Nama : HARSJA WARDHANA BACHTIAR
Lahir : Bandung, 3 Mei 1934
Agama : Islam
Pendidikan : - Europeesche Lagere School, Magelang (1942)
- SR I, Jakarta (1942-1944)
- SR Majumi, Jakarta (1947)
- SMP I, Jakarta (1950)
- SMA Negeri I Budi Utomo, Jakarta (1953)
- Universitas Amsterdam, Negeri Belanda (1955)
- Universitas Amerika, Washington DC, AS (1955)
- Universitas Cornell, Ithaca (M.A., 1959)
- Universitas Harvard, AS (Ph.D., 1967)
Karir : - Dosen (1959-1975), kemudian Guru Besar FS UI (1975- sekarang)
- Dosen Luar Biasa Fakultas Sospol UGM (1959-1960)
- Lektor, kemudian Guru Besar Akademi Hukum Militer (1959- sekarang)
- Asisten Direktur (1967-1969), kemudian Direktur LeknaswLIPI (1969-1975)
- Dosen Seskoad (1967-1970)
- Dosen Seskoal (1969-1973)
- Dekan PTIK (1980-sekarang) ; Staf Ahli Kapolri (1983-sekarang)
- Kepala Balitbang Departemen P & K (1983-sekarang)
Karya : - Antara lain: The Indonesian Nation: Problems of Integration and Disintegration, ISEAS, Singapura, 1975
- Percakapan dengan Sidney Hook, Djambatan, 1976
Alamat Rumah : Jalan Daksinapati Raya 1, Jakarta Timur
Alamat Kantor : Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta
|
|
HARSJA WARDHANA BACHTIAR
Lahir dan dibesarkan di tengah keluarga guru: ayah, ibu, bahkan kemudian istri dan mertuanya pun guru. Saksi kelahirannya pun, M. Natsir, bekas perdana menteri RI, saat itu masih guru Muhammadiyah. Ayahnya adalah Almarhum Prof. Haji Soetan Adam Bachtiar, guru Mosvia di Magelang, yang lalu mengajar di AMS Yogyakarta. Keluarga mereka pindah ke Jakarta pada 1942.
Setamat SLA, ia berangkat ke Negeri Belanda dengan beasiswa Kementerian P & K, untuk mengikuti kuliah di Fakultas Sospol Universitas Amsterdam, sampai 1955. Ketika hubungan IndonesiawBelanda menegang karena masalah Irian Barat, Harsja terpaksa pindah ke Amerika. Ia meraih gelar doktor di Universitas Harvard, dengan disertasi berjudul The Formation of the Indonesia Nation, 1967.
"Ada ketimpangan serius," katanya. "Saya merasa banyak tahu kebudayaan Amerika dan Eropa, tapi buta akan kebudayaan Asia." Ini yang mendorongnya mempelajari candi Ankor Watt di Kamboja, terutama segi arkeologinya. Ia pun mahir berbahasa Cina.
Harsja menyadari adanya kelemahan dalam masalah pendidikan. Misalnya ia menuding, "Banyak lembaga pendidikan komputer yang hanya memberikan pelajaran mengetik dengan mikrokomputer, tidak mendidik untuk menjadi programmer."Selain itu, ia menilai banyak buku terjemahan yang mengecam kapitalisme tetapi mendapat sambutan baik di Indonesia. "Penerbit seharusnya selektif dan memikirkan keseimbangan dalam menerbitkan terjemahan buku-buku asing," katanya. Ia, yang dijuluki kutu buku, merasa penulisan sejarah nasional belum proporsional. "Sejarah bangsa harus memberikan porsi yang sama kepada semua golongan," ujarnya.
Untuk mendapatkan tenaga ahli di bidang bahasa dan kesusastraan, Harsja, ketika itu Dekan FS UI, bekerja sama dengan Universitas Leiden. Ia pula yang mengajukan program pendidikan umum yang dikenal dengan Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). "Untuk memberikan pedoman kepekaan," katanya menambahkan. Harsja, yang mengaku sebagai dosen setengah sejarah ini, dipuji Almarhum Nugroho Notosusanto (bekas Menteri P & K) sebagai peneliti ulung yang ketekunannya jarang tertandingi siapa pun.
Sebagai Dekan PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), ia melihat polisi seharusnya paling rendah berijazah SMTA. "Agar citra polisi semakin baik," katanya menambahkan. Sebelumnya, ia sempat terheran-heran ketika ditugasi Menteri P & K untuk jabatan di sekolah kepolisian itu. Pada 1968, ia memperoleh anugerah penghargaan Satyalencana Dwija Sistha dari pemerintah RI.
Menikah dengan Sawiah Soemardja, Harsja kini ayah tiga anak. Ia gemar mendengarkan musik klasik, terutama karya Bach dan Beethoven.
|