A | B | C | D | E | F | G | H | I | J | K | L | M | N | O | P | R | S | T | U | V | W | Y | Z

TAUFIK ABDULLAH




Nama :
TAUFIK ABDULLAH

Lahir :
Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Januari 1936

Agama :
Islam

Pendidikan :
-SD (1948)
-SLP (1951)
-SLA (1954)
-Jurusan Sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan UGM Yogyakarta (lulus 1961)
-Universitas Cornell, Ithaca, AS (Ph.D., 1970)


Karir :
-Asisten pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UGM (1959-1961)
-Kepala Bagian Umum Majalah Ilmu Pengetahuan Indonesia (Biro MIPI), Jakarta (1962-1963)
-Asisten Peneliti Leknas LIPI (1963-1967)
-Peneliti Leknas (1967-1974)
-Direktur Leknas LIPI (1974-1978)
-Peneliti, LeknaswLIPI (1978-sekarang)


Karya :
Karya tulis penting:
-Sejarah Lokal di Indonesia, Islam di Indonesia, (ed), Tintamas, 1974
-Gadjah Mada Univ. Press, 1979
-Etos (ed) Kerja dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta, (ed.) LP3ES & Yayasan Obor, 1979
-Trends and Perspectives of Social Science in Indonesia, bersama EKM Masinambow (ed.)


Alamat Rumah :
Komp. LIPI A 4, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan

Alamat Kantor :
LIPI Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan Telp: 511546

 

TAUFIK ABDULLAH


Sejak SD ia rajin dan tekun belajar. "Bukan yang terpandai," kata Taufik Abdullah. "Tapi pokoknya termasuk dalam kelompok papan atas." Posisi "papan atas" tetap didudukinya sampai ia merampungkan studinya pada jurusan sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.

Cinta kepada ilmu mungkin diwarisi Taufik dari Abdullah Nur, ayahnya. Abdullah, ayah tujuh anak itu, memang seorang pedagang, tetapi gemar membaca. Taufik sendiri akrab dengan dunia bacaan, sejak di SMP. Suatu kali, ia mendapat pinjaman majalah luar negeri, yang penuh gambar. Kagum pada keindahan kota-kota besar seperti New York, Berlin, dan London, anak sulung itu berpikir, "Siapa tahu nanti bisa terkenal, dan pergi ke luar negeri."

Belasan tahun kemudian angan-angannya menjadi kenyataan. Dua kali ia mendapat kesempatan memperdalam ilmu di Universitas Cornell, Ithaca, AS. Pertama, 1967, untuk meraih gelar M.A., dan kemudian, 1980, saat menggondol gelar doktor (Ph.D.). Pulang ke tanah air, Taufik memantapkan dirinya sebagai peneliti. Bekas Direktur Leknas-LIPI ini rajin menghadiri berbagai seminar dan pertemuan sejarawan di luar negeri. Ia pernah menjadi wakil presiden Southeast Asian Social Science Association, dan ketua komite eksekutif Program Studi Asia Tenggara. Kini, Taufik tenaga peneliti di LIPI.

Tampaknya ia senang menjadi peneliti, karena tidak terpasung pada birokrasi. Tetapi, menurut pria kelahiran Bukittinggi itu, "Seorang peneliti dituntut untuk berpegang teguh pada etika ilmiah. Karena itu, diperlukan kejujuran, sehingga tercapai integritas intelektual," ujar Taufik. Sikap wajar diperlukan, di samping rasional dan jernih dalam berpikir -- sikap yang bukannya tidak mengundang risiko.

Taufik menganggap sejarawan Indonesia masih terbelenggu pada asumsi-asumsi teoretis maupun primordial. Posisi sejarawan hendaknya netral, dan menjaga jarak dari sasaran penelitian, sehingga dapat memberi makna obyektif terhadap realitas.Dipandang dari segi peranan kaum intelektual, masa Orde Baru, di mata Taufik, terbagi dalam tiga periode. Masa 1966-1974 merupakan periode kreatif-produktif bagi kaum intelektual. Dalam periode itu berbagai masalah strategi pembangunan dibicarakan. Masa 1974-1978 merupakan periode transisi. Di sini, dilihatnya, ada kecenderungan kaum teknokrasi makin dihargai. Yang dihargai, menurut dia, bukan gagasan mereka, tetapi pelaksanaannya. Periode 1978 hingga sekarang, peranan intelektual semakin diambil oleh penguasa. "Akibatnya, kesegaran berpikir berkurang, dan eksesnya merangsang untuk bertindak radikal," kata Taufik.

Taufik menolak pendapat ahli sejarah modern Indonesia dari Prancis, Dr. Jacques Leclerc, bahwa sejarawan Indonesia sering melakukan pembunuhan dua kali terhadap tokoh sejarah bangsanya -- dengan mengucilkannya, karena tidak disenangi oleh kelompok tertentu, dan kemudian bersikap diam terhadap keadaan itu. Kata Taufik, sejarawan memiliki perhatian berbeda terhadap suatu bidang kajian -- yang menyukai dinamika sosial misalnya, tidak bisa dipaksa memperhatikan tokoh-tokoh sejarah.

Menganggap sastra sangat dekat dengan sejarah, ia berpendapat bahwa, "Perang terlalu besar untuk diberikan pada jenderal saja, dan sastra terlalu penting dibiarkan untuk sastrawan saja!" Mengingatkan bahwa sejarawan terkemuka pastilah seorang literer, baginya sendiri novel memperkaya pengertian tentang dinamika dan sejarah.

Sebagai peneliti, Taufik bekerja tanpa terikat waktu. Pulang dari kantornya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, ia meneruskan kesibukan di rumah. "Kadang-kadang, malam Minggu, saya sendirian ke Cipanas, biar konsentrasi," katanya. Termasuk untuk merampungkan buku barunya, Pengantar ke Sosiologi Moralitas. Sekitar 30 karya tulis yang sudah lahir duluan, termasuk Islam di Asia Tenggara (LRKN-LIPI, 1976). Disertasi gelar doktornya, Scholl and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra, diterbitkan oleh Universitas Cornell, 1971.

Menikah dengan Rasida, Taufik ayah tiga anak.

Copyright PDAT 2004

comments powered by Disqus

 


TRY SUTRISNO | TINO SIDIN | TADJUL ARIFIN | TAHI BONAR SIMATUPANG | TAHIR DJIDE | TANRI ABENG | TAPI OMAS IHROMI | TAUFIK ABDULLAH | TAUFIQ ISMAIL | TAUFIQ RUSJDI TJOKROAMINOTO | TEGUH | TEGUH KARYA | TEUKU JACOB | TEUKU MOHAMMAD RADHIE | THE NING KING | THEE KIAN WIE | Tamrin Amal Tomagola | Tantowi Yahya | Taufiq Ismail | Teten Masduki | Teuku Jacob | Theo F. Toemion | Todung Mulya Lubis | Toeti Heraty Noerhadi Roosseno | Tomy Winata | Tracy Trinita | Trimedya Panjaitan


Arsip Apa dan Siapa Tempo ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq