Sumber: Kick Andy.com
|
Jumat, 01 Maret 2013 21:30 WIB
Hidup dalam keterbatasan bukanlah alasan untuk menyerah, tapi sebaliknya menjadi motivasi untuk menjadi kuat dan hidup bermanfaat. Inilah sebuah gambaran semangat dari episode on location kali ini. Kisah pertama hadir dari Padepokan Zami Karina Indonesia atau Pazki, di Depok, Jawa Barat. Di sana ada seorang penyandang tuna netra yang mengabdikan waktu dan ilmunya untuk memberikan pendidikan pada anak-anak jalanan di wilayah Margonda, Depok. Tryan Airlangga sejak usia 3 tahun, telah didiagnosa oleh dokter menderita glaukoma. Pada usia 16 tahun, Tryan divonisi menjadi tunanetra. Kondisi tunanetra tak membuat ia patah arang. Ia tetap berusaha hidup mandiri. Namun karena fasilitas umum banyak yang tidak mendukung para penyandang disabilitas, maka Tryan seringkali mendapat bantuan dalam melakukan perjalanan. “Kebanyakan yang bantu saya nyebrang jalan itu ya orang-orang jalanan,” katanya. Berawal dari hubungan tolong menolong itu kemudian, Tryan mulai memikirikan bagaimana memberikan pertolongan pada mereka. Maka ia bergabung dengan seorang aktivis penyelamat anak Jalanan, Siswandi. Perkenalan Trian dengan Siswandi adalah waktu dia melakukan Perakter Kerja Lapangan dari kampusnya. Dari Siswandi dia mempelajari cara untuk membangun sebuah rumah singgah dan memaknai tentang arti tolong menolong. Akhir 2010 dia diajak Siswandi untuk membangun tempat singgah di Kota Depok. Sejalan dengan cita-cita trian untuk membantu anak-anak jalanan dia menyanggupi ajakan dari Siswandi, dan kemudian mendirikan Padepokan Zami Karina Indonesia atau PAZKI. “Saya lebih banyak memberikan ide-ide konsep pembelajaran,” ujar lulusan Universitas Negeri Jakarta ini. Kini Tryan sehari-sehari mengajar anak-anak jalanan di Pazki. Ia membuat konsep 3P yang diterapkan di rumah singgah itu. Konsepnya adalah 3P yaitu Perut, Psikologis dan Pendidikan. “P” pertama yaitu perut, anak-anak yang tinggal harus dalam keadaan kenyang dan tercukupi kebutuhan makanannya, karena dalam keadaan perut kenyang itu, anak-anak bisa lebih focus dalam pemberian materi-materi. “P” kedua yaitu Psikologis, anak-anak disana harus tenang, dan nyaman. “P’ ketiga adalah pendidikan. Menurut Tryan, pendidikan adalah bekal mereka untuk menjalani kehidupan sehingga mereka tidak harus lagi turun ke jalan. Diharapkan kedepannya anak-anak ini bisa menata hidup mereka sesuai dengan bekal pendidikan yang cukup, serta bakat dan potensi yang mereka miliki masing-masing. Dari Bandung, ada kisah tentang Dewi Kusmianti, seorang istri seorang tukang sampah yang sangat inspiratif. Di tengah masalah kehidupannya yang berat, Dewi membantu pekerjaan suaminya yang berprofesi sebagai tukang sampah. Ketika suaminya mendapat pekerjaan sebagai tukang sampah di daerah RW 11 Kelurahan Cibangkong, Kota Bandung, tak jarang suaminya sering mengeluh, bahkan menangis. Pasalnya, pengelolaan sampah di daerah itu kian tak terurus. Apalagi daerah tersebut tak lagi diangkut sampahnya oleh Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan sejak tahun 1997. Akibatnya, sampah yang ada meluap hingga ke jalanan. “Itu sampah numpuk segunung, sampai saya berpikir, jangan-jangan suami saya terkubur sampah nanti,” katanya. Akhirnya Dewi tergerak untuk membantu suaminya, ia mulai melalukan kerjasama dengan petugas angkut sampah dari dinas kebersihan. “Ternyata kalau mereka diperlakukan dengan cara yang manusiawi, kita bisa kerjasama dengan baik,” tuturnya. Setelah kerjasama itu berhasil, Dewi kemudian membuat banyak gerakan untuk membersihkan wilayahnya di Cibangkong, Batuh Nunggal Bandung, Jawa Barat. Bahkan untuk menjaga warga lain yang suka membuang sampah sembarangan, Dewi bersama sejumlah warga membuat gerakan polisi sampah. Secara bergantian saat malam, mereka menjaga tempat pembuangan sampah dari orang-orang luar yang sering melakukan pembuangan sampah seenaknya. Bersama puluhan ibu-ibu di wilayah itu, Dewi kemudian membuat komunitas My Darling, atau singkatan dari Komunitas Masyarakat Sadar Lingkungan. Komunitas itu kemudian membuat berbagai kerajinan dari limbah. Aktivitas itu pada akhirnya memberikan nilai ekonomi pada anggotanya. Dibalik kisah perjuangannya di bidang sampah, Dewi adalah seorang ibu yang harus berjuang untuk tiga anaknya. Anak pertamanya menderita diabetes bawaan, anak kedua penyandang autis, dan anak bungsunya mengalami radang tulang otak, akibat jatuh dari asuhan kakaknya. Selama 5 tahun, Dewi berjuang di jalanan untuk menghidupi keluarganya. Bahkan ia sempat menjadi pengamen untuk mendapatkan biaya pengobatan. Semangatnya yang tak pernah surut yang menjadikannya seperti sekarang. “Dari dulu Dewi selalu semangat, dan tidak pernah mengeluh,” ungkap Tonton Paryono, suami Dewi. Dewi memang terlihat sangat bersemangat. Perjuangan Dewi tidak sia-sia. Kini tempat sampah RW 11 Cibangkong sudah tertata bersih dan rapi. Meski upayanya menanggulangi sampah sering dianggap sebelah mata, tapi iya bertekad untuk terus melakukannya."Lebih baik hidup dari sampah dari pada hidup menjadi sampah," Tegasnya. |
Tag: Kliping Media, Kick Andy |