Kata “Kompas”, yang Benar Centang, Bukan Contreng
Pindahan dari Multiply
URL: http://bahasaindonesiaonly.multiply.com/links/item/7/Kata-Kompas-yang-Benar-Centang-Bukan-Contreng
Link: http:/
Contreng atau Centang?
Jumat, 3 April 2009 | 03:26 WIB
DIAN PURBA
Rupanya Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga tidak mengenal contreng. Terpaksa kata ini dimiringkan, sebagai tanda asing, untuk menghargai puluhan munsyi yang telah letih menggali, meneliti, menderetkan, menjalin, merangkai, dan jadilah dia vokabuler. Barangkali kita teramat sering mengumpetkan rasa peduli kita dalam bertutur dan mungkin karena kita menganggap itu kurang penting. Jelas ini tidak terpuji.
Kembali kita dibingungkan oleh demokrasi. Demokrasi yang akrab di telinga dengan pemerintahan rakyatnya seakan-akan kurang percaya dengan keperkasaan namanya. Ia terpaksa merias diri dengan atribut-atribut rancak. Baru-baru ini kita disuguhi sebutan elok yang ternyata masih kerabat sang demokrasi: demokrasi prosedural dan demokrasi substansial. Lagi-lagi ini membingungkan paling tidak mereka yang kehilangan kesempatan mengembangkan nafsu belajarnya.
Demokrasi prosedural mencukupkan diri dengan pemilihan umum, partai politik yang ramai, dan selanjutnya mendudukkan wakil-wakil kita di rumah rakyat itu. Rakyat hanya memfungsikan diri sebagai agen demokrasi sekali lima tahun. Setelah itu cukup sudah, meminjam ucapan khas Denias. Akibatnya memang dapat ditebak: rakyat dan wakil rakyat berjalan berseberang arah.
Demokrasi substansial bisa kita sebut juga sebagai demokrasi kesejahteraan. Silakan memaknai jenis yang satu ini untuk segala sesuatu yang baik. Buruh kembali menjadi manusia, pedagang kaki lima sudah bebas dari rasa takut terhadap Satpol PP, orangtua tak berduit tak lagi pening memikirkan biaya sekolah anak mereka, perut besar kurang makan akan lenyap, dan lain-lain. Silakan menambah dengan semua yang baik yang lain.
Nah, bagaimana dengan contreng? Selain membingungkan, demokrasi kerap tersungkur ke kubangan kesalahan. Kata yang dipakai dalam Pemilu 2009 ini menggundahkan sang empunya takhta: centang. Juga membuat cemburu si coblos lantaran mahkota itu tak lagi tersemat di kepalanya.
Lima tahun lalu coblos begitu tersohor. Ia mengalahkan rekannya, tusuk, karena dianggap kurang kena. Dalam tusuk jarum, tubuh orang tidak ditembus. Kata lain, tembus, setali tiga uang. Tembus cahaya tidak merusak kaca yang ditembus. Dengan demikian coblos yang paling tepat. Karena mencoblos itu menusuk hingga tembus. ”Coblos moncong hitam,” misalnya.
Lain lubuk lain ikannya. Setiap musim membawa perubahan masing-masing. Begitu juga dengan pemilihan umum. Kali ini contreng mendapatkan takhta itu. ”Contreng partainya, contreng calonnya.” Pesabda tak merasa perlu menilik kitab bahasa. Sekali lagi ini sikap tidak terpuji. Boleh jadi kita sudah telanjur terbiasa tak peduli dengan perasaan sesama makhluk ciptaan. Tidak susah membayangkan keadaan ini akan bertambah parah ketika berpapasan dengan bahasa.
Baiklah kita luruskan sekarang juga. Sebuah kesalahan besar apabila kita menolak memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memang kaya dan akan semakin kaya asal kita mau memanfaatkan kosakata dari samudera bahasa Nusantara. Inilah kemudian yang membuktikan penghargaan kita terhadap tiap bahasa Nusantara. Kepada contreng kita harus meminta maaf. Sampai edisi ketiga KBBI dia belum terdaftar dalam keluarga kosakata bahasa Indonesia. Centang harus kita panggil dan meletakkannya di tempat semestinya. Ia cukup yakin menempatkan diri sebagai kata kerja: ’memberi tanda koreksi, bisa berbentuk huruf (v) ataupun tanda lain yang serupa’. Kalaupun masih menganggap kurang klop, kita bisa menggunakan conteng dan barangkali coreng.
Dian Purba Aktif di Komunitas Mata Kata, Tinggal di Medan
elfarid wrote on Apr 4, ’09, edited on Apr 4, ’09
Baca juga:
yukinahawmie13 wrote on Apr 4, ’09
kenapa pemerintah bisa menemukan kata ‘contreng’?