Cuti Bersama Adalah Bentuk Egoisme Pejabat Jawa
Cuti bersama pernah diklaim pemerintah bisa membangkitkan sektor pariwisata. Saya sendiri tidak begitu yakin cuti bersama bisa cukup signifikan mendongkrak pariwisata.
Bagi saya, cuti bersama adalah sebentuk egoisme para pekerja dan pejabat di tanah Jawa, terutama di Jakarta, yang menginginkan tetap libur resmi pada hari-hari terjepit nasional.
Di sebuah talkshow TV memang pernah kita saksikan sekelompok pegawai ditanya tentang persetujuannya mengenai cuti bersama Idul Fitri. Ya terang saja mereka setuju, karena mereka terdiri atas pegawai-pegawai Pemerintah DKI yang rata-rata memiliki kampung di Jateng-Jatim. Mereka tidak butuh cukup banyak tabungan cuti tahunan untuk pulang kampung. Biaya mudik pun tidak semahal pegawai asal Jawa yang ditempatkan di luar Jawa.
Cobalah pembuat kebijakan cuti bersama itu mengedarkan kuesioner di kalangan pegawai negeri yang bekerja di remote area. Niscaya akan terdengar jeritan-jeritan. Mereka pekerja perantau itu banyak yang tidak mampu pulang kampung di hari lebaran karena mahal dan sulitnya transportasi. Banyak di antara mereka terpaksa bengong di perantauan. Kalau tidak dipotong cuti bersama, seharusnya mereka bisa memanfaatkan tabungan cuti tahunan untuk pulang kampung di luar musim hari raya yang transportasinya relatif murah dan mudah.
sekarang saya tanya balik, orang2 yang bekerja diremote area itu berapa orang ?
apakah sebanyak yang di jawa ?
tidak kan, yang di remote hanya segelintir orang saja
mereka mau menjerit, mau bengong, mau guling2, itu urusan mereka
kalau tidak mampu di remote area, pulang saja
Itu namanya tirani mayoritas. Zalim.
Horee libur!!!
umarfaisol,
Yah, orang Jawanya seneng. Saya juga seneng, Mas, kalau di Jawa terus 🙂
jadi ini masalahnya bukan karena kenapa harus mengurangi pelayanan masyarakat tapi karena site nya jauh dari kampung halaman mas??
anotherorion,
Yah, begitulah. Siapa pun yang bisa ikut merasakan beratnya hidup di perantauan yang sangat jauh, saya yakin dia akan setuju dengan judul di atas 😀
saya di remote are tapi tidak setuju judul artikelnya mas? harusnya ditambahin Pejabat yang bertugas di Jawa, kalau Pejabat Jawa konotasinya Pejabat yang orang-2 jawa, padahal pejabat-2 kita bukan orang jawa saja?? kalau tdk salah Cuti Bersama ini mulai bergulir era Wapres Yusuf Kalla yg asli orang Sulawesi.
Paragraf kedua tulisan di atas belum cukup menjelaskan ya, Pak Misbah? Tapi, terima kasih banyak atas saran penyempurnaannya.
Betul Pak Misbah, bahwa pada awalnya cuti bersama memang digagas oleh Yusuf Kalla, yang bertujuan untuk memulihkan perekonomian setelah tragedi bom Bali. Nah sekarang, setelah efek ekonomi bom Bali tidak lagi terasa, seharusnya kebijakan cuti bersama itu dicabut.
Setiap hari adalah tanggal merah buatku. Bosen banget rasanya. Banyak yang harus dikerjain, tapi tetep keteteran, semuanya pekerjaan statusnya “sampingan” karena yang utama adalah kuliah. Saat kuliah hanya sehari sepekan, gubrak banget hidup ini jadinya. Hidup habis akibat aktivitas waktu senggang. Berbahagialah untuk orang yang bejibaku dengan kehidupan, bahkan rutinitas yang sebetulnya penuh faidah untuk orang banyak.
Hidup dengan tanggal hitam itu ternyata diimpikan oleh sebagian orang 🙂
Betul. Jatah cuti setahun jadi berkurang setiap ada cuti bersama.
Inti tulisan ini sebenarnya, jangan memasukkan cuti bersama sebagai cuti tahunan. gitu kan? payah ah, gitu aja pada kagak ngarti 😀
Jelasnya, jangan rampas hak cuti tahunan walau cuma sehari 🙂
Kalau di Kementerian Keuangan ada SE Menkeu Nomor 3559 Tahun 2010.
Bisa digunakan sebagai dasar untuk yang tidak mudik di remote area atau luar jawa untuk dibuatkan Surat Tugas masuk kantor dan mengerjakan pekerjaan yang ada atau tertunda. Sehingga jatah cuti bisa diberikan untuk yang bersangkutan. Jadi tidak dipotong cuti bersama. Uang makan juga tetap bisa dibayarkan.
Kami sudah melaksanakannya sejak akhir 2010 di Gorontalo dimana pegawai yang asli Gorontalo hanya seorang saja.
Memang tergantung keberanian pimpinan setempat.
Wah, asyik tuh, Mas Pur. Jarang-jarang kantor yang menerapkan strategi seperti itu ya?
Tapi, sedikit koreksi. SE-nya sebenarnya nomor SE-3559/MK.1/2009 🙂
judul tulisan cenderung provokatif mungkin untuk menarik minat baca.ttg pemaksaan untuk cuti saya setuju.namun perlu diteliti mendalam apakah non muslim memang mayoritas tidak senang akan cuti bersama di saat lebaran?begitu juga sebaliknya apakah yg muslim tidak ada cuti bersama saat natal?
pengalaman saya di papua yg mayoritas kristen mereka senang2 saja kalo ada libur ga peduli libur krn perayaan hari besar agama lain bahkan bagi mereka yg punya duit bisa bepergian kelain pulau untuk pariwisata.
perlu di ingat yg mencetuskan ide cuti bersama adalah jusuf kalla (non jawa) kesalahan berikutnya ialah ide cuti bersama ini tidak pernah di evaluasi efektivitas&efisiensinya sbg sebuah kebijakan.
parahnya hal ini dilestarikan oleh pejabat kunci pengambil keputusan seperti,menpan,mendagri,menko ekuin,menko kesra (semua non jawa) bahkan sekjen kemkeu (non jawa) jg hanya tandatangan surat yg isinya copy paste dari surat tahun lalu.kebijakan cuti bersama tahun ini saya pikir ada sedikit perbaikan,dimana cuti bersama hanya ada di saat hari raya agama2 bukan di hari libur kejepit seperti tahun sebelumnya.
bagi yg tidak setuju bahkan mengutuk kebijakan cuti bersama ini beranikah mengajukan ke PTUN? atau hanya berani misuh-misuh di dunia maya saja,adagium take it or leave it masih tetap berlaku di dunia PNS
Cukup bagi saya melakukan ritual pengutukan saja setiap menjelang musim cuti bersama tiba. Kutukan berlaku sampai cuti tahunan kembali menjadi 12 hari.
Biarlah orang lain yang berjuang melalui jalur hukum. Saya akan dukung. Bila perlu, kembalikan semua jatah cuti tahunan yang telah dirampas selama ini.
[…] Cuti Bersama Adalah Bentuk Egoisme Pejabat Jawa […]