A | B | C | D | E | F | G | H | I | J | K | L | M | N | O | P | R | S | T | U | V | W | Y | Z

Prima Rusdi




Nama :
Prima Rusdi

Lahir :
Gottingen, Jerman Barat, 31 Januari 1967

Agama :
Islam

Pendidikan :
1. SD PSKD Kwitang V, Jakarta (1981)
2. SMPN XII, Jakarta (1983)
3. SMAN VI, Jakarta (1985)
4. Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (1990)
5. Postgraduate School University of Canberra, Faculty of Communications (Masters of Arts in International Communication, 1996)


Karir :
1. Penulis cerita/skenario, antara lain co-writer film Ada Apa dengan Cinta (2001)
2. Penulis skenario bersama Riri Riza untuk film Eliana, Eliana (2002), penulis skenario bersama Rayya Makarim (2002)


Penghargaan :
1. Best Radio Public Service Visit Indonesia Year (1991) 2. Best of the Best Adi Prima Citra Pariwara (1998)

Keluarga :
Ayah : Taufik Rusdi P. Helmi Ibu : Maharani Sempurnadjaja

Alamat Rumah :
Jalan Wijaya II/ 24, Jakarta 12160

Alamat Kantor :
Jalan Wijaya II/ 24, Jakarta 12160

 

Prima Rusdi


Semua orang dilahirkan untuk misi tertentu, kita hanya berusaha menjalankannya dengan baik. Kalimat itu terucap dari bibir Prima Rusdi, penulis skenario muda yang namanya melambung melalui film fenomenal Ada Apa dengan Cinta dan Eliana, Eliana.

Putri sulung pasangan Taufik Rusdi P. Helmi dan Maharani Sempurnadjaja itu lahir di Gottingen, Jerman, 31 Januari 1967. Prima, begitu ia biasa dipanggil, mengakrabi buku sejak kecil. Ayahnya yang banyak menghabiskan waktu di luar negeri memperkenalkannya pada bacaan sejak kecil. Ayahnya juga selalu menjawab setiap pertanyaan kritisnya. €œKecuali satu hal. Saat berusia lima tahun, saya menanyakan mengapa ada manusia bunuh diri, mereka tak menjawab. Padahal itu sangat membantu saya memahami realitas,€ kenangnya.

Ada kisah unik, yang kemudian hari memberi jawaban mengapa ayahnya begitu getol membiasakannya membaca buku. Suatu ketika, saat belum menikah, sang ayah membaca buku Young Man karya Jim Goiz. Ternyata buku itu bekas bacaan orang lain pada tahun 1949, yang menyelipkan wasiat di antara lembaran-lembarannya: buku tersebut hendaknya dibaca pula oleh anak si pembaca berikutnya. €œBanyak unsur yang membentuk saya. Bukan kekayaan materi, tapi keunikan yang berjalan pararel sampai sekarang. Saya tidak akan kaget bila melihat hal yang aneh-aneh,€ katanya.

Prima memang sangat mengidolakan ayahnya. Boleh jadi Taufik Rusdi mendidiknya secara Barat. Maklum sejak usia tigabelas tahun, si ayah hidup di Swiss karena dipaksa oleh pergolakan politik di Indonesia. Prima dibiasakan mengamati lingkungan sekitar, menghargai perbedaan, sehingga ia tak suka menggeneralisasikan. Misalnya, pada tahun-tahun pertama di Jakarta sekembali dari Jerman €“ setamat Prima dari sekolah dasar -- Taufik mengajaknya ke perkampungan nelayan. Karena berangkatnya pagi-pagi sekali, sepanjang perjalanan dan sesampai mereka di sana ia masih terkantuk-kantuk. €œSaya berpikir orangtua saya ini mau ngapain sih membawa saya ke sini,€ katanya. Soalnya ayahnya diam saja, tak mengatakan sesuatu. €œTernyata ia ingin memperlihatkan sebuah kehidupan (yang berbeda),€ tambah Prima.

Taufik juga memperkenalkan orang Minang sebagai diplomat urban yang luar biasa. Dengan berdatangannya mereka ke Jakarta dan kota-kota yang lain, orang menjadi mengenal budaya Minangkabau. Lalu apa pengaruhnya bagi Prima? Ia kemudian dikenal dengan karya-karya filmnya yang sangat dekat budaya kehidupan perkotaan. Ia dan ayahnya memang memiliki ketertarikan yang sama; memandang masyarakat kota bukan dari kaya atau miskin. €œTapi dari kekayaan budaya urban, yang bisa menjadi bahan cerita yang tidak akan ada habisnya,€ tutur pengagum penyanyi Melly Goeslaw dan Cranberries, grup musik rock Irlandia, itu.

Oleh ibunya, pelahap buku ini diperkenalkan pada dunia cerita. €œIbu saya seorang pencerita yang baik. Setelah menonton film, Ibu bisa meceritakannya kembali dengan baik, dengan runtut,€ tuturnya mengenai ibunya yang ia anggap konservatif tapi baik hati itu.

Masuk Universitas Indonesia pada 1985, ia memilih jurusan ilmu komunikasi. Cita-citanya memang terkait pada pilihannya itu: jurnalis dan humas. Bakat menulisnya mulai tampak saat kuliah, dan kerap menulis artikel di beberapa media nasional, seperti koran Suara Pembaruan. Ia juga pernah menjadi assistant program director di Radio Prambors, sebelum ia mengambil master ilmu komunikasi di Australia (1991-1996).

Karir Prima yang sesungguhnya dimulai di perusahaan advertising Lintas. Di situlah ia bertemu dengan dua sutradara muda Mira Lesmana dan Riri Reza. Kolaborasi dengan mereka menghasilkan iklan sabun cuci Rinso dan Surf yang familiar itu €“ yang disajikan dengan gaya bercerita. Hasilnya, mereka memperoleh penghargaan Adi Citra Pariwara.

Penulis yang lumayan piawai ini terkesan dengan teknik penulisan scenario, yang sama sekali belum ia kenal. €œKemudian Mbak Mira menawarkan kepada saya job training, sebagai asisstant script supervisor yang bertugas mencatat setiap adegan yang diambil, sehingga berhubungan dengan bagian penyutradaraan,€ ujarnya. Konsekuensinya dari magangnya itu, ia dihadapkan pada pilihan yang sulit: antara bertahan dan keluar dari Lintas. Maklum di tempat ini ia memiliki karir yang jelas, gaji lumayan, dan nama yang mulai beken sebagai pembuat iklan yang andal. Ia lalu memilih keluar. €œApa boleh buat, pembuatan film memerlukan totalitas,€ ujar penerima penghargaan Best Radio Public Service Visit Indonesia Year 1991 itu.

Ternyata ia memilih secara tepat. Eliana-Eliana, debut perdananya dalam penulisan skenario film, langsung membuahkan hasil. Di Festival Film Singapura, ia menuai dua penghargaan, Best Young Cinema dan The Netpac Fipresci Awards.

Lajang yang menyukai renang ini biasa mendapat ide-ide cerita film melalui musik. Menurutnya bekerja dengan musik mampu menambah konsentrasi. Seringkali, ketika menulis, ia teringat musik apa yang pernah ia dengar. €œMenulis adalah ritme,€ begitu penuturannya tentang kaitan menulis dengan musik.

Prima juga suka membuat kliping hal-hal yang menarik baginya, yang ia jadikan sumber inspirasi. Termasuk mengeliping tiket bioskop. €œItu menjadi catatan bagi saya, misalnya nonton dengan siapa, pendapat penonton tentang film itu bagaimana,€ jelasnya. Sejumlah buku juga ia lahap untuk mempertajam kemampuan menulisnya. Ia juga mulai lagi membaca karya-karya Khairil Anwar, cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma. €œSaya juga suka membaca naskah, terutama naskah Pak Asrul Sani dan Cameron Crow berjudul Almost Famous. Ada satu buku yang membuat saya harus menulis, judulnya Fargo karya Ethan dan Joea Coen,€ ujar pengagum Chairil Anwar itu.

Dibiasakan hidup pas-pasan sejak kecil, ia menjadi tak berkelebihan dalam berdandan, dan juga tidak konsumtif. €œBagi saya biasa saja, yang penting nyaman dipakai,€ komentarnya tentang pakaian dan bahan dandanannya. Dalam keterbatsan itu pula ia makin kreatif. Menurut Prima, kreatif tak sekadar dalam mencipta tapi juga pada memberikan kontribusi dan solusi.

Copyright PDAT 2004

comments powered by Disqus

 


PADMO WAHJONO | PAIRAN MANURUNG | PAK KASUR (SOERJONO) | PANDJI Wisaksana | PERMADI | PERRY G. PANTOUW | PETER DOMINGGUS LATUIHAMALLO | PETER FRITZ SAERANG | PETER SIE | PETER SUMARSONO | PETRUS OCTAVIANUS | PETRUS SETIJADI LAKSONO | PHILIPPUS HENDRA HERKATA | PIET ZOETMULDER S.J. | POERNOMOSIDI HADJISAROSA | PONIMAN | PONTJO NUGRO SUSILO SUTOWO | POPO ISKANDAR | POPPY SUSANTI DHARSONO | PRAHASTOETI Adhitama | PRAMUDYA Ananta Toer | PRIGUNA SIDHARTA | Permadi | Prima Rusdi | Putu Wijaya


Arsip Apa dan Siapa Tempo ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq