kepada kita sebelumnya. Semua jawaban yang telah kita terima sebagai kebenaran, yang dulu kita terima sebagai sebuah dogma yang tidak perlu dipertanyakan, kini menghadapi sebuah tantangan besar. Manakah yang benar? Apakah yang kita anggap selama ini benar memang sungguh-sungguh benar? Apakah jaminannya? Manakah bukti-buktinya?
Sebagian orang tua pun merasa gamang ketika melihat anak-anaknya harus menghadapi pertanyaan ‘seberani’ ini. Kalau bisa, tentu mereka ingin menghindar. Tentu hati mereka akan lebih tenang sekiranya anak-anaknya tetap yakin dalam agama yang diwariskan dari orang tuanya. Akan tetapi, harapan ini tidaklah realistis, karena akal manusia bagaimana pun harus bekerja. Tidak ada yang bisa mencegah pergulatan pemikiran dalam benak seorang manusia. Kalau dicegah, ia malah akan berontak. Kalau pun kita berhasil mencegahnya bersikap kritis, maka ia hanya akan jadi orang bodoh yang penurut. Umat Islam tidak membutuhkan Muslim yang seperti ini.
Jadi bagaimana? Haruskah kita membiarkan semua orang berpikir secara ‘bebas’? Haruskah kita berdiam diri menyaksikan orang-orang di sekitar kita membuat kesimpulannya sendiri-sendiri?
Pada hakikatnya, tidak ada akal yang memiliki sifat ‘bebas’. Kata “akal” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “‘aql” dari bahasa Arab. Turunan dari kata ini memiliki makna “ikatan”. Artinya, justru akal manusialah yang memiliki fungsi untuk ‘mengikat’ manusia, bukan membebaskannya untuk berbuat semaunya. Akal manusialah yang membantunya membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan mencegahnya mengambil sebuah pilihan yang keliru. Akal membuat manusia setia pada standar kebenaran yang dianutnya. Tidaklah logis mengaitkan akal dengan ‘kebebasan’.
Karena itu, janganlah khawatir pada orang-orang yang menggunakan akalnya. Selama mereka menggunakan akal sehatnya, maka mereka akan selalu berada pada jalur yang aman. Diskusi antar orang-orang berakal sehat akan lebih mempercepat proses pematangan ini. Yang penting, kita harus selalu yakin bahwa yang kita gunakan adalah akal sehat, bukan hawa nafsu.
Saya beri sebuah contoh. Dalam sebuah diskusi antar teman, misalnya, kita mendiskusikan partai apa yang akan kita coblos pada Pemilu mendatang. Setelah masing-masing mengutarakan pilihannya (memang rahasia, tapi karena diskusi ini antar teman, terkadang yang rahasia pun bisa diungkapkan), maka langkah logis berikutnya adalah mengutarakan sebab yang menjadi latar belakang pilihannya itu. Jika memilih partai A, apa alasannya? Jika memilih partai B, apa alasannya? Kalau bisa, perlu juga diutarakan alasan mengapa tidak memilih partai selain pilihannya itu. Akan tetapi, kalau jumlah partai sangat banyak, bolehlah langkah terakhir ini dilewati.
Sekarang, bisakah semua orang mengutarakan alasannya mencoblos partai tertentu dalam Pemilu? Kalau mau jujur, tidak semua orang memiliki alasan yang jelas. Seringkali, masyarakat mau mencoblos Partai A, misalnya, karena alasan-alasan semacam ini : partai A mau membagi-bagi uang pada saat kampanye partai A mau membagi-bagi kaos gratis bagi siapa pun yang mau mendukung kampanyenya partai A mengadakan acara dangdutan di kampungnya kepala desa memberi instruksi pada warganya untuk mencoblos partai A seluruh keluarga sudah menyatakan diri akan mencoblos partai A teman-teman sekampung juga banyak yang mencoblos partai A partai A banyak benderanya, sehingga membuat kota nampak ‘semarak’ dan sebagainya
Semua alasan di atas, kalau kita berani jujur, adalah jawaban yang berdasarkan hawa nafsu. Apa yang dilakukan sebuah partai pada musim kampanye sama sekali tidak mencerminkan kualitasnya. Kampanye hanya terjadi sekali dalam lima tahun. Apa saja yang dilakukannya selama empat tahun di antaranya? Partai yang habis-habisan dalam kampanye justru mengindikasikan adanya budaya buang-buang duit, dan karenanya, semakin meriah kampanyenya, semakin tidak perlu dicoblos. Kalau partai itu memang berniat membela rakyat, seharusnya dana untuk membuat bendera, spanduk, dan baliho yang ribuan lembar itu bisa digunakan untuk keperluan lain. Sayangnya, sedikit sekali yang mau berpikir objektif. Kalau ada partai yang memutuskan untuk tidak buang-buang uang pada saat kampanye, maka partai itu akan menghadapi resiko jatuhnya ketenaran.
Akal sehat dan hawa nafsu. Jelas perbedaannya. Akan tetapi, tidak semua orang bisa jujur pada dirinya sendiri.
Kembali pada tema utama. Islam adalah sebuah pilihan. Mau atau tidak mau, dicegah atau tidak, setiap manusia akan sampai pada suatu tahap (bahkan mungkin berkali-kali mencapai tahap itu) di mana mereka mempertanyakan agamanya sendiri. Salahkah manusia yang bertanya-tanya? Salahkah akal yang menginginkan sebuah jawaban yang jelas?
Saya terlahir sebagai seorang Muslim, dari sebuah keluarga yang Muslim pula. Saya berdarah Minang, dan tidak ada orang Minang yang tidak Muslim, kecuali diancam atau dihipnotis. Inilah fakta sejarahnya. Seluruh keluarga saya Muslim, dan tidak seorang pun yang pernah membuat wacana untuk keluar dari Islam. Ketika saya menginjak usia SMP, saya mulai mempertanyakan Islam.
Segala puji bagi Allah yang telah menuntun hamba-hamba-Nya dalam mengenali kebenaran, melalui akal sehatnya. Bagi saya kini, Islam bukanlah dogma. Islam adalah sebuah pilihan akal sehat. Islam adalah satu-satunya jawaban yang memuaskan logika. Agama ini bukanlah warisan orang tua, bukan pula tradisi orang Minang, dan bukan pula perintah guru-guru agama yang sangat saya hormati. Islam adalah sebuah pilihan yang telah saya buat setelah ‘bertarung’ ribuan ronde dengan berbagai pertanyaan yang berkecamuk. Saya mempertanyakan semua hal dalam Islam, mulai dari Dzat Allah SWT sampai pada alasan memuji Allah setelah bersin. Seringkali saya terpancing untuk mengikuti jawaban yang disodorkan oleh hawa nafsu, tapi Allah terus membimbing akal sehat saya ; akal sehat yang tidak pernah membiarkan saya bebas. Saya harus selalu tunduk pada kebenaran.
Saya hargai pendapat mas Butet.Islam adalah pilihan saya. Apakah pilihan Anda?
Komentar Masuk (14)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)