Ulama Su’
Oleh Abd Moqsith Ghazali
Masjid orang Syiah yang bersejarah dihancurkan oleh orang Sunni di Irak. Begitu juga sebaliknya reaksi yang muncul kemudian. Ini bukan hanya terjadi di Irak seperti diberitakan pekan-pekan ini, melainkan juga di negeri-negeri muslim lain seperti Pakistan. Di Indonesia, masjid kelompok Islam Ahmadiyah menjadi sasaran penghancuran sebagian umat Islam yang kontra.
Masjid orang Syiah yang bersejarah dihancurkan oleh orang Sunni di Irak. Begitu juga sebaliknya reaksi yang muncul kemudian. Ini bukan hanya terjadi di Irak seperti diberitakan pekan-pekan ini, melainkan juga di negeri-negeri muslim lain seperti Pakistan.
Di Indonesia, masjid kelompok Islam Ahmadiyah menjadi sasaran penghancuran sebagian umat Islam yang kontra. Di sini, di samping faktor-faktor lain, konon para pemimpin umatlah yang diduga ikut menyumbang saham bagi meletusnya kekerasan. Pandangan-pandangan keislaman yang membakar hampir selalu keluar dari lisan sejumlah orang yang disebut ulama itu. Mereka seperti kompor bagi umat dan dapat dengan mudah menyulut api permusuhan. Dari mereka, semakin langka diketemukan pandangan keislaman yang sejuk dan solutif.
Menghadapi “ulama kompor” tersebut--mestinya mereka tidak layak disebut sebagai ulama kalau menggunakan standar kompetensi keilmuan dan lain-lain-- bukanlah perkara gampang. Ini karena sebagian umat—tentu tidak semua—telah memposisikan mereka sebagai ulama. Dari mereka, seakan-akan segala urusan dan hajat keumatan dapat ditanggulangi. Mereka telah diposisikan seperti seorang pemilik yang menguasai segala perkakas kerumah-tanggaan Islam. Sehingga ketika ada “piring” yang pecah, serta merta mereka berkoar dan meminta ganti.
Yang paling aneh, mereka tak segan-segan mengambil alih otoritas dan kewenangan Tuhan, sekalipun wahyu pendelegasian wewenang tak pernah turun langsung kepadanya. Cobalah perhatikan fenomena kita belakangan ini. Jika seorang muslim melakukan—katakan saja dosa-dosa yang bersifat pribadi, serta merta doa permintaan maaf dipanjatkan pada ulama yang bersangkutan. Dan naifnya, bukan kepada Tuhan. Jika tak ada permintaan maaf, karuan si pelaku dosa diperkarakan, misalnya dengan pasal penodaan atas Islam.
Umat Islam akhirnya hanya diwakili oleh segelintir orang. Kita boleh tidak puas, tapi itulah faktanya. Dalam konteks itu, hemat saya, perlu ada upaya untuk mengerem membludaknya ulama-ulama kompor. Salah satunya adalah melalui peningkatan kualitas pendidikan umat, sehingga mereka akan tahu secara persis mana-mana orang yang pantas disebut ulama dan mana-mana pula yang tidak. Mana ulama yang perlu diteladani dan mana yang “preman berjubah”, seperti yang dikatakan Buya Syafii Maarif, yang harus diwaspadai.
Umat yang terpelajar akan tahu kualifikasi keilmuan seorang ulama. Umat yang cerdas bisa menakar derajat moralitas yang mesti digenapi. Sebab, kita mungkin tak pernah bisa membayangkan apa yang akan terjadi sekiranya sebuah bangsa dipenuhi oleh para ulama kompor dengan kualitas keilmuan yang tidak mumpuni dan standar moralitas publik yang retak. Sementara, mereka kerap saja diminta untuk mengeluarkan pendapat dari sudut pandang Islam atas kasus-kasus yang biasanya tanpa didului investigasi dan deliberasi.
Saya khawatir, apa yang pernah diprediksi Kanjeng Nabi Muhammad akan benar-benar terjadi, yaitu banjir fatwa dari sejumlah orang yang tak layak disebut ulama. Fa aftaw bi ghairi `ilmin fa dhallu wa adhallu, kata nabi tandas. Mereka berfatwa tanpa dasar ilmu, dan mereka tersesat serta menyesatkan. Perbedaan pendapat yang mesti rahmat, di hadapan mereka beralih-rupa menjadi laknat. Pluralisme yang mestinya dirayakan malah diharamkan.
Akhirulkalam, kalau boleh memodifikasi sebuah hadits Nabi, saya akan katakan, “Sungguh, takkan pernah bahagia sebuah bangsa yang menyerahkan segala urusannya kepada ulama kompor”. Lan yufliha qawmun wallaw amrahum ulamâ` al-su`.
Komentar
inilah akibatnya jika agama islam cuma diaplikassikan dalam peribadatannya saja,padahal hukum islam mencakup seluruhnya, inilah akibatnya jika tidak ada khalifah yang menjaga keluhuran agama Allah ini. akibatnya bisa kita lihat sekarang ini. inilah islam yang membedakan dengan agama lainnya, tidak memisahkan agama dengan pemerintahan. Tuhan itu Maha Tahu, jadi pasti Dia Tahu apa2 yang baik untuk ciptaannya, termasuk aturan pemerintahan bernagara. Wahai umat islam kenapa anda menolak sistem khalifah, padahal itukan aturan Tuhan. jika anda menolak sistem khalifah, apa jawaban anda jika saya bertanya “Kenapa setelah peninggalan Nabi Muhammad SAW ada yang namanya Khalifah Abu Bakar, Umar dan yang laennya. apakah anda menganggap anda lebih tahu daripada mereka, padahal mereka telah dididik langsung oleh Nabi kita, apakah anda menganggap anda lebih pandai daripada mereka, padahal mereka dididik langsung oleh manusia paling mulia, mengapa selama ada khalifah dulu, umat islam memimpin dunia, baik dalam ilmu pengetahuan atau yang lainnya, coba anda bandingkan sekarang dengan keadaan umat islam sekarang, kenapa anda lebih percaya dengan hukum buatan manusia daripada hukum buatan Tuhan, ingat lah wahai umat islam. kiya hanya bisa bangkit dengan aturan Hukum Islam, bukan hukum sekuler seperti sekarang ini.
aq ingat ucapan seorang guru di kota keciljauh dari keraimean ini adalah tulisan anak kecil yg mungkin ngak ada artinya ., pernah kah kita ingat semua agama terpecah ngak kristen ngak juga lainnya begitu juga islam pun terbelah menjadi 73 bagian dan semuanya itu adalah ahli neraka ? begitu kata baginda rosul .kemudian ada seorang sahabat bertanya apakah dari mereka semua itu masuk sorga ? bagai mana jawab baginda rosul ,ada wahai sahabat q . kemudian sang sahabat pun bertanya siapakah bagian itu ya habibi ? jawab baginda rosul mereka ahlu sunnahKU . marikita pikirkan betapa betul ucapan baginda tentang ter belah nya (terpecahnya) islam
kenapa kita yang di zaman ini malah saling menyalah kan ?? padahal dalam waktu kurun yang berbeda telah di sebutkan oleh beliau sendiri ??
mari kita pikirkan akankah kita bertambah cinta (yaqin) ataukah kita ingkar akan kata kata beliau dan tetap berpegang teguh saling menyalahkan dari anak kecil
Saya sudah lama menduga bahwa permasalahan ISLAM bukan dengan agama-agama lain melainkan dengan dirinya sendiri.
Entahlah mengapa agama yang satu ini begitu menyukai kekerasan dalam menjalankan kehidupan beragamanya. Sedangkan sebutan Islam agama damai, lil alamin dan lain sebagainya nampaknya hanya menjadi jargon-jargon yang miskin implementasi di dalam kehidupan kesehariannya.
Sekarang tidak ada rotan akarpun jadi, sesama Islampun bisa menjadi musuh yang dihancur leburkan, dengan alasan keagamaan tentunya.
Begini, di dalam agama kristen misalnya, hal yang sama pernah terjadi cukup lama di abad pertengahan, sampai pada titik tertentu gereja sengaja membuat pemisahan yang tegas antara dirinya dengan politik kenegaraan, sebab memang politik memiliki eskalasi kekerasan yang rentan terjadi, sehingga jika sebuah agama terus melekat dengan politik atau kenegaraan maka, agama damai itu akan menjadi sama jahatnya dengan politik kenegaraan yang bahkan menghalalkan kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Saya merasa bahwa ISLAM yang pernah menjadi primadona sementara ketika ideologi demokrasi kapitalis dan komunis bentrok di masa perang dingin, yang sempat melahirkan nasakom di negeri ini, sayangnya memang tidak dapat menggunakan peluang dengan baik, dan sekarang malah terperosok lebih dalam pasca OSAMA ke dalam kekerasan-demi kekerasan yang malah menghancurkan kehidupan umat ISLAM sendiri.
Harapan terakhir yang masih ada di benak saya adalah menjadikan ISLAM Indonesia sebagai sebuah bentuk ISLAM moderat baru yang dapat menjadi cermin bagi dunia ketika mereka ingin melihat ISLAM yang sesungguhnya. Namun pertanyaannya, bisakah kita menjadi Islam yang sedemikian?
-----
Ternyata “kepergian” Cak Nur merupakan kehilangan besar bagi bangsa ini. Saya sangat terlambat menyadarinya. Apakah Anda merasakan hal yang sama?
Menanggapi tanggapan Bung Hery (Jakarta). Bukalah mata hati anda. Ulama seharusnya memperbaiki ahlak umat, tapi sekarang kenyataanya ada ulama yang mengompor-ngompori umat.
Perusakan rumah, mesjid, dan harta benda ahmadiyah itu hasil kerja siapa? Penutupan gereja-gereja di Bandung juga hasil kerja siapa? Hasil kerja umat islam yang dimotivasi
Saya melihat banyak orang yang mengaku ulama, memaksakan pemahamanya sendiri tanpa mau melihat pendapat orang yang berbeda pendapat. Hasilnya adalah kekerasan yang dilihat di Indonesia saat ini, kerjaan preman yang tertutup oleh topeng agama islam.
Ironis, Islam sebagai rahmatan lil alamin tercoreng oleh sekelompok yang mengaku ulama.
Komentar Masuk (14)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)