Kilas Balik Memburu Perjumpaan (25 – selesai): Tangis di Muara Kasih Bunda
Sumber: fokusjabar, 30-01-2015
BUKAN hanya butuh waktu banyak untuk membuka harta karun negatif film itu. Tingkat kesabaran pun harus memenangi persaingan dengan suasana hati. Baru mengamati kembali tiga rol negatif film hitam putih, sekian waktu berlalu dan larut ke dalam angan manis. Saat ini belum terpikir mendalami kemungkinan produksi film tentang romantika memburu perjumpaan itu, karena pertemuan dengan Rhoma Irama belum dijajagi. Mungkin saya hanya menawarkan gagasan, untuk memenuhi kepuasan dan kerinduan penggemar berat Rhoma Irama.
Di balik kehadiran filmnya, dipertaruhkan obsesi mewujudkan wajah baru film drama musikal, yang bisa menguatkan keragaman perfilman nasional kekinian. Terlebih dengan identitas film Rhoma, yang senantiasa memuat syiar Islam dan musik dangdut. Film memang bisa dijadikan sebagai media dakwah yang paling efektif. Media film pun sangat berperan membangun pencitraan musik dangdut, di tengah terpaan kenakalan bisnis yang mendagangkan kemasan dangdut berselera rendah.
Rhoma sebagai pelopor pembaharu dangdut, pendongkrak martabat dangdut dari kelas pinggiran ke level gedongan, jangan terkesan membiarkan keruntuhan kembali citra dangdut yang sudah tepandang. Orang tak bisa menutup mata, ketika panggung hiburan menggelar musik dangdut. Di depan pandang seringkali tergelar, musik dendang yang diracik dengan kreasi musik tradisional, lebih memanjakan tingkah penyanyinya. Tata busana minim dan gaya konotatif, masih jadi persoalan klasik yang mengganjal penegakan citra dangdut.
Lagu ceria dengan hentakan taluan gendang, justru membangkitkan penyanyinya beraksi genit bagai ‘Kuda Lumping’. Dangdut selalu diidentikkan dengan joget liukkan pinggul. Mereka tak perduli lagi seruan Rhoma, dalam syair lagunya di awal kebangkitan dangdut: ‘Joget tidak dilarang/Tak dilarang/ Asal ada batasnya. Berjoget boleh saja/ Boleh saja/Asal ada batasnya…’;. Dengan sajian musik apik, dan kesungguhan penyanyinya, dangdut di panggung hiburan pun, sebenarnya mampu menyamnkan pandang dan hati penontonnya.
Bahkan tengah hari di kawasan Cikajang, Garut, pandangan saya berkaca-kaca. Kesedihan mengiris, saat seorang penyanyi anggun menembang lagu ‘Muara Kasih Bunda’ nyanyian Errie Suzan. yang dianggap melawan arus suasana. Kecenderungan dangdut di panggung hajatan yang hanya berpamer goyang pinggul, seolah menenggelamkan bangunan lagu dan syair seindah ‘Muara Kasih Bunda’. Saya prihatin, di ‘pesta’ pernikahan, penyanyi dangdut berlomba merebut ‘saweran’.dengan pamer aksi pentas yang norak.
Alasannya, karena hasil saweran jauh lebih besar dari pada imbalan jasa sebagai penyanyi…Mereka tak mau perduli, meski di Hotel ‘Sayoy Homan’ Bandung, pernah tampil pesona duet Deddy Mizwar dan Aa Gatot Brajamusti (Ketua Umum DPP Parfi) berlagu ‘Jatuh Bangun’. Itu bukti pengakuan, tentang gengsi dangdut yang terpandang. Keindahan kostum pentas seperti Soneta Femina, Cici Paramida, Ike Nurjanah, Camelia Malik, Itje Tresnawaty, maupun Evy Tamala, tak mengusik kalangan penyanyi dangdut di pentas hiburan.
Celakanya, kondisi semacam itu, terpicu lagi dengan tayangan kontes dangdut di televisi swasta, yang menularkan bermacam aksi liukan pinggul… Kenyataan itu teguran dan tantangan bagi pelaku pencitraan dangdut, untuk mengamankan martabat dangdut yang dibangun Rhoma Irama. Tanpa harus bergaya ‘Soneta’, keragaman kreasi musik dangdut, semestinya turut menegakkan citra dangdut di atas selera rendahan. Rhoma Irama berpotensi menggerakkan insan PAMMI di seluruh pelosok, untuk mengawal sukses gengsi dangdut dari keruntuhannya. ***
(Selesai)
(Yoyo Dasriyo)
Leave a Reply