JIL Edisi Indonesia
Urgensi Islam Mazhab Indonesia
Oleh Abd A’la
Islam dapat berkembang terus di bumi Nusantara karena yang dikedepankan sejak awal adalah coral Islam yang sejuk, ramah, dan mampu berdialog dengan tradisi dan budaya lokal. Beberapa studi menunjukkan, Islam yang datang pertama kali di Nusantara adalah Islam sufistik yang mampu menyapa dominasi mistik yang banyak dianut masyarakat Nusantara melalui strategi dan pola penyampaian yang juga akrab di kalangan mereka. Sejarawan Merle Ricklefs menyebutnya sebagai agama sintesis mistik (mistic syntetism). Dengan demikian, masyarakat Nusantara dapat menerimanya tanpa suatu resistensi berarti.
SKB dan Mitos Islam Moderat
Oleh Hatim Gazali
Karena kemunculannya yang demikian, SKB—walau tidak dikenal dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia—memberikan peluang memunculkan kekerasan dan konflik sosial. Ketika MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap JAI, sejumlah kekerasan dan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah dan rumah-rumah pengikut Ahmadiyah berlangsung semarak. SKB ini potensial disalah-gunakan untuk melakukan kekerasan di Tanah Air. Dia bisa dijadikan sebagai licence to kill oleh sebagian kalangan yang ekstrem.
Menghargai Kaum Difabel
Oleh Slamet Thohari
Di Alqur’an banyak dijelaskan bahwa perbedaan itu biasa, lumrah dan memang sudah titah. Tapi memang selalu saja datang orang-orang “kafir” yang anti terhadap titah Allah. Allah menganalogikan mereka sebagai orang yang “tertutup” atau “kafara”. Dalam surat al-Baqarah ayat 117 dan al-Anfal ayat 22 disebutkan bahwa orang-orang kafir adalah orang yang buta, tuli, dan bisu. Tentu bukan secara fisik, akan tetapi sebagai analogi untuk orang-orang yang tertutup: tidak mau mendengar dan melihat kekuasaan Allah dan Islam yang damai. Jadi “buta” menurut Alquran adalah mereka yang angkuh, egois, dan tidak bisa menghargai keragaman sebagai bagian kekuasaan Allah.
Salahkah Geert Wilders? Tanggapan untuk Tulisan Ulil Abshar-Abdalla “Tentang Film ‘Fitna’”
Oleh Taufik Damas
Ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis cukup banyak yang membenarkan pandangan Wilders. Sebagian muslim menepisnya dengan berbagai cara. Antara lain dengan mengatakan bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis “negatif” tidak dapat dipahami begitu saja: jika ayat, maka tidak boleh dipahami secara religious illiteracy; jika hadis, maka dapat dipastikan (atau dianggap) tidak sahih.
Ahmadiyah dan Islam Demokrat
Oleh Saidiman
Kesimpulan mengenai kompatibitas antara Islam dan demokrasi bukan sesuatu yang mudah. Dunia Islam dikenal sebagai lahan subur kebangkitan agama atau religiositas pasca runtuhnya komunisme. Kebangkitan agama ini muncul di semua negeri berpenduduk Muslim. Bagi banyak kalangan, kebangkitan agama adalah alamat buruk bagi demokrasi. Tetapi sesungguhnya hal ini tidak akan menjadi persoalan jika agama tidak diposisikan sebagai lawan bagi demokrasi.
Reportase Diskusi dengan Irshad Manji: Kaum Moderat adalah Bagian dari Persoalan
Oleh Lanny Octavia
Manji menilai bahwa pembedaan antara Muslim ektrimis dan moderat tidaklah begitu berguna. Baginya, alih-alih memecahkan masalah, kaum Muslim moderat sendiri adalah bagian dari permasalahan. Hal itu karena meskipun mengecam terorisme, mereka sama sekali tidak mengakui adanya peran agama dalam kasus tersebut.
Islam Tanpa Fatwa Majelis Ulama
Oleh Novriantoni
Makanya, Manji tak habis pikir. Bagaimana mungkin umat Islam non-Arab yang 87 % harus terus menerus inferior dan menjadikan diri mereka satelit dari corak Islam-Arab yang 13 % saja dari total populasi muslim dunia? Di Indonesia, ironi itu kini nyata dari sikap Majelis Ulama Indonesia dan banyak kelompok Islam yang begitu peduli terhadap fatwa Saudi dan negara-negara OKI dalam perkara Ahmadiyah.
Kuasa Normalisme dalam Agama dan Negara
Oleh Slamet Thohari
Banyak penelitian sudah dilakukan, bahwa tidak selamanya agama menjadi senjata pembunuh demokrasi. Namun, kerapkali agama ditemukan menjadi modal sosial pendukung demokrasi itu sendiri. Namun agama yang bagaimana? Agama yang transformatif tentunya; agama yang punya daya dorong untuk perubahan sistem masyarakat agar mampu mengakomodir segala hak manusia: hak eknomi, sosial dan budaya.
Tanggapan Terhadap Doktrin Ulil Abshar Abdalla Tentang Doktrin-doktrin yang Kurang Perlu dalam Islam
Oleh KH. Afifuddin Muhajir
Yang tidak sah adalah melakukan tindak kekerasan dan arogansi atas nama agama baik secara fisik maupun psikis. Tukar menukar pengalaman dan saling belajar di antara para pemeluk agama tidak dilarang, bahkan perlu. Yang dilarang adalah tukar menukar prinsip dan mengorbankan substansi keberagamaan yakni ketundukan dan kepasrahan pada ketentuan Tuhan.
Diskusi Hari Pertama Ulang Tahun JIL ke-7 Agama dan Kebebasan: Dapatkah Bersanding-berdamping?
Oleh Malja Abror
Kang Husein menyimpulkan bahwa (keyakinan) agama adalah keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ketaatan dan ketundukan total kepada-Nya; keyakinan akan adanya balasan dan pertanggungjawaban di hari akhir. Karena itu, agama (al-din) bersifat sangat personal dan tersembunyi. Maka terhadap agama dengan pengertian seperti ini, tidak ada kekuasaan apa pun, baik itu institusi atau orang, yang bisa melakukan intervensi atasnya.