Kilas-Balik Memburu Perjumpaan (20): Mengunci Perbincangan Di Hotel “Priangan”
Sumber: fokusjabar, 22-01-2015
Saya menilai tematis film Rhoma Irama monoton. Selalu saja berkisar rintangan percintaan. Kenapa begtu? “Saya anggap taktik saja! Yang penting, misi dakwah Islamiah dan musik dangdut tetap ada didalamnya” balas Rhoma tenang. Kenapa tidak membuat film serial saja, sebab tokoh cerita filmnya tentang “Rhoma” dan “Ani”? Rhoma manggut-manggut. “Sekarang pun film-film saya sudah bisa dikatakan ‘semi serial’. Memang saran anda cukup baik sekali” katanya lagi sambil tertawa kecil.
Mengapa pemeran tokoh ibu Rhoma, selalu berganti-ganti? Film “Penasaran” menampilkan Netty Herawaty sebagai ibu Rhoma. Di film “Gitar Tua”, “Darah Muda”, “Berkelana” “Begadang”, maupun “Pengabdian”, tokoh ibu diperani Chitra Dewi. Lebih bagus, kalau dtetapkan seorang pemeran ibu. “Wah terimakasih atas pengamatannya. Saya memang suka kesulitan menetapkan pemeran ibu, sebab karakter perannya berlainan”. Dalam film “Raja Dangdut”, pemeran ibu kembali dimainkan Nety Herawaty, sebagai ibu yang masih dipengaruhi sikap feodalistis.
Kenapa unsur laga selalu mewarnai film-filmnya? Rhoma Irama tertawa. “Apa iya.? Saya pikir itu untuk memberi gambaran saja, bahwa kebenaran selamanya ada di atas kebatilan” jawabnya taktis. Memang, saya pernah heran, waktu nonton film “Berkelana”. Rhoma mengingatkan pencopet, bahwa meminta itu lebih mulia dari pada mencuri. Adegan lainnya, justru Rhoma yang mencuri tas Ani. Kenapa? “Nah itu hukumnya sama dengan makan daging babi!” balasnya cepat.
Rhoma menguraikan. “Di dalam hadis juga disebutkan, dihalalkan makan daging babi jika suasananya memang meminta. Dalam film juga, Rhoma mencuri tas karena terpaksa, untuk mencari biaya pengobatan temannya, yang hampir menemui kematian” ungkapnya tanpa keraguan. Ketika dibincang tentang musik “Soneta” dalam filmnya, yang belum menguatkan karakteristik filmisnya, Rhoma mengaku jujur. ”Secara filmis seharusnya tidak terjadi seperti itu. Tapi karena saya main film ini membawa misi musik dangdut dan syiar Islam, saya terpaksa harus mengalah dari segi filmisnya. Terus terang.untuk segi filmisnya, film saya belum bisa bicara apa-apa deh.”
Sepi makin menjajah malam. Suasana di sekitar Hotel “Priangan” larut ke dalam sunyi. Saya mengunci perbincangan yang melebar dan menghangat.“Kalau nggak terlalu malam, saya mau ketemu Rita Sugiarto! Sebentar saja, tapi apa mungkin sudah tidur,..” kata saya sebelum pamit. Rhoma berbaik hati. “Mau ketemu Rita? Boleh.., sebentar saya panggil dia!” sambutnya sambil bergegas masuk ke dalam ruangan hotel itu. Sesaat saja, Rita yang bergaun tidur, muncul mengumbar senyum. Rhoma menyaksikan perjumpaan itu dari kejauhan.
Lewat tengah malam seperti itu, saya risi untuk berbincang panjang. Hanya menyempatkan berfoto saja. Kami bergegas pamitan. Ayunan sepatu menuruni tangga, terdengar berirama memecah kesepian hotel. Tasikmalaya sudah lelap tertidur, dalam peluk kesenyapan malam. Bunyi motor Vespa seolah mengalun lirih. Iramanya mengusik kehidupan di kebisuan lewat tengah malam. Desah angin malam yang merusak penampilan, dibiarkan menampar-nampar wajah.
Alam Tasikmalaya seakan turut berdendang, melagukan keceriaan suasana hati yang masih berbunga-bunga. Betapapun, lolos dari penjagaan dan kawalan ketat untuk memburu Raja Dangdut, menerbitkan suka hati dalam profesi yang tak bisa ternilai. Terlebih, karena di luar waktu bertamu di hotel itu, Rhoma Irama dan Rita Sugiarto, masih komunikatif. Kehangatan sikap mereka, memanjangkan romantika dan kedalaman cerita tentang kedekatan.***
Yoyo Dasriyo
(Bersambung)
Leave a Reply