Tim Jihad MUI
Oleh Hamid Basyaib
Pertanyaan-pertanyaan dasar itulah yang hari-hari ini sedang dicoba dijawab oleh tim ahli yang dibentuk pemerintah, yang dikoordinasikan oleh Majelis Ulama Indonesia (maka, demi keringkasan, sebut saja namanya “Tim Jihad MUI”). Mereka diminta bekerja sehubungan dengan makin seringnya peledakan bom (bahkan “bom bunuh-diri”), yang pelakunya menyatakan bahwa kejahatan besar itu dilakukan dengan alasan jihad.
Apa makna jihad? Bagaimana cara menerapkan jihad? Siapa yang berhak (atau wajib) melaksanakannya? Apa atau siapa sasarannya? Kapan jihad harus dilaksanakan?
Pertanyaan-pertanyaan dasar itulah yang hari-hari ini sedang dicoba dijawab oleh tim ahli yang dibentuk pemerintah, yang dikoordinasikan oleh Majelis Ulama Indonesia (maka, demi keringkasan, sebut saja namanya “Tim Jihad MUI”). Mereka diminta bekerja sehubungan dengan makin seringnya peledakan bom (bahkan “bom bunuh-diri”), yang pelakunya menyatakan bahwa kejahatan besar itu dilakukan dengan alasan jihad.
Bagaimana cara kerja tim itu? Lazimnya mereka akan mulai dengan pembahasan semantik; definisi jihad, pengertian harfiahnya dan pemahaman maknawinya berdasar Quran dan Hadis yang menyebut kata itu dalam sejumlah konteks. Tentu mereka juga memeriksa timbunan literatur keagamaan (khususnya fiqh), mulai dari yang paling klasik (“kitab kuning”) sampai termutakhir. Ini penting untuk menyusuri evolusi pengertian dan pemaknaan jihad oleh generasi-generasi ulama sepanjang sejarah Islam di berbagai tempat.
Selain studi literatur, “Tim Jihad MUI” juga mungkin menerjunkan para peneliti lapangan untuk bertemu atau wawancara dengan kelompok ataupun individu-individu yang selama ini diketahui sering menyebut “jihad” sebagai motif tindakan-tindakan mereka. Apa makna kata itu bagi mereka? Apakah mereka sungguh-sungguh yakin bahwa yang sedang mereka kerjakan adalah “jihad”?
Apakah mereka sungguh-sungguh mengerti bahwa klaim jihad itu sejalan dengan ajaran Islam dan juga sesuai dengan praktik yang diterapkan oleh generasi-generasi terdahulu? Yakinkah mereka bahwa situasi dan konteks sosial-politik-budaya selalu identik, sehingga jihad – ataupun aspek-aspek ajaran lainnya – selalu tepat diterapkan di masa dan tempat mereka hidup? Benarkah mereka memang menganggap bahwa sasaran jihad mereka hari ini sah untuk dinyatalan identik dengan sasaran jihad di masa Nabi atau generasi-generasi sahabat?
Tentu masih banyak lagi aspek dan rincian yang dapat diteliti oleh tim MUI. Dan seperti lazimnya tim serupa di bidang-bidang lain yang sering dibentuk di mana-mana, “Tim Jihad MUI” tentu akan menyajikan laporan resmi berikut sejumlah rekomendasi, yang kelak dapat dijadikan pijakan kebijakan oleh pemerintah.
Kita berharap “Tim Jihad MUI” akan bekerja sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya. Tim MUI tentunya tidak cukup hanya mengulangi apa yang selama ini sering kita dengar dari para pemuka Islam bahwa motif jihad dalam pengeboman terhadap orang-orang tak bersalah itu adalah penyimpangan terhadap makna jihad.
Bahkan, jika kesimpulan semacam ini yang disajikan (yang tampaknya sekaligus dijadikan hipotesis/asumsi pokok dan titik-tolak penelitian), akan muncul pertanyaan yang amat mengganggu: mengapa para pengebom itu sedemikian keliru memahami ajaran agama, padahal banyak di antara mereka – atau setidak-tidaknya para pemimpin mereka – diketahui mendapatkan pendidikan agama yang kental selama bertahun-tahun? Dan mengapa mereka sedemikian gigih dalam menganut pemahaman yang keliru itu sampai bersedia menempuh risiko yang amat berat, bahkan hingga mengorbankan jiwanya sendiri?
Barangkali perlu ada kebesaran jiwa, kerendah-hatian dan pengakuan yang manusiawi dari para pemuka agama sendiri bahwa bukan mustahil ada unsur kekeliruan dari pihak mereka. Apakah pemahaman mereka sendiri, setidak-tidaknya tentang jihad, sudah tepat? Kalaupun sudah tepat, apakah metode dakwah yang mereka terapkan selama puluhan atau ratusan tahun telah memadai? (Hamid Basyaib)
Komentar
“Jihad” sebuah kata yang menjadi kontroversi dalam enterpretasinya. Bisa bermakna menyeramkan dan mengerikan, dan bisa juga menyejukkan dan memotivasi menjadi muslim yang lebih baik. Ibarat pisau, ia dapat untuk memotong mangga, namun bisa juga untuk bunuh diri dan atau membunuh orang lain.
Kembali kepada esensi suci dari Islam sebagai pencerah peradaban, kita berharap MUI dalam dalam membentuk “Tim Jihad MUI” mampu mencerahkan dan meniupkan hawa sejuk bagi masyarakat dan tidak mengeluarkan fatwa yang meresahkan.
Sudah saatnya makna jihad di-redefinisi untuk merubah “wajah bopeng” Islam yang selama ini bercitra teroris dan kekerasan.
-----
Komentar Masuk (1)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)