Nama : Atmakusumah Astraatmadja
Lahir : Labuan, Banten, 20 Oktober 1938
Agama : Islam
Pendidikan : - Sekolah Taman Siswa
- SMP
- SMA Budi Utomo, Jakarta, Jurusan A (Sastra dan Sosial)
- Sekolah Tinggi Publisistik (STP), (1957€“1961), tidak selesai
Karir : - Wartawan Indonesia Raya, (1958)
- Wartawan Persbiro Indonesia Aneta (PIA), (1958€“1960)
- Komentator Seni dan Budaya RRI Jakarta
- Redaktur Harian Duta Masyarakat edisi Minggu (Duta Minggu)
- Penyiar Radio Australia seksi Indonesia, (1960€“1963)
- Pembantu Lepas LKBN Antara di Australia dan Jerman, (1961€“1965)
- Penyiar Radio Deutsche Welle, Jerman (1963€“1965)
- Redaktur LKBN Antara di Jakarta (1965€“1968)
- Penyiar RRI Jakarta (1966€“1968)
- Redaktur Harian Indonesia Raya (1968€“1974)
- Press Assistant USIS, Jakarta (1974€“1992)
- Direktur Eksekutif LPDS (1994€“sekarang)
Kegiatan Lain : - Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (1997€“sekarang)
- Ketua Dewan Pers (19 April 2000€“sekarang)
Keluarga : Istri : Sri Rumiati Atmakusumah
Anak : 1. Kresnahutama Astraatmadja
2. Rama Ardana Astraatmadja
3. Tri Laksamana Astraatmadja
Alamat Kantor : Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat
|
|
Atmakusumah Astraatmadja
Atmakusumah Astraatmadja
IA termasuk salah seorang yang kembali ke Indonesia Raya begitu harian itu terbit lagi di tahun 1968, 10 tahun setelah dibredel. Dan Atmakusumah sempat menjadi redaktur pelaksana sebelum Indonesia Raya ditutup lagi di tahun 1974.
Ketika koran yang boleh dikata sebagai almamaternya itu tidak terbit, Atma berpindah-pindah kerja, tapi tetap yang berkaitan dengan dunia jurnalistik. Tampaknya anak muda yang dulu bercita-cita jadi sastrawan itu ditakdirkan hidup di dunia jurnalistik. Ia urung menjadi pengarang karena semua cerita pendek yang dikirimkannya ke majalah Kisah, majalah sastra ternama waktu itu, ditolak.
Belum setahun Atma bekerja di Indonesia Raya ketika koran itu ditutup pertama kalinya. Kebijakan pemerintah memperketat pengawasan terhadap pers dan menempatkan semua percetakan milik swasta berada di bawah pengawasan pemerintah tak membuat harian ini €œmengerem€ kritiknya terhadap pemerintah. Sebagai wartawan muda, ia tak kesulitan mencari kerja. Malah mungkin pembredelan itu bisa dianggap berkah baginya: cakrawala jurnalistiknya lebih luas. Ia bekerja di berbagai media, termasuk media asing: bekerja di RRI, lalu menjadi penyiar Radio Australia seksi Indonesia, penyiar Radio Deutsche Welle, Jerman, sebelum masuk ke Lembaga Kantor Berita Nasional Antara.
Demikian pula ketika Indonesia Raya dibredel untuk kedua kalinya, 1974, Atma pun tak susah-susah mencari penghasilan. Namun, ada yang berbeda. Sebagai wartawan ia masuk €œdaftar hitam€, hingga sulit baginya untuk bekerja di media Indonesia. Bahkan untuk sekadar memuat tulisan Atmakusumah, tak ada koran atau majalah Indonesia yang berani. Ketika Indonesia Raya dibredel untuk yang kedua kalinya itu ia memang bukan lagi wartawan muda, melainkan redaktur pelaksana, jabatan yang dianggap ikut menentukan kebijakan koran tersebut. Hanya saja beberapa tulisannya sempat muncul di beberapa media, dengan nama samaran: Ramakresna - rajutan dari nama anak-anaknya.
Lalu, Atma bekerja di United States Information Service di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta hingga 1992.
Kini, selain mengajar dan menjadi direktur Lembaga Pers Dr. Soetomo, pemenang Raymond Magsaysay Award tahun 2000 ini dipercaya menjadi Ketua Dewan Pers.
|