Nama : R. BENEDICTUS SLAMET MOELYANA
Lahir : Yogyakarta, 21 Maret 1922
Agama : Katolik
Pendidikan : - SD, Yogyakarta
- SLP, Yogyakarta
- SLA, Yogyakarta
- Fakultas Sastra UI, Jakarta (1952)
- Universitas Louvain di Belgia (doktor, 1954)
Karir : - Guru Besar UI (sejak 1958)
- Dosen di UI Jakarta, UGM Yogyakarta, IKIP Bandung, Akademi Penerangan dan Akademi Jurnalistik, Universitas Wolfgang Goethe di Jerman Barat, State University of New York, AS, Nanyang University of Singapore
- Direktur Institut untuk Bahasa & Kebudayaan di Singapura
- Anggota Dewan Kurator Institut of South East Asian Studies di Singapura
Karya : - Nasionalisme sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia
- Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa & Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara
- Menuju Puncak Kemegahan
- Bahasa dan Sastra Indonesia
- Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit
Alamat Rumah : Jalan Ketang-Ketang No. 7, Rawamangun, Jakarta Timur
|
|
R. BENEDICTUS SLAMET MOELYANA
"Hidup saya untuk Majapahit," kata Slametmoelyana. Selama tiga puluhan tahun terakhir, sudah delapan buku tentang Majapahit ditulisnya. Buku terakhir, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, PT Inti Idayu Press Jakarta, 1983, merupakan hasil revisi total terhadap A Story of Majapahit, serta penyempurnaan Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya -- karya- karyanya terdahulu. "Bapak lantas jatuh sakit setelah buku itu rampung," tutur Suminah, istrinya.
Slametmoelyana sebenarnya seorang filolog -- peneliti naskah- naskah kuno. "Kenapa saya menulis sejarah, itu urusan saya," katanya sendiri. Yang pasti, "Saya ini bukan sejarawan." Bagaimanapun, penggemar sepak bola ini telah menjadi orang ketiga yang meneliti Kerajaan Majapahit, setelah R.M.Ng. Poerbatjaraka dan Muhammad Yamin.
Pada paruh kedua 1940-an, Slametmoelyana bergabung dengan Tentara Pelajar Brigade 17, Jawa Tengah. Komandannya waktu itu Martono, terakhir menteri transmigrasi. "Saya ini bapaknya TP. Saya guru waktu itu, sedangkan murid-murid saya ikut TP," tuturnya, mengenangkan masa perjuangan dulu.Slametmoelyana memang pernah jadi guru di sebuah SMP di Solo. Pendidikannya sebagai guru ia peroleh di HIK (Sekolah Guru) Muntilan. "Saya tidak tahu cita-cita saya ketika remaja. Waktu itu saya memasuki sekolah guru karena pertimbangan, setelah selesai bisa langsung bekerja," katanya. Lahir sebagai anak tunggal ini masih berusia enam bulan ketika ayahnya, Somawidjojo, meninggal.
Dalam kariernya sebagai penulis buku sejarah, ia pernah terbentur dengan kebijaksanaan pemerintah. Bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Jawa, 1968, sejak 1971 dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung RI. Ia pasrah dan tidak hendak menuntut. "Terserah pada pemerintah saja," katanya. Namun, perlu diketahui, "Buku itu bukan isapan jempol belaka. Saya mengumpulkan bahannya dari berbagai sumber."
Ayah tujuh anak ini pernah berkata, "Kita belum belajar dari sejarah secara baik. Sekolah-sekolah sekarang menghadapi sejarah sebagai bahan hafalan. Bukan meneliti pelbagai alasan, mengapa suatu peristiwa bisa disebut peristiwa bersejarah."
Untuk Majapahit, Slametmoelyana telah membayar mahal. Sampai 1985, tubuhnya masih agak lemah, akibat sakit pada 1983 itu. Ia diserang tekanan darah tinggi. "Saya terlalu banyak bekerja," katanya. Kata istrinya, Slametmoelyana dulu biasa bekerja sampai pukul 3 dinihari.
|