Wahabisasi “Islam-Indonesia” - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
05/02/2006

Wahabisasi “Islam-Indonesia”

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Gerakan untuk mewahabikan umat Islam Indonesia tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Para aktivis wahabisme cukup agresif dalam mengkampanyekan pikiran-pikiran dan ideologi para imamnya. Mereka bukan hanya memekikkan khotbah wahabisme dari dalam mesjid-mesjid mewah di kota-kota besar seperti Jakarta, melainkan juga blusukan ke pedalaman dan dusun-dusun di Indonesia.

05/02/2006 21:16 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (31)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 2 halaman 1 2 >

Menanggapi untuk kesekian kali tulisan Pak Ghazali, saya semakin banyak menemukan atau mendapatkan pencerahan pemikiran pengetahuan, untuk kali ini tulisan mengenai wahabisasi perlu kita berikan applaus, setidaknya untuk menjadi pelajaran berharga mengenai kepintaran dan kesombongan manusia untuk kesekian kalinya. Kalau kita urut dan urai proses wahabi yang lahir ditanah Arab merupakan hasil dari produk bangsa Arab yang jahiliyah pada masa setelah Rosulullah. Kemurnian Wahabi yang di tulis oleh para pemikir pada masa itu, diputar balikan kembali kepada masa pemikiran jahiliyah, maka otomatis produk yang sekarang gencar dilakukan oleh sebagian Orang di Indonesia menjadi Wahabi produk Jahiliyah, karena disana tidak ada lagi Esensi Islam, Yang Pasrah Pada Rokh dan Dzatullah dan tidak memilki/mempunyai rasa hidup. Jadi bagaimana sikap kita? Apakah kita akan kembali kepada Zaman Zahiliyah? Justru tulisan Pak Ghazali ini sebagai sarana kita untuk membuka alam pikiran kita terhadap paham Wahabi, yang jelas-jelas akan memberikan persempitan pikiran dan paham kita tentang Islam itu sendiri. Sementara ini dulu, salam plural pak Ghazali. andi suandi, pelukis. ____________________

#1. Dikirim oleh andi suandi  pada  05/02   11:02 PM

bung moqsith.. sekali lagi saya tersenyum membaca kajian anda. benar bahwa islam harus terus menerus direinterpretasikan dan bukannya terkungkung dalam stigmatisasi bahwa islam sudah sempurna jadi tak perlu diutak atik lagi. mungkin kaum wahabi lupa bahwa masuknya islam ditanah air ini juga melalui suatu proses reinterpretasi para pendakwahnya dan hal ini dapat dilakukan denagan mengadopt beberapa kebudayaan yang ada dikomunitas tersebut dan kemudian mengkombinasikannya dengan ruh-ruh islam, sehingga benturan dapat diminimalisir. kaum wahabi..apakah hal tersebut bid’ah?? islam damai dan memberikan ruang yang sangat luas dalam menterjemahkan bagaimana islam tersebut karena islam adalah rahmatan lil alamin. jadi...berhentilah membid’ahkan orang yang mempunyai perbedaan cara pandang!!!

#2. Dikirim oleh rynal may f  pada  05/02   11:02 PM

Yah, beginilah kalau orang yang tidak pernah berdakwah dengan manhaj Rasul berusaha memetakan dinamika dakwah saat ini. Sangat dangkal, kebolak-balik, dan banyak kesalahan data.

Riset lagi dong, baru nulis yang benar! Saya nggak mau komentarin tulisannya, BIKIN SAYA TERSENYUM DENGAN KETOLOLAN ANDA.

#3. Dikirim oleh muradief  pada  06/02   06:02 PM

Sebelumnya saya minta agar tanggapan saya ini diposting, walaupun berbeda paham sebaiknya jangan ditolak, karena inilah yang disebut demokrasi atau pluralisme.

Menyajikan tulisan hanya dengan sudut pandang dan pendapat sebelah pihak tentu tidak fair. Sehingga terkesan tulisan dan tanggapan hanya untuk tujuan “mencaci maki” saja. Semacam pertandingan tinju tetapi salah satu petinjunya hanya boleh diam saja seperti sansak tinju. Wah kalau gayanya seperti ini, ga maju maju kita.

Dalam hal ini masalah Wahabi sebaiknya disajikan melalui salah satu sejarahnya di Indonesia. Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703--1787).

Nama gerakan Wahabi sesunggulinya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan dirinya sebagai kaum ‘Muwahhidin’ yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.

Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain: (a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang menyembah selain Allah, adalah musyrik; (b) Umat Islam yang meminta syafaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan ghaib yang dipandang memiliki dan mampu memberikan syafaat adalah suatu kemusyrikan; (c) Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo’a adalah termasuk perbuatan syirik; (d) Mengikuti shalat berjamaah adalah nierupakan kewajiban; (e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram; (f) Memberantas segala bentuk kemunkaran dan kemaksiatan; (g) Umat Islam harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebih-lebihan diharamkan.

Kalau boleh disimpulkan, yang salah adalah orangnya bukan ajarannya.

#4. Dikirim oleh ferni  pada  06/02   07:02 PM

Biarlah semua itu berjalan apa adanya, jika terdapat suatu perbedaan yang mendasar dalam pemahaman Islam itu adalah sebuah pelengkap ke-’ rahmatallill’alamin ‘ islam ; dan tidak sepatutnya perbedaan itu dibuat masalah yang diperbesar-besarkan lebih jauh, toch masih ada masalah yang lebih urgen dihadapi oleh umat islam, yaitu Ukhuwah Islamiah di indonesia. walaupun penulis sangat kontradiksi dengan tulisan yang selalu dimuat oleh situs ini, pluralisme; tapi saya yakin ini hanyalah sebuah proses kita untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pluralisme itu sendiri..... Mempertahankan tradisi itu penting tetapi mengambil sebuah tradisi yang lebih baik dan modern= wajib hukumnya!

#5. Dikirim oleh dananG  pada  07/02   12:02 AM

Mas Muqsith,

Sampeyan itu mbahas wahabi, tapi kok ngambil contoh Islam Fundamentalis, HT, dengan nyebut Abdul Qadim Zallum.

Padahal Abdul Qadim Zallum itu dibidahkan oleh yang mengaku wahabi.  Gimana sampeyan mengkorelasikan paparan anda dengan tujuan tulisan anda?

Nabila - Gresik

#6. Dikirim oleh nabila  pada  07/02   03:02 AM

Bung Maqosith, terima kasih tulisannya.  Menulis lagi dong tentang kebobrokan kaum Wahabi yang selalu mendukung penguasa yang zalim seperti Saudi Arabia.  Mohon anda ceritakan asal mausal kaum Wahabi ini dengan lebih runtut, supaya teman-teman yang silau Wahabi pada melek.

#7. Dikirim oleh Habib bin Mazahir  pada  07/02   03:03 AM

Dalam menjunjung tinggi pluralisme dan kebebasan seharusnya bung Ghazali memberikan aplaus kepada gerakan ini. Gerakan ini merupakan gerakan yang menganjurkan untuk melaksanakan tata kehidupan ini sesuai dengan tuntunan Rasul, tidak lebih dari itu. Mereka tidak menghambat budaya, tetapi hanya meluruskan budaya-budaya yang kurang Islami, misalnya jika di ranah Minang dulu budaya sabung ayam dan khamar merajalela, toh mereka datang untuk memberantasnya, so apakah hal-hal seperti itu kita tidak menyetujuinya ?

Dalam pasar bebas saat ini, dakwah ibarat barang dagang yang saling bersaing untuk menyajikan hal-hal yang menarik. Selama orientasi dan seruan yang mereka bawakan itu benar. It’s oke. Ya jadi gerakan ini sebagai penyeimbang dan sebagai gerakan taushiyah. Tidakkah Allah berfirman kepada kita untuk saling mengingatkan dan bersabar. Jadi nggak usah dipermasalahkan lah. Tapi apabila mereka sudah bertindak radikal untuk menghambat kebebasan berpikir dan menghambat masyarakat untuk mengaktualisasi kebudayaan-kebudayaan yang baik, maka hal itu harus kita cegah.

Tapi sekarang Neo-wahabi yang anda maksud, masih sebagai gerakan pengingat yang mencoba untuk meluruskan umat yang sudah melenceng. Ini pasar bebas bung, siapapun boleh berdakwah dengan cara dan gaya apapun, termasuk JIL. Salam kebebasan.

#8. Dikirim oleh Afandri Adya  pada  07/02   07:03 PM

Kalo menurut pengamatan saya empiris sehari2 (bukan mengkaji), seperti itu bukan wahabi, tapi memang ada kecenderungan yang secara pelan2 merupakan suatu strategi gerakan Islam dalam rangka membuat semacam sistem negara “Khalifah” (maaf kalo salah tulis) seperti yg sering diangkat oleh Hizbutt Thahir. Atau kalo masih takut menyebut: Negara Islam Indonesia (NII) dalam jangka panjang, karena fenomena2 itu memang sudah nampak, misalnya dimulai dengan keinginan untuk mengesahkan Piagam Jakarta dan berbagai peraturan perundangan & daerah yg mengadopsi syariat Islam. Mungkin Aceh bisa dijadikan referensi untuk ke depannya. Ada benarnya juga bahwa adanya pertanyaan terhadap eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945.

Tujuan untuk mendirikan NII ini dalam sejarah perjalanan bangsa tidak pernah hilang, ada pasang-surutnya dan berbagai warna dan cara. Nah, pada saat ini seperti ada “sediki” kesempatan untuk mengumandangkan lagi tujuan tersebut, tentu agar tidak terkesan vulgar tentunya dengan berbagai simbol yang masih halus.

Mungkin saja hal ini juga berkaitan dengan mundurnya peran militer dari panggung politik negara, tidak ada laginya P4, dan tentunya kebebasan mengemukan pendapat yg pasti dinikmati oleh segala lapisan masyarakat. Hanya saja bila hanya sekedar wacana dan pendapat tentunya ini merupakan bagian dari penerapan demokrasi kita.

#9. Dikirim oleh Den Bagus  pada  07/02   10:02 PM

Masalah perbedaan pendapat, isme, mazhab atau aliran di antara umat Islam sebenarnya bukanlah barang baru. Hal ini dikarenakan sumber penentu benar-tidaknya suatu ajaran bukanlah manusia. Allahu a’lam bisshawab.

Dan harus diyakini bahwa suatu kebenaran yang absolut itu hanya dari Allah sedangkan kebenaran dari manusia itu pada hakekatnya sangat relatif.  Oleh karena itu, jika ada perbedaan pendapat di antara para umat, maka solusi yang aman adalah kembali saja kepada pedoman hidup Islam (Qur’an- Hadist).

Apapun aliran atau isme yang ada jika ajarannya bertentangan dengan hudallinnas itu, maka sebagai umat Islam wajib menolaknya. Jadi, jika ada umat Islam yang masih one man show (mau menangnya sendiri) terhadap suatu pendapat, maka jelas itu bertentangan dengan pedoman hidupnya. Artinya, mereka itu masih perlu banyak mengaji lagi.

#10. Dikirim oleh agushk  pada  07/02   11:03 PM

Pak muradief…

Saya ingin bertanya pada anda, data apa yang anda miliki sehingga dapat menyatakan suatu kajian itu dangkal,saya fikir anda harus mencontoh (saya sangat memuji) sdr ferni yang memberikan interpretasi yang berbeda tentang kaum muwahiddun atau wahabi its cool…

Saya cuma mau tanya,apakah hal yang dilakukan sunan kalijaga dalam mereinterpretasikan kesenian(jawa) menjadi suatu kebudayaan islam juga bid’ah?? Atau apakah yang dilakukan hamzah fansury di barus dan siti jenar dalam dakwahnya juga bid’ah??

Saya mohon ada tanggapan dan juga data he..he..

#11. Dikirim oleh rynal may f  pada  07/02   11:03 PM

1. Saya meminta tulisan ini ditampilkan oleh JIL, kalau Anda semua pengusung demokrasi 2. Kalau Anda menulis, tolong cari data dan fakta yang benar, jangan berdasarkan kewajiban memenuhi ‘pesanan’ sponsor. 3. Ibnu Taimiyah adalah pemikir Islam yang terkemuka, sampai Yang Terhormat Paduka Alm Nurcholis Madjid mengambil pemikiran Ibnu Taimiyah sebagai thesis atau disertasi? 4. Apa mungkin cuma dengan sholat berjamaah saja, kaum ‘Wahabi’ terus senang/gembira/pesta pora, sementara mereka meng-ABAIKAN masalah sosial (korupsi, kemiskinan, HAM!!). Masak sih begitu Abang Moqsith? Ini asumsi, apriori atau realitas. Kalau realitas, kok ga nyambung ya, misalnya salat jamaah, tetapi korupsi dibiarkan saja. Bisa memberikan contoh realitas tersebut, Abang Moqsith? 5. TRADISI. Apa yang salah dengan menolak tradisi dengan ‘tradisi’ Islam (tetapi radikal lho). Cuma tradisi saja, memangnya Tuhan akan menghukum orang Wahabi karena mereka mengganti tradisi lama dengan ‘tradisi’ yang lebih ‘bermoral. Tuhan macam apa yang emnghukumi seeprti itu? 6. Belajar banyak lagi dlm menulis deh. Kita jadi sparring partner.  7. Biaropun untuk kepentingan sponsor, tulisan jangan ‘asal nongol’ deh. Abang Moqsith hanya menunjukkan kedangakalannya. Ya cuma segitu aja, WTS (waton su loyo/ asal beda saja).

Thanks, salam plural.

#12. Dikirim oleh Anandita Budi Suryana  pada  08/02   01:03 AM

Memang sekarang ini trend peyebaran faham Wahabi di Indonesia penyebarannya sangat kentara. Yang saya takutkan adalah mereka itu membawa pikiran yang sempit tentang Islam (merasa benar sendiri, dan hanya golongan mereka (Wahabi) itulah yang paling benar).

Sedangkan kita di indonesia mengakui perbedaan dalam menginterpretasikan Islam yang tidak satu. Maka dari itu mari kita bersama-sama saling mengingatkan agar saudara-saudara kita yang bellum tergoda dengan ideologi Wahabi dapat kita cerahkan (misalkan jangan sampai ada yang sekolah di LIPIA di Warung Buncit [Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab] karena sudah pasti mereka mempromosikan Wahabi), karena korban yang menjadi pengikut Wahabi itu biasanya orang-orang yang selalu merasa apa yang dari Arab pasti benar. kalau bisa tutup aja tuh sekolah, karena mereka tidak mengajarkan tentang Nasinalisme Indonesia yang ada Arab Sentris.

#13. Dikirim oleh Luki Saepul M  pada  08/02   05:03 AM

Mudah-mudahan tanggapan ini dimuat ya, sekali lagi komunitas JIL jeli menangkap satu trend yang sedang “gaul” di masyarakat. bahwa masyarakat mulai dibawa dan diajak ke dalam atu romantika jaman imam bonjol dulu, itu betul sekali. bagi Islam “lokal” yang masih mempertahankan unsur “keIndonesiaan” jelas ini merupakan tantangan dan ajakan untuk terus mengembangkan diri menuju Islam yang hakiki itu sendiri. solusinya saya kira adalah : a. Biarkan umat memutuskan mana yang lebih baik ? b. Teruskan perbedaan pendapat ini sebagai satu wahana dalam pencarian kebenaran itu sendiri ? c. Ajak umat untuk tidak terjebak kedlam Islam “Arabbian” ? d. Bagi para ustadz di dua sisi, tolong jangan selalu menghujat ustadz yang berbeda paham, inget euy anda bukanlah “tuhan” ? belum tentu yang anda katakan “benar”. e. Buat JIL, teruskan forum ini, tetapi tetap dengarkan pendpat2 yang berlainan dengan misi anda, dan jadikan itu sebagai “pembanding” dalam memperjuangkan Islam yang sesungguhnya.

Terimaksih

#14. Dikirim oleh el Toro  pada  08/02   05:03 PM

Menurut hemat saya perkembangan aliran wahabi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai macam hal atau multifaktorial yaitu : tingkat pendidikan masyarakat, keadaan sosio ekonomi dan kultural masyarakat Indonesia. saya tertarik untuk membicarakan mengenai tingkat pendidikan masyarakat, tingkat pendidikan rata-rata masyarakat kita masih sangat kurang sehingga daya nalar masyarakat secara umaum sangat sederhana dan cenderung mensimplifikasi suatu problematika kehidupan beragama karena memang minimnya acuan atau rujukan dalam beragama sehingga akan sulit mendiskusikan maupun mengkomunikasikan suatu ajaran dengan lebih mendalam mengacu pada multidislipin ilmu pengetahuan dan teknologi apalagi ditambah dengan basic keingintahuan yang masih minim yang mungkin disebabkan terlalu banyaknya persoalan hidup sehingga sangat sulit untuk berkonsentrasi penuh dalam memepelajari ilmu agama apalagi mendalaminya sampai menjadi expert/ahli.

Sementara itu gerakan wahabisme dengan isu utamanya yang selalu didengung-dengungkan adalah tema kembali pada Al-Quran dan Sunnah dan generasi ulama salaf dimana interpretasi terhadap nash Quran maupun teks hadits sangat tekstual akan sangat mudah diterima oleh masyarakat dengan daya penalaran yang minim karena memang proses penalarannya hanya sedikit bahkan terkadang tidak memerlukan penalaran sehingga masyarakat dengan daya nalar yang minim akan dengan mudah menerimanya, mereka tidak perlu bersusah susah berlogika maupun menggunakan daya analitis kritis karena memang tidak bisa atau belum sampai pada tahap yang demikian. begitu juga tema wahabisme mengenai seputar kehidupan zaman Rasulullah dan generasi Salaf yang dianggap merupakan sistem kehidupan yang paling ideal di muka bumi ini yang padahal bila dinilai secara objektif kehidupan pada saat itu masih sangat sederhana dalam artian bila dibandingkan dengan konteks kekinian sehinggan permasalahan yang ada hanya seputar permasalahan yang sederhana seperti memanjangkan jenggot, pembagian air sungai, pemilihan pemimpin dsb yang bila menyangkut masalah kemasyrakatan maka perbendaharaan kajian sangat sederhana dan hal ini akan sangat mudah diterima oleh masyarakat kita terutama ditempat yang jauh dari peradaban entah didesa maupun tempat terpencil lainnya yang notabene kehidupan kesehariannya masih terbatas pada hal-hal yang sangat sederhana pula yang akan sangat berbeda dengan masyarakat modern dengan segala permasalahan yang kompleks dan memerlukan kajian yang rasional dan analitis.

Jadi perkembangan pemikiran akan sangat ditentukan kondisi pendidikan masyarakat, makin maju tingkat pendidikannya tentunya daya nalar akan semakin baik pula dan inlah tempat yang baik bagi perkembangan Islam yang Humanis dan moderat dan begitu pula sebaliknya makin rendah tingkat pendidikannya maka akan sangat mudah disusupi oleh nilai-nilai yang kaku dan sangat minim daya penalarannya.

#15. Dikirim oleh BHAYU RIZALLINOOR  pada  09/02   12:02 AM

Salam

Pandangan saya thdp pergerakan Wahabi adalah satu pergerakan yang sepertinya mencoba menawarkan pemahaman islam dengan mengedepankan faham salaf sholeh yang entah siapa, dan diplintir hanya untuk kepentingan politik penguasa. Jadi, karena dasar faham Wahabi didasarkan pada pergolakan politik dahulunya yang didasarkan pada pemikiran jahil, maka tawaran kembali kepada islam salafsholih menjadi doktrin, dan menjadi berhala baru dalan islam.

Dan itu terus ditawarkan, dan tanpa disadari secara tak terasa sudah mengarahkan pada menduakan hukum Allah, dimana hukum Allah hanya berdasarkan Hadist nabi yang terbaik..yaitu alquran saja. Enggak percaya..? Silahkan BACA Alquran!

#16. Dikirim oleh aba Farhan  pada  09/02   08:02 PM

Saya yakin,bahwa wahabisme juga ikut membantu wacana pemikiran islam di negara kita. Namun yang saya herankan (mungkin juga kawan-kawan yang lain) Ada sebuah ke-HIPOKRIT-an yang selama ini masih saja dan menjadi “trade merk” pengikut ajaran salafi ini. Yaitu dengan mudah mendoktrin golongan lain yang tidak sejalur dengannya, dengan vonis: bid’ah, musuh Islam, syirik, hingga kafir! Na’udzubillah…

Pantaskah semua ini diklaim sebagai ajaran Islam yang Rahmatal Lil ‘Alamin?

#17. Dikirim oleh syukron nurul  pada  10/02   09:03 AM

Sebenarnya, ketika kita mau berpikir jernih, bukan hanya wahabi saja lho, yang merasa dirinya juga paling benar. Ada banyak bentuk “wahabi-wahabi” lain yang tidak terlihat. Saya pikir, apa yang dilakukan oleh wahabi itu sah-sah saja. Kenapa? Jika doktrin-doktrin sekuler-liberal boleh memasuki komunitas publik melalui jalur politik dan negara, mengapa doktrin agama tidak?  Jangan berfikir ambigue tentang masalah ini, seakan-akan liberal adalah yang paling benar. sebenarnya wahabi juga liberal, toh mereka tidak mengusung madzhab manapun (walaupun Ibn Taimiyyah bermadzhab Hambali), namun pengikutnya bebas dari itu semua.

Oya, saya mau nanya dong, arabisme yang dibawa wahabi itu yang kaya gimana seeeh ? tolong dikomentari

#18. Dikirim oleh JUmad  pada  10/02   05:02 PM

Saya kebetulan pernah 6 tahun sekolah di lembaga pendidikan Wahhabi. Lembaga ini kebetulan hanya berlokasi di dua tempat, di Kebumen dan di Banyumas, Jateng. Asal tahu saja, lembaga ini, yang memadukan model pesantren dan sekolah umum (madrasah) telah ada sejak zaman kemerdekaan. Bahkan yang di Banyumas, sebagai muasalnya, sudah ada sejak abad ke 19. Tokoh utamanya adalah Sunan Mundzir, penulis kitab sharaf Sullam al-Ma’rifah, yang konon sudah banyak di kenal di daerah Timteng. Beliau diekskusi Belanda di zaman kemerdekaan.

Sebagai lembaga pendidikan yang berhaluan Wahhabi, tentu saja kami selama enam tahun (tsanawiyah dan aliyah) mengkaji “kitab suci” kami, yakni “Fath al-Majid”, yang ditahkik oleh Bin Baz, baik yang bentuk ringkasan (di tsanawiyah), maupun kitabnya langsung (di aliyah). Saya tidak tahu pasti, apakah dulunya lembaga pendidikan kami itu sudah sedari awal memang Wahhabi atau tidak. Tetapi yang jelas, orientasi Wahhabi itu sudah ada sejak lama, sejak zaman kakek nenek saya. Kebanyakan yang sekolah di lembaga pendidikan ini adalah satu keluarga, yang tradisinya memang sudah turun-temurun sekolah di situ. Jadi lembaga ini memang tidak khawatir kurang murid.

Sejauh pengalaman saya, memang orientasi untuk menganggap kelompok Islam lain sebagai bid’ah ada, dan di’cekok’-kan oleh beberapa guru/ustad yang fanatik. Tetapi, sama sekali kami tak pernah diarahkan untuk mengkafirkan, memurtadkan kelompok lain seperti yang diidentifikasikan oleh Moqsith di atas. Ustad kami juga tak mengarahkan untuk bersikap fundamentalis, ekstremis, apalagi anti pemerintah segala. Ide-ide formalisasi syariat Islam juga tak pernah dilontarkan.

Wacana kami ya cuma seputar TBC saja. Tidak lebih dari itu. Dalam konteks pergaulan sosial, kami juga akrab dan familiar dengan komunitas--katakanlah--NU, karena meski dalam akidah kami berhaluan Wahhabi, tetapi dalam fikih, lembaga kami memakai kitab-kitab Syafii. Jadi, apa yang ditulis Moqsith di atas agaknya cuma sekadar ‘pengalaman jauh’ saja. Kalau ingin valid, sebaiknya data-data serta opini di atas disebutkan rujukannya, buku-bukunya, atau apa lah. Bagus lagi kalau Moqsith juga meneliti langsung ke lapangan, terutama di pesantren-pesantren yang dianggap sebagai kantung Wahhabi (mungkin termasuk lembaga tempat saya sekolah itu). Jadi tidak sebatas dugaan-dugaan yang tak punya bobot ilmiah. Satu hal saja, saya khawatir, jangan-jangan setelah membaca tulisan Moqsith di atas, ada intel atau polisi yang datang ke lembaga kami itu, melakukan pendaftaran sidik jari, penangkapan, dan sejenisnya. Kan bahaya.

#19. Dikirim oleh ibnu soenardi  pada  11/02   01:03 AM

Wahabisasi tidak hanya telah menjadi “buldoser budaya” yang memarjinalkan kearifan lokal (local wisdom) dan menggantinya dengan “syariat”, namun wahabisasi juga menyuburkan potensi eklusifisme dan “truth claim” dimana hanya ada kebenaran tunggal dan yang lain adalah salah.  Maka tak aneh jika kemudian mereka bersikap garang dengan kepercayaan dan agama lain. Pada level yang ekstrim, pemahaman ini bisa mengarah menjadi paham yang sangat kaku dan berbahaya karena tidak jarang menggunakan senjata teks-teks agama yang terkesan keras.

Sebagai contoh, seperti kajian yang pernah saya ikuti, dimana sang ustad menjelaskan tentang hadis dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa siapa yang mengganti agamanya (man baddal ad din) atau murtad (riddah ‘an al islam / keluar dari agama Islam) maka ia boleh dibunuh. Lebih tragis lagi orang murtad juga tidak terjaga hartanya (ismata ad damm wal mal), jadi selain boleh dibunuh ia juga boleh diambil hartanya sebagai rampasan perang (ghanimah). Kemudian sang ustad juga menjelaskan hadis dari Abdillah bin Amr “umirtu ‘an uqatila naasa hatta yashadu alla ilaha ilallah wa yashadu anna muhammad ar rasulullah” (aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dn Muhammad rasul Allah). Mendengar dua hadis ini seolah ayat “laa iqraha fid diin” dan “lakum dinnukum waliy addin” sudah tidak berlaku lagi. Sikap eklusif dan galak ini juga menjadi suplemen bagi rekan-rekan yang puritan ekstrim. jika sikap “intolerance” ini terus ditumbuh suburkan, bukan tidak mungkin kekhawatiran bahwa Indonesia akan menjadi repetisi Arab Saudi benar-benar bisa menjadi nyata.

#20. Dikirim oleh Erham Budi Wiranto  pada  11/02   08:03 AM
Halaman 1 dari 2 halaman 1 2 >

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq