Nama : ABDUL LATIEF
Lahir : Kampung Baru, Banda Aceh, 27 April 1940
Agama : Islam
Pendidikan : - SMP Negeri V, Jakarta (1956)
- SMA Negeri VII, Jakarta (1950)
- Akademi Pimpinan Perusahaan Departemen Perindustrian, Jakarta (1963)
- Fakultas Ekonomi Universitas Krisna Dwipayana, Jakarta (1965)
- Kursus Manajemen Toserba, Seibu Group, Tokyo, Jepang (1966)
Karir : - Pimpinan Promosi Penjualan dan Pengembangan Ekspor PT Department Store Indonesia Sarinah (1963-1971)
- Direktur Utama Sarinah Jaya Group (1972-sekarang)
Kegiatan Lain : - Penjabat Direktur Akademi Pimpinan Perusahaan Departemen Perindustrian (1969-1970)
- Pendiri dan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (1972-1973)
- Ketua Dewan Kehormatan Hipmi (1975-sekarang)
- Ketua Kompartemen Perdagangan dan Koperasi Kadin Indonesia (1979-1982)
Alamat Rumah : Jalan Raya Kalimalang 77, Pondok Kelapa, Jakarta Timur
Alamat Kantor : Jalan Rawa Terate Dua No. 2, Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur
|
|
ABDUL LATIEF
Ketika Pasaraya Sarinah Jaya dilalap api, 22 Oktober 1984, kerugian bangunan berlantai tujuh itu ditaksir Rp 20 milyar. Tetapi, Abdul Latief seperti tidak bergeming. Waktu api padam, ia langsung bersujud di atas tanah tempatnya berdiri. "Sujud kepada Allah. Dia masih sayang kepada saya, karena memberi cobaan," ujar pengusaha yang rajin salat itu.
Terbiasa tabah sejak kecil, Latief, anak keenam dari sembilan bersaudara, masih berusia empat tahun ketika ditinggal almarhum ayahnya, pedagang kelontong asal Padang. Ia lalu diasuh neneknya, yang juga meninggal dua tahun kemudian. Musibah beruntun sangat memukul Latief. "Untung, Ibu penuh kasih dan memikirkan masa depan kami," katanya. Sejak itu mereka pindah ke Jakarta.
Ketika di SD, ia menggemari pelajaran sejarah, berhitung, dan ilmu bumi -- sering juara kelas dengan nilai rapor rata-rata sembilan. Di SMP, letaknya berdekatan dengan bioskop Astoria (kini Satria), Latief senang berkelahi, dan membolos untuk menonton film -- tetapi tidak pernah tinggal kelas. Tadinya ia ingin menjadi politikus. Tetapi, begitu menyelesaikan SMA, pikirannya beralih, ingin meneruskan jejak ayahnya: pengusaha.Latar belakang akademis turut menopang cita-cita tersebut: lulus Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), dan Fakultas Ekonomi Unkris, 1965. Pemasok nasi bungkus kaum demonstran 1966 itu kemudian bekerja di Toserba Sarinah. Dikirim mempelajari manajemen toserba dan supermarket di Seibu Group, Tokyo, pulangnya ia membawa mobil. Itulah yang kemudian dijualnya untuk membeli toko kecil di Grogol, Jakarta Barat. Di sana ia mempersiapkan diri untuk terjun lebih jauh ke dunia usaha. "Saya tertarik pada dagang eceran seperti di Pasar Baru," katanya.
Konsep baru tentang pemasaran yang dibawanya dari Jepang tidak ditanggapi pimpinan Sarinah. Latief kemudian berhenti dari toserba milik pemerintah itu dan mendirikan perusahaan sendiri. Dibantu adiknya, Abdul Muthalib, berdirilah PT Latief Marda Corporation, 1972, kemudian PT Indonesia Product Centre Sarinah Jaya. Nama "Sarinah" dipakainya karena merasa dibesarkan olehnya. Masih ada tujuh perusahaan miliknya yang bergerak di bidang perkebunan, buku, periklanan, asuransi, di samping sebuah yayasan pendidikan. Sarinah Jaya telah membuka cabang di Singapura.
Empat bulan setelah terbakar, pusat pertokoan barang eceran mewah itu dibuka kembali. Latief berharap bisa menyedot 60 ribu (sebelum musibah 22 ribu) pengunjung per hari, dari kapasitas 100 ribu pengunjung.
Lewat Indonesian Handicraft Center yang dibentuk Latief, Sarinah Jaya pernah dianggap "dewa penyelamat" para perajin -- dari perajin biasa sampai perancang pakaian kaliber Ghea Sukasah dan Peter Sie.
Menikah dengan Nursiah, 1967, Latief dianugerahi empat anak -- yang sulung kini belajar di AS. Olah raga yang dilakukannya adalah jogging dan berenang. Ia juga masih suka makan sop buntut di warung kaki lima.
UPDATE:
Pada masa-masa akhir Orde Baru, Abdul Latief diangkat sebagai Menteri Tenaga Kerja Kabinet Pembangunan VI (1993-1998). Kemudian, ia sempat sekitar tiga bulan menjadi
Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Kabinet Pembangunan VII, sampai Soeharto turun dari kekuasaannya.
Selama menjadi Menteri Tenaga Kerja, ia menuai kontroversi. Ia disangka terlibat dalam skandal Jamsostek. Pada 1997, terkuak bahwa proses perumusan UU Ketenagakerjaan dibiayai oleh dana yang dikeluarkan dari Jamsostek, yang merupakan sisihan dana para pekerja untuk kesejahteraan mereka. Tudingan yang dialamatkan kepadanya: Latief memanipulasi uang Jamsostek untuk kepentingan pengegolan UU Ketenagakerjaan. Setelah berminggu-minggu jadi kontroversi, akhirnya Latief mengaku bahwa pengambilan dana jamsostek tersebut atas perintah dari Presiden Soeharto sendiri. Dan, belakangan tim Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan mengatakan tidak ditemukan adanya indikasi bahwa telah terjadi penyimpangan dana jamsostek tersebut. Kasus pun ditutup.
Kontroversi lain seputar Latief juga bersinggungan dengan bintang sinetron dan penyanyi Dessy Ratnasari. Sempat tersebar isu bahwa Latief hendak menikahi Dessy. Tapi, Latief membantah isu tersebut.
Setelah pensiun sebagai menteri, ia tampaknya "back to basic" sebagai pengusaha. Selain mengelola A Latief Corporation, Latief juga pemilik sejumlah perusahaan, antara lain Indonesia Product Centre, PT Pasaraya Toserjaya, PT Pasaraya Nusakarya, PT Tata Disantara, agrobisnis PT Sulawesi Agro Utama, dan PT Aoeraya International Hotel yang bergerak di bidang perhotelan.
Terakhir, 2001, Latief mendirikan stasiun televisi Lativi.
|