Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Rabu, 9/1/2002
 

Menyelesaikan Kasus Pak Harto


Adil - Solo, Sudah sejak lama saya berbicara dalam berbagai kesempatan, bahwa kasus Pak Harto sebaiknya diselesaikan dengan cepat untuk kepentingan kita semua. Saya sekian bulan lalu --katakanlah setahun yang lalu-- ketika mengusulkan cara penyelesaian kasus Pak Harto dengan tegas, tidak punya beban mental karena insya Allah saya bukan termasuk pahlawan kesiangan yang berani menentang Soeharto tatkala dia sudah jatuh dari kekuasaan dan mengumbar pernyataan manakala yang sudah jatuh itu tidak mungkin lagi memukul kembali. Ibaratnya seorang raksasa sudah jatuh terkapar, maka mereka yang berani mencabuti bulu raksasa ketika sang raksasa itu sudah tewas itu pahlawan yang bukan saja kesiangan, melainkan sudah kesorean alias sangat terlambat.

Saya pernah mengusulkan, untuk kepentingan Soeharto sendiri maupun kepentingan kita semua, maka kasus Soeharto harus segera ditutup supaya waktu dan energi kita tidak terhabiskan secara boros, sehingga kita tidak mampu melihat tugas-tugas kita di masa mendatang. Terutama setelah diterangkan oleh tim medis yang layak dipercaya bahwa Soeharto sudah kena stroke beberapa kali dan memorinya tidak lagi berfungsi, ketika itu saya mengatakan segera saja diputuskan oleh Kejaksaan Agung agar perkaranya ditutup, tetapi kemudian seluruh aset kekayaan keluarga Soeharto yang diyakini secara hukum tidak sah dan tidak legal, dikembalikan ke kas negara.

Namun usulan saya waktu itu dianggap sepi dan mengada-ada, karena banyak pahlawan-pahlawan agak kesiangan yang bersikukuh agar Soeharto ditunggu sehatnya kapan pun, kemudian barulah dibawa ke pengadilan dan setelah itu ditentukan status hukumnya. Padahal waktu itu pun saya sudah menggunakan pertimbangan kemanusiaan, bahwa kesalahan Soeharto tidak boleh dipikulkan di pundak dia sendiri mengingat seribu anggota MPR yang menjadi yes man dan yes women pada masa itu juga harus memikul kesalahan Orde Baru. Di samping itu para petinggi Orde Baru, para rohaniawan, para ulama yang suka melakukan doa politik, bahkan juga para intelektual yang telah melacurkan intelektualitasnya sesungguhnya juga harus mengambil bagian dari tanggung jawab kesalahan kolektif Orde Baru tersebut.

Saya bahkan pernah menggambarkan para kafir Quraisy gemetaran ketika Nabi Muhammad SAW sudah memenangkan pertempuran akhir dan masuk ke Kota Mekkah. Waktu itu para pentolan kafir Quraisy yakin nyawa mereka tinggal dalam bilangan hari akan lenyap. Namun ternyata Nabi Muhammad mengumpulkan mereka di sebuah tanah lapang yang luas, kemudian oleh Nabi diberi pidato singkat. Dan, kata-kata yang sangat terkenal dalam sejarah ialah kata-kata mutiara yang mengakhiri pidato singkat itu, yakni; "Sekarang kalian semua bebas dan silakan pergi memulai hidup yang baru".

Dengan membuat analogi di atas, saya sebagai seorang yang pernah menentang Soeharto di barisan terdepan tatkala Soeharto masih berkuasa, menganggap karena proses hukum tidak mungkin lagi dilaksanakan berhubung memorinya yang sudah datang dan pergi, serta kesehatan yang tidak memungkinkan sehingga dia tidak bisa stand trial maka sebaiknya perkara Soeharto ditutup saja, kemudian seluruh aset kekayaannya yang jelas-jelas di luar perolehan yang wajar segera dikembalikan ke negara untuk dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat Indonesia. Untuk menyebut sekeping contoh; tanah peternakan Tapos maupun berbagai tanah-tanah yang luas di luar Jawa, serta aset yayasan yang menjadi bahan kontroversi itu sebaiknya dengan kekuatan negara segera diambil alih dan dikembalikan ke kekayaan negara, kemudian kasus Soeharto ditutup sekali untuk selamanya agar kita bisa menatap tugas-tugas kita di masa mendatang.

Sekarang memang banyak hal yang agak rancu. Misalnya, pemerintah mengusulkan abolisi, sementara yang bersangkutan belum jelas status hukumnya. Apakah Soeharto sebagai tersangka, terdakwa, atau terpidana. Bahkan sebagai saksi pun belum pernah. Lalu apanya yang mau diabolisikan? Kemudian juga sekarang tiba-tiba saja orang bicara masalah kemanusiaan, padahal kalau masalah kemanusiaan dilepaskan dari konteks hukum juga akan bisa merusak rasa keadilan masyarakat.

Jadi, kalau saya masih boleh mengusulkan teori saya terdahulu, segera saja kasus Soeharto ditutup kemudian, sekali lagi, seluruh aset keluarga Soeharto yang secara hukum perolehannya tidak dibenarkan, segera dikembalikan dengan paksa menjadi kekayaan negara dan kemudian kita tutup kasus Soeharto sekali untuk selamanya. Sementara itu menyangkut kroni dan anak-anak Soeharto, mereka tetap harus diproses secara hukum, secara transparan, tegas, dan adil. Karena hanya lewat cara itulah kita bisa menegakkan supremasi hukum untuk seluruh rakyat Indonesia.

comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq