Umat Kristen Harus Mengubah Benteng Menjadi Jembatan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
15/02/2004

Dr. Martin Sinaga: Umat Kristen Harus Mengubah Benteng Menjadi Jembatan

Oleh Redaksi

Kajian kali ini akan membahas tentang arah politik kaum Kristiani dalam pemilu tahun ini. Apakah betul PDS menjadi partai representasi mereka? Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal mewawancarai Dr. Martin Sinaga, pengajar di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, aktivis Masyarakat Dialog Antar Agama, dan juga salah satu pengurus Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Kamis (12/2).

Pemilu tinggal menghitung hari. Semua partai berbenah dan terus berkonsolidasi dengan konstituennya. Salah satu partai yang menarik saat ini adalah Partai Damai Sejahtera (PDS) yang dipimpin oleh Pendeta Ruyandi Hutasoit.. Menarik karena dari 24 partai hanya satu-satunya partai yang mewakili secara resmi aspirasi kelompok Kristen. Minimal, hal ini bisa terlihat dari logo partainya yang berunsur salib. Pada pemilu lalu ada partai PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa) yang sekarang juga memiliki satu wakilnya di DPR yang bergabung bersama fraksi PKB. Nah, pada Pemilu 2004 ini PDKB tidak lolos, yang lolos adalah PDS.

Kajian kali ini akan membahas tentang arah politik kaum Kristiani dalam pemilu tahun ini. Apakah betul PDS menjadi partai representasi mereka? Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal mewawancarai Dr. Martin Sinaga, pengajar di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, aktivis Masyarakat Dialog Antar Agama, dan juga salah satu pengurus Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Kamis (12/2).

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Bung Martin, sebelum saya bertanya tentang konstalasi politik umat Kristiani sekarang, bagaimana politik pada zaman dahulu?

MARTIN SINAGA: Ada dua pengalaman penting. Pertama,dimulai dengan Sutan Gunung Mulia, anggota Volkstraad di Belanda. Ia sangat anti terhadap gerakan nasionalisme Indonesia dan secara politik ia konservatif, membangun kelompok Kristen yang konservatif, serta tetap ingin agar Belanda melanjutkan politik perwaliannya. Saat itu, komunitas Kristen memang terisolir. Kedua, ada sudut pandang lain pengalaman politik masyarakat Kristen, yaitu kuatnya personalitas para politisi, sejak Amir Syarifudin dan figur lain.

Jadi pengalamannya mendua. Di satu pihak, sebagai kelompok politik, kekristenan itu cenderung konservatif. Konservatif dalam pengertian mendukung kekuasaan yang ada, entah itu mendukung Kerajaan Belanda, mendukung Soekarno, mendukung Orba. Tetapi sebagai individu yang mandiri, banyak sekali orang Kristen yang punya kontribusi amat signifikan, seperti Amir Syarifudin, Sam Ratulangi, dan Leimena. Mereka bisa membangun kerjasama politik yang baik dengan kelompok-kelompok nasionalis, Islam, dan militer.

ULIL: Sebetulnya selama ini aspirasi orang Kristen kebanyakan lari ke mana?

MARTIN: Dulu tahun 1999 hampir semua gereja mendukung PDI-P karena di situ ada reformasi dan demokratisasi. Tapi memang sekarang situasi psikologisnya adalah kecewa berat.

ULIL: Sekarang setelah kecewa dengan PDI-P, ke mana larinya?

MARTIN: Nah, memang kekristenan mesti melakukan reformasi untuk dirinya sendiri, untuk menata ulang pengorganisasian hidupnya; bagaimana bentuk politiknya yang lebih cocok kehidupan bersama; bagaimana teologinya, apakah mengembangkan ekslusifisme atau pluralisme. Jadi menarik sekali persekutuan gereja-gereja malah akan mempercepat sidang raya, semacam sidang istimewa, untuk menanggapi ketidakmampuan internal gereja-gereja arus utama menjawab situasi-situasi yang berubah cepat ini.

ULIL: Saat ini, apakah muncul kesadaran di kalangan masyarakat Kristen agar memutar orientasi politik pragmatis ke arah yang lebih kritis terhadap kekuasaan?

MARTIN: Di situlah poinnya. Masyarakat Kristen harus punya sikap otonom terhadap kekuasaan. Tetapi sebagai komunitas juga harus lebih mandiri, bisa membangun jaringan di level kemasyarakatan, pendidikan, gerakan sosial dan lain-lain.

ULIL: Sekarang muncul Partai Damai Sejahtera (PDS), apakah PDS merupakan partai Kristen?

MARTIN: Nah, mereka sendiri tidak mau menyebut partai Kristen. Tetapi saya lebih suka menyebut mereka sebagai partai sentimen Kristen, karena memakai simbol salib, dan klaimnya adalah bagaimana supaya minoritas Kristen ini punya suara, terlindungi, teraspirasikan di level politik, parlemen misalnya.

ULIL: Apakah PDS ini kebanyakan penyokongnya dari Protestan atau Katolik?

MARTIN: Saya kira Protestan. Itu pun pada level Protestan Injili, Protestan bukan pada umumnya, tapi Protestan yang baru.

ULIL: Jadi kelompok Protestan yang mainstream kurang begitu mendukung?

MARTIN: Kurang begitu mendukung, karena Protestan mainstream itu dulu kontinuitasnya dari sejarah Simatupang, Leimena, GMKI, Parkindo. Mereka di situ.

ULIL: Karena tidak ada dukungan Kristen mainstream, apakah kemudian kredibilitas PDS di mata orang Kristen tidak begitu besar?

MARTIN: Saya kira adem ayem. Kurang diterima, malah sedikit banyak orang Kristen waswas, jangan-jangan partai ini membawa citra Kristen ke arah jelek.

ULIL: Anda kan bagian dari Kristen yang mainstream, Anda pengurus di PGI. Kalau dalam pandangan Anda sendiri, apakah sikap yang diambil pendeta Ruyandi dan PDS ini tepat dengan mendirikan partai dengan sentimen Kristen itu?

MARTIN: Saya kira membahayakan. Jadi pengalaman orang Kristen yang minoritas secara sosial, seolah sekarang secara politik pun akan nampak keminoritasannya. Tugas atau PR orang Kristen di tengah masyarakat yang seharusnya lebih berbaur dan membuka diri. Kita bisa terhempas karena menonjol aspek politiknya nanti. Dan menurut saya, itu bahaya yang paling besar. Dan ketiga adalah dia seolah mengira bahwa masalah Kristen bisa diatasi secara politik. Jadi menjadikan politik semacam mesias, politik adalah jawaban, kekuasaan adalah jawaban dari masalah-masalah Kristen yang sebenarnya tumbuh di lapangan.

ULIL: Sekarang saya mau membandingkan; apakah PDS ini kira-kira ada kemiripan dari segi tertentu dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Maksud saya keduanya berdasarkan sentimen agama, kecil, dan juga sama-sama memakai kata sejahtera?

MARTIN: Saya kira ada. Klaimnya klaim teologis. Jadi PDS ini seolah membangun partai tapi dengan prinsip iman, misalnya bahwa sekarang Tuhan memberikan kepada kita tujuan yang begitu besar, yaitu saat-saat Kristen itu bisa memimpin bangsa ini. Anak-anak Tuhan sekarang diberi waktu untuk memimpin bangsa ini.

ULIL: Di mata orang Kristen, apakah partai-partai ini tidak cukup mewakili orang-orang Kristen? Dulu orang Islam misalnya pernah ribut, karena dalam PDI ada jumlah besar caleg dari Kristen.

MARTIN: Nah, itu ironi yang baru. Sekarang orang-orang PDS justru mengatakan PDI yang banyak Kristennya itu mengkhianati orang Kristen. Buktinya RUU Sisdiknas, orang PDI tidak peduli.

ULIL: Bung Martin, tadi saya tanya tentang persamaan PDS dan PKS. Saya melihat PDS pendukungnya dari kalangan Kristen yang bisa disebut dengan injili evangelis kharismatik atau “fundamentalis”. Apakah memang ada kemiripan di situ?

MARTIN: Ya kemiripannya jelas, dan ada satu caleg PDS yang dipecat hanya karena dia ketahuan merokok. Dan performance moralisme semacam itu disyaratkan dengan ketat sekali.

ULIL: Jadi ada kesamaan dari segi penekanan yang begitu kuat terhadap moralitas, kebersihan moral secara individual?

MARTIN: Individual dan kasat mata.

ULIL: Nah, apakah Anda melihat dengan isu moralisme ini, partai ini cukup menarik bagi orang Kristen, umumnya orang Kristen awam?

MARTIN: Menarik dalam efek manipulasinya. Misalnya sekarang partai ini mendengungkan, tidak ada yang bisa dipercaya lagi dalam politik Indonesia. Percayalah kami yang sungguh-sungguh bermoral. Sekarang tidak ada lagi yang bisa memperjuangkan orang Kristen. Nah kami ini yang kelihatan konsisten, akan memperjuangkannya.

ULIL: Kalau boleh anda ringkaskan, apa kira-kira aspirasi yang ingin diperjuangkan partai ini, karena partai lain dianggap tidak bisa memperjuangkan?

MARTIN: Ada dua level. Pada level yang agak mendalam, ada perasaan orang Kristen kan tersingkir di mana-mana. Di level pemerintah, di kekuasaan, dia tersingkir. Dia ingin masuk ke situ seperti zaman dulu. Kedua, yang lebih praksis, pengalaman sulitnya membangun rumah-rumah ibadah yang ternyata urusannya ujung-ujungnya kekuasaan juga.

ULIL: Jadi kalau begitu, kebanyakan dukungan PDS ini datang dari kelompok Kristen urban yang tidak mainstream ini?

MARTIN: Memang. Urban yang lepas dari kampungnya, dari gereja Batak, Toraja, lalu masuk ke kota dan mendapat legitimasi teologis.

ULIL: Apakah PDS ini akan berhasil memperjuangkan kepentingan Kristen yang selama ini tidak diperjuangkan partai lain?

MARTIN: Tidak berhasil saya kira. Dia akan gagal, karena dia kecil, karena dia hanya menghidupkan sentimen perasaan minoritas. Menurut saya, dia hanya akan bergema sebelum April. Setelah April dia akan hilang.

ULIL: Atau karena tokoh-tokoh yang mendirikan PDS ini bukan orang-orang yang kredibel?

MARTIN: Ya, karena dia memang semacam diskontinuitas dari sejarah orang-orang Kristen yang kredibel di negeri ini. Dia tiba-tiba muncul dari pecahan Kristen yang baru lahir, born again christian, lalu mendirikan partai politik. Jadi memang tidak antusias.

ULIL: Kalau Anda disuruh memilih lebih baik mana; orang Kristen mendirikan partai sendiri atau mereka menyebar masuk ke dalam partai lain yang platformnya adalah umum, tidak agama, itu bagaimana? Kita tahu ada tokoh Kristen dan pendeta yang menjadi caleg di PKB dan juga di PAN.

MARTIN: Saya kira memang begitu. Jadi orang Kristen harus melihat pluralisme sebagai konteksnya. Dengan demikian dia harus belajar memasuki tempat-tempat yang baru, yang in the long run akan membuka kehidupan baru yang lebih sehat. Dari pada menggumpal-gumpal seperti ini. Jadi harus berbaur dan menciptakan iklim demokrasi, kemanusiaan, dan hormat kepada kelompok-kelompok yang majemuk itu.

ULIL: Bagaimana orang Kristen melihat di seberangnya, ada partai-partai Islam, yang sebagian juga platformnya eksklusif. Apakah kemunculan PDS ini dipicu oleh kemunculan partai Islam yang eksklusif kemudian mereka pasang kuda-kuda seperti itu?

MARTIN: Saya kira benar. Jadi malah justru karena itulah PDS berdiri sebenarnya. Sehingga memang sangat tidak menyehatkan. Ini sungguh membuktikan bahwa tugas besar orang kristen adalah bertetangga, menghadapi pluralisme sebagai konteks barunya dan meninggalkan mentalitas terisolasi, teologi eksklusif dan lain-lain.

ULIL: Tentu pandangan Anda ini pandangan yang moderat. Apakah pandangan semacam ini diterima oleh orang-orang kharismatik dalam Kristen?

MARTIN: Memang berat, sebab perasaan beragama sekarang seperti dipaksa terkotak-kotak. Dan respon yang paling wajar adalah membentengi diri. Dan PDS adalah benteng politik Kristen. Menurut saya, kita harus lebih serius lagi belajar untuk mengubah benteng menjadi jembatan.[]

15/02/2004 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Buktinya, mahasiswa STT Setia masih kuliah di tenda-tenda. Mana perjuangan PDS? Dan jangan salah!!! Sebagian penutupan tempat ibadah adalah rekayasa oknum yang ingin meraih keuntungan tertentu, atau tujuan tertentu. Lihat saja caleg asal grogol sukoharjo, yang mantan pendeta yang gerejanya pernah ditutup. itu jelas-jelas rekayasa, dan sekarang dipenjara 6 bulan karena mencatut nama perwira Polda Jateng.

Tidak semua kalangan karismatik atau kalangan fundamentalis kristen mendukung PDS.Tidak semua caleg di PDS kalangan karismatik, buktinya di Solo, calegnya orang mainstreem? Wah, kalo ngomong pakai bukti dong!!! Jangan asal pukul rata!!PDS berdiri apa adanya..biarkan...Lha sekarang mau percaya dengan partai nasionalis bagaimana? Kalau ternyata korupsi?? Kalau ternyata juga tidak mendukung suara warga kristen?....

Baik PDS, maupun Partai Nasionalis, menurutku tidak berpengaruh terhadap perubahan. Penutupan tempat ibadah terjadi karena banyaknya penganggur yang bete ikut-ikut ormas garis keras lantaran ga ada kerjaan. Bisik2 mereka juga dibayar oknum tertentu untuk stabilitator politik...mereka adalah kelinci...dan umat Kristen bersama masyarakat yang plural ini haruslah.... waspada..Golput adalah suci....

Posted by Sastro Pangapunten  on  04/07  at  10:36 AM

Pluralisme, demokrasi, HAM selalu menjadi slogan-slogan yang didengung-dengungkan oleh para netter2 di sini.

Namun apakah mereka benar-benar memahami arti kata itu? Apakah dengan menghimbau orang untuk jangan memilih serta mendiskreditkan partai tertentu, bisa dianggap dewasa dalam berdemokrasi serta memahami kata2 tersebut di atas?

Mungkin temans di sini dapat membantu menjelaskan arti kata2 tersebut di atas.

Salam

Harry
-----

Posted by Harry  on  02/25  at  05:02 AM

Sudah menjadi tanggungjawab gereja, maupun para ulama memberikan pencerahan kepada umat agar menjadi pemilih bijak. Jangan pilih partai fundamentalis semacam PKS dan PDS. Negara kita sedang mengalami perpecahan yang amat memprihatinkan. Untuk itu, hindari pengaruh partai-partai yang sektarian.

Sekedar catatan, PDS pernah melontarkan impiannya untuk memajang foto Tuhan Yesus di istana. Mengapa itu yang diimpikan? Bukannya berpikir apa yang dilakukan untuk menyelamatkan negara ini, malah impian-impian sektarian yang dilontarkan. Perlu diwaspadai, umat awam gandrung pada paham-paham sektarian. Inilah tantangan kita.

Posted by M. Taufik Harrisakti  on  02/23  at  07:02 PM

Yah.. Proficiat, selamat, syukur atas lakunya situs ini.

Ada dua pembedaan besar yang sering orang tidak paham, ataupun paham tapi sengaja memanipulasinya. Contoh isi artikel di atas cukup mewakili.

Sama halnya yang terjadi di partai Katolik dalam pemilu yang lalu. Secara ekstrem menjadi bahan tertawaan dan orang tidak akan pernah salut dengan ide itu. Paling tidak pendapat ini terwakili oleh generasi muda yang melihat ada kecenderungan pengekangan untuk berkreatifitas politik. Terbukti bahwa sentimen agama yang ditiupkan selalu berujung dengan petaka. Dan alangkah bodoh apabila kasus itu tetap diangkat dengan berbagai jalan.

Silakan para peminat karir politik Katolik (khususnya) berjuang dengan landasan kemanusiaan dan nurani original. Sebab ketika terjadi pertarungan politik, agama menjadi sesuatu yang dikesampingkan. Pokonya, jadi anggota dan jadi anggota. Jangan pernah omong idealisme perubahan, karena tenaga yang dimiliki untuk itu kecil dan lemah.

Nafas kekhasan tetap ada di sanubari tiap manusia yang manusiawi. Jadi bukan klaim (milik) pewaris kerajaan surga saja. Yang terpenting adalah bagaimana bersikap kehidupan real, syukur menjadi contoh atau paling tidak, tidak mendatangkan keresahan di sekitar kita berada.

Pendarasan terang dan garam menjadi lebih berarti saat yang lain butuh terang dan asin. Sebab bila berlaku sebaliknya, hanya ada obor daun kelapa dan garam dapur krosok yang tiada arti besar dalam kehidupan menziarahi dunia ini.

Jabat erat dan GBU

Posted by martinus senohadi  on  02/21  at  09:03 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq