
Nama : I GUSTI NGURAH BAGUS
Lahir : Peguyangan, Denpasar, Bali, 12 Juli 1933
Agama : Hindu
Pendidikan : - SD Satria, Denpasar (1946)
- SMP, Denpasar (1950)
- SMA AtII, Yogyakarta (1953)
- Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Yogyakarta (Sarjana Muda, 1956)
- Fakultas Sastra UI, Jakarta (Sarjana, 1959
- Doktor, 1979)
Karir : - Dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana (1960-1980)
- Kepala Balai Penelitian Bahasa Singaraja (1960 -- sekarang)
- Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana (1980 -- sekarang)
- Pemimpin Proyek Baliologi (1984 -- sekarang)
Kegiatan Lain : - Wakil Ketua Yayasan Gedong Kertya (1963 -- sekarang)
- Ketua Yayasan Pendidikan Dharmayatra (1964 -- sekarang)
- Ketua Yayasan Bonnet, Bali (1984 -- sekarang)
Karya : - Kamus Indonesia-Bali (1978)
- Bali dalam Sentuhan Pariwisata (1978)
- Kembang Rampai Kesusastraan Bali (1978)
- Masalah Pembakuan Bahasa Bali (1979)
- Geguritan Pakang Raras (1984)
Alamat Rumah : Jalan Panglima Besar Sudirman FS 5, Denpasar, Bali Telp: 24555
Alamat Kantor : Jalan Nias 13, Sanglah, Denpasar, Bali Telp: 24121 Jalan Ngurah Rai 4, Singaraja, Bali Telp: 21242
|
|
I GUSTI NGURAH BAGUS
Lelaki bertubuh gempal itu ternyata kutu buku. Di rumahnya, di Sanglah, Denpasar, tersimpan 7.000 judul buku sastra, budaya, dan pengetahuan umum. Tetapi, minatnya yang paling besar adalah terhadap perkembangan agama Hindu.
Menurut I Gusti Ngurah Bagus, "Selama ini ada kesan bahwa agama Hindu itu hanya berisi upacara melulu. Jika demikian, bagaimana agama dapat menjawab masalah-masalah kemiskinan, keterbelakangan, keresahan jiwa, pendidikan, masalah anak muda, dan sebagainya." Agar dapat menjawab masalah-masalah itu, "Umat Hindu hendaknya mendalami agama dari segi etika dan filsafatnya," ujar dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana itu.
Tugas pendalaman etika dan filsafat agama Hindu ini tentu tidak terlepas dari kewajiban Parisadha Hindu Dharma (PHD) selaku majelis tertinggi umat. Tetapi, ia menganggap "Parisadha yang berakar di Bali, justru masih belum dapat melepaskan diri dari aspek tradisional tadi, dan tidak memberi kesempatan untuk menggali ajaran agama lebih jauh."Agar kesenjangan itu dapat teratasi, doktor antropologi lulusan Universitas Indonesia itu menyarankan, "Kepengurusan PHD hendaknya terdiri dari generasi tua yang mendalami masalah agama, generasi muda yang mengetahui masalah sosial ekonomi, dan generasi yang memahami masalah agama maupun sosial ekonomi." Ia sendiri, meskipun memahami masalah agama dan sosial ekonomi, tidak bersedia duduk dalam kepengurusan PHD. "Saya sudah terlalu banyak memegang jabatan, sebaiknya diserahkan kepada anak-anak muda dari Institut Hindu Dharma saja," tuturnya merendah. Memang, selain menjadi dosen, ia juga menjabat Kepala Balai Penelitian Bahasa Singaraja, Pimpinan Baliologi, Wakil Ketua Yayasan Gedong Kertya, Ketua Yayasan Pendidikan Dharmayatra, dan Ketua Yayasan Bonnet.
Selain itu, penggemar musik klasik Barat dan Timur ini sibuk menulis buku, antara lain Kamus IndonesiawBali, 1978; Masalah Pembakuan Bahasa Bali, 1979; Kembang Rampai Kesusastraan Bali (4 jilid), 1978-1984. Ia meraih gelar doktor di UI, 1979, dengan disertasi berjudul Perubahan Pemakaian Bentuk Hormat dalam Masyarakat Bali.
Tidak cemas terhadap pengaruh kebudayaan Barat yang dibawa para turis atas nilai budaya Bali, ia berpendapat, "Kewisataan di Kuta, Sanur, Ubud sangat positif dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara langsung." Untuk membendung pengaruh negatif seperti seks bebas, narkotik dan kebiasaan turis Barat lainnya, "Kita perlu memagari diri dengan agama. Saya melihat di Kuta, nilai budaya tidak rusak. Masyarakat Bali tidak total menyerahkan dirinya," ujar antropolog yang gemar memelihara burung itu.
Menikah dengan Dra. Made Sulastri, apoteker RSUP Denpasar, ia kini ayah seorang putri dan dua putra.
|