Perjalanan Seorang Bintang (2): Rhoma, Sebuah Dinasti

Sumber: Harian Kompas, 21 Juli 1985

(Tulisan sebelumnya)

Pada mulanya, Oma Irama seorang pemuda desa. Dia bercinta dengan Ani, namun mendapat tantangan keras dari ayah sang gadis. Dalam pandangan ayah Ani, Oma adalah hanya pemuda malas, kampungan, melarat.

Akhirnya Oma meninggalkan desanya. Dia ke Jakarta untuk mengembangkan bakatnya dalam bermusik, sekaligus untuk mebuktikan pada ayah Ani, dia tidak seburuk yang diduga. Di Jakarta ini pula, melalui penampilan di Jakarta Fair, Oma memanjat tangga yang mengantarkannya menjadi bintang terkenal. Dan dengan lapang hati, ia memaafkan ayah sang gadis.

Lalu? Suatu batas yang kabur, antara realitas seorang Oma Irama yang lantas menjadi Rhoma Irama, dengan citra yang terbentuk atas dirinya di layar putih, panggung. Kisah di atas diambil dari film pertamanya, Oma Irama Penasaran (1976). Film-filmnya kini telah 16 Judul, selalu menampilkan dirinya sebagai Oma, orang baik-baik, pahlawan untuk keseluruhan cerita.

Pada Rhoma seorah hendak disatukan antara realitas dengan fantasi, impian. Dan ini yang mengaksetuasi sosok keseluruhannya, sebagai pahlawan kelas bawah.

Kisah pribadinya sendiri, bertema remaja jalanan yang berkeliaran di bilangan Tebet, sebelum sukses seperti sekarang.

Rhoma lahir di Tasikmalaya Rabu, 11 Desember 1946, putra kedua dari dua belas bersaudara. Ayahnya seorang tentara, Rd Burhah Antawirya, meninggal dunia tahun 1958 ketika Rhoma masih kelas V SD. Pindah ke Jakarta bersama keluarga, Rhoma bersekolah sampai perguruan tinggi, yakni di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus.

Tak sampai selesai, sejak SMA sekolahnya memang sudah terbengkelai karena kegemarannya bermusik. Hanya tadinya ia lebih pada lagu-lagu pop dan rock barat, sebelum akhirnya beralih ke musik Melayu. Sementara di akhir 1960-an itu, agaknya juga momentum yang cukup, untuk alternatif lain di luar pop dan rock barat, yang melaju pesat begitu kendali Orde Lama putus.

Tahun 1968 dia bergabung dengan Orkes Melayu Purnama, di sini bertemu Elvy Sukaesih yang dalam beberapa hal telah mengembangkan satu zat lain pada irama Melayu. Mungkin terkesan di sini, berikut kemungkinan merangkul publik lebih luas, Rhoma bertekad melakukan semacam pendekatan baru pada dangdut…. “Dangdut dipandang dengan sebelah mata. Ini menjadi cambuk bagi kami. Dan kita bertaktik, karena waktu itu rock yang diterima. Kita pelajari keistimewaan rock. Yaitu dinamis, kapasitas stroom, lighting gemerlapan,” kata Rhoma Irama.

Maka sejak 13 Oktober 1973 itulah berkibar panji-panji Soneta, dengan personil sekarang selain Rhoma (gitar melody), juga terdiri: H. Riswan (keyboard), H. Wimpy (gitar), H. Popong (bas), H. Afif (drum, gendang), H. Hadi (suling bambu), H. Nasir (mandolin), H. Ayub (tamborin, perkusi), Farid (saxophone), Dadi (terompet), dan Yanto (saxophone).

Pada perkembangannya seperti sekarang, Soneta merupakan kelompok dengan perlengkapan lampu, tata suara, bahkan sampai panggung terlengkap di Indonesia. Di pentas, dengan busana gemerlap, seperti lars, asap es kering, konfigurasi menyala bertulis Soneta, hadir Soneta seperti dongeng 1001 malam, mereka sajikan impian….

***

Dengan sukses Soneta, waktu itu Rhoma tinggal di bilangan Kebon Baru Tebet, yang dari luar kesannya seperti kastil. Dia tinggal bersama isteri yakni Veronica yang dinikahi tahun 1972, berikut tiga putra yaitu Debby (13), Fikri (9) dan Romy (8). Tapi itu berakhir dengan perceraian sekitar Mei tahun ini, setelah sekitar setahun sebelumnya Rhoma menikah dengan Ricca Rachim. Apa kata Rhoma mengenai ini?

“Saya sadar sebagai milik masyarakat. Harus berbuat sesuai dengan norma-norma masyarakat. Tapi ada hal yang amat prinsipil yang masyarakat tidak tahu, mengapa saya harus cerai dan kawin lagi. Kecamlah saya, tapi jangan dua wanita ini. Ini pertanggungjawaban saya,” ujar Rhoma dalam.

***

Mau ke manakah sang bintang ini? Adakah peristiwa yang berhubungan dengan rumah tangganya itu bakal berpengaruh pada kariernya?

Rhoma menjawab dengan mengutip ayat-ayat Al-Quran. “Sehingga pada hakikatnya ada daya manusia. Saya tak pernah memikirkan karier saya. Saya serahkan pada Allah. Apa yang saya miliki dari Allah. Dan hanya Allah yang bisa mengambil,” jawab Rhoma.

Yang dimiliki Rhoma saat ini agaknya bisa berarti, kebesaran yang tampaknya belum surut. Pertunjukan seperti di Tanjungkarang itu salah satu bukti. “Pertunjukan ini berat. Di satu tempat, tiga malam berturut-turut. Beratnya, bisakah menyedot penonton memenuhi lapangan setiap malam. Pertunjukan kami biasanya semalam atau paling dua malam,” kata Rhoma serius di meja makan, sebelum dijemput menuju tempat pertunjukan.

Dan Rhoma bisa. Hanya Rhoma Irama mampu mengumpulkan massa setiap malam dengan sekitar 40.000 penonton, memenuhi lapangan bola.

Dalam perjalanan menuju lapangan, bis yang ditumpangi rombongan Soneta terpaksa merambat pelan dengan pengawasan ketat polisi. Massa menunggu du jalan yang hendak dilewati, melambai-lambaikan tangan.

Pengawalan ketat, kadang berbau protokoler, juga menjadi keseharian Rhoma. Seorang manajer, sekretaris, tak ketinggalan pengawal pribadi seorang jago silat Cimande, mendampingi Rhoma. Dalam perjalanan keluar semacam ke Tanjungkarang, masih ditambah lagi pria yang selalu berada di dekat Rhoma, mengenakan jaket hitam dengan pinggang seperti ada benda menonjol. Manajer Rhoma, H. Benny Muharram kakak tertua Rhoma, juga selalu disertai pengawal tinggi besar. Isteri Rhoma, Ricca Rachim, disertai sekretaris pribadinya sendiri.

Ini semua, berikut latar belakang di mana Rhoma menaungi hidup banyak orang melalui usaha pertunjukan musik bersama Soneta, lantas Soneta Records serta Rhoma Film mengesankan Rhoma mirip “bapak pelindung”. Dari semua unit usahanya, paling sedikit 70 tenaga kerja berlindung pada Rhoma.

Dengan kebesaran itu, keluarga besar Rhoma Irama lantas seperti sebuah dinasti. Menurut Rhoma sendiri, ibundanya masih memiliki jalur sedarah dengan Pangeran Jayakarta. “Pangeran Jayakarta, kakak yang keberapa begitu,” tambah Benny Muharram. Sedangkan almarhum ayahnya masih tergolong ningrat Sumedang.

Orang tuanya yang berputra 12 orang, lalu benar-benar menjadi keluarga besar. Cucu dari ibunya kini berjumlah 32 orang. Sering dalam pertunjukan-pertunjukan bisa disaksikan rombongan Soneta memasuki lapangan dengan iring-iringan beberapa mobil. Selain rombongan pemusik, juga turun wanita-wanita berkerudung, anak-anak kecil, inilah keluarga Pak Haji (sebutan Rhoma sehari-hari).

***

Dengan pijakan yang jelas, sikap, sampai lirik lagu yang jelas ditujukan kepada penggemar golongan mana, menjadikan Rhoma dengan kebesarannya tetap menyatu dengan publiknya (kalangan bawah). Identitas Rhoma tetap, semacam pahlawan dari dunia bawah sadar dari publik kelas bawah atas kerinduan-kerinduan kejayaan kalangan ini.

Dangdut oleh kalangan yang melecehkan, dulu diidentikkan dengan kelas bawah, kampungan. Tapi bersama Rhoma dan Soneta, dangdut berjaya. Ini adalah kejayaan identitas kelas bawah, yang kampungan.

Kembali kesibukan di ferry, kapal penyeberang antara pelabuhan Bakauheni-Merak meningkat. Satu bis perlu pengamanan khusus dari serbuan penggemar. Raja dangdut Rhoma Irama dalam perjalanan ke Jakarta, usai pertunjukan di Bandarlampung.

(Tammat)

3 Responses to Perjalanan Seorang Bintang (2): Rhoma, Sebuah Dinasti

  1. zul says:

    Hebat legenda and pahlawan musik dangdut.cuma 1 di dunia

  2. hamsah says:

    luar biasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *