Kilas-Balik Memburu Perjumpaan (2): Perlawanan Dendang Rhoma Irama

Sumber: fokusjabar, 03-01-2015

Sukses tak hanya butuh proses, namun juga misteri! Seumpama bayangan, jika dibiarkan sukses itu tak pernah henti menggoda. Sebaliknya, saat terus dikejar, seolah selalu saja menjauh Oma Irama pun lalu hadir berduet dengan (alm) Veronica mantan pemain organ “The Beach Girls”, yang kemudian jadi isterinya. Namun dominasi pasar duet Muchsin dan TitiekSandhora, masih sulit dipatahkan! Peringkat mereka tidak tergoyahkan kehadiran Oma Irama dan Inneke Kusumawaty, Lily Junaedhy, maupun dengan Ellya Khadam.

Sebaris duet lainnya bermunculan, seperti (alm) Onny Suryono & Tutty Subardjo, (alm) DickySuprapto & (alm) Suzanna, (alm) Alfian & Tetty Kadi, serta Didi Yudha & Anieta Tourisia. Empat album pop Oma Irama dengan Jopie Item dan Zaenal Combo, juga berlalu begitu saja. Salah satu lagunya yang sering mengudara di RRI Palembang berjudul, “PantaiBestgy”. Memang reputasi Oma Irama belum diperhitungkan. Padahal, Oma berpotensi sebagai penyanyi pop dengan keapikan suaranya. Kemenangan Oma di “Festival Pop Singers” Asia Tenggara 1972 di Singapore, menggantikan (alm) DeddyDamhudi, merupakan pembenaran atas potensinya.

Oma merebut juara pertama, saat berlagu “I Who Have Nothing” nyanyian Tom Jones dan “Jangan Ditanya” tembang lawas karya peninggalan (alm) Ismail Marzuki. Pada saat bersamaan, Wiwiek Abidin memenangi juara pertama untuk penyanyi wanitanya. Tetapi berjaya di arena festival, belum membuka kunci sukses perjalanan karier pop Oma Irama. Tahun 1973 pun waktu saya mendampingi proses rekaman grup band “The Yuda’s” di studio “Remaco” Jakarta, nama Oma Irama belum hangat dalam percaturan bursa artis penyanyi pop di pabrik piringan hitam terbesar se-Asia Tenggara itu.

Pasangan duet dangdut harmonis Oma Irama dan Elvy Sukaesih, menandai sukses kebangkitan Oma Irama bersama “SonetaGrup”-nya. Kehadiran Rita Sugiarto sebagai pengganti Elvy, menguatkan supremasi duet baru di kancah dangdut negeri ini. (Dokumentasi)

Pasangan duet dangdut harmonis Oma Irama dan Elvy Sukaesih, menandai sukses kebangkitan Oma Irama bersama “SonetaGrup”-nya. Kehadiran Rita Sugiarto sebagai pengganti Elvy, menguatkan supremasi duet baru di kancah dangdut negeri ini.
(Dokumentasi)

Nama Deddy Damhudi, Muchsin, Bob Tutupoly dan (alm) Broery Marantika, yang lebih banyak dibicarakan. Di sisi lain, bursa grup band tengah menghangat. Terlebih, dengan polemic rebutan hak cipta lagu “TiadaLagi”, yang melejitkan (alm) Charles Hutagalung dari grup band “The Mercy’s” Medan. Penggugat hak cipta lagunya muncul dari Arany vokalis “The Yuda’s”, grup band asal Riau yang pernah bermukim di Kota Garut. Saya diposisikan sebagai mediator “The Yuda’s” pimpinan Kartisna Yudakusumah, Kepala BRI Cabang Garut.

“The Mercy’s” diwakili rekan Benny Soewandito, yang lebih dikenal dengan nama Bens Leo. Saya ingat tahun 1974, lagu dangdut “Terajana” yang mewarnai film “Melawan Badai” karya (alm) Sofia WD, tidak menjembatani Oma Irama bermain film. Dendang ceria itu, dinyanyikan Jaja Miharja, dengan aksi jenaka dan berkepala gundul. Lagu itu pula ditampilkan Urip Arpan di film “Laila Majenun” karya (alm) Drs Syumanjaya. Bisa dimaknai, sosok dan reputasi Oma Irama belum mengusik nilai jual dalam bisnis dunia film nasional.

Romantika perjalanan kariernya, belum seirama dengan irama ambisi Oma Irama, yang masih harus menaklukkan keragaman irama tantangannya. Barangkali benar, pop tidak berjodoh dengan perburuan karier Oma Irama. Lelaki simpatik kelahiran Tasikmalaya, 12 Desember 1946 ini lalu terpacu memutar baling-baling kariernya ke kancah music dangdut. Tak tahu kenapa, di mass media kini penanggalan kelahiran itu tertulis jadi 11 Desember 1946. Saya merasa tidak salah mencatat. Apa Oma keliru menyebutnya? Entahlah. Itu peristiwa lain saya, di luar beda penanggalan kelahiran (alm) Nike Ardilla.
Semasa kebersamaan panjang dengan sang “mega bintang” itu sejak tahun 1987, saya mencatat penanggalan kelahirannya, 28 Desember 1975. Sepeninggal Nike, justru 27 Desember 1975 orang mengenal sebagai kelahirannya. Bahkan, pada plat nomer sedan Honda Genio pengantar maut sang bintang pun betulis D-27-AK. Unik, dalam catatan saya penanggalan kelahiran kedua “super star” itu lebih satu hari. Tak tahu siapa yang keliru? Di luar perhitungan, Nike Ardilla jadi “mega bintang” fenomenal. Saya pun tak pernah mengira, bakal lahir penyanyi bergelar Raja Dangdut bersosok Rhoma Irama.

Kalaupun pernah mencuat sebutan Ratu Dangdut untuk Ellya Khadam, tetapi masih kurang permanen. Keunikan lain pun berulang. Tahun 1975 bukan hanya momentum kelahiran (alm) Nike Ardilla. Tahun itu pula historis penting bagi kelahiran paradigm baru dunia music dangdut Indonesia, yang ditandai sukses fantastis lagu “Begadang”. Serta merta sukses itu melahirkan kejutan reputasi Oma Irama dan “SonetaGrup”, yang dibentuknya 13 Oktober 1973. Saat itu formasinya terdiri dari Oma Irama (lead vocal gitar), Wempy (rhythm), Nasir (Mandolin), Riswan (keyboard), Hadi (suling), Yopi (Tamborin), Pongky (bass guiar) dan Chovif (gendang). ***

Yoyo Dasriyo

(Bersambung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *