Teologi Negara Sekular: Substansi dan Metodologi
Oleh Redaksi
Kelompok diskusi yang dimoderatori oleh Luthfi Assyaukanie ini diikuti oleh lebih dari 200 anggota, termasuk para penulis, intelektual, dan pengamat politik seperti Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saifulloh Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Mujani, Hamid Basyaib, dan Ade Armando. Diskusi berikut mengangkat isu Teologi Negara Sekular, sebuah tema yang digulirkan pertama kali oleh Denny JA.
Sejak didirikan pada 8 Maret 2001, kelompok diskusi (Milis) Islam Liberal () telah mendiskusikan berbagai hal mengenai Islam, negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Kelompok diskusi yang dimoderatori oleh Luthfi Assyaukanie ini diikuti oleh lebih dari 200 anggota, termasuk para penulis, intelektual, dan pengamat politik seperti Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saifulloh Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Mujani, Hamid Basyaib, dan Ade Armando. Diskusi berikut mengangkat isu Teologi Negara Sekular, sebuah tema yang digulirkan pertama kali oleh Denny JA.
Denny JA:
Rekan-rekan, untuk memberi fokus diskusi kita yang semakin panas, dengan aneka tulisan dari Rizal, Saiful, Hamid, AE Priyono, Luthfi, komunitas Islam Liberal di Indonesia, saatnya mengembangkan sebuah teologi tersendiri (yang sah secara substansi dan metodologi), yaitu Teologi Islam Liberal. Ini sebuah filsafat keagamaan yang bersandar kepada teks dan tradisi Islam sendiri, yang memberi justifikasi kepada sebuah kultur yang liberal.
Dalam politik, teologi itu menjadi teologi negara sekular. Yaitu sebuah filsafat keagamaan, yang menggali dari teks dan tradisi Islam, yang paralel ataupun menjustifikasi perlunya sebuah negara yang sekular (sekaligus demokratis). Saya menyusun empat prinsip dasar bagi landasan dari teologi negara sekular. Prinsip itu adalah sebagai berikut:
1). Negara nasional adalah evolusi tertinggi dari komunitas politik. Dengan lahirnya negara nasional, berbagai upaya untuk membangun kekhalifahan global (semacam otoman empire ataupun federasi negara Islam yang memiliki satu imam) tidak penting dan tidak perlu. Waktu dan enerji yang ada harus diberikan kepada pembangunan negara nasional, bukan supra-nasional.
2. Dalam negara nasional, warga negara berasal dari agama yang beragam. Karena mereka adalah warga dari negara yang sama, hak-hak sosial dan politik mereka (termasuk hak untuk duduk dalam jabatan politik, seperti presiden) adalah sama. Konsekwensinya, semua warga negara, apapun agamanya berhak mendirikan partai politik, dan berhak memperebutkan jabatan pemerintahan.
Dengan sendirinya, negara Islam tidak mungkin sesuai dengan prinsip equal opportunity bagi semua warga negara. dalam negara Islam, hukum Islam menjadi konstitusi negara. Pemimpin politik nasional mustahil datang dari agama yang berbeda dari Islam. Orang yang bukan Islam menjadi warga negara kelas dua, karena sistem tidak memungkinkannya menjadi pemimpin
nasional, yang akan tunduk pada hukum Islam (bagaimana mengharapkan hukum Islam dijalankan oleh orang yang tidak percaya kepada hukum Islam karena tidak beragama
Islam). Negara demokrasi yang berkembang di barat, kini menjadi keharusan religius bagi pengaturan masyarakat yang beragam secara agama. Hanya dalam kerangka demokrasi itu, equal opportunity bagi warga negara yang beragam dilindungi.
3. Ilmu pengetahuan dan manajemen modern lebih mendominasi day to day politics. Bagaimana membuat sebuah public policy (mulai dari agenda setting, policy formulation, policy adoption, policy implementation dan policy evaluation) agar policy itu berguna bagi orang banyak, dan semakin kecil unsur kesalahannya, harus semakin diatur oleh pengalaman sebelumnya dan kreativitas baru, yang tercermin dari perkembangan ilmu pengetahuan dan manajemen modern. Process dari Policy Making itu semakin tidak perlu disentuh oleh doktrin agama. Untuk hal di atas, semakin sedikit keterlibatan agama, semakin baik. Atau dalam bahasa kerennya: the best religion is the least religion (untuk kasus day to day politics). Biarkan prinsip ilmu pengetahuan dan manajemen modern yang menjadi ruhnya.
4. Islam hanya terlibat sebagai sumber moralitas bagi aktor pemerintahan (bukan sistem pemerintahan) dan moralitas bagi dunia publik. Namun moralitas di sini adalah moralitas umum, yaitu prinsip perilaku baik, yang juga diharuskan oleh agama lainnya dan filsafat lainnya. Landasan moral bagi kehidupan publik, dengan sendirinya menjadi tugas bersama semua agama besar (tidak hanya bersumebr dari doktrin Islam).
Dengan empat prinsip dasar di atas, sebuah teologi Negara Sekular dari tradisi dan teks Islam, niscaya akan menjadi sebuah revolusi paham keagamaan yang sangat penting. Teologi itu akan menjadi dasar bagi berkembangnya civic culture di negara yang mayoritasnya muslim, yang pada gilirannya akan menjadi lahan subur bagi tumbuh dan terkonsolidasinya demokrasi.
Satu sumber bacaan yang dapat dikembangkan untuk teologi negara sekular dalam Islam adalah karya Ali Abd al-Raziq. Secara tegas ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pembawa risalah kebenaran, dan bukan seorang raja, Islam adalah sebuah agama, dan bukan sistem pemerintahan, ISlam diturunkan untuk mensucikan hati nurani manusia, bukan untuk membangun negara. (Argumen selanjutnya dari Raziq dapat dibaca di Islamic Liberalism (Leonard Binder) dan Liberal Islam (Kurzman).
Memang, tanpa teologi Negara Sekular, toh negara sekular yang demokratis tetap dapat berdiri
sebagaimana terjadi di seluruh dunia. Namun untuk Indonesia, teologi Negara Sekular akan membuat berdirinya negara sekular yang demokratis akan lebih berakar, karena ditopang oleh kultur Islam sendiri (yang diinterpretasi ulang).
Pengalaman negara Turki menjadi pelajaran beharga buat kita. Lebih dari 40 tahun, demokrasi di negara itu tidak terkonsolidasi karena pertarungan kultur barat dan Islam yang tak berkesudahaan. Islam Liberal sebenarnya adalah common ground bagi dunia barat dan dunia Islam, dan negara sekular yang demokratis adalah pengejawantahannnya yang praktis di dunia publik. Sayangnya di Turki, negara sekular yang demokratis hanya dijustifikasi oleh kultur barat, sedangkan kultur Islamnya sendiri masih didominasi oleh yang anti negara sekular demokratis.
Berangkat dari pengalaman Turki itulah, komunitas kita dapat memanggul tugas generasi (dan tugas sejarah) yang sangat heroik (jika berhasil). Yaitu membuat negara sekular yang demokratis memperoleh justifikasi religius dari teks dan tradisi ISlam sendiri, melalui dikembangkan teologi Negara Sekular (sebagai bagian dari Teologi Islam Liberal). Realistiskah harapan ini?
Hadimulyo:
Menarik ide Denny ini. Terus terang, lugas, dan jujur. Namun begitu, saya ingin berbagi pengalaman saja tentang ketegangan kreatif dalam melihat hubungan antara agama dan negara ini baik dalam dataran konseptual maupun politik praktis di Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, sebenarnya pertarungan ide antara nasionalisme sekular dengan nasionalisme Islam sudah berlangsung. Sejak jalan buntu konstituante, pergulatan ide tersebut tetap menarik bahkan sampai sekarang. Dan jika Denny melihat perlunya suatu teologi yang relevan bagi Indonesia yang mayoritas islam, sekaligus memberikan justifikasi bagi demokrasi, teologi itu tidak perlu dicari jauh-jauh, tetapi berdasar atas pengalaman historis Indonesia.
Sebagai muslim, kita semua mengetahui secara historis Islam adalah agama (wahyu) yang terakhir. Sebagai agama yang terakhir, saya termasuk yang mempercayai Islam adalah menyempurnakan ajaran-ajaran agama yang terdahulu, termasuk agama Nasrani. Nah, yang menjadi masalah, di Indonesia, justru Islam datang terlebih dulu dibanding dengan Kristiani. Yang terakhir ini, kita semua tahu, datang ke Indonesia bersama penjajahan bangsa-bangsa Eropah yang juga menawarkan modernitas, termasuk ide tentang pemisahan agama dan negara. Turki mencoba ini, tetapi banyak yang menilai gagal. Indonesia juga, meskipun malu-malu, yang menang dalam pertarungan ide selama ini adalah kaum nasionalis sekular, sejak Orla dan Orba. Dan gagal. Termasuk ketika kini di bawah Presiden Wahid sebagai representasi par exellence dari so called ‘ Islam kultural.’
Nah, dengan kegagalan ini, sesuai dengan prinsip liberal, ada baiknya kita beri kesempatan bagi kalangan Islamis di Indonesia untuk menawarkan ide bagaimana membumikan Islam sebagai rahmatan li al-’alamiin, termasuk di bidang politik, karena ajaran Islam juga memuat prinsip-prinsip mengatur urusan-urusan publik ini. Dalam kehidupan ekonomi, sistem perbankan alternatif dari sistem riba yang berasal dari Yahudi, sejah tahun 1990-an sudah mulai dicoba di Indonesia, mulai dari Bank Muamalat sampai dengan bait al maal wa attamwil yang menawarkan alternatif terhadap rentenir di desa-desa. It works. Tentu saja ajaran-ajaran ini memerlukan teoretisasi, objektivikasi (Kuntowijoyo), bahkan bilamana perlu falsifikasi. Kenapa takut?
Hamid Basyaib:
Deklarasi “Teologi Negara Sekular"-nya Denny kelewat cepat. Saya kira kita perlu mengeskplorasi banyak aspek dulu sebelum melompat ke sana. Dokter yang baik, berbeda dari dukun yg buruk, perlu mendiagnosis cermat dulu sebelum menulis resep. Ingat, Den, menurut Celli, urusan begini di Barat perlu lima abad. Kita tentu perlu mengakselerasinya. But, Guy, even the most accelerative version cannot be handled only in three weeks. (Den, kita perlu ngalor-ngidul dulu, dong; Anda langsung mau ngalor saja; supaya ketika tiba di Stasiun Utama Islam Liberal, pertanyaan paling cerewet pun dari para penyambut bisa dijawab, karena kereta kita sudah mampir bahkan ke tempat2 yg tak mereka duga; supaya kita bisa bilang, “Saudaraku, telah kuarungi segenap lembah dan ngarai dan jalan-jalan terjal").
Tapi bahwa Denny langsung masuk ke substansi, saya hargai. Inilah yang saya harapkan sejak awal: kita hendaknya lebih banyak menyampaikan interpretasi pribadi (bukan penghayatan pribadi atas ajaran agama, seperti pernah dikeluhkan Denny) untuk mengisi Islam-liberal ini. Kita semua mungkin belum mencapai kualifikasi produsen; tapi pasti kita juga tak mungkin cuma jadi konsumen. Menganalogi Toffler, dalam proyek ini baik kita pilih sikap prosumer (producer & consumer). Let’s make the project richer and richer; let’s give some flesh and blood to the Islam-liberal bone. Bukankah kita sebisa-bisanya terutama menjadi aktor dalam Islam-lib movement, dan bukan sekadar ingin menjadi reviewer atau ahli history and development of the Islam-liberal?
Apa salahnya kalau ada sekumpulan warganegara ingin diakomodasi aspirasi keagamaannya oleh negara? Bukankah itu wajar dan sah dalam demokrasi? Apalagi, mereka yakin Kitab Suci memang banyak bicara tentang isu2 sosial-politik. Kalau tak salah Khomeini pernah menghitung: perbandingan antara isu sosial dan ibadah formal dalam Quran adalah 100 (ayat): 1. Faktanya ada berjuta-juta orang yang ingin demikian, terutama dari Islam, meskipun bukan satu2nya. Tidak mungkin kita mengabaikan aspirasi sedemikian banyak warganegara, jika kita ingin tetap disebut demokrasi.
Otoritarianisme berbaju demokrasi (yang diembel-embeli dengan “Rakyat”, “Terpimpin”, “Pancasila”, dsb) tak perlu kita ulangi. ("Demokrasi ya demokrasi!” kata Saiful). Maka persoalannya bukan apakah para aspiran religius itu boleh memajukan agendanya atau tidak, tapi jenis dan bentuk aspirasi religius seperti apa yang mungkin diakomodasi; yang bukan justeru menghancurkan sistem demokrasi; yg tidak merugikan aspirasi agama2 lain. Menarik rambut tanpa membuyarkan tepung memang tak pernah gampang.
Repotnya, rezim2 kita, sampai sekarang, selalu mau enaknya sendiri dalam menghadapi para aspiran itu. Yang mereka akomodasi hanya yang berbau duit, terutama bisnis haji—sebuah captive market bernilai sekitar Rp 6 triliun per tahun. Atau bisnis zakat, yg dikelola badan semi-pemerintah. Atau stiker halal buat semua makanan dan minuman kemasan, sebuah bisnis yg bisa lebih besar dari haji, dan hampir saja diraih oleh pemerintah 3 tahun lalu. (Saya yakin, kalau salat dan puasa harus bayar, pemerintah tentu memonopoli proyek ini dan tak akan mau mentenderkannya). Pemerintah, kata orang Solo, urik (curang); sementara praktek2 yg dirasa menyinggung religiusitas orang2 itu dibiarkan, kalau bukan didukung dengan meriah (dibekingi oleh “oknum” tentara segala). Maka FPI turun ke jalan dg aksi2nya yg nggak ketulungan itu (terlepas dari apakah mereka diperalat dan diongkosi oleh faksi politik tertentu atau tidak).
Jadi, seperti kata Celli, urutan teoretisnya: sebelum mereformasi sistem politik, yang perlu direformasi adalah (pemahaman) agamanya dulu; meski dalam praktek keduanya tentu harus diupayakan simultan. Bagi saya ini langkah yg paling realistis, karena berpijak kuat pada sociological hard-fact, demi kokohnya demokrasi yang mau kita bangun. Sebab para penganut agama, di mana-mana, di setiap zaman, tampaknya digerakkan oleh impuls kuat untuk mendesakkan agenda agamanya ke gelanggang negara. Memang hanya ulama Islam yg terang2an menyatakan agamanya sbg ad-din wa daulah (Islam adalah agama sekaligus negara), tapi kenyataannya kan semua pemuka dan umat agama bersikap demikian?
Bukankah sukses people’s power di Filipina (dua kali pula!) banyak dibantu oleh Kardinal Jaime Sin? Saudara-saudara, jangan lupa: salah satu figur politik paling menonjol di abad ke-20 adalah Dalai Lama, yg agamanya sangat nonpolitis itu. Jelas sekali Dalai Lama bermanuver politik sangat canggih: bikin “negara mini” di Dharamsala India (bukan di negeri lain; dan dia tahu, kehadirannya bisa dijadikan kartu politik oleh India untuk menghadapi Cina), dan sesekali menggoda Cina dg berkunjung ke Taipeh.
Mungkinkah mereformasi pemahaman agama? Jelas mungkin, kalau kita bicara dalam skala dekade – contoh suksesnya banyak sekali. Kita semua tahu, dalam 30 tahun sejak sekularisasi Nurcholish sudah banyak perubahan. Tentu masih ada saja ceceran2 sisa ketertutupan, misalnya yg menimpa Ihsan dan saya di Republika. Adapun “Negara Islam” saya kira makin lemah sbg isu, karena makin disadari bahwa landasan teologis untuk itu memang tidak ada. (Saya kira, kegagalan Piagam Jakarta dulu itu juga sedikit-banyak karena konseptualisasi teoretis protagonis Islam sangat tidak meyakinkan; terlalu berkobar semangat, terlalu redup konsep).
Saya bisa kenalkan Anda dg kelompok2 kecil yg masih menyimpan aspirasi ini, tapi --semoga saya benar—kuantitas aspirannnya dan kualitas argumennya insignifikan. Mayoritasnya sudah jadi rebels without cause. Mungkin mereka ini mirip kelompok2 fundamentalis-radikal Kristen Amerika (ada yg berseragam militer segala; seperti yg meledakkan gedung di Oklahoma tempo hari). Atau seperti kaum skinhead dan neo-Hitler di Jerman.
Menetralisasinya gampang: kasih peluang kerja dan standar kemakmuran yg lumayan. Fundamentalisme (radikal) saya kira lebih merupakan gejala ekonomi ketimbang religius. Kita semua tahu, agama (juga etnisitas) adalah kendaraan yang nyaman untuk ditumpangi oleh the deprived people. Pernahkah Anda dengar turis asing disandera atau ditembak di Mesir dalam 4 tahun terakhir? Para turis Barat itu kini dilindungi oleh proyek2 pembangunan dan kemakmuran yg mulai menciprati kaum fundamentalis.
Buat saya, tanpa meremehkan potensi destruktif fundamentalis, yg penting diperhatikan adalah kaum Muslim moderat (termasuk kelas-tengah perkotaan). Mereka ini memang tidak mau bikin negara Islam, tapi karena pada dasarnya hidup di gereja Islam abad pertengahan (tapi tarawih di hotel bintang-5 dengan blue jean dan handphone dan sedan), mereka sulit diajak berdemokrasi; mereka terus mengobarkan cold war dg umat lain; mereka terus merasa kesalehannya diukur dari sebesar apa mereka menyediakan peluang bagi golongan sendiri, jika bukan seraya memojokkan secara sosial-politik kaum lain.
Social setting Madinah era Nabi, dengan penekanan pada ketegangan hubungan Yahudi-Kristen-Islam, terus diduplikasi di lahan2 modern, termasuk di instansi2 militer. Itu sebabnya ketika beberapa jenderal memperlebar medan petualangannya ke kantong2 political Islam, mereka cepat mendapat sambutan hangat. Sebab jenderal2 itu pun ikut mengeja dg fasih sebuah hadis yg kerap dikumandangkan sbg penutup diskusi analisis situasi: “Kaum Yahudi dan Nasrani itu tak akan senang sebelum menyeretmu sampai ke lobang biawak.” (Saya tidak bilang bahwa minority-complex kalangan Kristen steril dari semangat serupa; tapi saya sedang melihat dari kamp Islam).
Mereka mungkin mirip kaum Kristen “fundamentalis-moderat” Amerika seperti Moral Majority Jerry Falwell dan para televangelis lainnya. Jumlah mereka signifikan. Sebuah Christian-Coalition mudah terbentuk. Mereka mungkin bukan mau menjadikan Amerika sbg negara Kristen; tapi mereka sulit, dan kini rupanya cenderung makin sulit, untuk beramah-tamah dg umat agama lain.
Kalau fakta2 sosiologis itu diabaikan, program Islam-liberal Indonesia bisa berakhir pada dua kemungkinan: Turki (dan Aljazair dan Tunisia) atau Iran (dan Afghanistan, Pakistan, Sudan). Gimana, Kang Ipul, ngawur nggak? Saya sangat menantikan bunyi terompet2 lain.
Denny JA:
Deklarasi Teologi Negara Sekular itu sengaja dilepas secepatnya, hanya dalam rangka menstimulasi diskusi. Empat prinsip dasar yang saya susun itu hanya embrio yang kelak bisa dibongkar pasang, tergantung akumulasi diskusi dan bacaan baru.
Mau tidak mau, suka atau tidak suka, semua formulasi konseptual yang matang tentang apapun memang harus melalui jalan terjal dulu dan dilezatkan oleh perkelahian paling liar dari dunia ide. Proses ini tidaklah hendak ditolak, atau dipercepat.
Namun, dengan mendeklarasikan teologi Negara Sekular secara cepat, setidaknya kita sudah meletakan target adanya cahaya di ujung lorong gelap yang sangat panjang. Bahwa hasil akhir dari segala proses dan lorong itu adalah sebuah teologi Negara Sekular (untuk politik) dan Teologi Islam Liberal (untuk yang lebih umum). Deklarasi atau manifesto itu yang saya formulasikan dalam empat prinsip besar, terbuka dan sangat diharap untuk dikritik dan dikembangkan. Para anak cucu kita kelak akan bercerita, bahwa pada satu masa, ada mailing list yang secara keras berdiskusi tentang dua teologi itu. Baru di zaman para anak dan cucu kita itu mungkin teologi yang kita dambakan ini terformulasi dan menjadi inspirasi gerakan di Indonesia, ataupun negara mayoritas muslim lainnya, sebagaimana teologi pembebasan di Amerika Latin tahun 70 dan 80-an. Ini semacam romantisme yang diperlukan untuk menjaga semangat dan stamina pencarian kita.
Sebagaimana di Turki, di Indonesia, dari Ibu kandung kultur Islam dan ayah kandung kultur barat, haruslah lahir anak yang mewarisi bakat baik keduanya. Islam Liberal dan teologi negara sekular adalah anak yang diharapkan. Semoga anak ini tidak lahir sungsang:), apalagi mengidap cacat bawaan .
Ade Armando:
Pandangan Hamid itu sangat bagus sekali. Tapi semoga optimisme tentang pengaruh Cak Nur agak kejauhan. Saya rasa apa yang Anda sebut kalangan ‘Islam moderat’ yang hidup dalam era gereja abad pertengahan adalah bukti bahwa pesan-pesan Cak Nur sebenarnya nggak sampai. Mereka cuma meminjam fatwa Cak Nur tentang tidak haramnya menjadi modern dan sekular, namun mengabaikan --hampir-- sama sekali gagasan-gagasan substantif Islam yang memerdekakan.
Denny JA:
Bung Hadimulyo, Terima kasih banyak atas komentarnya. Namun terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa Islam liberal (pemisahan agama dan negara) di Indonesia sudah gagal, apalagi harus memberi kesempatan kepada interpretasi Islam lainnya.
Untuk sistem politik, memberi kesempatan eksperimen kepada tipe regime di luar regime demokrasi, sangatlah berbahaya. Eksperimen di labolatorium yang gagal, hanya akan merugikan waktu dan biaya. Namun eksperimen sosial dan politik yang gagal, akan menyebabkan hilangnya beberapa generasi.
Negara sekular yang tidak demokratis memang sudah gagal (untuk Indonesia adalah kasus Orde Lama dan Orde Baru). Namun negara sekular yang demokratis tidak bisa dikatakan gagal (dengan contoh kasus presiden Gus Dur), karena negara sekular demokratis di Indonesia belum dimulai. Yang ada barulah “transisi menuju”, dan bukan situasi demokrasi yang terkonsolidasi. kegagalan transisi di bawah Gus Dur juga bukan disebabkan kegagalan konsep demokrasi atau Islam kultural (term yang lain lagi), tapi semata-mata karena kegagalan leadership Gus Dur. Kegagalan leadership ini dapat terjadi di semua negara dan kebudayaan. Itu tak ada hubungannya dengan negara sekular, Islam liberal ataupun Islam kultural.
Aneka kegagalan itu justru semakin menguatkan ide perlunya sebuah teologi baru yang berangkat dari teks dan tradisi Islam, teologi negara sekular yang demokratis. Mudah-mudahan, suatu ketika, entah kapan, ujung dari diskusi di mailing list ini berhasil memformulasikan secara sahih the so called “Teologi Negara Sekular (yang demokratis).
Saiful Mujani:
Menurut saya, “fundamentalisme Islam” dan “fundamentalisme Kristen” tidak bisa dibandingkan terutama dalam kaitannya dengan masalah hubungan agama dan negara. Betul bahwa agenda-agenda keagamaan tertentu ingin dijadikan kebijakan publik (misalnya larangan aborsi, homo, dll.) dan karena itu meminta perhatian state, oleh kelompok-kelompok fundamentalis tertentu tertutama dalam kasus di AS, tapi pada dasarnya mereka tidak punya cukup peralatan dan legacy untuk membenarkan negara disubordinasikan ke dalam wilayah agama. Sementara dalam kasus fund islam, agenda itu kuat dan punya akar sejarah yang cukup panjang. Kalau mau disderhanakan, antara keduanya dapat dikatakan begini: Kristus datang bukan sebagai pendiri dan pelaksana sebuah negara, sementara Muhammad datang sebagai pendiri dan pelaksana yang sukses dari sebuiah polity Islam.
Dari awal memang beda, dan ini melahirkan warisan yang berbeda juga dalam prosesnya kemudioan di antara dua umat ini. Jada penyataan “negara Islam” dapat dicari pembenarannya dari nabi. Kan nabi adalah teladan bagi umat. Ini bisa diperdebatkan, tapi find islam punya ruang historis untuk membenarkan gerakan politiknya. Dalam konteks sekarang, kata “negara Islam” itu bukan slogan, ada contoh kongkritnya lepas dari kita setuju atau tidak: Iran, Afghanistan, dan Sudan. Sekarang PPP dan partai-partai Islam lain masih mengagendakan piagam Jakarta. Kalau kelompok fund Islam dijelaskan secara sosial ekonomi, ya kita udah lama dengan penjelasan ini, dan makin lama, saya merasa penjelasan itu makin tidak meyakinkan.Untuk ini engga perlu elaborasi, kan?
Ismail Budhiarso:
Langsung saja saya mau bertanya kepada Denny. Saya tertarik dengan prinsip-prinsip yang diajukan oleh Denny dan oleh karenaya mohon klarifikasi lebih lanjut. Pertanyaan pertama adalah pada prinsip nomor dua tentang equal right “dengan catatan”. Saya bilang “dengan catatan” karena njenengan tidak membolehkan aspirasi politik warganegara yang ingin mendirikan Darul Islam (for this matter mungkin juga Darul Kristen atau Darul Hindu, dsb). Mohon dijelaskan apa alasannya.
Kedua, saya ingin klarifikasi prinsip ketiga. Mohon dijelaskan alasan yang mendasari pentingnya kita menggantungkan diri semata-mata pada ilmu-ilmu modern untuk keputusan-keputusan yang menyangkut nasib warganegara? Saya justru punya pendapat sebaliknya. Saya pikir, sekarang ini justru saatnya kita mengenalkan dengan lebih aktif nilai-nilai Islam dalam hal-hal yang begitu penting. Saya ambil contoh dalam kebijakan ekonomi. Kalau kita mengandalkan semata-mata pada ilmu ekonomi, maka kita ndak boleh nangis kalau hutan kita gundul, minyak kita habis, buruh kita tetep miskin, dsb. Konsep seperti marginal cost, marginal produk tak memberi tempat pada orang yang tambahan kontribusinya dikit dapat banyak. Jadi dengan mengandalkan semata-mata pada ilmu ekonomi, apa yang terjadi dengan buruh NIKE ya boleh-boleh saja. Wong kontribusinya dikit ya dapatnya dikit dong. Kami yang punya kapital besar, beresiko besar, ya tentunya berhak dengan hasil besar dong. Apa salahnya?
Kalau menurut saya, salahnya ya rakus itu. Mentang-mentang perhitungan-perhitungan yang berdasarkan ilmu-ilmu modern membolehkan orang berbuat rakus, terus dibiarkan saja. Saya pikir, kalau kita bisa memasukkan konsep Islam seperti konsep “dalam harta kita ada hak orang miskin”, ilmu ekonomi akan tambah cakep.
Saiful Mujani:
Mas Hadi, Saya kira menarik juga didiskusikan di forum ini bagaimana praktek “eknonomi Islam” berhasil atau gagal dilaksanakan. Barangkali anda, atau teman-teman yang lain, bisa cerita lebih lanjut dari bank muamalat dan lembaga-lembaga ekonomi lainnya di tanah air. Saya sangat awam dalam soal ini. Ukuran suksesnya seperti apa, dan kalau dibandingkan dengan bank konvensional performance-nya seperti apa. Dalam rangka masyarakat yang plural dan demokrasi, saya kira kelompok masyarakat punya hak untuk mempraktekkan varian lembaga ekonomi apapun sesuai dengan yang mereka yakini, termasuk apa yang disebut ekonomi Islam. Kita lihat ini sebagai bagian dari masyarakat. Ini hanya akan menjadi masalah kalau lembaga ekonomi ini, atau yang lain, dari kelompok tertentu di masyarakat dijadikan semacam kebijakan publik di mana semua warga harus menganut sistem ini. Ini pun sebenarnya tidak masalah kalau memang ekonomi Islam punya performance yang lebih baik secara praktis, bukan hanya di tingkat komunitas kecil tapi juga di tingkat makro. Saya kira penganut agama lain pun akan menerima sistem Islam ini bila memang ia unggul dan lebih rasional. Maka akan bagus juga kalau kita bisa menunjukkan negara yang sistem ekonominya berdasarkan Islam dan berhasil. Bagaimana Iran atau Saudi Arabia?
Denny JA:
Bung Ismail, terima kasih atas komentarnya. Karena anda minta klarifikasi, saya berikan argumentasi yang lebih prinsipal. Anda bertanya, mengapa dalam negara demokrasi yang sekuler ini orang tak boleh mendirikan darul Islam, darul kristen, dsb. Jawabnya sederhana. Demokrasi tak dapat memberikan tempat kepada mereka yang akan mengubah prinsip demokrasi itu sendiri, karena melindungi prinsip equal opportunity semua warga negara (apapun agama, jenis kelamin, dll).
Dalam demokrasi yang sekuler, semua jabatan publik (termasuk presiden) terbuka bagi semua warga negara (apapun jenis kelamin dan agamanya) sejauh ia memenangkan kompetisi politik yang terbuka. Negara Islam ataupun Negara Kristen ataupun Negara Hindu, dsb, tidak memberikan equal opportunity itu. Contohnya sudah saya berikan dalam e-mail sebelumnya. Dalam negara Islam, yang akan berlaku sebagai konstitusi pastilah hukum Islam. dan mustahil hukum Islam dijalankan oleh pemimpin nasional yang bukan beragama Islam (yang tak percaya kepada hukum Islam).
Negara Islam dengan sendirinya sudah membuat mekanisme yang sedemikian rupa agar orang yang bukan Islam harus tidak boleh terpilih menjadi pimpinan negara. Dengan demikian orang yang bukan Islam menjadi warga negara kelas dua, karena kehilangan hak politiknya yang tertinggi, yaitu berkompetisi untuk menjadi pimpinan nasional. Hal yang sama terjadi dalam negara kristen atau hindu, jika ada.
Hal di atas telah melanggar prinsip dasar negara modern, bahwa semua negara nasional terdiri dari warga negara yang beragam. Dan semua warga negara tak boleh didiskriminasi hak politiknya, hanya karena identitasnya (warna kulit, jenis kelamin, agama). Larangan terhadap presiden perempuan, sebagai misal, adalah bentuk lain dari primitivisme politik yang ingin dijustifikasi oleh interpretasi Islam yang konservatif. Jelaslah, Islam Liberal dan teologi negara sekuler yang demokratis tak akan melanggar prinsipnya sendiri: equal opportunity for all citizens.
Kedua, anda bertanya bahwa prinsip ilmu pengetahuan dan manajemen modern selalu tak cukup. Ia tak bersikap ketika hutan ditebangi, dan kelaparan karena kerakusan manusia, dsb. Maka perlu agama, kesimpulan anda. Pendapat saya justru sebaliknya. Prinsip lingkungan hidup kini sudah sedemikian maju di negara modern, terutama di Barat (yang tak ada hubungannya dengan doktrin Islam). Cobalah sesekali anda ke perpustakaan mencari tahu buku-buku ilmiah tentang lingkungan hidup.
Prinsip negara kesejahteraan, yang memberikan subsidi atas mereka yang tak mampu, sudah sedemikian majunya pula dalam welfare economics dan manajemen negara walfare state. DI As sini, anak-anak kita dapat sekolah dengan gratis, serta jaminan kesehatan yang juga melimpah ruah. Inipun terjadi di negara yang tak ada hubungannya dengan doktrin Islam. Mengapa Ilmu dan manajemen tetap peka dengan hal-hal di atas? Karena rasio dan hati manusia yang menjadi ruh ilmu pengetahuan dan manajemen modern terus berkembang dan belajar dari kesalahan masa lalu. Penelitian yang empirik, membuat ilmu dan manajemen itu terus berakumulasi menyesuaikan diri dengan semangat zaman.
Kesalahan ilmu di satu masa dapat dikritik dengan mudahnya, karena itu ia yang sangat mudah untuk berkembang. Namun kesalahan interpretasi agama akan sulit dikoreksi. Karena itulah interpretasi agama selalu terlambat untuk berkembang. Sementara dunia sehari-hari butuh respon yang cepat. Semakin agama tidak terlibat dalam day to day-politics, akan semakin baik. Lalu apakah agama tidak penting dalam kehidupan publik? Agama tetap penting. Itu yang menjadi point saya yang keempat. Yaitu sebagai sumber moralitas pribadi sang aktor. Prinsip perilaku baik dapat bersumber dari Islam, dan juga dari agama besar ataupun filsafat lainnya.
Orang-orang besar diukur dari keberanian dan keteguhan moral dapat lahir dari tradisi dan agama yang berbeda (tak hanya islam), seperti Gandhi (Hindu), Ibu Theresa (Khatolik), Dalai Lama (Budha). Mungkin ada yang bertanya, apa gunanya punya moral yang baik jika ia tak akan masuk surga (karena tidak merujuk dan percaya kepada hukum dan doktrin Islam)? well, seperti yang saya tulis sebelumnya: soal surga dan neraka adalah problema “kesunyian kita masing-masing” yang tak dapat didiskusikan.
Hadimulyo:
Denny, Sebagai seorang liberal, Anda membayangkan hanya ada satu varian interpretasi Islam yang “benar,” sehingga menutup kemungkinan interpretasi yang lain. Ini jelas keliru, tidak empiris, dan ahistoris. Yang Anda sebut dalam mail terdahulu, gagasan Ali abd Raziq, yang sering dirujuk oleh teman-teman Islam sekularis, hanyalah salah satu saja dari spektrum pemikiran sekian banyak para pemikir/interpretator ajaran Islam dalam konteks hubungan agama dan politik. Yang Anda takuti bahkan mungkin anti, barangkali yang fundamentalistik (istilah ini asalnya dari tradisi Kristen Amerika Serikat awal abad 20, dan bermasalah jika dinisbatkan terhadap Islam), formalistik, dan legalistik. Tetapi, jika Anda sempatkan menelaah kembali khazanah pemikiran atau filsafat politik Islam, sejak zaman klasik, pertengahan, modern, dan pasca-modern, Anda akan menemukan betapa luasnya spektrum pemikiran itu. Dan sebagaimana pemikiran manusia, tidak ada satu pun yang sempurna, meskipun dirujukkan kepada ajaran Islam yang sumbernya sama, Al-quran dan Sunnah Nabi. Inilah yang menjelaskan, dari 50-an lebih negara-negara yang bergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI atau OIC), dan juga Islamic Development Bank (IDB)—Indonesia, meskipun bukan negara Islam, tetapi karena penduduknya mayoritas muslim, termasuk di dalamnya-- tidak ada satupun memiliki sistem politik dan ekonomi yang persis sama. Ada yang berbentuk kerajaan, dan ada juga yang republik. Ada yang demokratik, ada juga yang otoritarian. Ada yang sosialistik (seperti Libia), ada juga kapitalistik (seperti Indonesia). Ada yang tidak punya utang luar negeri (seperti Iran - tolong koreksi kalau saya salah), ada yang membungkuk-bungkuk menyangga beban berat utang luar negeri yang tidak ketulungan besarnya seperti Indonesia. Ada juga yang (pernah) dipimpin perempuan (Pakistan dan Bangladesh).
Untuk Indonesia, eksperimentasi tentang penerapan prinsip-prinsip, sekali lagi prinsip-prinsip Islam yang universal dalam urusan-urusan publik itu sedang berjalan secara alamiah dan bersifat gradual. Tapi Anda tidak perlu takut. Tahukah Anda, selain debat konstitusional di MPR tentang amandemen UUD 45 pasal 29 tahun lalu, dan akan dilanjutkan Agustus depan --(saya bersyukur, bisa terlibat dalam proses sebelumnya dalam SI-MPR 1998 untuk melakukan demitologisasi dan desakralisasi Pancasila dan UUD 45)-- sudah ada undang-undang perbankan yang membolehkan prinsip bunga nol persen (yang memberikan kemungkinan beberapa bank umum membuka outlet syariah , dan juga konversi bank konvensional menjadi bank syariah)? Juga, sudah ada undang-undang tentang manajemen haji dan zakat, dan tidak ada satupun warganegara Indonesia yang dirugikan?
Untuk undang-undang yang terakhir ini, (Indonesia belajar dari Malaysia), ia memberikan kerangka legal tentang orang yang sudah membayar zakat, infak dan sadaqah(charity) melalui badan dan lembaga (pemerintah dan masyarakat) yang terakreditasi (charitable trust) , akan dapat diperhitungkan (dikurangkan) dengan pajak yang harus dibayar,—seperti deductable tax di negara welfare state-- meskipun Pemerintahan sekular Wahid masih reluctant untuk menerapkannya? Tahukan Anda dalam krisis ekonomi di Indonesia sejak pertengahan 1997, banyak lembaga perbankan ribawi konvensional yang collapse, tetapi yang menggunakan prinsip syariah tetap survive? Di BEJ, ada juga sekarang diperkenalkan indeks syariah. Di UI, sekarang ada program studi Ekonomi Islam, enam semester, dengan jumlah mahasiswa 300-an dari berbagai fakultas, yang eager mencari, sekali lagi mencari (hakekat berilmu) alternatif sistem ekonomi ribawi.
Prinsipnya, berikan sebanyak mungkin alternatif, tanpa merasa benar sendiri. Bukankah ini prinsip liberal? Yang penting obyektivikasi, teoretisasi, falsifikasi. Yang penting Islam ilmu, bukan dogma, doktrin, atau ideologi (yang biasanya tertutup) dan menakutkan. Yang penting kontributif, solutif, dan produktif untuk kemaslahatan publik, dan tidak counter-productive seperti perdebatan tentang Pan-Islamisme, khilafah, dan isu hantu belau lainnya di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sekarang abad 21, Cing!
Denny JA:
Bung hadimulyo, terima kasih banyak atas infonya. Semoga diskusi kita terus saling mencerahkan. Semua contoh yang anda kemukakan adalah eksperimen ekonomi, yang digali dari tradisi dan teks Islam. Jelaslah itu hal yang sangat baik, sejauh ia menambah banyak pilihan kepada masyarakat. Ia hanya dapat menjadi buruk jika ia dipaksakan sebagai sistem nasional satu-satunya, dimana sistem lain tak boleh berkembang.
Dalam negara sekuler yang demokratis, berbagai eksperimen, yang sifatnya pilihan kepada masyarakat, atau yang diterapkan hanya kepada komunitasnya sendiri, dibolehkan berkembang. Itu bagian dari hak asasi manusia, dan hak kelompok. Di AS, misalnya, ada kelompok Amish, yang anti listrik dan teknologi. Mereka dibiarkan berkembang dalam komunitasnya, dan menerapkan apa yang mereka percaya, sejauh mereka tidak memaksakan negara juga menerapkan apa yang mereka percaya sebagai satu-satunya kebijakan nasional. Ada pula kelompok Indian, dan ratusan keunikan kultural lainnya.
Keaneka ragaman dijamin dalam demokrasi yang sekuler. Semua variasi agama, termasuk Islam, ada di AS, mulai dari sunni, syiah, ahkmadyah, nation of Islam, rasyad kalifah. varian Islam yang berkembang di AS sangat mungkin jauh lebih banyak daripada yang berkembang di Indonesia ataupun di so called negara Islam. Belum lagi terhitung ribuan sekte kristen. Jadi tak ada masalah dengan keaneka ragaman. Itu justru kekuatan. Islam liberal, ataupun bukan, sama sahnya untuk hidup.
Semuanya dapat ditampung dalam sistem demokrasi yang sekuler, yang melindungi equal opportunity, sejauh semuanya dilakukan tanpa paksaan. Yang tidak boleh dalam demokrasi sekuler, bukanlah segala eksperimen di atas, namun jika ada kegiatan yang ingin menjadikan negara hanya menjadi instrumen agama tertentu saja (misalnya negara islam, negara kristen, dsb). Interpretasi Islam yang menginginkan berdirinya negara islam (yang memang ada dalam sejarah) jelaslah bertentangan dengan prinsip demokrasi sekuler itu, karena negara Islam menjadikan negara sebagai instrumen agama islam saja(tidak netral secara agama).
Justru karena kita hidup di abad 21, kita semakin menyaksikan dalam sejarah, ternyata negara demokrasi yang sekuler itu yang membawa kemajuan ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, pemerintahan yang bersih, kebebasan beragama, serta keberagaman kultural dan kebebasan bereksperimen. Interpretasi Islam yang sesuai dengan prinsip demokrasi di atas diberi nama Islam Liberal, sementara interpretasi Islam yang menginginkan berdirinya negara Islam, diberi nama Islam yang tidak liberal.
Singkatnya, semua obsesi yang anda tuliskan itu dapat hidup dalam prinsip demokrasi sekuler. Namun anda belum menunjukan sikap anda secara tegas, misalnya, apakah anda mendukung negara Islam? Nyatakanlah sikap anda secara publik. Jika anda tidak menyetujuinya, berarti tak ada lagi perbedaan kita, kecuali perbedaan dalam tekanan dan gaya menulis
M. Zaki Hussein:
Berkaitan dengan pembahasan ekonomi Islam, saya sering mendengarkan kritikan yang mengatakan bahwa apa yang disebut “ekonomi Islam” itu katanya hanya sistem kapitalisme yang diberi label Islam. Saya pernah mendengar kritikan ini dari Kang Jalal di dalam wawancara sebuah koran, di mana kang Jalal mengkritik Bank Syari’ah hanya sebagai bagian dari struktur kapitalisme yang “di-islamkan”, terus Hassan Hanafi di dalam bukunya “Islam in the Modern World” juga menyebutkan bahwa “Islamics bank”, khususnya dan “Islamic economics” umumnya hanyalah “pseudo-devices” (alat-palsu) untuk keadilan sosial, dan malah sebaliknya berfungsi sebagai selubung ketidakadilan sosial yang terjadi di dunia Islam. Untuk itu saya kutipkan komentar Hassan Hanafi sebagai berikut:
“Actually, in order to continue this cover-up of social injustice in the Muslim World, pseudo-devices have been created by the so-called Muslim states in the Arabian peninsula such as Islamic Banks, in particular, and Islamic economics, in general. The so-called Islamic banks indeed are purely normal profit banks as they exist in Western capitalist societies. Under the pretexts of sharing gains and losses, and therefore the absence of profit as usury, money generating money without human effort and sweat the depositor risks to loose, accept his losses in good faith and the so-called Islamic banks are constantly the winners. These banks invest their huge savings in other profit-banks. They do not invest directly but through loans to other banks with high interest rate. They do speculations on gold, silver actions in the stock markets for quick and risky gains outside the Muslim world without any real investments for production increase inside the Muslim world. Islam is used here just to satisfy the purity of the hearts of the masses which still abhores interest as usury.”
Hassan Hanafi bahkan mengkritik sistem zakat seperti di bawah ini:
“The Zakat became a self-legitimizing device for wealth accumulation. Once the oil-sheik gives away 2,5% of his wealth, he is a good and pious Muslim! He may add some charitable contributions for building mosques, houses, schools or hospitals, pure voluntary ones to receive thanks and glory from the masses to the prince of believers and the servants of the two holy shrines. The real social structure did not change.”
Berdasarkan uraian di atas saya mohon pendapat kawan-kawan sekalian dalam hubungannya dengan masalah ini.
Luthfi Assyaukanie:
Saya setuju dengan Denny. Prinsip demokrasi, saya kira, adalah --selain memberikan kebebasan kepada siapa saja, selama dia tidak mengganggu demokrasi itu sendiri-- juga melarang kelompok atau gerakan apa saja, selama mereka berkeyakinan bahwa merekalah satu-satunya sistem yang benar. Masalahnya, saya sering berdiskusi dengan orang-orang yang ingin menawarkan dan memaksakan ekonomi Islam, merasa bahwa sistem mereka adalah satu-satunya alternatif yang benar. Bagaimana saya tidak curiga kalau suatu saat mereka berkuasa, mereka akan melikuidasi bank tempat saya menaruh uang. Denny, apakah Anda punya ketakukan yang sama dengan saya? Bagaimana Pak Hadi?
Denny JA:
Ada yang luput saya bahas dari komentar Bung Hadimulyo. Yaitu mengenai zakat, infak dan sadaqah, dalam hubungannya dengan demokrasi yang sekuler. Tentu saja masalah zakat, infak dan sadaqah adalah hal yang sangat baik. Namun itu tak perlu diurus oleh
negara. Biarkan komunitas Islam itu sendiri yang mengurusnya.
Dengan diurus oleh negara (jika pemerintahannya bersih) malah akan menambah mata rantai proses pemberian dari masyarakat untuk masyarakat, menjadi dari masyarakat ke negara dan balik ke masyarakat lain. Belum lagi terhitung praktek pemerintahan yang cenderung korup. Bisa-bisa yang sampai ke masyarakat tidak lagi 100%. Pengalaman tempo hari dengan label “ekonomi rakyat”, kita tahu berapa banyak jumlah uang yang hilang, ditilep baik oleh oknum pemerintah, ataupun oknum LSM yang menjadi partnernya. Di negara demokrasi, seperti di AS, pemerintah cukup mengurus pajak saja, yang diterapkan tanpa diskriminasi ke semua warga negara (apapun agamanya). Sistem ini jalan dan AS menjadi negara paling besar secara ekonomi.
Berbagai program kesejahteraan dari pemerintah AS juga berjalan (yang dibiayai melalui pajak). Jutaan orang di sini (apapun agamanya, termasuk orang Indonesia yang Islam, yang bukan warga AS) turut menikmati aneka program itu. Anak-anak kita bukan saja dapat sekolah gratis tapi dapat pula aneka benefit lainnya. Istri kita jika melahirkan di sini (apapun agamanya) juga mendapat potongan biaya yang luar biasa besarnya (kadang bisa samapai 100%).
Bagaimana dengan sedekah? Walau tidak diatur oleh negara, sedekah paling besar di dunia terjadi di AS. Cobalah anda buka-buka daftar para penyumbang legendaris (charity/philantropis) dalam sejarah. Di situ anda temui Bill Gates, Carnegie, Rockefeler, Ford. Mereka menyumbang untuk pendirian universitas, perpustakaan, beasiswa, penelitian ilmu, kesehatan untuk dunia ketiga, anak yang tidak mampu, dsb.
Ini juga tak ada hubungannya dengan doktrin Islam. Dan penerima sumbangan itu juga tak dihubung-hubungkan dengan agama formal seseorang. Bukankah ini lebih baik? Memang ada prinsip tax deductable bagi para penyumbang itu. Namun hal ini diatur semata-mata oleh teknik manajemen modern, yang tak ada hubungannya dengan doktrin agama manapun secara langsung. Inilah paradoxnya. Banyak sekali hal-hal yang kita ingin dilakukan (karena hal itu baik menurut doktrin Islam) ternyata malah terjadi di negara yang sekuler (tapi demokratis) bukan di negara Islam. JIka tak percaya buatlah perbandingan, dengan kriteria di bawah ini:
- kebebasan beragama bagi semua agama
- pemerintahan yang bersih
- program kesejahteraan bagi yang tak mampu
- kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
- kekayaan kultural dan keberagaman
- supremasi hukum
Bandingkanlah negara demokrasi sekuler dengan negara Islam. Di negara mana hal-hal di atas lebih terjamin dan terjadi? Jawabnya, itu lebih dijamin di negara demokrasi yang sekuler. Mengapa? Karena dalam demokrasi yang sekuler, rasio dan hati nurani manusia dibiarkan berkembang sebebas-bebasnya sejauh tidak melakukan kriminal dan paksaan. Sementata prinsip perilaku baik terus menjadi ideal, yang bersumber dari berbagai agama (tak hanya satu agama).
Kembali ke awal: Teologi Negara Sekuler (yang demokratis) memang sangat penting, karena justru dalam mekanisme demokrasi yang sekuler itu berbagai hal yang didambakan oleh Islam, lebih mungkin tercapai. Sebuah paradox, tapi riel. Dalam bahasa populernya: aneh tapi nyata. Namun jika kita mengerti hukum-hukum sosialnya, ia tidak lagi aneh, walau tetap nyata
Hadimulyo:
Saya kagum dengan kekaguman Denny terhadap Amerika, mudah-mudahan dia tidak terlalu Americanized. Saya teringat, ketika terjadi perdebatan publik di Filipina tentang perlu tidaknya pangkalan militer AS (Subic dan Clark) ditutup, seorang yang tetap ingin mempertahankannya bahkan ‘kebablasan’ sampai mengusulkan Filipina menjadi negara bagian AS, setelah Hawaii (yang katanya gubernurnya keturunan Filipina). Ha..ha..ha.. Indonesia bukan Amerika. Bung! Tentu saja di AS tidak ada masalah kaitan antara pajak dengan zakat. Di Indonesia, that’s a real issue. Berikut (attachment) file saya tentang soal ini menanggapi tulisan Ulil di Kompas, Desember 2000, tetapi, tidak dimuat. Maklum sajalah. Mudah-mudahan (tulisan tsb) bisa agak menjelaskan posisi saya mengenai soal ini. Jika Anda buat perbandingan, buatlah perbandingan dengan sesama negara berkembang, sesama bekas jajahan, itu baru fair.
Kembali ke soal teologi negara sekuler. Saya salut, Anda benar-benar propagator atau muballigh sekularisme yang serius. Saya menghormati itu. Tetapi jika ini Anda kaitkan otomatis dengan Islam Liberal, ya nanti dulu, lah. Titik tolak kita ternyata berbeda. Anda berpendapat bahwa soal-soal duniawi, kesejahteraan masyarakat, dan lain-lainnya tidak perlu doktrin agama (Islam). Bagi saya, adanya akar spiritual (Islam) tentang soal-soal duniawi lebih membuat hidup saya ini lebih tenang. Anda bertolak dari perlunya privatisasi agama (biarkan bersunyi-sunyi), sementara bagi saya, Islam memberikan pedoman atau prinsip-prinsip (bahkan kadang-kadang terlalu ‘rinci’ untuk hal-hal yang kita anggap masalah kecil, seperti soal bersuci atau thaharah, kata Luthfi) baik dalam kehidupan pribadi dan berkeluarga, maupun yang bersifat publik dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara . Jadi, Islam bisa berurusan dengan aktor dan sistem sekaligus. Karena sifat umum dan hanya prinsip-prinsip itulah, implementasinya di berbagai negara Islam atau negara muslim berbeda-beda seperti telah saya singgung dalam e-mail terdahulu, Jadi, bergantung pada hasil ijtihad politik mereka masing-masing. Istilah Islam Liberal adalah bagian dari ijtihad politik itu, tetapi belum tentu harus sekuler. Itu ‘jump to conclusion’ namanya. Menurut Ustadz Hamid, meskipun nantinya bisa saja di bawa ke situ, tapi jangan buru-buru kasih label, nanti diskusinya kurang asyik…
Denny JA:
Bung Hadimulyo yang baik, Terima kasih atas komentarnya. namun ada beberapa hal yang anda labelkan ke saya, yang perlu diklarifikasi , supaya anda tidak menyebarkan hal-hal yang “bukan saya” terhadap diri saya
Saya tidak kagum secara buta kepada Amerika Serikat, bahkan terhadap sistem politiknya. Hal-hal yang baik di sini tentu perlu kita tiru, dan yang tidak cocok tak perlu kita ikuti. Satu saja contohnya: Saya justru anti sistem presidentialisme di AS, jika ingin diterapkan di Indonesia. Saya menulis di Kompas, Gatra dan Republika, saat itu (kiran-kira setahun yang lalu) melawan aneka iklan yang menganjurkan pemilihan presiden langsung (seperti yang di AS sini).
Gatra saat itu bahkan membuat kolom khusus yang mensandingkan tulisan saya dan rekan dari Cetro yang menjadi propaganda pemilihan presiden langsung. Jadi ada rekord publik dari saya sendiri yang membuktikan tidak semua di AS ini saya kagumi. bahkan ada beberapa yang saya anti, dan saya anjurkan untuk tidak ditiru. Kedua, saya juga tidak membawa agama hanya untuk bersunyi-sunyi (atau hanya untuk kehidupan pribadi). Jika hanya untuk itu, tak perlulah agama. Saya justru membawa agama masuk hampir ke seluruh aktivitas, namun hanya dalam tataran moral saja (prinsip berprilaku dan bermotivasi baik). Lebih dari itu, agamapun saya bawa ke tataran yang tak pernah disentuh oleh modernitas, yaitu misticism. Ruang agama justru paling luas. Namun hal ini bukan konsumsi publik, dan bukan untuk didiskusikan.
JIka kita memang berbeda hanya dalam label saja, alhamdulilah. Namun jika berbeda dalam substansi, juga alhamdulilah. Toh kata “liberal” itu sendiri sudah mensyaratkan kebebasan untuk berbeda, seperti kata Mao : Biarkan seribu bunga berkembang.
Hadimulyo:
Syeikh Assyaukanie yang baik, Orang yang ketakutan, apa lagi curiga, tidak bisa berfikir rasional. Apalagi obyektif. Coba tanya Syaiful Mujani, kalau tidak percaya. Kalau seorang muslim sudah takut dengan sesama muslim yang lain ( yang tidak perlu harus bawa clurit atau mandau), apa jadinya Islam nantinya? Soal mereka yang merasa benar sendiri, yaa, kita do’akan saja. Pengalaman saya kok beda. Bahkan dengan orang-orang yang mengaku N-11, saya masih bisa menggoda dan bercanda. Bagi saya, sepanjang masih bersifat (pemikiran) manusia, dan meskipun dengan mengatasnamakan atau paling faham atas kehendak Tuhan, bagi saya masih relatif. Jika masih bisa diajak bermujadalah dengan hikmah, syukur. Jika tidak bisa, ya, tidak apa-apa, tinggalkan saja. Begitu saja kok repot!!!
Saiful Mujani:
Luthfi, Mas Hadi, ... Memang bukan soal takut, tapi bagi saya lebih masalah argumen dan kinerja sebuah lembaga, termasuk yang disebut ekonomi islam dengan segala derivative-nya seperti perbankan Islam. Karena itu di forum ini saya sangat senang kalau ada yang bicara mengenai masalah ini. Saya kira ini harus menjadi salah satu egenda diskusi kita karena menyangkut hal yang sangat kongkrit dan amat penting (bisa positif atau negatif). Kalau ada di antara teman milis di sini yang punya informasi komparatif akan sangat membantu.
Iran saya kira contoh kasus yang penting diperhatikan dalam konteks hubungan Islam dan polity. Kalau politiknya, saya kira kita sudah lumayan informed, tapi ekonominya saya kurang mengikuti. Kalau menggunakan “parameter sekuler” yang elementer, saya tidak melihat signifikansi label Islam terhadap Republik Iran: Untuk tahun 2000 misalnya, rangking Human Development Index Iran berada pada urutan 95 (tengah) dari 174 negara. Ia tidak lebih baik misalnya dari negara-negara berkembang lain di kawan Amerika Latin yang katolik seperti Argentina (ranking 39), Venezwela (48), Meksiko (50), Brazil (79), dll. Atau kalau dibanding dengan negara-negara mayoritas berpenduduk Islam seperti Saudi, Libya, Kazakhstan, Turkey, dll.
Iran tidak punya utang luar negeri? Saya belum lihat statistik terakhir, tapi data tahun 1998 menunjukan utang luar negeri Iran sebesar 13.8 billion US$. Tentu ini relatif kecil dibanding utang Indonesia sekarang. Tapi tetap cukup besar dibanding utang dari negara-negara dikawasan itu. Pada masa rezim Islam, transaksi perdagangan dengan dunia luar memang mengalami penerunan yang besar. Ini belum tentu karena rezim di sana melarang transaksi yang haram ini. Bisa juga sebaliknya.
Tapi ukran-ukuran sekuler yang basik ini barangkali tidak valid karena untuk kasus negeri ini ukurannya barangkali surga dan neraka ..
Ismail Budhiarso:
Mas Denny, terimakasih atas klarifikasinya. Menarik sekali argumen yang anda sampaikan. Meskipun begitu, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan lebih dalam lagi. Mudah-mudahan anda dan teman-teman yang lain tidak bosan.
Pertama, anda mengatakan bahwa “Demokrasi tak dapat memberikan tempat kepada mereka yang akan mengubah prinsip demokrasi itu sendiri” Kalau saya lihat, argumen seperti ini kok rasanya persis dengan argumen yang sering disampaikan oleh kawan-kawan garis keras yang tidak suka sistem demokrasi liberal. Mereka ini, dengan bahasa yang agak beda, suka mengatakan bahwa “Islam tak dapat memberikan tempat kepada mereka yang akan mengubah prinsip Islam itu sendiri.” Alasan yang disampaikan bisa bermacam-macam. Yang jelas mereka akan melakukan apapun untuk menyelematkan sistem yang dia sukai.
Kalau sistem demokrasi yang anda sampaikan juga akan melakukan cara yang sama (melarang orang yang tidak sependapat) guna mempertahankan hidup demokrasi itu sendiri, maka terus apa dong bedanya demokrasi yang anda tawarkan dengan sistem totalitarian yang lain? Apakah benar kita boleh melanggar prinsip untuk mempertahankan prinsip? Agak aneh rasanya. Whaddayathink.?
Memang, di kalimat selanjutnya anda mengatakan alasan kenapa kita mesti mempertahankan sistem demokras tsb yaitu “karena (demokrasi) melindungi prinsip equal opportunity semua warga negara apapun agama, jenis kelamin, dll).” Dan, selanjutnya anda juga mengatakan kenapa kita ndak mbolehin sistem Islam karena sistem Islam tidak akan memberikan equal opportunity pada setiap warga negaranya (dengan contoh-contoh yang menarik).
Apa yang anda sampaikan di atas sangat menarik. Di sini ada dua asumsi yang sudah anda anggap benar sebelum di tes. Asumsi yang pertama adalah demokrasi menjamin equal opprtunity. Asumsi yang kedua, Islam tidak menjamin equal opportunity. Apakah asumsi-asumsi ini juga benar? Saya pribadi ragu. Mari kita lihat, apakah benar asumsi yang anda anggap benar itu benar.
Dari fakta yang ada, memang kita tak bisa pungkiri bahwa sistem demokrasi di negeri-negeri maju (seperti Amerika) berjalan dengan sangat bagusnya SEKARANG INI dibandingkan dengan sistem-sistem yang lain. Namun demikian, apakah dengan kemajuan tsb berarti bahwa sistem demokrasi (a la Amerika, for example) benar-benar memberikan warganegaranya “equal opportunity” seperti yang anda sampaikan? Saya kira belum tentu. Lebih-lebih dengan munculnya kasus Florida dalam Pemilu lalu, dimana Gore yang memiliki popular vote lebih besar dari Bush terpaksa harus kalah karena sistem electoral vote yang memungkinkan terjadinya “winner take it all” untuk setiap electoral college. Dari situ orang mulai bertanya apakah demokrasi seperti ini benar-benar mencerminkan equal opportunity dari warganya?. Belum tentu.
Selanjutnya, sistem perwakilan yang ada juga mulai ditanyakan. Apakah benar sistem perwakilan merupakan sistem yang mencerminkan equal opportunity. Kalau ya, kenapa seringkali bukan suara rakyat yang disampaikan tapi justru suara para lobyist atau korporasi-korporasi besar yang yang menguasai parlemen yang sering dimunculkan? Mungkin di sini kita perlu berdiskusi lebih dalam sebelum secara aklamasi menerima anggapan bahwa sistem demokrasi sekuler merupakan benar-benar sistem yang OK punya…. Again, whaddayathink?
Selanjutnya, mari kita cek asumsi anda yang kedua yaitu Islam tidak akan memberikan equal opportunity karena (salah satu alasannya) adalah orang yang bukan Islam tidak bisa jadi presiden. Apakah asumsi itu benar? Belum tentu.
Pertama, tentang equal opportunity, saya kira Islam telah menjamin hak itu jauh-jauh hari sebelum sistem demokrasi yang ada sekarang ini memberikan hak tsb. Misalnya, right seseorang tanpa membedakan gender dan warna kulit sudah diberikan Islam jauh sebelum Inggris atau Amerika memberikan hak tsb (misal: hak waris, hak bersuara).
Kedua, sepanjang yang saya tahu (mohon dikoreksi kalau salah ) Islam tak pernah menyebutkan satu bentuk pemerintahan tertentu yang mesti diikuti. Rasulullah sendiri sampai akhir hayatnya tidak pernah menyebutkan siapa penggantinya. Hal ini membuka peluang untuk berbagai macam interpretasi. Orang jaman dulu yang hanya kenal sistem kerajaan, ya bikin kerajaan Islam lah. Orang sekarang yang kenal sistem republik, ya bikin republik Islam lah. Tapi apakah sistem-sistem tsb merupakan sistem (negara) Islam yang benar? Kita tak tahu dan kita boleh tak sepakat.
Dengan kenyataan ini, maka kesempatan untuk mencari sistem pemerintahan yang Islami sebetulnya terbuka lebar. Ndak harus kerajaan, ndak harus republik, dan ndak harus demokrasi. Apa saja boleh. Apakah boleh dipimpin oleh wanita? Kenapa tidak. Apakah boleh dipimpin oleh non-muslim? Kenapa tidak. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sebetulnya kita kan sudah banyak melakukan hal-hal seperti itu dan nobody complaint. Misalnya, kita kerja di kantor yang dipimpin wanita atau non-muslim. Ndak ada masalah. Kita kerjasama dengan wanita dan non-muslim. Ndak ada masalah. Kalau hal-hal yang begitu langsung mempengaruhi hidup kita sehari-hari saja dibolehkan untuk dipimpin oleh wanita atau non-muslim, kenapa hal-hal yang lain (seperti mimpin negara) tak boleh?
Pertanyaan lebih lanjut, apakah benar sistem negara seperti yang kita kenal sekarang ini merupakan sistem yang mutlak benar dan kekal sepanjang masa? Saya yakin tidak. Sistem kerajaan yang berumur ribuan tahun saja hilang apalagi sistem republik atau demokrasi yang belum teruji lama (paling lama dua abad). Dengan makin banyaknya manusia (bayangkan dalam 100 atau 200 tahun yad berapa billion manusia ada di bumi), saya pikir sistem negara dengan definisi yang ada sekarang (wilayah, pemerintah, rakyat, etc) susah untuk dipertahankan. Manusia harus mampu mencari sistem yang pas. Dengan demikian, kalau kita berpikir bahwa demokrasi is the only way untuk masyarakat modern (sehingga upaya untuk mencari sistem yang lain
musti diberangus karena bertentangan demokrasi), maka kita telah menutup pintu untuk berevolusi mencari sistem yang lebih baik.
Siapa tahu di masa depan, kita tak perlu pemerintah. Kita tak perlu negara seperti yang kita kenal sekarang ini. Kalau hal itu memang lebih baik untuk hidup ummat manusia, kenapa tidak? Islam tidak melarang kita mencari bentuk “negara” yang lebih menjamin ummat manusia bisa “beribadah” total kepada-Nya. Whaddayathink?
Denny JA:
Bung Ismail, Terima kasih banyak atas komentar dan pertanyaan kritisnya. Karena yang anda tanya sangat fundamental, anda hanya akan puas jika membaca sendiri buku yang secara komprehensif menjawab sebagian pertanyaan anda tentang demokrasi. Penjelasan di internet ini hanya garis besar yang tak akan memuaskan anda. Saya dapat rekomendasikan buku itu, yang dapat anda dicari di library di universitas anda di Seatle. Judulnya: Polyarchy, Participation and Opposition, dikarang oleh Robert A. Dahl.
Apakah sistem dekorasi sekuler ini akan abadi? Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi ratusan tahun mendatang. Tapi saat ini, sistem inilah yang terbukti, lebih dapat mengakomodasikan kepentingan warga negara yang beragam, yang ingin ditreatment secara equal.
Jika menurut anda, tak ada prinsip dasar negara demokrasi sekuler yang ditentang oleh prinsip Islam, well, masalahnya jadi sederhana. JIka ada yang terbaik (demokrasi sekuler) yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam, mengapa harus mencari lagi yang kurang baik? Apalagi jika yang kurang baik itu belum terbukti dalam sejarah.
Namun tak semua penganut Islam akan setuju dengan anda. Oleh sebab itulah terus hidup aspirasi negara Islam, baik yang sudah terealisasi ataupun yang masih dalam angan-angan. Ada pertarungan interpretasi secara internal di dunia Islam sendiri. Di sini lah letak penting Islam Liberal. Ia menjadi peserta aktif dalam pertarungan wacana itu, untuk memenangkan ide demokrasi sekuler sebagai sistem politik masa kini.
Hadimulyo:
Denny yang baik, Wah, terima kasih untuk klarifikasinya. Bukan maksud saya untuk memberi label dan menyebarkan hal-hal yang “bukan Anda” tentang diri Anda. Astaghfirullah, ternyata saya keliru, meskipun mungkin juga ada pembaca di milis ini yang memiliki kesan yang sama ketika membaca argumen Anda yang bersemangat itu. Karena itu, saya mohon dimaafkan, kini dan di sini juga, tidak usah menunggu Lebaran yang masih lama…
Saya mau mengomentari beberapa pernyataan Anda. Pertama, kata Anda: “Saya juga tidak membawa agama hanya untuk bersunyi-sunyi (atau hanya untuk kehidupan pribadi). Jika hanya untuk itu, tak perlulah agama.”
Yah, mungkin saya salah tangkap terhadap pernyataan Anda tentang sorga dan neraka yang tidak bisa didiskusikan di milis ini juga sebelumnya. Lagi ..lagi, kalau memang benar saya salah tangkap, maafkan saya. Tapi, kok rasanya jawaban Anda terhadap Mas Ismail Budhiarto kira-kira seperti itu. Setahu saya, hampir semua agama monotheis (kecuali Yahudi?, tolong koreksi kalau salah) , polytheis, bahkan agama-agama tradisi (paganism) bicara tentang konsep eskatologis (life after death, life after life) ini. Skripsi saya membahas soal ini di Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Perbandingan Agama IAIN Ciputat 1979 ( judulnya: Konsep Eskatologi menurut Pandangan Agama dan Falsafat), yang menguji waktu itu Dr. Harun Nasution, tokoh Islam rasional yang sufistik (kini almarhum). Fachry Ali dan teman-teman (waktu itu) mentertawakannya. Saya sih, senyum-senyum saja, sambil membalas sekenanya: masih mendingan daripada berjudul “peranan ‘to be + ing’ dalam pembangunan” (dia dari Fak.Tarbiyah, jurusan B. Inggeris). Untuk gambaran awal soal ini tolong dicari entry “Eschatology,” di Encyclopaedia of Religion and Ethics.
Pernyataan kedua, “Lebih dari itu, agamapun saya bawa ke tataran yang tak pernah disentuh oleh modernitas, yaitu misticism. Ruang agama justru paling luas. Namun hal ini bukan konsumsi publik, dan bukan untuk didiskusikan.”
Bagaimana ini Zainal Abidin, Budhy Munawar-Rachman? Setahu saya, soal mysticism ini di kalangan terpelajar muslim sekarang ini justru sedang ngetrend. Namanya tasawwuf. Kursus-kursus ditawarkan di koran-koran dan majalah. Di TV pun ada acara tentang religious experiences yang esoterik itu, yang diasuh oleh .. ah… siapa istrinya Ikang Fauzi itu,… o, ya, Marisa Haque. Bukan Sophia Latjuba, lho… Memang bukan untuk didiskusikan, tetapi sharing pengalaman beragama, di samping aqidah , syari’ah, tentu saja akhlaq al karimah. Sekitar akhir tahun 1960-an -1970-an, saya sudah baca itu buku Buya Hamka ‘Tasauf Moderen.’ Kalau sekarang dibaca kembali, menarik juga barangkali…
Ketiga, “Jika kita memang berbeda hanya dalam label saja, alhamdulilah. Namun jika berbeda dalam substansi, juga alhamdulilah. Toh kata “liberal” itu sendiri sudah mensyaratkan kebebasan untuk berbeda, seperti kata Mao: Biarkan seribu bunga berkembang.”
Kata Nabi Muhammad (tapi ada yang bilang ini sanad dan perawinya “dhaif” lemah): “perbedaan di antara ummatku adalah rahmat.” []
Komentar
Yth. Bapak Hadimulyo
Sudah begitu sering saya mendengar bahwa Islam adalah agama terakhir yang akan menyempurnakan agama sebelumnya. Saya saya menghargai kepercayaan Bapak pada hal satu ini.
Perkenalkan dulu, saya adalah seorang yang beragama Katholik. Saya dilahirkan bukan dari keluarga Katholik, tetapi dari keluarga muslim “abangan” di satu sudut di Jawa Tengah. Sejak kelas satu SD saya memutuskan diri untuk memeluk agama Katholik meskipun saya tidak tahu sama sekali apa itu Agama Katholik. Di kampung saya lahir dan dibesarkan juga hanya ada satu keluarga yang beragama Katholik. Jadi hampir pasti ketika saya ditanya oleh guru SD kelas 1 saya “Kamu kamu apa Totok”, entah ada kekuatan dari mana saya menjawab Katholik.
tentu guru saya terkejut karena beliau saya kenal dengan ayah saya yang seorang Kepala Sekolah di SD yang lain di kelurahan saya. Sampai tiga kali saya ditanya, dan jawaban saya tetap sama yaitu agama saya Katholik.
Dengan latar belakang seperti ini, ketika beranjak dewasa saya mencoba mencari apa itu Katholik. Banyak yang sudah saya temukan.
Sebagai orang Katholik, tentu saja saya penasaran dengan apa yang Bapak yakini yaitu agama Islam sebagai penyempurna agama sebelumnya termasuk Nasrani.
Pertanyaan saya kepada Bapak, apa sihh pak ajaran yang ada di Katholik yang disempurnakan oleh Islam? Kenapa ini saya tanyakan karena sebagai orang Katholik saya merasa bahwa agama Katholik begitu ideal, karena kami tidak boleh membenci manusia yang lain sekalipun orang tersebut sangat membenci kami. Tentu ini sangat sulit kami laksanakan dalam hidup sehari-hari kami, tetapi kami harus terus mencoba karena itu lah yang diajarkan oleh Yesus kepada kami.
Kami juga percaya kepada Allah Yang Tunggal, meskipun kami mempunyai paham Trinitas. Tetapi dari yang saya pahami dari berbagai sumber bacaan, tidak ada satu pun dalam paham Trinitas yang mengajarkan bahwa Tuhan itu lebih dari satu. Terima kasih Bapak Hadimulyo, penjelasan Bapak kami tunggu agara kami lebih paham. Kalau hal ini dianggap sensitif, bisa dikirimkan ke alamat email saya saja.
Sekali lagi terima kasih yang sebesar-besarnya. Salam Totok Wibowo.
bang danny solusi dan pandangan yang anda ungkapkan merupakan hasil jiplakan dan kopy paste saja dan itupun belum teruji kebenaran dan pasa tidaknya untuk dterapkan di indonesia, tentang sekuer demokratis yang bisa menjamin warga dalam segala bidang entah politik kebudayaan dan lain lain..dilihat dari kenyataan yang ada seperti negara jerman, turki ternyata salah besar dan apa yang anda uingkapkan adalah nol besar, coba kita lihat jerman dan turki saat ini kedua negara ini mengalami berbagai problem tatkala mereka mereka mempratekkan sistem sekuler dimana para pemimpin negara gak ada yang mengekang ,mereka bisa berbuat apa saja,
kalau boleh tanya neeh aq adabeberapa pertanyaan.
1. bagaimana Islam yang tanpa “fundamental” atau pokoknya, Al-Quran dan Hadits ?
2. mengapa kita harus mengambil gaya sekuler musthofa kemal attaturk yang telah memasukkan nilai-nilai setan, peradaban barat kedalam sistem dan nilai kemasyarakatan diTurki ?
3. mengapa mas-mas (khususnya bang harun (alm) dan bang cholis (alm)) kenapa sih gak pernah ngambil contoh dari kejayaan Islam dulu ?
4. Islam memang mengajarkan keliberalan dalam berpikir tapikan juga ada batasnya ?
walah pak Deni AJ.maunya agama di pisahin dari aturan pemerintahan toch, ck...ck....ck....ini asia pak Deni AJ buka amerika apa lagi eropah.trus jgn di samain donk ma negara yg udah merdeka selama ratusan tahun ma yg baru merdeka.Pendek kata negara yg baru merdeka tuch orangnya belum banyak yang pintar2 pak.Lagian apa sich yang kita cari di dunia ini, yang lebih baik itu adalah kedamaian di akhirat pak itu juga kalo pak deny percaya sama ke hidupan setelah dunia ini berakhir....
Komentar Masuk (4)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)