QRIS Ancam Kekuasaan Visa & Mastercard? Ini Kata Bennix!

Judul asli video: Kedaulatan RI Terancam‼️ QRIS Rugikan Amerika 960T
Pada sebuah video yang beredar luas, seorang figur publik bernama Benny Batara Tumpal Hutabarat, alias Bennix, menyampaikan sebuah narasi dramatis seputar potensi ancaman terhadap sistem pembayaran nasional Indonesia, yakni QRIS (Quick Response Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional). Bennix menyuarakan kekhawatiran besar atas tekanan ekonomi-politik Amerika Serikat yang, menurutnya, ingin “menghancurkan” sistem keuangan digital lokal kita demi mempertahankan dominasi perusahaan global seperti Visa dan Mastercard.
Secara garis besar, pesan yang disampaikan Bennix mengusung semangat kedaulatan ekonomi. Ia menekankan bahwa QRIS bukan hanya sebuah alat transaksi, melainkan simbol kemandirian dan kemajuan teknologi finansial Indonesia. Namun, narasi ini juga dibalut oleh retorika emosional yang perlu kita telaah dengan kepala dingin.
QRIS dan GPN: Inovasi Lokal yang Berdampak Global
QRIS adalah inovasi sistem pembayaran berbasis QR code yang diluncurkan Bank Indonesia untuk menyatukan berbagai metode pembayaran digital dalam satu standar nasional. Di sisi lain, GPN adalah sistem jaringan pembayaran domestik yang bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap sistem internasional. Kedua sistem ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi transaksi, inklusi keuangan, dan penguatan UMKM.
Bennix menyoroti bahwa QRIS telah mencapai nilai transaksi yang luar biasa—diperkirakan hingga Rp1 kuadriliun per tahun. Dengan biaya MDR (merchant discount rate) hanya 0,3%, sistem ini jauh lebih murah dibandingkan biaya 2–3% pada transaksi menggunakan Visa atau Mastercard. Ini menjadi argumen utama bahwa QRIS dapat menggerus keuntungan perusahaan asing.
Amerika Serikat Takut? Antara Fakta dan Retorika
Bennix menyebut bahwa Amerika Serikat “sangat ketakutan” dengan QRIS. Dalam dokumen negosiasi bilateral, memang ada catatan dari USTR (United States Trade Representative) mengenai kekhawatiran atas kebijakan Indonesia yang dianggap menghambat akses pasar perusahaan asing, termasuk di sektor pembayaran digital.
Namun, menyebutnya sebagai “ketakutan besar” dan menyamakan QRIS dengan ancaman geopolitik adalah simplifikasi yang terlalu dramatis. Ini bukan bentuk invasi digital, melainkan bagian dari proses negosiasi dagang yang wajar di antara dua negara dengan kepentingan berbeda.
Fact-Check dan Counter-Narrative: Memilah Narasi Bennix
Beberapa klaim yang disampaikan Bennix mengandung kebenaran, namun perlu dilengkapi dengan konteks yang lebih luas:
- “QRIS lebih canggih dari Visa/Mastercard” – QRIS memang sangat efisien dan cocok untuk ekosistem lokal. Tapi bukan berarti mengungguli seluruh aspek teknologi global seperti sistem keamanan, proteksi, atau jaringan internasional.
- “Visa dan Mastercard rugi Rp26 miliar per hari” – Kalkulasi ini logis secara kasar, tapi tidak mempertimbangkan bahwa jenis dan segmen pengguna QRIS dan kartu kredit berbeda secara struktural.
- “Data transaksi bisa menjatuhkan Presiden” – Ini adalah narasi spekulatif. Data transaksi memang penting, tetapi menyimpulkannya bisa dipakai untuk sabotase logistik nasional tanpa bukti nyata adalah bentuk alarmisme.
- “Visa dan Mastercard milik BlackRock dan Vanguard, penasihat Trump” – BlackRock dan Vanguard adalah pemilik saham di ribuan perusahaan global. Ini bukan bukti konspirasi, melainkan praktik investasi normal.
Mengapa Kita Tetap Harus Waspada?
Terlepas dari dramatisasi narasinya, Bennix menyuarakan hal yang relevan: pentingnya kedaulatan digital dan perlindungan data nasional. QRIS bukan hanya alat bayar, tapi juga infrastruktur yang menyimpan data ekonomi rakyat. Dalam konteks global yang mengedepankan data sebagai aset strategis, Indonesia memang harus melindungi sistem ini dari dominasi luar.
Negosiasi dengan negara besar seperti Amerika Serikat selalu berisiko melibatkan tekanan agar membuka pasar lebih luas. Maka, diplomasi Indonesia harus kuat, cerdas, dan berbasis fakta.
Kolaborasi, Bukan Isolasi
Sebagaimana Bennix sarankan di akhir videonya, solusi terbaik bukan menutup pintu bagi Visa dan Mastercard, melainkan memastikan mereka ikut bermain di aturan lokal. QRIS bisa dibuka untuk sumber dana dari bank, dompet digital, bahkan kartu kredit global. Ini akan menjaga keberagaman sistem tanpa mengorbankan kedaulatan data nasional.
Penutup: Kritik, tapi Tetap Rasional
Narasi Bennix, meski penuh semangat dan dramatis, mencerminkan kegelisahan yang wajar: Indonesia jangan jadi korban sistem keuangan global yang tak adil. Namun, untuk benar-benar kuat di percaturan digital, kita butuh lebih dari sekadar semangat. Kita perlu kebijakan yang adil, teknologi yang terbuka, dan narasi yang didasarkan pada data, bukan hanya emosi.
QRIS adalah jembatan. Mari pastikan semua pihak bisa menyeberanginya dengan adil.
Leave a Reply