GPIB Jemaat Banda Aceh
Pindahan dari Multiply
URL: http://kotabandaaceh.multiply.com/photos/album/9/GPIB-Jemaat-Banda-Aceh
Susahnya cari suasana sepi tanpa kendaraan lewat di depan GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat) Jemaat Banda Aceh, Jalan Pocut Baren, Kota Banda Aceh, pada suatu hari Sabtu siang.
Tanggal: 21-02-2009
Waktu: Pukul 12:47 WIB
Kamera: Canon PowerShot S2 IS
mayfordana wrote on Aug 24, ’09
wah,,,kangen!jd ingat persekutuan remaja 12 tahun yg lalu, sebelah kanan masih sekolah methodist y??sebelah kanan masih ada vihara gk??
ahmadabdulhaq wrote on Aug 24, ’09
mayfordana said
Masih Methodist. Kalau vihara, nggak ada ah. Vihara bukan yang di Panglima Polem?
elman63 wrote on Sep 7, ’09
Tunggu berita dariku
ahmadabdulhaq wrote on Sep 7, ’09
elman63 said
Jangan lama-lama ya 🙂
elman63 wrote on Sep 7, ’09
Berita kenangan dariku, Elman Parulian Nainggolan. “Kenangan Perjalanan Pulang Gereja”
Dulu pulang kebaktian gereja HKBP di Jalan Pelangi (Kampung Laksana ….. ? atau Kampung Mulia …..?), sepanjang jalan Pelangi sama seperti menelusuri sepanjang pagar kanan SMA 2, tempat aku dulu sekolah. Kemudian mentok ke jalan ……. ? (aku lupa namanya, sekarang disebut jalan Hasyim Banta Muda, disepenjang jalan ini diantaranya ada sekolah STIMA, kantor BPN dan SMA 2.
Lantas bertemu perempatan, ke kiri dan ke kanan adalah Jalan Pocut Baren, lurusannya adalah Jalan Darma. Bila belok kiri Jalan Pocut Baren akan menuju Jl Syiah Kuala, asrama PHB, Lampriet, Lampineung dan seterusnya, juga menuju rumah keluarga St Tobing / Br Tambunan (dimanakah gerangan anak-anak dan borunya ?, dimana ito Yulietta ? dan Lae Haris ?). Juga ada rumah Pak Pakpahan, guru SMEA
Bila belok kanan, masih di Jalan Pocut Baren, maka agak di ujung sebelum bertemu Jalan Panglima Polim ada gereja Methodist. Kebaktian gereja Methodist bubarannya lebih akhir, sehingga saya terkadang masih sempat melihat mereka berkebaktian. Jemaat gereja ini umumnya saudara kita etnis Tionghoa. Gereja Methodist merupakan juga kompleks sekolah, yaitu TK, SD, SMP dan SMA. Seingat saya yang paling lama menjabat kepala sekolah SD adalah Ibu Theodora (boru Tampubolon, suaminya Pak Simanjuntak, domisili di Lampriet). Ibu ini merupakan guru saya ketika SD, namun bukan di Methodist, di SD 24, waktu itu beliau menjadi guru kelas ketika aku kelas 1, kelas 2, kelas 5 dan kelas 6. Ibu ini merupakan guru yang paling disukai oleh para murid dan rekannya sesama guru. Bila diluar kelas, saya memanggil ibu ini dengan sebutan ” inang tua”, karena mamak saya yang boru Sitompul bersaudara dengan Tampubolon (dongan saboltok). Dimanakah gerangan anak-anak ibu ini….. ?, Bang Evan,Bang Albert, Bang Arnold, juga …… (saya lupa namanya, someone alumnus Fak.Pertanian Unsyiah, dimanakah anda …. ?)
Sekarang, masih di Jalan Pocut Baren, di ujungnya lagi dari gereja Methodist sudah ada gereja GPIB. Gereja GPIB “dipindahkan” ke tempat yang sekarang ini. Dipindahkan tahun ……. ? (aku sudah tidak di Banda Aceh). Sebelumnya GPIB berada di tempat yang paling strategis. Berada di kompleks stasiun kereta api (eehh…, stasiun ini sudah tidak aktif. Namun aku masih sempat melihat kereta api, bahkan pernah naik kereta api sampai ke Besitang (Kabupaten Aceh Tamiang yang berbatasan dengan Prov. Sumut). Dulu ketika aku SD, setiap 17 Agustus kereta api ini diaktifkan dengan route Seulimum ke Banda Aceh, yaa hanya pada tanggal itu, aku tidak tahu mengapa hanya pada tiap 17 Agustus. Ketika aku SMP Kereta api “off total”.
Selain kompleks stasiun, gereja ini juga bertetangga dengan Mesjid Baiturahman, mesjid yang cukup megah dan menjadi icon Aceh. Di depan gereja mengalir sungai kecil yang cukup bening, Sungai Krueng Daroy. Hulu sungai ini di Mata Ie, merupakan sumber mata air yang cukup besar, dingin dan bening, bagaimana keadaan Mata ie sekarang …. ?, apakah masih indah kolam pemandiannya ?. Aku suka sekali ke kolam ini, di kolam inilah aku bisa berenang, dari rumahku ke kolam ini lebih kurang 20 Km, ke kolam kami bersama teman dengan naik sepeda.
Di ujung sebelah kanan gereja ada Pendopo, merupakan istana gubernur Aceh. Dulunya memang istana benaran, istana kerajaan aceh, istana para Sultan Aceh. Di kompleks Pendopo ada Museum Aceh, Rumoh Adat dan pemakaman raja-raja Aceh, termasuk makam Sultan Iskandar Muda, raja Aceh yang cukup masyhur. Tepat di sebelah kanan, bersebelahan pagar merupakan markas Kodim. Inilah kilas balik lokasi GPIB sebelum dipindahkan.
Jemaat GPIB terdiri dari berbagai etnis, ada Ambon, Papua, Jawa, Kalimantan, juga Batak (tetapi non Toba). Saya sesekali berkebaktian di GPIB (karena ikut teman), ehh di Methodist sama sekali tidak pernah. Dulu sekali, mungkin aku masih TK, gedung gereja HKBP belum ada, namun jemaatnya sudah terbentuk. Ketika itu HKBP berkebaktian menompang di GPIB dan sesekali di Methodist
Kembali ke Jalan Pocut Baren, jalan ini bersimpangan dengan jalan Panglima Polim. Bila lurus terus maka jalan Pocut Baren menuju Pasar Buah (dulu disekitar pasar buah ada SMP dan SMEP, lantas direlokasi entah kemana …..), juga ada stadion Perbasi (apakah sekarang masih ada ?), lalu menuju pasar daging, pasar ikan dan Sungai Krueng Aceh, semuanya ini merupakan seputaran daerah Peunayong.
Bila dari persimpangan Pocut Baren – Panglima Polim belok kiri, maka ini menuju Simpang Lima. Sepanjang jalan Panglima Polim merupakan pertokoan, namun di jalan ini ada sebuah Klenteng. Dulu sepanjang jalan ini cukup teduh, karena dipinggiran tumbuh pohon asam jawa yang rindang. Pepohonan ini telah ditebang untuk kepentingan pelebaran jalan, apakah sekarang ada penanaman kembali …?. Disebut Simpang Lima karena pada simpang itu merupakan simpul lima ruas jalan. Lima ruas jalan itu adalah, (1) jalan menuju jembatan Pantee Pirak dan Gereja Katolik, (2) Jalan Sri Ratu Safiatuddin, jalan ini menuju Hotel Medan dan Peunayong, dulu di jalan ini ada asrama Dipo (ketika aku masih disana memang sudah dibongkar menjadi pertokoan), (3) jalan menuju rumah sakit tentara, kantor pos dan Kuta Alam, (4) yaa tadi itu, jalan Panglima Polim, dan (5) Jalan Teuku Nyak Arief, jalan ini cukup panjang, sampai ke Darussalan Kampus Unsyiah, konon jalan ini berbagi nama, sebagian menjadi nama Jalan Tgk Daud Beureueh dan sebagian lagi masih tetap T. Nyak Arief (pembagiannya darimana ….. ? sampai kemana ……?). Sepanjang jalan ini ada kantor Gubernur lama, kantor Kejati (kantornya Bapak saya), Mapoltabes, menuju Jamboo Tape, SMA 3, RS Zainoel Abidin, Lampriet, Kantor Gubernur baru, Lampineung, dan seterusnya.
Itulah napak tilas saya dari gereja HKBP sampai ke Simpang Lima, sepanjang lebih kurang 5 atau 6 Km yang ditempuh dengan berjalan kaki, dan sekali lagi saya sebutkan “berjalan kaki” pulang dan pergi. Tetapi yang berjalan kaki bukan saya sendiri, ada juga jemaat lain. Bagaimana bila bukan hari Minggu dan di HKBP ada kegiatan yang harus dihadiri ?, yaa itu tadi, berjalan-kaki sendirian. Barulah dari Simapang Lima naik angkot menuju Lampineung. Angkot disana namanya “385”, (setara dengan sudako di Medan) entah mengapa namanya itu. Konon kata orang-orang bahwa tauke (boss) angkot itu pernah kenah lotere (undian harapan) dengan angka ya itu tadi, 385. Uang hasil lotere dibelikanlah untuk angkot (mungkin waktu itu uangnya cukup banyak, sehingga bisa beli arnada angkot 385)
Naik angkot turun di Simpang Mess PU, bayaran angkot waktu itu tahun 1982 sebesar Rp 50. Dari Simpang Mess PU berjalan kaki menelusuri Jalan Tgk Cot Plieng, sebenarnya nama jalan ini adalah Jalan Tgk Indrapuri. Sepanjang jalan ini ada rumah ompung Hutagalung yang pindah ke Medan, rumah ini juga menjadi rumah Ibu Medan (almarhumah), anaknya namanya Bang Nur, juga ada rumah Bang Ao (nama sebenarnya Syhrul), adiknya namanya Syhfian (yan), ada gedung Arsip, ada gudang Robur. Robur adalah merek bus buatan Soviet (semacam Toyota atau Mitsubishi dari Jepang). Bus ini berbentuk roti bantal. Bus ini merpakan aset Pemprov dan diperuntukkan sebagai angkutan mahasiswa dari kota (Pasar Aceh) sampai Kampus Unsyiah Darussalam. Selain mahasiswa, masyarakat umum juga boleh menggunakannya. Ongkos bus ini sangat murah, hanya 40 persen dari ongkos 385, bahkan bila kepepet bisa bayaranya dengan senyum saja. Operasinal bus ini ditanggung Pemprov. Meskipun bus telah berganti dengan merek lain (Mercedes, Mitsubishi dll) tetapi sebutan “robur” masih saja berlaku. Sekarang apakah masih disebut robur ?.
Sepanjang jalan ini melintasi simpang jalan Tgk Teupin Raya (dulu ketika aku SD namanya adalah Lorong Ibu), kemudian belok ke Jalan Tgk Dibitai (belok di simpang gudang robur), jalan ini dulu namanya Lorong Koperasi. Menelusuri jalan ini ada rumah sobat saya Fakhruddin (adiknya namanya Azhari /adek), rumah sobat saya Hendra (Putra Pak Abdullah Pediwi / bu bidan Rosmiati), rumah bang Katung (adiknya adalah sobat saya Ismanja / is, Yusaini / yus. Anhar dan Uchin / muchsin). Yusaini sobat saya ini kawin dengan adik teman saya Zakaria (Kampung Ateuk). Zakaria sebagai PNS di Janthoo (Aceh Besar), juga ada rumah Bang Bur (T. Burhanuddin),senior kami di kepemudaan, ada rumah Bang Hasan (si jago masak bila ada kenduri), ada rumah Pak Hasan, mantan guru saya di SD 24, kemudian menjadi pejabat di Kandep Depdikbud Kotamadya, anaknya namanya Emil, karyawan BRI, ada rumah Pak Yusni Saby (mantan rektor IAIN), ada rumah Pak Wahab (dokter). Disebelah kanan rumah pak dokter, disebelah kiri rumah Pak Hasan dan di depan rumah Pak mantan rektor, itulah dulu rumah kami, rumah Jalan Tgk Dibitai 24. Dulu rumah itu cukup sederhana. rumah disekitar kami sudah mengalami renovasi, bahkan bongkar pasang baru dengan konstruksi dan arsitektur megah, namun rumah kami sederhana saja. Yaa memang kemampuan bapak saya sederhana saja, hanya PNS kecil, bukan seperti tetangganya para pejabat.
Bapak pindah dari Banda Aceh ke Medan setahun sebelum peristiwa tsunami, rumah itu dijual kepada Keluarga Ny Tambunan br Silitonga. Kami anak-anaknya telah lebih dahulu meninggalkan Banda Aceh. Sebagai orang Batak dan Kristiani, Bapak saya meninggalkan Banda Aceh bukanlah oleh karena perasaan tidak nyaman oleh karena kondisi Aceh saat itu. Bapak dan Ibu saya cukup senang berada di Banda Aceh. Alasan kepindahannya hanya oleh karena dimasa usia tua tidak ada lagi anak-anaknya yang mendampinginya, sedangkan saat seperti ini perlu sekali kehadiran anak-anak atau saudara disampingnya untuk selalu mamantau kondisi fisik (kesehatan) di saat usia tua dan memberi penghiburan disaat kesunyian. Bapak saya telah meninggal dunia pada tanggal 14 Juli 2009, pada usia 77 tahun. Meninggal di Mariendal, Medan dan di kebumikan di kampung halamannya di Hariara, Sarulla, Tapanuli Utara
Maju ke depan lagi ada rumah Pak Zakaria / Zalba (anak-anaknya semuanya sobat saya Bang Nazir /di Pemkab Aceh Besar, Najib / di Pemprov, Zahri / di Pemkab Pidie, Zahrul / allol / di kantor BKKBN dulu), disebelahnya ada rumah Pak Hutapea (Lae Herkules dan Lae Parulian, sahat tabe nami, sai horas ma hita, didia hamu ?), ada rumah Pak Ismail Army (anaknya dr. Ismalita /di Medan, Ismadinata / Adi, oh yaa ada si bungsu Surya), ada ruma Pak Harun (anaknya sobat saya dr. M. Yani). Ada rumah sobat saya Havas, ada rumah Pak Abbas (imam mesjid) anak-anaknya sebagian senior saya Bang Bacah, sobat saya T. Zahedi / Pondi, Armansyah / Dek Wa, ada rumah Pak Yusuf, anak-anaknya senior saya Bang Mizwar dan bang Mursyid, sobat saya Fajri (telah meninggal oleh bencana tsunamami), inilah sobat saya yang paling penuh kenangan. Ada rumah keluarga besar Bang Sahrul / Bang Is. Ada rumah Pak Mian dan ada rumah Pak Isjon, anaknya Triswiardi (Wet) adalah sobat saya, juga Kiki adiknya.
Selain yang telah saya sebutkan tadi, saya titip salam buat semua sobat saya di Lampineung, yaitu Minzarli (apakah masih di kantor keuangan), Farabi / wen / rubes, Ikhsan, Misdar, Iriawan / wan, Dek War dan adik perempuannya si kembar, Badrizal, Badrevi, Bahrum, Abdul Hadi / Adi Pup, Zulkarnain, Alfiansyah (pelatih Persekobar), Nungki dan Lilik (keduanya anak ibu Sus), Syahrial boeng, Si One yang rumahnya di depan Mesjid, T.Zulfikar (Dek Jul, putra Ibu Dahlia), Keluarga besar Pak Sayed juga yang lainnya yang tidak tersebutkan. Bila siapa saja yang membaca ini mohon sampaikan salam saya buat mereka dan katakan saya ingin merajut kembali persahabatan yang indah dulu.
Bagaimana keadaan mesjid Al-Badar, mesjidnya orang Lampineung ?. Dulu bersama teman lain di kompleks mesjid inilah tempat kami bermain, bermain apa saja, bermain layangan, petak umpet, bola kaki, volley atau sekedar tempat ngobrol. Meskipun saya Kristiani, namun saya tidak canggung masuk ke mesjid, dan teman lain juga masyarakat lain yang muslim selalu ramah kepada kami. Ibu saya setiap Kamis sore berkumpul di mesjid bersama-sama ibu lain untuk membicarakan segala sesuatunya, misal ceramah pendidikan, PKK, kesehatan atau julo-julo (arisan) setiap bulan. Di mesjid ini pernah suatu ketika sebagai pusat penyelenggaraan MTQ tingkat kecamatan dan tingkat kotamadya, kami sekeluarga oleh masyarakat tetap diikutkan sebagai panitia, tentunya bukan di kepanitiaan teknis, sebagai apapun keterlibatan kami hal ini menunjukkan betapa bersaudaranya kami masyarakat Lampineung.
Inilah dulu cerita saya, lain tempo sambung lagi
ahmadabdulhaq wrote on Sep 7, ’09
elman63 said
Makasih, Pak.
Kalau ceritanya sepanjang itu, lebih baik diposting di journal. Pak, biar yang baca bisa lebih banyak.
😀
julvan wrote on Oct 26, ’09
elman63 said
Dulu pulang kebaktian gereja HKBP di Jalan Pelangi (Kampung Laksana ….. ? atau Kampung Mulia …..?), sepanjang jalan Pelangi sama seperti menelusuri sepanjang pagar kanan SMA 2, tempat aku dulu sekolah. Kemudian mentok ke jalan ……. ? (aku lupa namanya, sekarang disebut jalan Hasyim Banta Muda, disepenjang jalan ini diantaranya ada sekolah STIMA, kantor BPN dan SMA 2.
Lantas bertemu perempatan, ke kiri dan ke kanan adalah Jalan Pocut Baren, lurusannya adalah Jalan Darma. Bila belok kiri Jalan Pocut Baren akan menuju Jl Syiah Kuala, asrama PHB, Lampriet, Lampineung dan seterusnya, juga menuju rumah keluarga St Tobing / Br Tambunan (dimanakah gerangan anak-anak dan borunya ?, dimana ito Yulietta ? dan Lae Haris ?). Juga ada rumah Pak Pakpahan, guru SMEA
Bila belok kanan, masih di Jalan Pocut Baren, maka agak di ujung sebelum bertemu Jalan Panglima Polim ada gereja Methodist. Kebaktian gereja Methodist bubarannya lebih akhir, sehingga saya terkadang masih sempat melihat mereka berkebaktian. Jemaat gereja ini umumnya saudara kita etnis Tionghoa. Gereja Methodist merupakan juga kompleks sekolah, yaitu TK, SD, SMP dan SMA. Seingat saya yang paling lama menjabat kepala sekolah SD adalah Ibu Theodora (boru Tampubolon, suaminya Pak Simanjuntak, domisili di Lampriet). Ibu ini merupakan guru saya ketika SD, namun bukan di Methodist, di SD 24, waktu itu beliau menjadi guru kelas ketika aku kelas 1, kelas 2, kelas 5 dan kelas 6. Ibu ini merupakan guru yang paling disukai oleh para murid dan rekannya sesama guru. Bila diluar kelas, saya memanggil ibu ini dengan sebutan ” inang tua”, karena mamak saya yang boru Sitompul bersaudara dengan Tampubolon (dongan saboltok). Dimanakah gerangan anak-anak ibu ini….. ?, Bang Evan,Bang Albert, Bang Arnold, juga …… (saya lupa namanya, someone alumnus Fak.Pertanian Unsyiah, dimanakah anda …. ?)
Sekarang, masih di Jalan Pocut Baren, di ujungnya lagi dari gereja Methodist sudah ada gereja GPIB. Gereja GPIB “dipindahkan” ke tempat yang sekarang ini. Dipindahkan tahun ……. ? (aku sudah tidak di Banda Aceh). Sebelumnya GPIB berada di tempat yang paling strategis. Berada di kompleks stasiun kereta api (eehh…, stasiun ini sudah tidak aktif. Namun aku masih sempat melihat kereta api, bahkan pernah naik kereta api sampai ke Besitang (Kabupaten Aceh Tamiang yang berbatasan dengan Prov. Sumut). Dulu ketika aku SD, setiap 17 Agustus kereta api ini diaktifkan dengan route Seulimum ke Banda Aceh, yaa hanya pada tanggal itu, aku tidak tahu mengapa hanya pada tiap 17 Agustus. Ketika aku SMP Kereta api “off total”.
Selain kompleks stasiun, gereja ini juga bertetangga dengan Mesjid Baiturahman, mesjid yang cukup megah dan menjadi icon Aceh. Di depan gereja mengalir sungai kecil yang cukup bening, Sungai Krueng Daroy. Hulu sungai ini di Mata Ie, merupakan sumber mata air yang cukup besar, dingin dan bening, bagaimana keadaan Mata ie sekarang …. ?, apakah masih indah kolam pemandiannya ?. Aku suka sekali ke kolam ini, di kolam inilah aku bisa berenang, dari rumahku ke kolam ini lebih kurang 20 Km, ke kolam kami bersama teman dengan naik sepeda.
Di ujung sebelah kanan gereja ada Pendopo, merupakan istana gubernur Aceh. Dulunya memang istana benaran, istana kerajaan aceh, istana para Sultan Aceh. Di kompleks Pendopo ada Museum Aceh, Rumoh Adat dan pemakaman raja-raja Aceh, termasuk makam Sultan Iskandar Muda, raja Aceh yang cukup masyhur. Tepat di sebelah kanan, bersebelahan pagar merupakan markas Kodim. Inilah kilas balik lokasi GPIB sebelum dipindahkan.
Jemaat GPIB terdiri dari berbagai etnis, ada Ambon, Papua, Jawa, Kalimantan, juga Batak (tetapi non Toba). Saya sesekali berkebaktian di GPIB (karena ikut teman), ehh di Methodist sama sekali tidak pernah. Dulu sekali, mungkin aku masih TK, gedung gereja HKBP belum ada, namun jemaatnya sudah terbentuk. Ketika itu HKBP berkebaktian menompang di GPIB dan sesekali di Methodist
Kembali ke Jalan Pocut Baren, jalan ini bersimpangan dengan jalan Panglima Polim. Bila lurus terus maka jalan Pocut Baren menuju Pasar Buah (dulu disekitar pasar buah ada SMP dan SMEP, lantas direlokasi entah kemana …..), juga ada stadion Perbasi (apakah sekarang masih ada ?), lalu menuju pasar daging, pasar ikan dan Sungai Krueng Aceh, semuanya ini merupakan seputaran daerah Peunayong.
Bila dari persimpangan Pocut Baren – Panglima Polim belok kiri, maka ini menuju Simpang Lima. Sepanjang jalan Panglima Polim merupakan pertokoan, namun di jalan ini ada sebuah Klenteng. Dulu sepanjang jalan ini cukup teduh, karena dipinggiran tumbuh pohon asam jawa yang rindang. Pepohonan ini telah ditebang untuk kepentingan pelebaran jalan, apakah sekarang ada penanaman kembali …?. Disebut Simpang Lima karena pada simpang itu merupakan simpul lima ruas jalan. Lima ruas jalan itu adalah, (1) jalan menuju jembatan Pantee Pirak dan Gereja Katolik, (2) Jalan Sri Ratu Safiatuddin, jalan ini menuju Hotel Medan dan Peunayong, dulu di jalan ini ada asrama Dipo (ketika aku masih disana memang sudah dibongkar menjadi pertokoan), (3) jalan menuju rumah sakit tentara, kantor pos dan Kuta Alam, (4) yaa tadi itu, jalan Panglima Polim, dan (5) Jalan Teuku Nyak Arief, jalan ini cukup panjang, sampai ke Darussalan Kampus Unsyiah, konon jalan ini berbagi nama, sebagian menjadi nama Jalan Tgk Daud Beureueh dan sebagian lagi masih tetap T. Nyak Arief (pembagiannya darimana ….. ? sampai kemana ……?). Sepanjang jalan ini ada kantor Gubernur lama, kantor Kejati (kantornya Bapak saya), Mapoltabes, menuju Jamboo Tape, SMA 3, RS Zainoel Abidin, Lampriet, Kantor Gubernur baru, Lampineung, dan seterusnya.
Itulah napak tilas saya dari gereja HKBP sampai ke Simpang Lima, sepanjang lebih kurang 5 atau 6 Km yang ditempuh dengan berjalan kaki, dan sekali lagi saya sebutkan “berjalan kaki” pulang dan pergi. Tetapi yang berjalan kaki bukan saya sendiri, ada juga jemaat lain. Bagaimana bila bukan hari Minggu dan di HKBP ada kegiatan yang harus dihadiri ?, yaa itu tadi, berjalan-kaki sendirian. Barulah dari Simapang Lima naik angkot menuju Lampineung. Angkot disana namanya “385”, (setara dengan sudako di Medan) entah mengapa namanya itu. Konon kata orang-orang bahwa tauke (boss) angkot itu pernah kenah lotere (undian harapan) dengan angka ya itu tadi, 385. Uang hasil lotere dibelikanlah untuk angkot (mungkin waktu itu uangnya cukup banyak, sehingga bisa beli arnada angkot 385)
Naik angkot turun di Simpang Mess PU, bayaran angkot waktu itu tahun 1982 sebesar Rp 50. Dari Simpang Mess PU berjalan kaki menelusuri Jalan Tgk Cot Plieng, sebenarnya nama jalan ini adalah Jalan Tgk Indrapuri. Sepanjang jalan ini ada rumah ompung Hutagalung yang pindah ke Medan, rumah ini juga menjadi rumah Ibu Medan (almarhumah), anaknya namanya Bang Nur, juga ada rumah Bang Ao (nama sebenarnya Syhrul), adiknya namanya Syhfian (yan), ada gedung Arsip, ada gudang Robur. Robur adalah merek bus buatan Soviet (semacam Toyota atau Mitsubishi dari Jepang). Bus ini berbentuk roti bantal. Bus ini merpakan aset Pemprov dan diperuntukkan sebagai angkutan mahasiswa dari kota (Pasar Aceh) sampai Kampus Unsyiah Darussalam. Selain mahasiswa, masyarakat umum juga boleh menggunakannya. Ongkos bus ini sangat murah, hanya 40 persen dari ongkos 385, bahkan bila kepepet bisa bayaranya dengan senyum saja. Operasinal bus ini ditanggung Pemprov. Meskipun bus telah berganti dengan merek lain (Mercedes, Mitsubishi dll) tetapi sebutan “robur” masih saja berlaku. Sekarang apakah masih disebut robur ?.
Sepanjang jalan ini melintasi simpang jalan Tgk Teupin Raya (dulu ketika aku SD namanya adalah Lorong Ibu), kemudian belok ke Jalan Tgk Dibitai (belok di simpang gudang robur), jalan ini dulu namanya Lorong Koperasi. Menelusuri jalan ini ada rumah sobat saya Fakhruddin (adiknya namanya Azhari /adek), rumah sobat saya Hendra (Putra Pak Abdullah Pediwi / bu bidan Rosmiati), rumah bang Katung (adiknya adalah sobat saya Ismanja / is, Yusaini / yus. Anhar dan Uchin / muchsin). Yusaini sobat saya ini kawin dengan adik teman saya Zakaria (Kampung Ateuk). Zakaria sebagai PNS di Janthoo (Aceh Besar), juga ada rumah Bang Bur (T. Burhanuddin),senior kami di kepemudaan, ada rumah Bang Hasan (si jago masak bila ada kenduri), ada rumah Pak Hasan, mantan guru saya di SD 24, kemudian menjadi pejabat di Kandep Depdikbud Kotamadya, anaknya namanya Emil, karyawan BRI, ada rumah Pak Yusni Saby (mantan rektor IAIN), ada rumah Pak Wahab (dokter). Disebelah kanan rumah pak dokter, disebelah kiri rumah Pak Hasan dan di depan rumah Pak mantan rektor, itulah dulu rumah kami, rumah Jalan Tgk Dibitai 24. Dulu rumah itu cukup sederhana. rumah disekitar kami sudah mengalami renovasi, bahkan bongkar pasang baru dengan konstruksi dan arsitektur megah, namun rumah kami sederhana saja. Yaa memang kemampuan bapak saya sederhana saja, hanya PNS kecil, bukan seperti tetangganya para pejabat.
Bapak pindah dari Banda Aceh ke Medan setahun sebelum peristiwa tsunami, rumah itu dijual kepada Keluarga Ny Tambunan br Silitonga. Kami anak-anaknya telah lebih dahulu meninggalkan Banda Aceh. Sebagai orang Batak dan Kristiani, Bapak saya meninggalkan Banda Aceh bukanlah oleh karena perasaan tidak nyaman oleh karena kondisi Aceh saat itu. Bapak dan Ibu saya cukup senang berada di Banda Aceh. Alasan kepindahannya hanya oleh karena dimasa usia tua tidak ada lagi anak-anaknya yang mendampinginya, sedangkan saat seperti ini perlu sekali kehadiran anak-anak atau saudara disampingnya untuk selalu mamantau kondisi fisik (kesehatan) di saat usia tua dan memberi penghiburan disaat kesunyian. Bapak saya telah meninggal dunia pada tanggal 14 Juli 2009, pada usia 77 tahun. Meninggal di Mariendal, Medan dan di kebumikan di kampung halamannya di Hariara, Sarulla, Tapanuli Utara
Maju ke depan lagi ada rumah Pak Zakaria / Zalba (anak-anaknya semuanya sobat saya Bang Nazir /di Pemkab Aceh Besar, Najib / di Pemprov, Zahri / di Pemkab Pidie, Zahrul / allol / di kantor BKKBN dulu), disebelahnya ada rumah Pak Hutapea (Lae Herkules dan Lae Parulian, sahat tabe nami, sai horas ma hita, didia hamu ?), ada rumah Pak Ismail Army (anaknya dr. Ismalita /di Medan, Ismadinata / Adi, oh yaa ada si bungsu Surya), ada ruma Pak Harun (anaknya sobat saya dr. M. Yani). Ada rumah sobat saya Havas, ada rumah Pak Abbas (imam mesjid) anak-anaknya sebagian senior saya Bang Bacah, sobat saya T. Zahedi / Pondi, Armansyah / Dek Wa, ada rumah Pak Yusuf, anak-anaknya senior saya Bang Mizwar dan bang Mursyid, sobat saya Fajri (telah meninggal oleh bencana tsunamami), inilah sobat saya yang paling penuh kenangan. Ada rumah keluarga besar Bang Sahrul / Bang Is. Ada rumah Pak Mian dan ada rumah Pak Isjon, anaknya Triswiardi (Wet) adalah sobat saya, juga Kiki adiknya.
Selain yang telah saya sebutkan tadi, saya titip salam buat semua sobat saya di Lampineung, yaitu Minzarli (apakah masih di kantor keuangan), Farabi / wen / rubes, Ikhsan, Misdar, Iriawan / wan, Dek War dan adik perempuannya si kembar, Badrizal, Badrevi, Bahrum, Abdul Hadi / Adi Pup, Zulkarnain, Alfiansyah (pelatih Persekobar), Nungki dan Lilik (keduanya anak ibu Sus), Syahrial boeng, Si One yang rumahnya di depan Mesjid, T.Zulfikar (Dek Jul, putra Ibu Dahlia), Keluarga besar Pak Sayed juga yang lainnya yang tidak tersebutkan. Bila siapa saja yang membaca ini mohon sampaikan salam saya buat mereka dan katakan saya ingin merajut kembali persahabatan yang indah dulu.
Bagaimana keadaan mesjid Al-Badar, mesjidnya orang Lampineung ?. Dulu bersama teman lain di kompleks mesjid inilah tempat kami bermain, bermain apa saja, bermain layangan, petak umpet, bola kaki, volley atau sekedar tempat ngobrol. Meskipun saya Kristiani, namun saya tidak canggung masuk ke mesjid, dan teman lain juga masyarakat lain yang muslim selalu ramah kepada kami. Ibu saya setiap Kamis sore berkumpul di mesjid bersama-sama ibu lain untuk membicarakan segala sesuatunya, misal ceramah pendidikan, PKK, kesehatan atau julo-julo (arisan) setiap bulan. Di mesjid ini pernah suatu ketika sebagai pusat penyelenggaraan MTQ tingkat kecamatan dan tingkat kotamadya, kami sekeluarga oleh masyarakat tetap diikutkan sebagai panitia, tentunya bukan di kepanitiaan teknis, sebagai apapun keterlibatan kami hal ini menunjukkan betapa bersaudaranya kami masyarakat Lampineung.
Inilah dulu cerita saya, lain tempo sambung lagi
Wah.Baca Cerita .jadi tambah Rindu ke Banda Aceh….Saya datang ke banda aceh pada tahun 2007 pak….pada waktu itu saya di suruh oleh pak cik saya Alm WINNER PURBA dari aceh tenggara untuk berangkat sendiri ke banda aceh, saya waktu itu belum pernah sekalipun ke sana, makanya ketika perjalanan dari Medan-Banda Aceh bus yang saya tumpangi di razia oleh tentara di daerah aceh utara ..saya terkejut semua penumpung di suruh turun kemudian busnya di suruh jalan kedepan berjalan kira-kira…500 meter…kemudian penumpang menyusul dengan jalan kaki …saya pada waktu itu tidak tau apa tapi sekarang saya tau bahwa pada saat itu ada operasi “JARING MERAH” saya berasal dari gereja suku GKPS…tapi pada waktu itu saya kebaktiannya ke HKBP di jl pelangi…kemudian pada setelah tamat pada tahun 2008 saya di tempatkan di Meulaboh Kab. Aceh Barat ( 8 jam perjalanan darat dari banda aceh) …di Meulaboh tidak ada gereja jadi kalau ada kebaktian hanya di rumah2 pada waktu itu orang2 yang beragama kristen berjumlah 30 kk …ada dulu bangunan yang dibuat di perkebunan PT. Socfindo tapi pada tahun 1999 ketika rakyat aceh menutut referendum gedung tersebut dibakar…dan pada tahun tersebut juga teman2 seiman saya kristen mengurus pindah ke luar dari Prop. Aceh…(bahkan ada yang lari meninggalkan dinas) sehingga yang tertinggal pada tahun 2000 berkisar kurang lebih 7 kk …..pada tahun 2001 akhirnya saya pindah ke banda aceh kemudian saya bergabung dengan GP GPIB Banda Aceh yang kebanyakan mahasiswa/i ( Serasi Purba , Vebry Tarigan, Tari Tarigan dan Lestari Damanik , Ivory Manurung, Melvi Marpaung, ) Faat Elkana, Fery Waruhu, Kak Lina (kakaknya serasi purba) ….dan baru menginjak gereja pertama kali setelah 5 tahun…kemudian kemudian ketika Pada saat terjadi Gempa bumi saya sedang tidur (molor) kemudian lari dari lantai 2 tempat kos2an …sekira 20 menit kemudian saya bersama dengan teman saya bermaksud melihat 2 bangunan yang runtuh selanjutnya pergi ke rumah kakak sepupu saya yang suaminya meninggal ( abang Alm. M. SINURAT) dan Tsunami Datang…kemudian saya mengambil anaknya yang baru berumur 2, 5 tahun ( ERWIN SINURAT) dan menyerahkannya kepada teman saya VAN HOUTEN SAMOSIR untuk diselamatkan sedangkan saya membawa abangnya yang berumur 6 Tahun ( ERFANDI SINURAT) kemudian karena lalu lintas macet akhirnya saya bersama anak kakak saya naik ke gedung yang ada lantai duanya…kemudian saya melihat sepeda motor saya yg di bawa oleh tsunami dan hilang ( maklum harta satu2nya he he .) …setelah surut sekira 4 jam kemudian berjalan pelan2 karna jalan semuanya dah tertutup oleh kayu2, sampan nelayan, dan mobil yg tumpang tindih, kemudian sekira jam 3 sore ketemu dengan kakak dan dia bertanya mana anaknya..saya jawab aja ada dibawa kawan padahal saya tidak tau selamat apa ngk? ( saya was was karna teman saya tersebut salah lari karna belum lama di banda aceh) cuma kain gendongnya masih melilit di leherku… akhirnya saya memutuskan tidak menjumpai kakak saya pada malam harinya dan esok harinya …saya kembali mengecek daerah tempat saya menyelamatkan diri kalau2 ada mayat teman saya dan anak kakak saya tersebut tapi tidak namun saya belum bertemu dengan kakak sepupu saya takut ditanya mau jawab apa? esok harinya lagi saya bertemu dengan teman saya dan anak kakak saya rupanya dia sempat lari dan larinya ke Kota Jantho Kab. Aceh Besar ..jauh…..he..he dan cepat2 langsung saya antarkan anaknya…karna mamaknya dah nangis2… 3 (tiga) setelah itu saya baru mengetahui bahwa : kak Sri Ulina (kakak serasi purba) dan anaknya yg masih bayi , mak tua ( ibunya serasi purba), dan abangnya (lupa namanya), istri bang rifin abangnya serasi purba ( kakak ipar serasi purba dan anaknya) , Fery Waruhu dan adiknya (lupa namanya) meninggal dunia dan yang diketahui mayatnya hanya Sri Ulina Purba. …..kemudian …pada hari ke 3 itu juga Vebry Tarigan datang dari Medan (pada saat itu dia sudah tamat kuliah) untuk melihat temannya …beberapa minggu kemudian dari kantor saya ada pengisian angket untuk meminta pindah kemana saja keluar dari aceh…namun pada saat itu saya juga heran tidak terpikir untuk keluar dari banda aceh…akhirnya pada tahun 2007 saya pindah ke medan….dan pada saat kumeninggalkan banda aceh Gereja HKBP masih terjadi dua lisme kepemimpinan dan sering berkelahi sesama jemaat karna pendeta yang lama tidak mau menyerahkan jabatan kepada pejabat yang baru dengar2 ( ribut masalah dana sumbangan) saya kadang merasa malu jika di kantor di tanya rekan2 kenapa orang gereja kristen HKBP seperti itu? saya akui juga di GPIB banda aceh ada juga permasalahan masalah seperti itu tapi tidak samapi berkelahi dan sampai 2 diamankan oleh Sat Dalmas Polresta Banda Aceh….Sekarang ..Saya sudah di Medan, Serasi Purba kalau tidak salah setelah Selesai kontrak dengan NGO World Vision sekarang di Bali, Vebry Tarigan dah menikah dan sekarang di Jakarta, Ivory Manurung dan Melpi Marpaung (sekarang udah menikah dengan Timur…ktnya) sekarang masih bekerja di salah satu NGO di banda aceh, Lestari Damanik telah menikah dengan teman saya Van Hoten Samosir dan tinggal di Banda Aceh…dan Andre Sembiring yang kisahnya tidak sempat saya tulis udah pindah ke P. Siantar pada bulan September 2009…..yah…….emang banyak kenangan…
ahmadabdulhaq wrote on Oct 27, ’09
julvan said
Wah, ceritanya seru nih. Makasih ya 🙂