Kilas Balik Memburu Perjumpaan (22): Hampir Dua Jam Menanti Ratu Dangdut
Sumber: fokusjabar, 25-01-2015
Pikir saya, lain kali saja. Itu hanya kunjungan spekulasi, dari langkah yang tersisa di Jakarta. Saya terlupa menanyakan, batas waktu mereka latihan.Tak sempat juga bertanya tentang jadwal latihan rutin “Soneta Grup”. Sedan perlahan melaju dari depan rumah sang “Kaisar Dangdut” Indonesia. Namun pikiran masih belum beranjak dari tempat yang menjanjikan kenyamanan itu. Benarkah titipan pesan tertulis di balik kartu nama itu, disampaikan ke tangan Rhoma?
Kalaupun benar, pesan itu pun dimungkinkan harus menunggu hingga latihan musik usai. Resiko kunjungan tanpa kabar ke rumah artis, makin menguatkan pembenaran, bahwa sebagai “pemburu” – perjumpaan itu lebih berpeluang tergelar di luar kota. Di balik pergelaran pentas musik. Atau, di lokasi syuting film. Kedekatan yang pernah terbangun dengan seorang artis waktu berada di daerah, belum menjamin kemudahan perjumpaan lain di Jakarta. itu pelajaran berharga, dari peristiwa di hari-hari kemarin.
Pertemuan yang tertunda dengan Rhoma Irama di rumahnya, bisa dipahami karena perbedaan kepentingan. Saya harus memahami dan menghargai kesibukan orang lain. Berbeda dengan peristiwa “luka hati”, yang pernah menggores, saat tandang ke rumah Elvy Sukaesih. Suatu pagi, medio Juli 1978, seorang diri saya melacak rumah “umi” Elvy di Jl Dewi Sartika, Gg Usaha, Jakarta Timur. Seorang wanita muda mempersilakan saya menunggu di teras rumah Elvy, setelah identitas profesi saya dikenalinya.
Saya mulai menempati kursi rotan yang tergelar di teras terlindung tirai itu Pkl 09.45. Dari balik kaca, membayang sosok tamu lain di dalam ruangan rumah. “Mas tunggu aja dulu. Masih ada tamu…” kata pembantu rumah Elvy. Namun, penantian itu rupanya harus memanjang. Saat tamu sudah lama pamitan, saya masih juga berada dalam “daftar tunggu”. Kegelisahan bergalau kesal pun memanggang. Seorang tamu lain yang baru datang, menunggu hingga sempat terlelap di kursi. Saya tersentak. Jarum jam tangan menunjukkan Pkl 11.30. Hampir dua jam.
Di ujung penantian itu, saat memutuskan pamit, perempuan tadi hadir lagi mengantar senyum. “Silakan masuk, Mas….” Sungguh, mengering sudah gairah jumpa Elvy Sukaesih. Seorang diri duduk di ruangan tamu. Sunyi. Tak ada suara. Masih sempat termangu. Lurus dari arah pandang saya, sebuah pintu kamar tertutup rapat. Dari balik pintu ini, Elvy Sukaesih kemudian menampakkan dirinya. Manggut dan tersenyum. Di dalam diri saya masih berperang menumpas rrasa kesal dari penantian panjang waktu di teras. “Mbak Elvy, tadi saya nunggu di luar hampir dua jam…!”
Tak ada kata maaf tergetar dari bibirnya. Ekspresi kekagetan “Ratu Dangdut” pun luput. Elvy hanya senyum kecil sambil berucap datar. “Oh ya…!” katanya dingin. Saya terdiam. Menarik napas. Memaksa menghalau bayangan kesal, yang pernah menyiksa. Belum pernah saya mendapat perlakuan seperti itu dari sejumlah artis musik dan film terdahulu. Rumah Elvy Sukaesih bersaksi, tentang peristiwa tak sedap, yang merasuk ke dalam relung ingatan. Berulangkali saya mencoba membaca latar sikap itu, agar bisa memahami problem orang lain. Namun Elvy bergeleng kepala.
Tidak ada alasan kesibukan apapun. “Saya kira tadi lagi istirahat …” pancing saya. “Ah…nggak! Saya ada di kamar…“ Elvy kembali tersenyum. Penyanyi dangdut kampiun kelahiran Cirebon, bernama asli Elsye Sukaesih ini, pandai mencairkan kebekuan suasana. Tutur ceritanya lalu mengalir akrab. Elvy luwes dan komunikatif. Tanpa ragu, “umi” pun menanggapi gerilya modernisasi pembaharuan musik dangdut yang dikomandoi Rhoma Irama. “Saya dengar musik ‘Soneta’ terlalu banyak unsur melodinya, kayak musik rock. Jadinya lagu Oma atau Rita yang mestinya sedih itu kabur…” Sesaat Elvy terdiam.
“Mungkin maksud Oma untuk memodernisir dangdut, tapi jadinya begitu… Saya ‘nggak ngerti!” katanya lagi. Elvy menilai lagu dan musik dangdut “Soneta” lebih baik, seperti era lagu “Begadang” atau “Darah Muda’. “Belakangan sih sudah lari dari kemelayuan. Sudah menyerupai band, cuma nyanyi dangdutnya masih ditolong sama gendang dan suling..” ungkapnya lagi. Elvy yakin, musik dangdut tidak bisa lari ke musik rock, atau musik lainnya. “Musik dangdut itu harus punya keayuan. Dangdut itu harus ayu…” katanya. Maksudnya? “Yaaa.., jangan terlalu rame! Sederhana aja. Pokoknya kayak ‘Soneta’ dulu…” tandas kemudian. Senyum Elvy lalu mengembang. ***
Yoyo Dasriyo
(Bersambung)
Leave a Reply