Nama : H. ROESLAN ABDULGANI
Lahir : Surabaya, 24 November 1914
Agama : Islam
Pendidikan : - HIS, Surabaya (1928)
- MULO, Surabaya (1932)
- HBS-B, Surabaya (1934)
- Kursus Tata Buku A dan B (1938)
- Kursus Notariat I dan II (1940)
- Hunter College, New York, AS (1968)
- Barnard College, New York, AS (1969)
Karir : - Anggota National Indonesische Padvinderij (1926)
- Ketua Indonesia Moeda (1934)
- Guru Sekolah Menengah Islamiyah/Perguruan Rakyat/Kursus malam Taman Siswa, Surabaya (1935)
- Ketua Pedoman Besar Indonesia Moeda Surabaya (1936-1937)
- Karyawan Dinas Perindustrian dan Koperasi Rakyat, Surabaya (1937-1941)
- Poetera bagian Ekonomi, Surabaya (1942-1943)
- Redaksi Majalah Bakti (1945-1946)
- Kepala Dinas Penerangan Rakyat Jawa Timur (1946-1947)
- Sekjen Deppen (1947-1954)
- Sekjen Deplu (1954-1956)
- Sekjen KAA, Bandung (1955)
- Menteri Luar Negeri (1956-1957)
- Wakil Ketua Dewan Nasional, Jakarta (1957-1959)
- Wakil Ketua DPA (1959-1962)
- Wakil Ketua IV DPP PNI (1964)
- Menteri Koordinator, merangkap Menteri Penerangan (1962-1966)
- Anggota Presidium Kabinet (1965-1966)
- Wakil Perdana Menteri (1966-1967)
- Dubes RI di PBB, New York (1967-1971)
- Ketua Tim Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan P4 (1978- sekarang)
Karya : - Antara lain: Heroes Day and the Indonesian Revolution, Prapanca, 1964
- Indocina dalam Kawasan Asia Tenggara Dewasa Ini, Idayu, 1979
- Nationalism, Revolution and Guided Democracy in Indonesia, Monash University, 1973
- The Bandung Connection, Gunung Agung, 1981
Alamat Rumah : Jalan Diponegoro 11, Jakarta Pusat Telp: 334526
Alamat Kantor : Jalan Proklamasi 56, Jakarta Pusat Telp: 330599
|
|
H. ROESLAN ABDULGANI
Menurut istrinya, Sihwati Nawangwulan, ayah lima anak ini "Tidak biasa merayakan hari ulang tahunnya." Dalam usia 72, Cak Roes masih tampak bersemangat, penuh vitalitas. Ia laris sebagai penceramah, mengomentari politik atau masalah luar negeri, juga banyak menulis artikel, makalah, bahkan buku.
Tampil dalam Seminar Asia Afrika di Kairo, Mesir, ia mewakili Indonesia, 1985. Selain menyampaikan makalahnya, The Spirit of Bandung, Regional Association and International Organization, ia juga menyerahkan deklarasi Peringatan 30 Tahun Konperensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Peringatan ini diselenggarakan beberapa hari sebelum seminar itu berlangsung, pada tahun yang sama.
"Saya selalu memimpikan dapat melihat dunia yang benar-benar damai. Ternyata, impian itu sulit terwujud," kata bekas sekjen KAA I ini berdesah. Setelah pensiun dari pegawai negeri sejak 1972, ia rupanya berhasil menenggang apa yang disebutnya "Aspek psikologis yang paling negatif." Yakni, perasaan sepuh (tua), sepi (menyendiri), sepo (hambar), dan sepah (terbuang). Padahal, diakuinya, "Saya pernah mengalami post-power syndrome" -- sindrom purna-kuasa.
Tetapi, "Syukur alhamdulillah," ujar menlu RI 1956 ini. Baru enam bulan menjalani pensiun, ia diundang memberikan kuliah di Universitas Monash, Australia. Tiga bulan Cak Roes di sana. Kemudian ia ke Negeri Belanda, atas undangan Pangeran Bernhard, enam bulan mengadakan riset tentang arsip dan dokumentasi. Oleh markas Unesco di Paris, ia kemudian diminta menjadi konsultan di bidang komunikasi massa dan kebudayaan.Bekas dubes RI di PBB ini menerima gelar doktor HC dari Unpad, Unair, dan IAIN Sunan Kalijaga.
Semua kegiatannya belakangan ini, dianggapnya telah memberi kepuasan intelektual. Namun, ia tetap merasa prihatin mengingat tenaga dan daya pikirnya mengalami proses menua. Ia berharap agar generasi muda sebagai penerus, belajar lebih baik lagi. Apalagi, menurut dia, menghadapi tantangan dunia yang kian berat.
Anak keempat dari lima bersaudara ini mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi orang penting. Toh, kenyataannya kini, "Saya masih dipercaya memegang jabatan cukup penting," ujarnya. Ia terakhir Ketua Tim Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-7). ; Pada masa remajanya, Cak Roes pernah ingin menjadi militer. Gagal, sebab di zaman Belanda akademi militer hanya terbuka bagi anak priayi, ia lalu masuk sekolah guru. Dikeluarkan karena anggota Indonesia Muda, ia juga tiga kali ditangkap Belanda, lantaran ketahuan mengikuti dan meneruskan cita-cita ayahnya, Almarhum Haji Abdulgani, yang saat itu termasuk tokoh Sarekat Dagang Islam.
Agaknya, "Lingkungan pergerakan inilah yang membentuk pribadi saya," kata bekas tokoh PNI ini. Ia pernah menjadi Ketua IV DPP PNI, ketika ketua umumnya Almarhum Ali Sastroamidjojo. Pada 1960-an, di AD ia pernah diangkat sebagai jenderal berbintang empat, suatu "Kepangkatan politis" -- menurut Cak Roes.
Di saat senggang, kakek enam cucu ini masih suka jalan-jalan, membaca, dan mendengarkan musik klasik.
|