Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Tajuk | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Rabu, 20/12/2000
 

Pemerintahan Serba 'Ad-Hoc'

Adil - Sekarang ini kita melihat begitu banyak masalah yang tidak pernah kita duga sebelumnya, terutama tatkala dahulu kita --rakyat dengan ujung tombak para mahasiswa-- mendorong proses reformasi total. Banyak orang merasa kecele. Dan, saya termasuk di dalam rombongan orang-orang yang kecele itu, bahwa proses reformasi total ternyata tidak semudah yang kita bayangkan pada waktu Orde Baru masih berkuasa.

Waktu itu kita mengetahui ada istilah dwi tunggal, yakni suksesi dan reformasi. Banyak di antara kita menyangka, apabila telah terjadi suksesi kepemimpinan nasional, maka hampir otomatis reformasi bisa kita capai dengan relatif mudah dan lancar. Namun kenyataannya tidak demikian. Saya mencatat paling tidak ada 5 hal yang muncul dengan nyata di depan mata, yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

Pertama, hilangnya kedaulatan ekonomi kita. Saya mengemukakan hal ini dengan penuh kesadaran dan insya Allah tidak mengada-ada. Sekarang ini bisa dibilang kita tidak punya lagi kedaulatan ekonomi, karena terlalu banyak langkah-langkah ekonomi nasional --sebelum kita putuskan-- harus dikonsultasikan atau mungkin diizinkan terlebih dahulu oleh lembaga keuangan internasional (IMF). Ini suatu kenyataan pahit tapi riil harus kita terima, mungkin sampai beberapa tahun mendatang.

Kedua, gejala pertumbuhan dari KKN baru. Dahulu kita menyangka kalau sudah ada reformasi, tentu pertumbuhan korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebagai akar permasalahan bangsa bisa kita hilangkan. Kenyataannya, KKN lama belum bisa ditangani, KKN yang baru sudah bermunculan secara luas dalam kehidupan nasional. Ini tentu juga menimbulkan komplikasi bagi tujuan reformasi.

Ketiga, situasi yang terus memburuk dari segi keamanan. Kalau dilihat dari angka anak-anak bangsa yang meninggal sia-sia tanpa ada alasan yang jelas, jumlahnya berkali-kali lebih banyak dibandingkan awal atau sebelum reformasi. Ini sangat menyedihkan dan menimbulkan citra sangat buruk bagi kita di dunia internasional.

Keempat, adalah sebuah ironi di mana pemerintahan kita menjadi tidak credible, semakin tidak dipercaya baik oleh kalangan domestik maupun internasional seiring berjalannya waktu. Media massa yang selama ini dikenal paling hati-hati pun, sudah mulai menurunkan tulisan bahwa pemerintahan kita memang sudah amburadul.

Kelima, semakin meningkatnya gejala disintegrasi nasional dan disintegrasi teritorial di wilayah republik tercinta ini. Terutama setelah lepasnya Timor Timur, semakin marak tuntutan serupa di Papua Irian Jaya, Aceh, mungkin juga Maluku dan secara potensial beberapa provinsi yang lain.

Itulah potret sekelebatan dari perjalanan reformasi. Namun marilah kita lihat pengalaman bangsa lain, yang mungkin ada kemiripan dengan kita --yang sampai sekarang masih dibuai dengan semboyan dan simbol-simbol reformasi total.

Saya ingat Uni Soviet tahun 1985. Kala itu, rakyat maupun para pemimpinan, disibukkan dengan reformasi total gaya Uni Soviet yang berunsur tiga elemen yaitu perestroika (restrukturisasi ekonomi), glasnots (keterbukaan), dan democratzia (demokratisasi). Kita tahu, dengan itu Uni Soviet bubar sekali untuk selamanya. Padahal USSR waktu itu tergolong negara adikuasa yang memiliki 4 pilar sangat kuat, yaitu ideologi Marxisme/Leninisme, KGB, tentara merah, dan partai komunis Uni Soviet yang sangat solid.

Mungkin tidak sama keadaan kita dengan USSR. Mungkin juga tidak bijak memaksakan analogi Uni Soviet ke Indonesia. Tetapi menurut saya, ada beberapa kemiripan atau kesamaan dasar. Untuk kurun waktu lama USSR hidup dalam alam ekonomi dan politik yang totaliter. Mereka tidak punya kebebasan atau kemerdekaan demokratik. Dalam hierarki politik, ruling class-nya ada di pucuk piramida --yang bisa menggiring rakyat di lapis bawah ke mana pun pimpinan nasional menginginkan.

Tetapi lihatlah ketika ada break down dari kepemimpinan yang otoriter, lantas terjadi semacam euforia, persis seperti kita alami di sini. Semua ingin secara cepat mengimplementasikan hak-hak politik, hak demokrasi, dan hak ekonominya. Dan, kita mengetahui akhir dari cerita Uni Soviet adalah sebuah tragedi, bukannya happy end.

Saya melihat, sekalipun Uni Soviet bukan Indonesia, kita cukup lama memiliki pemerintah yang otoriter. Betul kita tidak punya partai komunis, tapi kita pernah punya partai mayoritas tunggal bertahun-tahun. Di pucuk piramid ada the ruling class yang sangat rapi dan punya garis komando ke bawah. Dan, begitu ada break down ke atas, sekarang kita melihat tidak adanya gravitasi politik di pusat itu yang bisa menjadi perekat bersama keutuhan teritorial/nasional kita. Yang terjadi adalah gajala mau lepas kendali dan buyar dari pusat.

Tentu ada masalah yang mesti kita cari, bagaimana jalan keluarnya? Yang kita perlukan sekarang ini, ialah sebuah pemerintahan yang punya visi, memiliki komitmen, kemudian dapat mengambil aksi-aksi konkret, bukannya bermain-main dengan simbol-simbol yang membuat semakin bingung rakyat.

Kalau pemerintah tidak punya visi, tentu dia tidak mampu membuat visualisasi tentang program yang akan dikerjakan. Di sini kita berlomba dengan waktu. Masalah yang kita hadapi sudah sedemikian berat, terutama masalah disintegrasi nasional. Tetapi yang disuguhkan kepada kita semuanya serba ad-hoc.

Dengan kata lain, pemerintah kita sekarang ini menjadi adhocracy government. Begitu muncul masalah, itu saja yang dipecahkan. Minggu depan muncul masalah lain lagi, juga dipecahkan secara ad-hoc tanpa ada paradigma, tanpa diletakkan dalam suatu kerangka visi yang jelas mau dibawa ke mana republik ini.

Sekarang ini Aceh meminta NAD --Nangroe Atjeh Darussalam. Mereka minta otonomi penuh dengan implementasi syariat Islam berikut berbagai macam implikasinya. Yang terjadi kemudian bukannya meng-adress masalah yang mereka tuntut, tetapi Abdurrahman Wahid datang ke Aceh membawa oleh-oleh Rp 100 miliar --siapa tahu dengan itu ibarat anak kecil tidak akan meradang lagi karena sudah diberi gula-gula.

Terus terang saya tidak tahu, mau bagaimana pemerintah kita dalam penyelesaian masalah Aceh ini. Demikian juga setelah situasi Papua Irian Jaya berjalan demikian jauh, lantas seperti terperanjat aparat menangkap Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua. Tetapi kemudian Abdurrahman Wahid minta dia dilepaskan. Setelah permintaannya yang aneh itu memicu kontroversi, Abdurrahman bilang itu suara dia pribadi dan bukan atas nama pemerintah. Pendeknya, memang serba adhocracy.

Saya kira ini sesuatu yang harus diperbaiki dengan cepat karena kita berlomba dengan waktu yang juga berjalan sangat cepat. Saya tidak akan berpretensi tahu bagaimana cara memecahkan atau menanggulangi gejala disintegrasi yang makin nyata di depan mata. Tetapi tidak terlalu meleset kalau saya memikirkan, bahwa antara lain memang kita harus punya eksekutif yang ada visi, punya komitmen, yang bisa memberikan inspirasi serta motivasi buat rakyatnya untuk menuju kepada visi itu, dan kemudian ada aksi-aksi konkret di lapangan yang segera dapat dirasakan.

Kalau kembali ke cerita Uni Soviet di masa Gorbachev, saya pernah membaca sebuah tulisan bahwa tangan sejarah lebih cepat menulis sejarah Uni Soviet daripada kecepatan para pemimpin dan rakyat untuk mengubah dirinya. Seolah-olah sejarah memiliki tangan untuk menuliskan nasib suatu bangsa. Kalau bangsa itu tidak mampu menuliskan sejarahnya sendiri, tentu sejarah atau takdir yang akan lebih berperan di dalam menentukan nasib bangsa tersebut.

Saya kira gambaran di atas tepat diterapkan pada bangsa kita sekarang. Kalau kita tidak mau bubar, maka kita harus mampu menuliskan sejarah untuk diri kita sendiri. Tapi kalau kita ruwet terus, kita tidak ada visi, tidak punya komitmen, kita missing arround, missing the opportunity tentu sejarahlah yang akan menulis buat kita. Dan, tulisan sejarah mungkin tidak begitu berpihak pada keinginan kita. Wallahu a'lam.

comments powered by Disqus

Betapa Penting Konsistensi | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (2) | Ke mana setelah Sidang Tahuan MPR? | Kekuasaan dan Takhayul | Nasib Kabinet Baru | Kejujuran Pemimpin Bangsa | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (1) | Melawan Ketakaburan Kekuasaan (2) | Serba tidak Pasti | Harapan Kita pada Polri | Korupsi adalah Panglima | Sedikit Catatan dari Washington | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (1) | Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (3) | Pemerintahan Serba 'Ad-Hoc'

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq