A | B | C | D | E | F | G | H | I | J | K | L | M | N | O | P | R | S | T | U | V | W | Y | Z

YUSTINUS KARDINAL DARMOJOEWONO




Nama :
YUSTINUS KARDINAL DARMOJOEWONO

Lahir :
Klewonan, Godean, Yogyakarta, 2 November 1914

Agama :
Katolik

Pendidikan :
-SD Gouvernment No. 2, Mayudan (1931)
-Normaal School, Muntilan (1935)
-Seminari Menengah, Yogyakarta (1941)
-Seminari Tinggi, Yogyakarta (1947)
-Universitas Gregoriana, Roma, Italia (1954-1955)


Karir :
-Pastor Kepala dan guru Seminari, Yogyakarta (1947- 1950)
-Pastor Kepala, Klaten (1950-1954)
-Pendiri Paroki Purbayan, Solo (1956-1962)
-Vikaris Jenderal pada Keuskupan Mgr. A. Soegijopranoto (1962- 1963)
-Uskup Agung (1963-1981)
-Ketua MAWI (1964-1979)
-Uskup ABRI (1964-1984)
-Kardinal (1967-1981)
-Kardinal Purnakarya (1981-sekarang)


Alamat Rumah :
Pastoran Banyumanik, Jalan Kamfer Raya 49 -- Kelurahan Padalangan, Semarang Telp: 312504, 50237

 

YUSTINUS KARDINAL DARMOJOEWONO


Pribadinya bersahaja, sikapnya salah-salah bisa dinilai berbau "Jawa Abangan". Orang yang berbudi luhur, meskipun secara resmi tidak beragama, menurut Justinus Cardinal Darmojuwono, sudah melaksanakan kehendak Tuhan. "Itu berarti sudah 'dipermandikan' secara batin. Ia berhak masuk surga," ujar Uskup Agung Purnakarya tersebut.

Sebaliknya, "Yang secara formal beragama -- malah dibaptis -- tetapi tingkah lakunya selalu menyeleweng dari nilai-nilai susila, lha itu 'kan gila to namanya?" Ia kemudian segera menambahkan bahwa yang ideal, tentunya, yang beragama lahir dan batin.

Menurut rohaniwan kelahiran Yogyakarta itu, agama tidak ada gunanya tanpa teladan. "Saya sendiri masuk Katolik karena terkesan kepada pastor Belanda. Sikap mereka berbeda sekali dengan tingkah laku orang Belanda yang bekerja di pabrik- pabrik," katanya.

Setelah empat tahun menjadi uskup agung Semarang, Darmojuwono -- yang aslinya bernama Djamin tetapi akrab dengan panggilan Imin -- meminta mengundurkan diri kepada Vatikan pada Januari 1980. Alasannya, keadaan kesehatannya tidak lagi mengizinkan dirinya mengurus Keuskupan yang semakin berkembang itu. Permintaan itu baru dikabulkan Paus setahun kemudian.

Dan sejak Desember 1981, ia memilih tinggal di Perumnas Banyumanik, di bagian selatan Kota Semarang. Sebagai alasan memilih tempat itu, ia mengemukakan bahwa di sana dekat dengan keuskupan, di samping ingin membina langsung beberapa ratus umat Katolik. "Saya tidak ingin tergolek begitu saja, seperti dalam museum. Saya tidak bisa menganggur," kata lepasan Seminari Agung Mertoyudan, dekat Magelang, dan Universitas Gregoriana, Roma, Italia, itu.Lepas dari jabatan uskup agung, rohaniwan yang bulan November 1985 berusia 71 tahun ini tetap menyibukkan diri. Bangun pagi-pagi, ia mulai membaca surat kabar Kompas Jakarta, Suara Merdeka Semarang, dan majalah Time. Itulah caranya mengatasi kesepian. "Kalau tidak ada kerja, saya merenung, bersemadi. Problem ketuhanan bukan masalah lagi bagi saya," ujarnya. Ia juga masih berkorespondensi, tanpa bantuan pembantu. Atau mengunjungi umatnya, sekitar 15.000 kepala keluarga, dengan berjalan kaki, "Sambil berolah raga."

Uskup Agung Purnakarya itu sempat mensinyalir adanya dua kelompok manusia yang berbeda mencolok latar belakang sosial ekonominya, tetapi sama-sama melupakan Tuhan. Orang yang hartanya melimpah, melupakan Tuhannya dan lupa kepada sesama manusia. Golongan yang miskin sibuk memikirkan perut, sehingga lupa berdoa, lupa kepada Tuhan dan agamanya.

Darmojuwono, yang pernah menjadi pastor tentara pada 1950-an, di masa kecilnya hanya bercita-cita menjadi guru. Setelah memasuki Seminari Menengah, yang diinginkannya hanya menjadi pastor biasa. "Sinting berpikir menjadi uskup, uskup agung, atau kardinal," ujar kardinal pertama Indonesia itu. Menjadi pastor biasa dianggapnya bisa lebih akrab dengan rakyat kecil. Inilah yang mendorongnya menetap di kompleks Perumnas. "Ingin hidup di tengah pergolakan hidup," kata Darmojuwono yang sejak melepas jabatan uskup agung mulai menulis sejumlah buku kerohanian.

Upayanya bertingkah laku yang baik ternyata menarik banyak orang, termasuk orangtuanya sendiri. Jusup Surodikira, ayahnya, akhirnya dipermandikan oleh Darmojuwono sendiri beberapa saat sebelum meninggal (1952) -- walaupun sebelumnya menentang. Ibunya, Maria Ngatinah, menjadi pengikut Katolik dua tahun kemudian. Sang ibu meninggal ketika Darmojuwono menerima surat pengangkatan keuskupan dari Vatikan, 1963.

Copyright PDAT 2004

comments powered by Disqus

 


YAHYA A. MUHAIMIN | YAP THIAM HIEN | YAPTO SULISTIO SURYOSUMARNO | YASIR HADIBROTO | YOGA SOEGOMO | YOHANES RIBERU | YUDHISTIRA ARDI NOEGRAHA MOELYANA (ANM) MASSARDI | YUNUS EFFENDY HABIBIE | YUSTEDJO TARIK | YUSTINUS KARDINAL DARMOJOEWONO | YUSUF BILYARTA MANGUNWIJAYA | YUWONO KOLOPAKING | YUYUN Wirasasmita | Yudi Utomo Imardjoko


Arsip Apa dan Siapa Tempo ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq