A | B | C | D | E | F | G | H | I | J | K | L | M | N | O | P | R | S | T | U | V | W | Y | Z

Putu Wijaya




Nama :
I Gusti Ngurah Putu Wijaya

Lahir :
Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944

Agama :
Hindu

Pendidikan :
- SR, Tabanan (1956)
- SMP Negeri Tabanan (1959)
- SMA-A Singaraja (1962)
- Fakultas Hukum UGM (1969)
- ASRI dan Asdrafi, Yogyakarta
- LPPM, Jakarta (1981)


Karir :
- Pimpinan Teater Mandiri, Jakarta (1971-sekarang)
- Penulis skenario film, antara lain Perawan Desa (memperoleh Piala Citra FFI 1980), Kembang Kertas (memperoleh Piala Citra FFI 1985), Ramadhan dan Ramona, Dokter Karmila, Bayang-Bayang Kelabu, Anak-Anak Bangsa, Wolter Monginsidi, Sepasang Merpati, Telegram
- Penulis skenario sinetron, antara lain Keluarga Rahmat, Pas, None, Warung Tegal, Dukun Palsu (komedi terbaik pada FSI 1995), Jari-Jari Cinta, Balada Dangdut, Dendam, Cerpen Metropolitan, Plot, Klop, Melangkah di Atas Awan (penyutradaraan), Nostalgia, Api Cinta Antonio Blanco, Tiada Kata Berpisah, Intrik, Pantang Menyerah, Sejuta Makna dalam Kata, Nona-Noni.


Kegiatan Lain :
Wartawan majalah Ekspres (1969)
- Dosen teater Institut Kesenian Jakarta (1977-1980)
- Wartawan majalah TEMPO (1971-1979)
- Redaktur Pelaksana majalah Zaman (1979-1985)
- Dosen tamu di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS (1985-1988)


Karya :
- Menulis 30 novel, 40 naskah drama, 1.000 cerpen, ratusan esei, artikel lepas, kritik drama. Karya tulis antara lain : Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Stasiun, Pabrik, Keok, Aduh, Dag-dig-dug, Edan (semuanya diterbitkan Pustaka Jaya tahun, 1972-1977), Gres, Lho, Nyali (semuanya diterbitkan Balai Pustaka, 1982-1983), Byar Pet (Pustaka Firdaus, 1995), Kroco (Pustaka Firdaus, 1995), Dar Der Dor (Grasindo, 1996), Aus (Grasindo, 1996)

Penghargaan :
- 1 kali pemenang penulisan lakon Depsos (Yogya) - 1 kali pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali - 1 kali pemenang penulisan novel IKAPI - 1 kali pemenang penulisan drama BPTNI - 1 kali pemenang penulisan drama Safari - 1 kali pemenang penulisan cerita film Deppen (1977) - 3 buah Piala Citra untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992) - 3 kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ - 4 kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ - 1 kali pemenang penulisan esei DKJ - 2 kali pemenang penulisan novel Femina - 2 kali pemenang penulisan cerpen Femina - 1 kali kali pemenang penulisan cerpen Kartini - 1 kali hadiah buku terbaik Depdikbud (Yel) - 1 kali pemenang sinetron komedi FSI (1995) - SEA Write Award 1980 di Bangkok - 1 kali pemenang penulisan esei Kompas - Anugerah Seni dari Menteri P&K, Dr Fuad Hasan (1991) - Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993)

Keluarga :
Ayah : I Gusti Ngurah Raka Ibu : Mekel Erwati Istri : Dewi Pramunawati Anak : I Gusti Ngurah Taksu Wijaya

Alamat Rumah :
Kompleks Astya Puri 2 No. A9, Jalan Kerta Mukti, Cerendeu, Jakarta Selatan Telepon/Faksimile (021) 7444678

Alamat Kantor :
Jalan Mimosa I/1, Sunter Mas, Jakarta 14350 Telepon (021) 6506604 Faksimile (021) 6506828

 

Putu Wijaya


PUTU Wijaya selalu pakai topi pet putih. Kisahnya, pada ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul. Kembali ke Jakarta, selang beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak sempurna, malah mendekati botak. Karena itu, ia selalu memakai topi. "Dengan ini saya terlihat lebih gagah," tutur Putu, sutradara teater dan film serta penulis cerpen dan naskah drama yang sangat produktif.

"Saya sangat percaya pada insting," kata Putu tentang caranya menulis. "Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu saja ketika di depan komputer," katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan.

Pengarang produktif ini sehari bisa mengarang cerita 30 halaman, menulis empat artikel dalam satu hari. Ia sudah menulis 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Putu juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.

Cerpen dan novelnya menggunakan gaya pengungkapan stream of consciousness, penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya. Ia lebih mementingkan perenungan ketimbang riwayat. Adapun konsep teaternya adalah teror mental. Baginya, teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika -- tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat, menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna.

Putu dilahirkan bukan dari keluarga seniman. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.

"Sejak kecil, saya senang sekali seni pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang pada seni laku," ujar lelaki kelahiran Tabanan, Bali, itu. Tapi, ia tak pernah diikutkan main drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang lomba deklamasi, ia diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh Kirdjomuljo, penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta. "Sejak itu saya senang sekali pada drama," kenang Putu.

Keinginan menulis muncul karena senang membaca. "Sejak SMA bakat menulis saya sudah besar. Walaupun tulisan saya jelek, guru saya suka membacanya," ujar Putu, yang mengaku mendapat dorongan menulis dari gurunya. Cerita pendek yang pertama, Etsa, berkisah tentang percintaan, dimuat harian Suluh Indonesia edisi Bali. Ketika pindah ke Yogya, ia tetap berkesenian: menjadi anggota Bengkel Teater-nya Rendra, kuliah di Asdrafi dan Asri. Studinya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tetap ia lanjutkan sampai Putu menggondol gelar sarjana hukum.

Setelah hijrah ke Jakarta, Putu bergabung dengan Teater Kecil asuhan sutradara ternama Arifin C. Noer. Saat itu ia mengandalkan hidup dari menulis resensi pertunjukan di sejumlah media. Lalu ia bekerja di majalah Ekspres, kemudian Tempo dan tetap berkarir sebagai pengarang. "Saya perlu bekerja jadi wartawan untuk menghidupi keluarga saya. Juga karena saya tidak mau kepengarangan saya terganggu oleh kebutuhan mencari makan," tutur Putu.

Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Juga, ia membiasakan diri dengan tenggat-suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman, dan ia tetap produktif menulis, mementaskan lakon, mengajar di Institut Kesenian Jakarta.

Putu banyak menimba pengalaman di luar negeri. Selama tujuh bulan, ia tinggal di masyarakat komunal Ittoen, Jepang, 1973. Mengikuti International Writing Program di Iowa, AS, 1974. Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto, Jepang, 1992.

Menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman, ia beroleh seorang anak, Yuka Mandiri. Pernikahannya bubar pada 1984. Tapi ia tak lama menduda. Karena kebutuhan untuk punya teman hidup, pada 1985 Putu menikah lagi dengan gadis Sunda, Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika. Setelah lama berikhtiar -walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi- pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.

Rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan anak, "Saya tidak punya cara," ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman, kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, "Saya tidak mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja."

Penggemar musik dangdut, rock, dan klasik karya Bach atau Vivaldi ini juga menyukai milik jazz dari punya Stan Get sampai Mile Davis. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam tenaga prana Satria Nusantara. Kini, Putu total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta berteater. "Sekarang saya sudah sampai pada tahap bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus pekerjaan," ujar Putu. Sikap itu diperoleh dari pengalamannya di komunitas Ittoen, Jepang.

Copyright PDAT 2004

comments powered by Disqus

 


PADMO WAHJONO | PAIRAN MANURUNG | PAK KASUR (SOERJONO) | PANDJI Wisaksana | PERMADI | PERRY G. PANTOUW | PETER DOMINGGUS LATUIHAMALLO | PETER FRITZ SAERANG | PETER SIE | PETER SUMARSONO | PETRUS OCTAVIANUS | PETRUS SETIJADI LAKSONO | PHILIPPUS HENDRA HERKATA | PIET ZOETMULDER S.J. | POERNOMOSIDI HADJISAROSA | PONIMAN | PONTJO NUGRO SUSILO SUTOWO | POPO ISKANDAR | POPPY SUSANTI DHARSONO | PRAHASTOETI Adhitama | PRAMUDYA Ananta Toer | PRIGUNA SIDHARTA | Permadi | Prima Rusdi | Putu Wijaya


Arsip Apa dan Siapa Tempo ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq