Apa dan Siapa Ulil Abshar Abdalla?
Jadi Target Pembunuhan
Sumber: Tempo, 17-10-2005
URL: http://www.pdat.co.id/hg/apasiapa/html/U/ads,20051017-01,U.html
Apa hubungan antara jaringan terorisme generasi baru dan Ulil Abshar Abdalla? Ulil dijadikan target pembunuhan! Dari kesaksian salah seorang yang diduga anggota jaringan terorisme, Iqbal Husaini, 25 tahun—yang ditangkap polisi pada Juli 2005—terungkap bahwa Ulil menjadi sasaran pembunuhan kelompok teror. Apa salah seorang Ulil?
Ulil Abshar Abdalla lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga santri. Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967, itu sejak kecil sudah mengenyam pendidikan pondok pesantren setelah lulus madrasah di desa kelahirannya. Ayahnya, Abdullah Rifa’i, pengasuh Pondok Pesantren Mansajul Ulum, Pati, tempat Ulil menimba ilmu. Setelah itu, ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Dari Rembang, Jawa Tengah, Ulil hijrah ke Jakarta untuk kuliah di Fakultas Syari’ah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab. Ulil sempat pula kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Pada awalnya, Ulil dikenal sebagai intelektual muda NU. Pernah menjabat Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Maya Manusia, Nahdlatul Ulama, Jakarta; kemudian ia aktif di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta. Namanya jadi bahan pembicaraan banyak orang ketika ia mendirikan Jaringan Islam Liberal. Kelompok ini lantang menyuarakan pluralisme dan bertujuan menyebarkan gagasan Islam liberal seluas-luasnya, yakni Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas.
Kiprah menantu K.H. Mustofa Bisri ini dalam memperjuangkan kebebasan dan pembebasan Islam banyak dipuji orang. Tapi, tak sedikit pula pemikirannya menuai kritik. Oleh para penentangnya, Ulil dianggap melecehkan Islam dan dinilai mengajarkan kesesatan terhadap masyarakat. Paham liberalisme yang dianutnya dianggap sebagai produk Barat. Terlebih karena organisasi yang dipimpinnya dibiayai oleh lembaga-lembaga dari luar negeri. Pihak JIL tidak keberatan JIL dibiayai oleh The Asia Foundation dan sumber-sumber domestik Eropa dan Amerika, selama mereka tidak mengatur organisasi yang dipimpinnya dan mengintervensi program-program yang dijalankannya.
Tak cuma kritik. Artikelnya dalam sebuah surat kabar berjudul “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” dipandang oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI) mendiskreditkan Islam. Gara-gara artikel itu, Ulil divonis mati oleh FUUI. Atas “kesalahan” itulah, oleh jaringan baru terorisme, ia hendak dibunuh.
Vonis mati itu tak membuat Ulil goyah pada pemikiran dan gagasan-gagasannya. Soal pernikahan beda agama, misalnya, ia tidak menentangnya. Bahkan ketika ia ditantang apakah akan memperbolehkan jika hal itu terjadi pada anaknya sendiri, ia mengatakan dengan berat hati akan mengizinkannya.
Di kala kelompok minoritas mendapat serangan lantaran beda keyakinan, ia pun lantang berbicara membelanya. Saat kantor pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Parung, Bogor, diserang oleh ribuan massa pada medio Juli 2005 lalu, ia dengan lantang membela kelompok minoritas itu. Begitu pula ketika banyak gereja mengalami nasib serupa, Ulil dengan tegas menyuarakan pluralitas yang harus dihargai setiap orang. Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang dianggapnya anti-pluralisme pun dikecamnya. Tindakannya ini pun mengakibatkan tuntutan hukum. Namun, itu tidak menghentikannya dalam memperjuangkan pluralisme yang telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia sejak dahulu.
Leave a Reply