Ahmad Abdul Haq


Bias Pikir Dan Bias Rasa

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Selasa, 31 Maret 2015 02:56 WIBBias Pikir Dan Bias Rasa

Bias Pikir Dan Bias Rasa

Apa tanda orang munafik yang paling kentara? Tak satunya antara kata dan perbuatan. Bagaimana cara kita mengetahui seseorang memiliki sifat munafik? Orang tersebut mengetahui aturan, bahkan membuat aturan, tetapi tak konsisten melaksanakannya. Inilah yang saat ini terjadi di tengah masyarakat kita, di mana baik individu maupun kelompok, seperti sedang sama-sama menikmati euforia kebebasan berpikir dan berkehendak atas nama kebebasan dan demokrasi, tetapi abai dalam mengendalikan emosi.

Proses pendidikan kita yang terlalu menekankan perkembangan kognitif jelas berbuah panjang hingga saat ini. Orientasi kepada hasil yang ditandai dengan nilai ujian seakan harga mati, dan selalu tak berbanding lurus dengan pengembangan kapasitas emosi siswa. Akibatnya anak-anak memiliki bias pikir dan bias rasa yang tak seimbang, dan itu menyebabkan perilaku aneh dan menyimpang kerap kita temukan di kalangan anak-anak sekolah, seperti kasus geng motor di Bali beberapa waktu lalu, misalnya.

Gubernur Bali, saking kagetnya, spontan memberikan reaksi yang membuat kita harus berpikir ulang bagaimana cara kita mendidik anak-anak di sekolah, yaitu dengan mengatakan bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan di Bali. Kejadian ini serupa jika dibandingkan dengan perilaku para politikus kita yang sering menyembunyikan kejujuran, sambil berpura-pura tak tahu bahwa mereka telah melakukan kerusakan sedemikian rupa tatanan kehidupan masyarakat kita.

Pendek kata, proses pendidikan yang tak seimbang antara pikir dan rasa inilah salah satu ujung petaka kemanusiaan di Indonesia. Adagium tradisi dan budaya yang kerap menyebut masyarakat Indonesia hidup saling hormat-menghormati seakan pupus oleh begitu banyaknya penyimpangan perilaku tak berkeadaban seperti tawuran antar warga, warga melawan polisi, sekolah versus sekolah, dan yang lebih parah dinodai pula dengan prasangka atas nama agama dan suku bangsa.

Jelas sistem pendidikan kita memerlukan road-map baru dalam menggagas tema karakter santun, ramah dan saling menghargai. Mungkin baik untuk menimbang komposisi kurikulum pendidikan kita yang lebih berorientasi kognitif ke arah yang ramah afektif dan psikomotorik. Dalam prakteknya, antara mata ajar sains, sosial sains, humaniora dan seni-budaya harus proporsional diajarkan, baik dari aspek durasi maupun substansi. Kurangnya mata ajar humaniora dan seni-budaya di sekolah, menurut beberapa temuan riset, yang rentan menjadikan anak-anak berperilaku menyimpang di tengah masyarakat.

Professor Antonio Damasio (2006) menyebutkan, hari ini sistem pendidikan hampir di seluruh belahan dunia tumbuh pembedaan yang sangat signifikan antara proses pembelajaran yang berorientasi kognitif dan emosional. Menyelami empati dan rasa tak memperoleh porsi yang jelas dalam struktur pendidikan kita, sehingga anak-anak kita cenderung dididik untuk menjadi semacam robot yang minim rasa. Dalam pandangan Damasio, seharusnya pendidikan seni budaya dan humaniora diseimbangkan jumlah durasi dan substansinya, untuk dan dalam rangka menumbuhkan elan vital kemanusiaan manusia, yaitu emosi dan spiritualitas yang menyatu dalam pikir dan perilaku. Minimnya durasi dan substansi proses pembelajaran yang mengasah rasa inilah yang salah satunya menyebabkan menurunnya moralitas masyarakat modern.

Menyeimbangkan pikir dan rasa dalam praktek pasti akan menumbuhkan sifat menghargai antara satu dengan yang lain, dan kondisi ini sejalan dengan fakta betapa majemuknya masyarakat Indonesia. Hilangnya kesadaran kolektif kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk lebih banyak disebabkan oleh ketidak-efektifan kebijakan kurikulum kita yang kurang menimbang dalam menyeimbangkan rumpun dan mata ajar yang ada.

Jika kebijakan soal distingsi kurikulum ini terus diabaikan, jangan harap tujuan pendidikan nasional seperti tertera dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 akan mampu diwujudkan. Kebijakan pendidikan yang saat ini lebih berorientasi pada hasil pasti akan berdampak buruk bagi masa depan Indonesia. Tujuan, hakikat dan pemaknaan pendidikan yang serba hasil ini memperlihatkan lemahnya sistem pendidikan yang dibangun, sehingga elan dasar pendidikan kita seakan tak pernah bertemu dengan jiwa atau ruh yang selalu menjadi batang tubuh pendidikan nasional, yaitu “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Sangat tidak mungkin rasanya jika pembuktian seluruh agenda pendidikan nasional seperti tertera dari tujuan di atas diselesaikan oleh sebuah mata rantai yang bernama ujian nasional (UN) sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Hampir semua indikator dan tujuan pendidikan nasional di atas adalah sebuah nafas panjang dari sebuah usaha dan proses yang tidak akan pernah berakhir (never ending process), karena hampir semua pilihan kata yang digunakan adalah kata sifat (adjective) yang menuntut usaha secara terus menerus.

Kombinasi pikir dan rasa yang efektif akan melahirkan arti dan nilai (meaning and value) yang berkelanjutan dalam perilaku siswa. Dialektika antara otoritas pendidikan, sekolah, masyarakat dan siswa seharusnya mencerminkan visi dan filosofi pendidikan yang sehat, yang ditunjukkan pada keseimbangan struktur kurikulum dan proses belajar-mengajar yang benar, aktif dan menyenangkan. Kebijakan soal kurikulum kita saat ini seakan memperpendek visi pendidikan menjadi sekedar tumpukan soal dan membuang lebih banyak waktu untuk melakukan drilling dalam rangka mempersiapkan siswa mereka dalam menghadapi ujian (Jones: 1999).

 

Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy