JIL Edisi Indonesia
Diskusi Hari Kedua Ulang Tahun JIL Ke-7 Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Perspektif Legal-Formal
Oleh Saidiman
Secara doktrinal, agama mengkampanyekan keselamatan, kebahagiaan, dan perdamaian. Tetapi pada saat yang sama ia bisa muncul dengan wajah yang garang dan penuh kekerasan. Dalam konferensi tentang perdamaian dan HAM untuk memperingati 950 tahun kota Nuremberg, disimpulkan bahwa pesan perdamaian dan kasih sayang agama dapat didistorsi menjadi instrumen kebencian dan konflik.
Rendah Diri Kaum Wahhabi
Oleh Saidiman
Belakangan, ciri-ciri rasa rendah diri seperti dikemukakan Gus Dur itu mudah ditemui dalam praktik fatwa sesat, pengusiran, teror, dan pembakaran rumah-rumah kelompok keagamaan di Indonesia yang mereka anggap sesat. Tentu saja mereka tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan. Meski terus sesumbar mewakili aspirasi kelompok mayoritas umat, kenyataannya mereka segelintir saja.
Salah Kaprah Fitna
Oleh Saidiman
Harus diakui bahwa memang ada segelintir orang Islam yang melakukan dan mempropagandakan kekerasan dengan dalih agama, tetapi itu adalah fenomena umum di setiap agama. Yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi masalah terhadap fenomena kekerasan agama yang dilakukan oleh segelintir penganut agama tersebut, bukan dengan memberangus eksistensi agama secara umum.
Mengapa Justifikasi Agama
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Yang menarik adalah bahwa justifikasi dibutuhkan oleh manusia, karena dia mengandaikan adanya suatu standar tertentu. Kita bertanya tentang boleh-tidaknya melakukan tindakan tertentu karena sebetulnya di luar sana kita mengandaikan adanya semacam plafon moral tertentu yang menjadi semacam standar. Biasanya seseorang melakukan penalaran berdasarkan standar-standar itu.
Poligami, Monogami, dan Kontradiksi Modernitas
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. Saya tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi saya, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri.
“Fundamentalis Moderat” di Timur Tengah
Oleh Sumanto al Qurtuby
Menarik karena dalam meraup simpati rakyat, mereka meninggalkan cara-cara klasik khas Islam fundamentalis yang penuh dengan slogan-slogan beraura agama dan “berbau surga” ke taktik dan strategi simpatik yang penuh dengan visi humanisme dan populisme sesuai dengan kebutuhan masyarakat di tingkat basis seperti isu ekonomi, keadilan sosial, kesejahteraan, kemerdekaan beraktivitas dan berpikir, hubungan sosial, dan sebagainya.
Madina, Ahlan wa Sahlan!
Oleh Hamid Basyaib
Madina boleh dikata memenuhi maksud kehadirannya, meski niat itu dirumuskan seolah-olah Islam adalah agama minoritas di Indonesia. Yaitu menyajikan jenis Islam yang “memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk bergaul secara sehat dengan beraneka ragam keyakinan lain, realitas sosial-politik baru, serta unsur-unsur budaya setempat, di manapun agama ini hidup dalam jiwa dan perilaku pemeluknya.”
Ibn Khaldun dan Sejumlah Observasinya
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Tetapi, satu hal yang ingin saya sebut adalah bahwa peradaban Islam pada saat keemasannya tidaklah seperti dibayangkan oleh kaum Islamis “modern” atau pengusung ide khilafah, yakni peradaban yang seluruhnya bertumpu pada syariat Islam, fikih, dan aturan agama yang ketat.
Dakwah Versus Penyesatan
Oleh Anis Masduki
Sikap MUI yang hendak memberantas pemikiran dan keyakinan yang tak sesuai selera mereka, dengan memakai negara, hanya akan menyisakan sejarah kelam yang mungkin berdarah-darah. Dakwah Islam jauh dari kenyataan itu. Penghakiman dan penghukuman tak jarang jutsru kedok dari kegagalan dakwah. Ia menjauhkan diri dari rasa rendah hati dan kesanggupan introspeksi.
Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu.